Menghadirkan banyak kisah dari rangkaian perjalanan tentunya butuh effort yang tidak sedikit. Apalagi jika sumber tulisan berasal dari berbagai personal yang berangkat dari ragam pengalaman. Tapi saat beraneka cerita tersebut bercampur dengan manisnya dalam sebuah buku antologi, pembaca serasa dimanjakan oleh tebaran informasi bermanfaat di setiap lembaran yang terhidang di depan mata.
Buku The Travellers’ Notes adalah bagian dari rangkaian rasa tersebut di atas. Dibimbing, diarahkan dan diedit sendiri oleh Mbak Deka Amalia (Deka), buku antologi ini resmi diluncurkan pada Desember 2020. 34 (tiga puluh empat) penulis yang terlibat adalah teman-teman saya yang tergabung dalam Writerpreneur Club yang dipimpin oleh Mbak Deka. Satu komunitas khusus untuk mereka yang mencintai dunia literasi dan bersemangat mewujudkan hasil karya tulis mereka dalam sebuah buku. Jadi semua yang tergabung di sini adalah mereka yang punya frekuensi dan minat yang sama.
Mengurai The Travellers’ Notes
Buku kumpulan catatan perjalanan ini terdiri dari berbagai pengalaman menjelajah berbagai tempat, baik di dalam maupun di luar negeri. Beberapa diantara penulisnya pernah bergabung dalam buku antologi dengan tema yang sama yaitu Travellers On Fire. Buku yang sudah lebih dahulu terbit pada Juni 2020 dan sudah saya buatkan ulasannya melalui tautan di bawah ini.
Baca juga: Travellers On Fire. Buku Antologi Sarat Cerita Dari 35 Orang Penulis
Jika pada Travellers On Fire saya mengulas semua tulisan yang ada, satu persatu, dari halaman depan sampai belakang, saya memutuskan melakukan hal yang berbeda untuk The Travellers’ Notes. Meskipun melewati proses semedi dan pembacaan sama yang biasa saya lakukan saat ingin mereview sebuah buku, saya menemukan sebuah semangat mengulas lebih mendalam dan rinci untuk beberapa tulisan yang (sangat) menarik perhatian. Terutama artikel yang ide atau topiknya jarang dibahas. Bisa juga tentang suatu atau beberapa tempat dengan pengalaman menjelajah yang istimewa. Plus khususnya bahasan mengenai berbagai premises atau destinasi wisata yang belum pernah saya kunjungi.
Dunia Yang Hilang di Mentawai
Saya menemukan tulisan istimewa tentang Mentawai dari seorang Sulistianing Dian Ratnasari (Sulis). Mantan orang kantoran yang memutuskan untuk usaha mandiri di bidang traveling. Sulis menceritakan tentang misi penjelajahannya bersama 5 orang teman ke sebuah pedalaman yang ada di Mentawai. Tepatnya ke Dusun Rokdok yang masyarakatnya hidup bersahabat dengan alam, jauh dari teknologi modern, nun jauh di sana di provinsi Sumatera Barat.
Ada yang pernah ke dusun Rokdok? Saya? Dengar namanya aja baru setelah baca tulisan Sulis ini. Membayangkan jalur perjalanannya aja saya sudah takjub bukan main. Belum sebandinglah dengan pengalaman trip ke Pulau Pisang (Krui, Lampung) yang pernah saya alami. Yang pasti perjuangan untuk mencapai dusun yang menjadi tujuan akhir Sulis dan teman-teman ini memerlukan persiapan matang, serta hati dan mental yang jembar untuk melakukannya.
Baca juga: Hatiku Tertambat di Pulau Pisang. Kisah Perjalanan Seru di Pesisir Barat Lampung.
Jalur perjalanannya membutuhkan 3 moda transportasi. Udara, darat dan laut. Terbang dari bandara Soekarno Hatta di Cengkareng, Jakarta menuju Bandar Udara Internasional Minangkabau di Padang, lanjut perjalanan darat menuju pelabuhan Muara Padang, disambung 5 jam melaut ke Pulau Siberut, dan 8 jam naik perahu jukung menuju Desa Rorogot. Yang kalau ditotalkan mungkin setara dengan perjalanan udara (direct flight) dari Jakarta menuju Eropa Timur. Alamak. Padahal ini masih Pulau Sumatera loh. Waktu Indonesia Bagian Barat. Yang dalam imajinasi kita tentunya tak lah begitu jauh dari ibukota negara.
Sampai di desa Rorogot rombongan istirahat dan menginap di sebuah rumah adat (Uma). Sebuah rumah panggung yang tidak memiliki fasilitas seperti layaknya rumah biasa. Sulis, yang adalah satu-satu perempuan dalam rombongan tentunya mengalami satu pengalaman yang luar biasa. Saat istirahat/tidur mengenakan sleeping bag, kalau dangak/telentang pemandangannya adalah langit-langit atau plafon rumah yang dihiasi dengan koleksi tulang hewan yang diawetkan. Miring ke kanan, penuh dengan teman-teman lelaki yang bergabung dalam rombongan. Miring ke kiri terlihat hutan belukar. Kalau dah gitu sih biasanya kebayang empuknya kasur di kamar sendiri atau bisa jadi menikmati saat-saat istimewa yang justru tidak akan bisa terjadi jika tidak menjadi bagian dari ekspedisi ini.
