Beberapa hari sebelum ketibaan atau kunjungan ke/di Bengkulu, saya banyak berdikusi dengan Daniel, seorang travel companion, yang dikenalkan oleh Katerina. Selain membahas soal berbagai destinasi wisata yang ada di dalam kota Bengkulu maupun yang ada sedikit di luar kota, saya juga membuka pembicaraan tentang kuliner yang sekiranya mewakili “wajah Bengkulu” untuk dimasukkan ke itinerary wisata yang kami sepakati bersama.
Tidak banyak yang bisa direferensikan oleh Daniel. Itupun sepertinya tidak terlalu ke-bengkulu-an karena banyak diantaranya adalah jenis masakan yang biasa ditawarkan saat berwisata di sepanjang pulau Sumatera. Beberapa diantaranya memang lebih condong ke Sumatera Selatan. Mengingat bahwa memang dulu sekali, sebelum berdiri sendiri sebagai satu provinsi, Bengkulu adalah bagian dari provinsi Sumatera Selatan seperti halnya Bangka Belitung.
Jadi tak heran jika ke-khas-an Sumatera Selatan masih menempel lekat pada Bengkulu. Jika pun ada yang sedikit berbeda, pilihan yang ditawarkan sebagai ke-unik-an tuh sejatinya tak ada. Hanya beberapa kue atau camilan yang jadi referensi. Seperti kue Tat, Pendap, dan kue Lepek Biniti serta emping tipis berbentuk persegi panjang. Emping renyah yang belum pernah saya temui di provinsi manapun.
Sementara “menu besar” atau lauk pendamping masakan utama yang benar-benar ala Bengkulu sulit sekali untuk ditemukan. Hingga akhirnya saya melirik blognya Katerina yang berisi tentang perjalanannya selama ke kota ini. Salah satunya adalah pengalaman kuliner seru saat berkunjung ke Pindang 77.
Baiklah. Ke sini aja kalau begitu.
Baca Juga : Batik Besurek. Kekayaan Wastra Asli Bengkulu yang Memesona
Menuntaskan Rindu Akan Pindang
Kesetrom dengan tulisan renyah dan foto-foto sangat mempengaruhi mata dan selera di blog Katerina itu, saya mendadak lapar mata. Terutama dengan Tempoyak Patin yang tertulis jelas sebagai salah satu menu yang ditawarkan.
Tempoyak Patin, khususnya pindang tempoyak, adalah salah satu masakan ikan yang sudah mendarah daging di kehidupan saya sedari kecil. Berawal dari acara pantauan yang diadakan di dusun almarhum Ayah saya, Basemah, saya kemudian diajak untuk akrab dengan masakan ikan yang diolah berkuah dengan tempoyak. Fermentasi durian yang sudah merajai hampir sebagian besar masakan pindang ala Sumatera. Baik itu pindang ikan, daging, tulang, atau aneka seafood.
Saya sendiri tak mengalami kesulitan dengan apapun yang berhubungan dengan durian ataupun fermentasi durian karena memang buah beraroma khas ini juga menjadi salah satu asupan yang tak pernah bosan untuk indera pengecap saya.
Meski musim durian hanya beberapa bulan dalam satu tahun, saya dan keluarga selalu menikmati durian sebagai kesenangan tersendiri. A guilty family pleasure yang mampu merekatkan keakraban seluruh anggota keluarga. Bahkan mukbang durian tuh sudah jadi agenda khusus. Beli sebecak, berpuluh-puluh buah pun sudah pernah kami rasakan. Sebagian besar adalah durian Sumatera (dari berbagai daerah di Sumatera) yang memang terkenal dengan kegurihan dan kelezatannya.
Kembali ke soal pindang tadi.