Hari berikutnya, rombongan pun melanjutkan perjalanan menuju Dusun Rokdok dengan trekking selama 2 jam. Kedamaian dan ketenangan pun langsung merasuki jiwa saat tiba di dusun yang hanya terdiri dari 12KK dan dengan deretan rumah panggung berjarak 3-4 meter satu dengan lainnya. Sulis dan teman-teman disambut oleh seorang Sikerey, seorang dukun adat Mentawai, tabib yang mampu menyembuhkan orang sakit menggunakan obat-obatan yang berasal dari alam/hutan. Sikerey Aman Gresy nama lengkapnya. Selain Sikerey ini ada juga pemuka adat muslim yang membimbing warga dusun untuk mendalami agama Islam. Warga yang sekarang mayoritas muslim dan dulunya menganut animisme. Ada sebuah mushola kecil untuk beribadah tapi baru digunakan untuk sholat Jumat. Mereka, menurut istri dari pemuka adat tersebut, belum paham akan perintah sholat 5 waktu.
Baca juga: 25 Situs Purbakala dan Reruntuhan Bangunan yang Mengukir Sejarah Peradaban Manusia di Dunia
Beberapa pengalaman lain yang tidak akan Sulis lupakan adalah menyaksikan tradisi berburu yang dilakukan oleh warga dusun. Untuk berburu ini mereka menggunakan panah beracun yang bisa melemaskan hewan yang diburu sebelum akhirnya hewan tersebut mati. Tentunya hasil buruan tetap aman untuk dikonsumsi manusia. Yang bisa mengikuti tradisi berburu ini hanyalah para lelaki dengan usia minimum 10 tahun. Dan sebelum berangkat berburu mereka biasanya mengadakan upacara adat supaya terhindar dari bahaya.
Hal menarik lainnya adalah menyaksikan apa dan bagaimana Tatto Mentawai yang dikenal sebagai tatto tertua di dunia. Tatto yang disebut sebagai Titi ini, menurut warga dusun adalah pakaian abadi yang dibawa mati, menyatu dengan kulit mereka dan dipercayai mempunyai jiwa raga yang sama dengan pemiliknya. Satu konsep pemikiran yang sangat kuat dan telah mendarah daging sepanjang hidup mereka. Tatto yang terbuat dari serbuk/asap dari obor yang telah dikeruk dan dicampur dengan air tebu ini juga menunjukkan jati diri, status sosial dan profesi dari yang bersangkutan. Rombongan pun diajak untuk melihat proses pembuatan Titi yang dilakukan secara manual dengan peralatan tradisional yang sederhana yaitu jarum, kayu pemukul dan kain lap/tisu.
Satu hal yang juga seru dari kisah perjalanan Sulis dan rombongan selama di Mentawai adalah saat semua peserta diajak untuk mencicipi ulat sagu. Ulatnya dibakar terlebih dahulu (tentunya gak sampai gosong) sebelum dikonsumsi. Saat sudah masuk mulut dan dikunyah, ada sensasi ulat tersebut pecah di mulut dengan rasa seperti mentega tawar. Saya pernah mengalami ini saat berada di Maluku Utara. Bahkan dengan ulat yang masih bergerak saat dimasukkan ke mulut. Langsung aja digigit. Jangan kelamaan mikir dan libatkan perasaan hahahaha. Bener loh rasanya seperti mentega. Asin-asin, gemuk dan gurih gitu. Saat ditanya kenapa mau mencoba? Jawaban saya simpel aja. Yang makan duluan bertahun-tahun aja gak mati, mosok saya takut?
Menutup serangkaian kunjungan ke dusun Rokdok, masyarakat setempat mengadakan pesta perpisahan yang diadakan di Uma (rumah adat). Selain menyajikan beberapa makanan khas Mentawai, warga pun menampilkan tarian dan nyanyian adat Mentawai, yang tentunya khusus dipersembahkan untuk para peserta ekspedisi.
KEDIRI Ecocraft Waving Trip
Dari Mentawai di ujung Barat Sumatera, saya melompat ke sebuah tulisan perjalanan domestik lainnya yang dikoordinir oleh Siendy, founder E3Trip. Sebuah jasa perjalanan yang menghadirkan kegiatan traveling sarat makna sambil menambah pengetahuan, khususnya di dunia kerajinan tangan.
Baca juga: Menikmati Hujan Ilmu Wewangian di RUMAH ATSIRI Indonesia Bersama E3Trip
Nah kali ini, Siendy mengajak kita menelusuri Kediri, sebuah kota yang menjadi bagian dari Provinsi Jawa Timur. Tema utama dari perjalanan kali ini adalah belajar Ecocraft atau Ecoprint yaitu teknik memberi pola pada bahan atau kain dengan menggunakan bahan-bahan alami. Sebagian besar yang saya lihat adalah menggunakan aneka jenis daun. Ecocraft atau Ecoprint ini adalah salah satu craft yang merupakan bagian dari green jobs. Alternatif pekerjaan atau kerajinan tangan yang berangkat dari pemanfaatan sumber daya alam tanpa merusak lingkungan.
Selain menabung ilmu tersebut di atas, tujuan utama ke-2 dari perjalanan ke kota Kediri adalah mengunjungi sentra tenun ikat yang berada di Kelurahan Bandar Kidul, Kecamatan Mojoroto. Di tempat ini, sejak 1989, telah berdiri CV Medali Emas, salah satu UMKM andalan kota Kediri yang konsisten memproduksi tenun khas Kediri. Sebuah usaha yang sukses berkembang, mempekerjakan masyarakat sekitar, dan mendapatkan piala Upakarti dalam kategori Kepeloporan pada 2010.
Ibu Roqayah, sang pemilik, mengajak rombongan untuk melihat dan mengenal lebih dekat tentang proses pembuatan tenun ikat dari awal pencelupan benang, proses desain motif sampai ke tahap akhir menjadi tenun ikat. Selain dalam bentuk kain dalam berbagai motif dan warna, di tempat ini juga tersedia berbagai finished products dengan menggunakan tenun ikat Kediri sebagai materi utama. Diantaranya adalah sepatu dan baju. Kita bisa loh memilih langsung dan membeli kainnya di sini kemudian meminta mereka menjahitkannya menjadi baju dengan rancangan atau model yang kita inginkan. Tinggal lakukan pengukuran lalu baju akan dikirim setelah selesai. Mau belajar bikin tenunnya juga bisa. Tempat ini memberikan kita kesempatan seluas-luasnya untuk lebih mendalami apa dan bagaimana itu tenun ikat Kediri dengan mengolah dan membuat sendiri kainnya. Satu kesempatan yang sangat berharga bagi para pecinta wastra Indonesia tentunya.
Baca juga: Revitalisasi PUTA DINO. Tenun Tidore yang Telah Punah
Melengkapi kesempatan berkunjung ke Kediri, tak lengkap rasanya jika tidak menikmati berbagai destinasi wisata yang menjadi kebanggaan warga Kediri. Rombongan pun menyempatkan diri pergi ke berbagai tempat berikut ini:
- Daerah Gunung Klotok dimana terdapat obyek wisata Goa Selomangleng yang berada di Kelurahan Pojok, Kecamatan Mojoroto. Menurut cerita rakyat setempat, goa ini diperkirakan dibuat pada abad 10-11 Masehi dan dipercaya dulu adalah tempat pertapaan Dewi Kilisuci (Sanggramwijaya Tunggadewi), putri dari Raja Airlangga (Kerajaan Kahuripan);
- Kelenteng Tri Darma Tjoe Hwie Kiong yang berada di jalan Yos Sudarso dan sudah tercatat sebagai kawasan cagar budaya;
- Simpang Lima Gumul (SLG). Salah satu spot foto kekinian dengan menghadirkan sebuah bangunan yang menyerupai Arch de Triomphe yang ada di Paris. Diresmikan pada 2008, monumen ini berada di desa Tugurejo daerah Ngasem. Bangunannya sendiri berlokasi di pertemuan 5 jalan yaitu Gampengrejo, Pagu, Pare, Pesantren dan Plosoklaten;
- Keboen Kopi Karanganyar. Tempat ini menjadi salah satu tujuan yang dinantikan rombongan karena selain tempatnya indah dan bersejarah, para pengunjung juga diajak untuk belajar tentang sejarah kopi, menanam, memelihara bibit kopi serta mencicipi rasa dan menilai kualitas kopi. Ladang kopi yang dibuka pada 1874 ini pada awalnya dimiliki oleh Belanda hingga akhirnya jatuh ketangan salah seorang pegawainya yaitu Denny Roshadi. Di dalam perkebunan ini juga terdapat 3 museum yaitu Museum Purna Bakti, Museum Pusaka dan Museum Mblitaran. Lalu ada juga Roemah Lodji yang mencatat tentang sejarah keluarga Roshadi dan kamar 806 milik Bung Karno. Ada juga cafe dan restoran dengan nuansa tempo doeloe yang berada di perbukitan. Satu yang unik dari area kuliner ini adalah bahwa pegawai magangnya ada orang Belanda;
Melengkapi semua cerita di atas, rombongan tentunya tak melupakan jelajah kuliner. Terutama untuk berbagai jajanan yang hampir tidak bisa atau (sangat) sulit kita temukan saat berada di kota besar. Seperti Pecel Tumpang dengan Sambal Tumpang (campuran tempe segar dan tempe lama) yang memang khas Kediri. Kemudian ada klepon, lopis, cenil, dan berbagai jenis jajan pasar yang mencerminkan kekayaan kuliner pulau Jawa.