Setelah bertahun-tahun berselancar dengan aneka pindang, saya menjatuhkan cinta tertinggi pada yang namanya pindang tempoyak kepala patin. Yup. Khusus bagian kepalanya. Tentu saja dengan tempoyak yang diolah berkuah dengan bumbu asam manis, pedas sedikit yang kemudian bergumul dengan potongan nanas, belimbing wuluh dan sebagian kecil sayuran hijau.
Ya ampun.
Sambil ngetik ini ingatan saya melayang pada masakan penggugah rasa ini. Terbayang dengan pindang tempoyak kepala patin dalam sebuah mangkok yang besar terhidang di depan mata, saya bisa menghabiskan berpiring-piring nasi. Apalagi jika ditemani oleh sambal embam (salah satu jenis mangga mengkal). Kerakusan atau kerasukan hakiki yang belum pernah ada tandingannya.
Baca Juga : Serunya Mengulas Tentang Kuliner Nusantara Lewat Buku Antologi Jelajah Kuliner Nusantara
Pindang Tempoyak ala Pindang 77
Gak perlu berpikir dua kali buat saya untuk memutuskan memesan Pindang Tempoyak. Tentu saja dengan pesan khusus bagian kepalanya. Sementara Daniel memesan Pindang Tulang.
Penyajiannya lumayan cantik. Semua pesanan kami ditaruh di atas sebuah wadah dengan bagian penghangat di bawahnya. Jadi saat tiba di meja, kedua pesanan kami ini masih hangat dengan wangi pindang yang sangat menggiurkan. Air liur pun langsung menetes.
Sesuai pesanan, saya mendapatkan bagian kepala patin yang memang gurih dengan kandungan lemak tebal di bagian leher ikannya. Kuah pindangnya mantab banget. Meski rasa tempoyaknya tidak terlalu kental seperti di beberapa restoran yang ada di Palembang, rasanya sudah cukup menurut saya. Segar dan menyelerakan. Jadi untuk mereka yang masih ragu-ragu mencoba pindang tempoyak atau baru pertama kali mencoba pindang tempoyak, tidak akan merasa kaget dengan rasa yang khas ini.
Saya sampai menghabiskan semua kuah sampai tandas. Sayang rasanya harus menyisakan rasa fermentasi durian yang sudah lama saya rindukan. Tadinya pengen minta tambah kuah. Tapi ternyata perut saya hanya mampu menampung kuah yang tersedia itu saja. Kalau dipaksakan, bisa tepar kekenyangan saya. Apalagi mengingat bahwa setelah ini saya ingin mencoba pempek buatan orang Bengkulu.
Saya juga sempat mencoba Pindang Tulang yang dipesan Daniel. Tidak ada tempoyak yang dicampurkan tapi kesegaran kuah pindangnya sangat terasa. Yang baru tahu tentang pindang tulang, kudu ngeh juga ya kalau penamaan “tulang” bukan berarti yang disajikan hanya tulang. Banyak kok dagingnya.
Saya mencampur dan mencoba semua sambal dengan kuah yang sudah ditaruh di piring yang penuh dengan nasi. Kuah pindang jadi semakin “nendang” rasanya. Apalagi kemudian saya nikmati pelan bersama potongan rebusan sayur yang masih krenyes-krenyes. Pintar banget deh mengatur kematangannya.
Nasi dua porsi yang kami pesan tumpah ruah. Kebanyakan malah jika ukurannya untuk dua orang. Hanya saja plating untuk nasi ini menurut saya lebih baik diganti dengan wadah yang lebih unik. Biar estetik di foto. Apalagi buat saya yang bergulat di dunia food photography.
Oia, untuk seporsi Pindang Tempoyak harganya Rp25.000,00. Sementara untuk Pindang Tulang harganya Rp35.000,00. Sangat ramah di kantong menurut saya.