Baca juga: Masjid dan Makam SUNAN AMPEL. Sekilas Menyisir Wisata Qalbu di Utara Surabaya
Bosnia dan Herzegovina. Tanah Para Syuhada
“Dia-lah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya lah (kamu kembali) setelah dibangkitkan” (QS Al Mulk Ayat 15)
Rini Susanti (Rini) mengawali rangkaian cerita penjelajahannya bersama keluarga ke negara ini dengan sebuah sentuhan ayat dari kitab suci AlQur’an yang mengingatkan kita untuk melihat indahnya dunia. Seperti sebuah pepatah “Jika kamu ingin mengetahui indahnya dan luasnya dunia selain tanah yang kau injak sekarang, pergilah, jelajahi setiap sudut dunia dan kumpulkan jutaan makna yang didapatkan dari perjalanan tersebut”.
Selain untaian kalimat sarat makna tersebut di atas, perjalanan Rini dan keluarga mengunjungi negara yang berada di bagian tenggara Eropa ini juga berawal dari sebuah kenyataan dan cerita sejarah yang mendunia. Perang antar etnis selama 3 tahun (April 1992 – Desember 1995) yang meluluhlantakkan penduduk mayoritas muslim, sisa kejayaan Dinasti Ottoman, menjadi satu alasan diantaranya. Seperti yang juga kita ketahui, perang antara etnis ini tercatat sebagai genosida terburuk setelah Perang Dunia II. Merenggut 100.000 jiwa yang 80% diantaranya adalah muslim Bosnia. Serangan dilakukan oleh Tentara VRS (Pasukan Militer Serbia – Kroasia) dibawah komando Presiden Republik Srpska Radovan Karadzic. Tujuannya adalah memusnakan muslim Bosnia sebagai balas dendam di masa lalu terhadap bangsa Turki yang mereka sebut sebagai Turks.
Baru beranjak dari paragraf awal dari tulisan Rini ini, saya mendadak teringat dan menahan pilu di hati. Ditahun-tahun itu, saat saya sudah dewasa dan telah bekerja, saya menyaksikan sendiri rangkaian ulasan tentang perang ini yang terus menerus tampil di berbagai stasiun TV dunia. Termasuk TVRI. Stasiun TV Nasional milik negara kita. Rangkaian kekejaman yang tak henti-henti dilakukan oleh Tentara VRS kala itu mendapatkan kecaman dari banyak negara di dunia. Terutama dari semua negara yang tergabung di dalam persekutuan negara-negara NON BLOK, dimana Indonesia tercatat sebagai salah satu negara pencetusnya.
Bapak H. M. Soeharto (Pak Harto), presiden kita kala itu, yang memegang tampuk tertinggi kepemimpinan Non-Blok, berinisiatif terbang langsung ke Sarajevo dalam rangka misi perdamaian. Perjalanan beresiko yang dilakukan pada 14 Desember 1995 tersebut menjadi pusat perhatian media dunia karena Sarajevo masih dalam kondisi tak aman untuk didatangi. Tapi berkat niat yang baik dan dikawal oleh pasukan perdamaian PBB, Pak Harto berhasil mengajak pihak-pihak yang bertikai untuk menandatangani piagam gencatan senjata dan perjanjian perdamaian yang di tandatangani di Ohio, Amerika Serikat.
Saya sempat tercenung mengingat peristiwa ini kembali karena dari apa yang disampaikan oleh berbagai media, Pak Harto ketika itu tak memiliki keraguan sedikit pun untuk menginjakkan kaki di Sarajevo. Beliau tiba dengan senyum yang khas, tanpa mengenakan baju anti peluru, berjalan tegap didampingi oleh Jend. Sjafrie Syamsudin yang saat itu menjabat sebagai pengawal pribadi/kepresiden RI. The smiling general yang kemudian sangat dihormati dunia.
Rini dan keluarga memulai perjalanan menuju tanah para syuhada ini dari Kuala Lumpur. Kota dimana mereka bermukim saat itu. Dari KL mereka melewati 13 jam waktu penerbangan menuju Dubai untuk kemudian melanjutkan perjalanan dengan menggunakan mobil sewaan ke Milan. Di salah satu kota terindah dunia ini kita bisa menemukan beberapa destinasi wisata yang wajib dikunjungi oleh para pelancong. Seperti Galleria Vittoro Emmanuelle dan Duomo. Naik bis Hop On Hop Off kemudian jadi alternatif yang efisien dan efektif untuk menikmati keliling kota tanpa salah arah. Setelah Milan, Rini dan keluarga menuju Venice, salah satu kota cantik tujuan wisata dunia yang dikelilingi oleh transportasi air, lalu berlanjut mengunjungi Budapest, Hungaria. Salah satu kota terindah di Eropa Timur yang sempat saya singgahi selama hampir 2 minggu di pertengahan 2016.
Dari kota yang terpisah antara Buda dan Pest ini, rombonganpun terbang menuju Sarajevo. Sebelum sampai ke Sarajevo, Rini dan keluarga sempat menikmati waktu transit di Turki dengan tour gratis yang difasilitasi oleh maskapai penerbangan. Memanfaatkan waktu transit tersebut, mereka mengunjungi beberapa tempat wisata yang populer di Turki seperti Blue Mosque, Hippodrome, Hagia Sophia dan Arasta Bazaar. Sekedar informasi. Untuk bisa menikmati kegiatan mampir ini, Rini mengajukan aplikasi visa on-line via www.turkeyvisa.com.tr dengan biaya USD 35/orang.
Di Sarajevo, mereka menginap di sebuah apartemen duplex (Apartemen Salim) milik Muhamed Ajdinovic. Apartemen 3 kamar dengan fasilitas lengkap seperti ruang keluarga, ruang makan, dan dapur plus peralatan memasak dan makan yang lengkap. Biaya sewa yang relatif murah. Hanya Rp 880.000,-/malam. Masih jauh lebih murah dibandingkan dengan kamar executive hotel bintang 5 di Jakarta.
Menuju Mostar, Bosnia, Rini bersama suami dan ke-2 anaknya menikmati cerita perjalanan dengan pemandangan yang tak akan terlupakan. Lembah, bukit dan hutan pinus, serta sungai yang berwarna biru turquoise hadir mengademkan hati. Rombongan pun menyempatkan diri mampir ke Stari Most/Old Bridge dan menghabiskan waktu berharga di pinggir jembatan ini. Sebuah jembatan bersejarah yang dibangun pada abad ke-16 oleh Dinasti Ottoman. Jembatan yang melintasi Sungai Neretva ini sempat hancur akibat perang tapi kemudian dibangun kembali oleh pemerintah Bosnia. Hingga akhirnya, pada 2005, dinobatkan sebagai salah satu World Heritage dan destinasi wisata utama di Bosnia.
Melengkapi kesempurnaan berada di tanah para syuhada ini, Rini dan keluarga menyempatkan beribadah, bersujud di hadapan Allah SWT di salah satu masjid bernama Masjid Koski Mehmed Pasina Dzamija. Masjid kelima terbesar di Bosnia yang dibangun pada 1617 oleh bangsa Turki. Sebuah masjid cantik dengan desain dan ornamen khas Ottoman. Sentuhan visual yang sama bisa kita nikmati saat berada di beberapa bangunan bersejarah yang ada di Turki.
Rangkaian perjalanan estafet inipun kemudian berakhir dengan penerbangan menuju Athena dan Santorini di Yunani.
Pada 2 lembar terakhir tulisan Rini, saya mencatat berbagai rangkaian tulisan yang patut kita garis bawahi. Melakukan perjalanan bersama keluarga nyatanya memang mampu memperkuat bonding diantara semua anggota yang terlibat dalamnya. Saling membantu jika menghadapi kesulitan. Berpelukan tatkala jatuh dalam sebuah kekaguman. Dan kesadaran akan keberuntungan untuk bisa melihat sisi lain dunia yang mungkin tidak banyak orang yang bisa menikmatinya. Semua sumber kekayaan hati yang akan menjadi unforgettable memory ever. Selain tentu saja dari setiap langkah dan tempat yang dikunjungi, banyak ilmu, kebudayaan, adaptasi terhadap lingkungan dan pengetahuan yang nantinya akan menjadi bagian dari rangkaian kenangan yang tak terlupakan itu.
Baca juga: Sepenggal Peninggalan Sejarah Kejayaan Imigran Tionghoa di Tjong A Fie Mansion, Medan.
CASINO. Serpihan Cerita Tentang Indonesia yang Terlupakan di Pedalaman Australia
Saya membaca artikel ini berulangkali sebelum akhirnya memberanikan diri menghubungi Amy Koko (Koko), si penulis, via Whatsapp. Sambutan hangat pun saya dapatkan sebelum akhirnya asik dan larut dalam obrolan tentang blog, being blogger dan tentu saja mengenai topik yang diangkat dalam tulisan ini. Saya sempat meminta beberapa referensi tertulis tentang Casino, kota yang dibahas, tapi ternyata harus mengubur harapan itu dalam-dalam. Blas tidak ada satupun catatan resmi tentang tempat yang menjadi topik tulisan Koko.
Bagaimana mungkin catatan sarat sejarah ini tidak tercatat secara resmi di tautan manapun? Duh sayang banget ya.