Baca Juga : Nikmatnya Pindang Patin Pegagan di Rumah Makan Terapung Mbok Yah Palembang
Tadi sembari menunggu pesanan kami datang, saya menyempatkan diri memotret restoran ini, khususnya area makan. Ruko yang ditempati ternyata lumayan besar kalau sudah masuk. Apalagi selain bagian dalam bangunan, teras yang ada di sisi kanan kita datang, dibangun menjadi area makan juga. Ada sekitar empat set meja dan kursi kayu panjang untuk menampung sekitar belasan tamu.
Sementara di ruang makan bagian dalam tersedia meja dan kursi kayu yang sama tersusun lebih banyak. Jadi kalau pergi makan sebatalion, rasanya masih muat-muat aja. Malah menurut saya cenderung padat karena menggunakan furniture yang berat dan tidak mudah dipindah-pindahkan.
Untuk pelayanan saya kira cukup. Tidak cepat pun tidak terlalu lama. Saya menikmati waktu-waktu menunggu sembari mengobrol tentang banyak hal dengan Daniel. Terutama tentang berbagai destinasi wisata yang hari itu saya sambangi. Yang ternyata banyak sekali loh jejak sejarah yang bisa dituliskan.
Next visit ke Bengkulu, saya ingin mencoba masakan-masakan pindang lainnya. Bahkan ingin punya waktu khusus menelusur dan mencari rangkaian kuliner yang khas Bengkulu dan jarang bahkan tidak ditemukan di provinsi lainnya.
Saya tuh belum pernah makan pindang lho Mbak Annie
Apalagi tempoyak, keterlaluan banget ya?
Saya tuh “ndeso” banget. Hidup cuma seputaran saya lahir dan dewasa, yaitu Sukabumi dan Bandung
Jadi ya setahu saya yang namanya pindang tuh ikan yang diawetkan dengan cara dipindang
Dimasak, diberi garam dan disusun berderet
Pindang tongkol, pindang bandeng, pindang peda dll, cara masaknya sama: digoreng (bisa pakai telur) sebelum disajikan
Kayanya saya wajib ke Sumatera (termasuk ke Bengkulu) untuk mencicipi pindang tempoyak yang menggiurkan
Waaah wajib dicoba Mbak Maria. Di Bandung sepertinya ada deh restoran yang menyajikan menu masakan pindang Palembang. Duh saya lupa namanya. Pernah nyoba dan masakannya lumayan enak. Untuk ukuran masakan daerah di luar area asalnya, resto ini cukup mewakili rasa yang diinginkan.
Kadang saat memutuskan mau makan di mana, tulisan teman yang dipilih karena memberikan informasi yang kita butuhkan.
Pindang tempoyaknya kelihatan enak banget, ya. Saya juga lebih suka bagian kepala, kalau pindang.
Bagian kepala memang paling enak Mbak Susi. Daging di seputaran leher kepala itu tuh gurih dan banyak banget lemaknya. Bagian ter-yummy menurut saya.
Daniel-nya Daniel Mashudi bukan Mbak? Pemilik blog samleinard.com
Familier banget dengan nama ini, tapi lupa apakah kenal di Kompasiana atau karena sering mampir ke blognya
Cari data/petunjuk kuliner emang sebaiknya dari pemilik blog traveling ya?
karena datanya pasti akurat. Termasuk ketika Mbak Annie mencicipi lezatnya tempoyak pindang di Pindang 77
Bukan Mbak Maria. Ini travel companion yang sudah seperti tour guide gitu. Sekalian bisa bantu motret-motret. Dikenalkan oleh temen kita, Katerina, yang sewaktu berkunjung ke Bengkulu juga ditemani oleh Daniel.
Jadi, ikan pindang itu sama dengan ikan patin, kak Anniee??
Maaf, aku minim banget ilmu tentang perikanan ini, tapi kalau ditanya, suka makanan apa?
“seafood” doonk..
Dan pindang adalah ikan fave aku.
Biasanya cukup di balado aja, karena ngerasa gak bisa masak lainnya. hiiks~
Kayanya, aku kalo makan Pindang Tulang atau Pindang Tempoyak, bisa abis berporsi-porsi nasi deeh..