Yang pernah tinggal atau lama menginjakkan kaki di Australia, mungkin pernah mendengar nama Casino. Bukan kasino yang memiliki arti harafiah sebagai tempat berjudi ya. Tapi sebuah kota kecil, kawasan pinggiran (suburb) di pedalaman New South Wales, Australia dan dikenal sebagai penghasil daging sapi terbesar di negara tersebut. Kota yang kemudian diberi julukan sebagai The Beef Capital of Australia. Bahkan sebagai tonggak pembuktian atas gelar ini, Casino secara rutin, sekali dalam setahun, mengadakan event yang berjudul Casino Beef Week selama 11 hari. Acara yang tentunya bagaikan surga kuliner bagi para carnivor sejati.
Tapi bukan itu yang sesungguh ingin Mas Koko ceritakan di buku antologi ini.
Adalah Pak Ilman, candidate S3 di University of Brisbane, yang menginformasikan Koko bahwa Casino sesungguhnya menyimpan rekam jejak sejarah kelam atas ratusan pejuang kemerdekaan Republik Indonesia. Tak ingin melewatkan kesempatan menjadi saksi dari keberadaan tempat ini, Koko pun berkendara dari Lismore (tempat tinggalnya) ke Casino setelah sebelumnya menghubungi salah seorang teman di sana yang bisa menghadirkan saksi hidup yang melihat dan mengalami langsung peristiwa tersebut.
Tiba di Casino, rombongan pun langsung dibawa ke sebuah komplek pemakaman yang sangat tertata rapi, dengan nisan berbatu indah dan cantik dilengkapi beberapa hiasan bunga imitasi berwarna-warni. Tak terlihat kesan angker layaknya sebuah komplek pemakaman. Dari foto yang diberikan kepada saya, terlihat pohon-pohon rindang dan tinggi menjulang mengelilingi komplek pemakaman yang terlihat begitu terawat plus terurus dengan baik.
Dari seorang saksi hidup yang mendampingi mereka inilah, semua cerita itu berawal. Pada 1942, saat invasi Jepang ke Indonesia, pasukan Belanda kabur ke Australia untuk menyelamatkan diri sembari membawa ratusan tentara Indonesia, pelaut, pejabat pemerintah, serta beberapa pelarian politik yang sempat dipenjara di Indonesia dan dianggap berbahaya. Mereka tiba di Casino pada Desember 1943 dan tinggal di sebuah kawasan (kamp). Laporan yang disampaikan ke pihak pemerintah Australia adalah bahwa semua orang Indonesia ini adalah batalyon tekhnis angkatan senjata Belanda. Jadi tak heran jika mereka akhirnya dilatih, bekerja dan dipersiapkan untuk memperkuat rencana tentara Belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia. Mereka pun mendapatkan bayaran, diijinkan untuk meninggalkan kamp, pergi ke pusat kota Casino dan berinteraksi dengan para penduduk lokal.
Kamp ini kemudian dikenal sebagai Victory Camp atau Javanese Camp atau Casino Camp atau Concentration Camp. Tapi kemudian julukan Black Hole of Casino lah yang disematkan dan terpatri di benak semua warga Casino dan negara Australia.
Baca juga: Museum Nasional Indonesia (Museum Gajah). Kantung Peninggalan Sejarah Terbesar di Tanah Air
Keadaan kemudian berputar 180 derajat saat 2 tahun kemudian Indonesia mengumumkan/memproklamasikan kemerdekaannya. Berita luar biasa yang kemudian sampai ke Victory Camp pada September 1945. Sesuatu yang menggugah dan menumbuhkan rasa nasionalisme bagi orang Indonesia yang berada di kamp ini. Apalagi berita tersebut disertai dengan sikap tegas pemerintah Indonesia yang pada saat itu menentang kembalinya penjajahan Belanda. Seketika itu juga, semua orang Indonesia yang berada di Victory Camp, berjumlah sekitar 400 orang, mengajukan permintaan untuk dibebaskan dan dipulangkan ke tanah air.
Sayangnya reaksi Belanda atas keadaan dan permohonan ini menjadi triger perubahan besar yang terjadi di Victory Camp. Beberapa diantara orang Indonesia yang berkeras ingin pulang tersebut ditembak atau dibunuh. Kamp pun mendadak dijaga dengan ketat oleh pasukan Belanda layaknya sebuah komplek penahanan. Suasana mendadak mencekam. Tapi berkat desakan warga dan pers yang ada di Casino kepada pemerintah Australia, Victory Camp akhirnya dibubarkan pada Oktober 1946. Hukuman dan penindasan terhadap orang-orang Indonesia pun berakhir. Semua kemudian dipulangkan ke tanah air via transportasi laut pada 21 November 1946 dan kamp pun resmi ditutup pada 14 Desember 1946.
Berkesempatan mengelilingi area kamp yang dimaksud, Koko dan rombongan tidak menemukan jejak fisik bangunan dari Victory Camp. Pun tidak ada kehidupan manusia di dalamnya. Hanya berupa puing-puing yang kesemuanya sudah rata dengan tanah. Yang tersisa adalah sebuah pondokan kecil yang dipercaya dulunya adalah gudang amunisi.
Rombongan kemudian melangkah menuju Casino Folk Museum. Tempat dimana mereka mendengarkan rekaman siaran BBC berbahasa Indonesia. Terdengar sang broadcaster, dengan suara lantang dan artikulasi berat serta logat bicara khas orang Sulawesi, mengabarkan berita tentang proklamasi RI. Lalu mereka juga diperlihatkan sebuah kliping atau buku tipis tentang Victory Camp berikut dengan nama-nama orang Indonesia yang dikuburkan di tempat itu.
Hingga pada 24 Oktober 2015, Asosiasi Indonesia Australia (AIA), Komunitas Sejarah Casino dan Richmond Rivers Council mengadakan seminar untuk mengenang atau memperingati 70 tahun peristiwa di atas. Acara yang dihadiri oleh Bapak dan Ibu Konsulat Jendral Indonesia sebagai tamu kehormatan.
Lewat rangkaian tulisan Koko yang menggambarkan pengalaman hidupnya di Australia, dia juga melukiskan kesan yang begitu mendalam atas ketulusan warga di sana. Sikap mereka memang terkesan individualis dalam artian tidak ingin ikut campur dalam urusan orang lain. Akan tetapi sangat total dan tulus ketika membantu sesama tanpa memandang darimana mereka berasal. Satu rasa yang tentunya sangat berharga saat kita berada atau hidup negara orang lain. Been there before.
Baca juga: DANCING SNAIL. Bukannya Malas, Cuma Lagi Mager Aja. Kekayaan Literasi dan Ilustrasi Dalam Satu Wadah.
Beberapa Artikel Lain Yang ada di The Travellers’ Notes dan Resensi Pribadi
Selain 4 artikel yang saya ceritakan kembali di atas, berikut adalah beberapa tulisan yang turut hadir dan menjadi bagian penting dari buku antologi The Travellers’ Notes:
- Travel Writing ke Negeri Sakura – Deka Amalia;
- Kawah Ijen: Mission Impossible, Blue Fire – Nanik Nadira;
- Jelajah Tokyo Tanpa Tur – Decy Indrawati;
- Cerita Kuala Lumpur – Hasna Nabilah;
- Nusa Penida: Setitik Surga yang (Belum) Dirindukan – Enya Anggia;
- Umroh Bersama Orangtua ke Kota Suci – Siti Jumsiah;
- Pesona Jepang Selatan di Kagoshima – Emmy W. Sakya;
- Istanbul, Kota Persinggahan Penuh Makna – Rohmah Rahmawati;
- We Should Be So Lucky – Lulu Arsyad;
- My First Tour Go To Vietnam – Retno Palupi;
- Persinggahan di Wellington – Nilam Septiani;
- Wisata Kaki Gunung – Wika Wijaya;
- Menengok Kota Tua – Utari Giri;
- Serba Terbatas, Ternyata Mereka Lebih “Kaya” Dariku – Irene Gianov;
- Badindin In My Mind – Novica Armayanti;
- Jepang Kawah Adaptasi Keluarga – Jullie Hakim;
- Salam Cinta Dari Quantum of The Sea – Widyana Abdullah;
- Perjalanan Dinas ke Kota Tuba – Nur Indah Yunita;
- City Tour di Masa New Normal: Menyusuri Eksotika Jalan Kamojang – Bunda Nada;
- Semangat Dari Copenhagen – Shofa Ubbada;
- Beach Paradise – Vita Mei;
- Adelaide Kota Sepi Yang Menyenangkan – Ajeng Kusumasari;
- Sydney – Brisbane Kami Datang Kembali – Nia Refana;
- Weekend Ke Jogya ala AADC – Sis Meilan;
- Menyambangi Kuil Dewa Matahari. Berwisata Minim Sampah – Wrenges
- Tour De Village – Sophia Aga;
- Perjalanan di Waktu Yang Salah – Gema Runi;
- Negeri di Atas Awan – Nur Syamsiah;
- One Day in Selchuk – Anit Djaelaini;
- Romantisme Ala Istanbul – Ika Setya Mahanani
Semua tulisan di atas hadir dengan kekayaan cerita yang membimbing pikiran kita akan sebuah ilustrasi tempat. Terutama (sangat) menggoda keinginan untuk sampai di tempat-tempat wisata yang diceritakan oleh masing-masing penulis dan belum pernah kita alami secara pribadi. Sebagian besar menghadirkan rincian ini dan itu, apa dan bagaimana untuk sampai ke tempat tersebut, apa saja yang ada di sana, hingga gambaran lengkap tentang destinasi yang mereka nikmati kala itu.
Jalinan kalimat tersebut di atas, tentunya akan terasa lebih sempurna saat kita melibatkan beberapa hal seperti menguraikan pengalaman yang mendalam, mampu merekam hal/data sebanyak mungkin dan menghidupkan pengalaman perjalanan tersebut melalui ungkapan rasa. Karena sejatinya cerita perjalanan adalah kumpulan peristiwa yang bergerak mengikuti momentum dan membawa pembaca pada suatu kesimpulan dan point of view yang ingin dibangun oleh penulisnya.