Liat sambelnya juga menggiurkan sekaliih..
Pindang tuh macam-macam Len. Mulai dari daging, tulang dan berbagai jenis ikan. Salah satu yang populer adalah Pindang Patin. Dan menurutku pindang terenak adalah ya pindang patin ini. Lemak dari ikan menyatu banget dengan kuah pindangnya. Apalagi kalau ditambahi tempoyak (fermentasi durian). Woooahhhh beneran bisa abis nasi sebakul hahahaha.
Oh, pindang itu bukan jenis ikan ya, ka Annie?
Kok aku baru menangkap sesuatu makna yang baru. Maaff, ka Anniee..
Selama ini di otakku, pindang itu nama ikan.
Baru sadar kalau ternyata makna pindang di KBBI adalah panganan ikan yg digarami dan dibumbui kemudian diasapi atau direbus sampai kering agar dapat tahan lama.
Kalau sudah berbau durian memang nikmat Bu, soalnya daku pun juga demen. Meski model pindang tempoyak ini belum daku coba, karena pernah cobanya sambal tempoyak dengan rasa agak pedas manis gitu.
Memang masakan Sumatera gak gagal ya Bu buat menghadirkan cita rasa yang spesial.
Sambel tempoyak juga populer di Sumatera Selatan Fen. Dicampur dengan kuah pindang lebih enak lagi. Apalagi diolah asem pedes dengan dicampur sama potongan nanas dan belimbing wuluh. Muantab bangets pokoknya.
Wah…ada patin. Aku suka patin, dimasak apa aja doyan. Masak patin sendiri tuh selalu gatot lah…Sampai suami pesen, udah engga usah coba-coba masak patin lagi…huhu…hiks…
Masakan Sumatera apa aja aku juga suka…
Belum pernah nih ke kota Bengkulu. Perlu dicoba nih, rekomendasinya… Cek-cek ah di Bengkulu ada apa aja selain Rumah Pengasingan Bung Karno…
Patin kabarnya memang gak gampang ngolahnya Mbak. Biar sekedar digoreng aja katanya harus pintar ngebumbuinya. Pun saat dijadikan pepes.
Lebih sedap makan Pindang di Bengkulu atau Palembang, yuk? hehehe…
Beda kasta Ded hahahaha. Tetaplah masakan dari daerah asalnyo itu (jauh) lebih sedap.
duh sombongnya Mas Deddy, bisa milih antara Bengkulu atau Palembang
(hehehe….bercanda)
saya belum pernah nyicipin pindang, apalagi yang lezaat seperti Pindang 77
Sekilas tampilan menu pindang ini sama dengan pindang buatan saya, ternyata ada tempoyak yang bikin citarasa khas bengkulu, pasti lebih nikmat lagi nih pas dimakan, awalnya sempat salah fokus dengan telenan yang digunakan untuk daftar menu,
Tambah tempoyak memang bikin kuah pindanganya tambah mantab. Apalagi terus dilengkapi dengan potongan nanas dan belimbing wuluh untuk menambah rasa asam yang mantab di lidah.
Dulu waktu tinggal di Palembang sering banget konsumsi pindang ikan patin yg kuahnya seger banget ,,trus ada pindang srani yang dari daging sapi duh kangen euy ..apalagi lihat foto2 bu Annie makin lafar saya,…
Looohh pernah tinggal di Palembang toh? Kalo di kampung halamanku ini memang soal makanan paling jos deh. Rasa gurih, asam, manis, dan pedas tuh nyampur dengan sempurna. Apalagi soal per-pindang-an. Top pokoknya.
Lah, Palembang maupun Bengkulu, aku belum pernah ke sana semua. Huhu…hiks. Gimana mau tau bedanya pindang di Palembang maupun di Bengkulu. Baiknya yaaa ke sana aja ya…
Trus ada lagi pindang srani dari daging sapi?