Selamat untuk komunitas Writerpreneur Club yang sudah berulangkali melahirkan buku antologi dengan ragam tema, topik dan materi bahasan yang indah bagai pelangi. Semoga kehadiran The Travellers’ Notes bisa menjadi salah satu dari warna pelangi tersebut dan mencatatkan diri sebagai satu titik dari ribuan dot ranah kekayaan literasi Indonesia.
Special thanks and appreciation saya ucapkan kepada Sulis, Siendy, Rini dan Koko atas waktunya menanggapi kecerewetan saya bertanya ini dan itu. Termasuk diantaranya kebaikan hati mengijinkan saya untuk meminjam serta menampilkan beberapa foto yang turut mendukung lengkapnya ulasan mini ala saya atas kisah-kisah indah mereka.
#WriterpreneurClub #KomunitasMenulis #BukuAntologi #TheTravellersNotes #Antologi #BukuPerjalanan #KisahPerjalanan #AntologiPerjalanan #KomunitasMenulisIndonesia
Keren-keren topik ceritanya. Luar biasa, saya bisa merasakan semangat dari para penulis!
Setuju Qy. Tulisan yang juga menghadirkan pengalaman perjalanan yang penuh makna.
Jadi kepengen Baca bukunya ya..diantara tulisan tersebut ada tempat yang pernah ku kunjungi untuk mengenang kembali perjalanan ku . pengen segera baca bukunya..
Silahkan hubungi Ibu Deka Amalia di 0857 7167 3538 untuk mendapatkan bukunya Bu Neni.
Motif kain tenun Kediri nya cantik2 ya kak, asli pasti cakep banget kalo dibikin jadi baju buat kondangan
Wastra Indonesia memang luar biasa. Semua cantik-cantik dan punya kelebihan sendiri-sendiri. Termasuk Tenun Kediri ini
Saya jadi penasaran bagaimana awalnya Sulis menemukan informasi tentang Dusun Rokdok yang sangat terpencil ini hingga akhirnya bisa berkunjung ke sana.
Jadi pengen baca kisahnya lebih lengkap dalam buku ini. Pasti bakal menarik sekali, membaca cerita dari banyak orang di banyak destinasi wisata
Woth to have bukunya Mbak Nanik. Banyak artikel-artikel lain yang bagus-bagus di dalam buku ini. Bikin pengetahuan kita akan perjalanan juga semakin berisi.
Beragam cerita travelers yang unik ini dapat membangkitkan semangat berwisata dengan lebih mengeksplorasi pedalaman dan destinasi yang dalam dan tersembunyi. Kisah Sulis dkk memberikan informasi yang bisa jadi belum kita peroleh dari berita maupun socmed lainnya. Salut! 😍😍
The Stories’ Gems ya Nur. Serasa menemukan sesuatu yang begitu berharga dari sebuah perjalanan
Buku yang sangat bagus
Nampaknya harus banyak diterbitkan buku serupa ya mbak?
Karena merupakan sejarah bangsa yang berhasil direkam
selama ini Indonesia kan sangat minim rekam jejaknya
Bener banget Mbak Maria. Apalagi untuk tempat-tempat yang begitu bersejarah dan meninggalkan kisah yang tak terlupakan.
Sebuah perjalanan untaian cerita apik, bahkan dilalui tiga moda transportasi membuat kekuatan tulisan menjadi menarik. Sisi ulasan Sumatera Barat dengan rumah panggung, Mentawai menjadi lengkap suatu cerita seolah pembaca hadir ketika membaca.
Setuju banget Mas Ferry. The stories’ Gems yang layak untuk disebarkan kepada publik dengan jangkauan yang lebih luas lagi
Selamat atas terbitnya buku antologi The Travellers Notes. Ada 34 tulisan di dalamnya, tentunya kaya sekali akan cerita perjalanan. Semoga bermanfaat bagi penulis dan pembaca, terus bercerita dan kisah-kisah penuh warna.
Terima kasih ulasannya yang sangat lengkap, yuk.
Banyak sebenarnya artikel di buku ini yang bagus-bagus isinya. Semua hadir dengan warna tulisan yang sangat menarik. Kalau mau dibahas semua, bisa lebih dari 5.000 kata hahaahaha.
Temanya bervariasi dan bener2 out of the box sih ya mba. Saya ingin banget bisa travelling sampai ke pelosok seperti yg diceritakan di buku itu. Sepertinya ada sensasi tersendiri ya. Berada di tengah2 masyarakat pedalaman
Setuju banget. Ke-4 artikel yang saya pilih ini aja mewakili semua kisah-kisah menarik yang ada di dalam buku.
Sebelumnya aku belum pernah baca buku yang bertema travel kayak gini. Dan setelah baca artikel mbak ini, jadi tertarik buat baca deh.
Alhamdulillah. Semoga juga bisa memberikan suntikan semangat untuk terus menulis juga ya