Kuliner Indonesia tuh kaya rasa kaya jenis…
Malah jadi penasaran sama empingnya. Ntar kalau ke bengkulu, berburu resto ini sama empingnya deh
Hahahahaha. Enak banget empingnya Mbak. Tipis dan renyah. Kalau butuh referensi, saya ada kontak produsennya. Tangan pertama. Jadi harganya bisa murah.
Utamanya kalau lihat rumah makannya rapih dan bersih dan nyaman, selera makan meningkat beberapa oktaf deh, hehee.
Sukur2 dapat masakan yang beneran enak, bisa betah dan namboh2 deh.
Seperti pindang 77, jadi pilihan Bu Annie pasti sudah teruji lah…
Betul Suci. Bagi saya sebuah restorannya terhubung erat dengan kebersihan dan kenyamanan. Makanan seenak apapun tak akan menjadi hiburan berarti saat tempatnya jorok dan tidak terurus. Kalau sudah lihat begitu, biasanya saya gak berkenan makan di sana. Mending cari yang lain aja dah hahahaha.
Saya baru tau kalau Bengkulu pernah jadi bagian Sumatera Selatan. Saya suka durian. Tapi, kayaknya masih harus beradaptasi lidahnya dengan tempoyak.
Lihat foto pindang tempoyak ini, tetap pengen cobain. Karena penampilannya menggiurkan banget. :D
Yup. Bangka Belitung juga dulu bagian dari SumSel. Tapi kemudian berdiri sendiri. Makanya jumlah provinsi kita meningkat.
Cobain Mbak Myra. Kuah pindang ditambah tempoyak tuh mantab banget. Dijamin nasinya bisa nambah-nambah.
Ngilerrrrnyaaaaa :D
Saya pecinta ikan laut Mba :D
Mungkin karena sejak kecil saya makannya ikan. Mana ikannya segar-segar pulak, di Buton ketika itu yang paling terjangkau ya ikan, ayam dan tahu tempe mihillll.
Jadi mama saya belinya ya ikan lagi dan ikan lagi. Karena dulu mama saya belom punya kulkas, jadinya beli ikan tuh meski di masak pindang.
Bumbunya cuman asam dan garam aja.
Tapi enak sih menurut saya, di makan dengan sambal, masya Allaaaahh :D
Di beberapa daerah dan seiring zaman, pindang tuh dimacam-macamin bumbunya ya, jadinya lebih menggugah selera.
Wah wah waahh senasib dengan saya Mbak. Lahir di Palembang yang sebagian besar kulinernya berbahan dasar ikan, sajian pindang tuh sudah mendarah daging di dalam diri saya. Durian pun menjadi buah yang sangat digemari oleh banyak orang Palembang. Klop sudah hahahaha.
Naaah akhirnya ayuk ke sini makan pindang 77 😍
Pindang 77 rumah makan pindang paling recommended di Kota Bengkulu. Waktu ke Bengkulu tahun 2019, temen-temen blogger semua pada saranin ke sini. Aku siang-siang datang ke sana, sama Anjas, sebelum balik ke Jakarta. Ya Allah makannya enak yuk, sampai lahap dan nambah-nambah haha. Kan siang-siang tuh, sampe keringetan makannya. Aku suka suasananya, lumayan tenang. Bersih juga. Keliatannya masih sama cak waktu aku ke sana.
Kapan kita makan pindang di Palembang yuk? Rame-rame samo Deddy dan Yayan bakal seru :D
Untuk resto di luar Palembang, Pindang 77 ini termasuk ok. Kuah tempoyaknyo idak terlalu asem. Takarannyo pas. Jadi untuk yang baru nyoba pindang tempoyak pasti idak kapok. Bahkan mungkin ketagihan.
Aku pernah diajak Deddy samo Yayan makan pindang di daerah mano itu yo. Mantab nian Rien. The best pindang tempoyak yang pernah aku rasoke seumur hidup hahahahaha lebay sangad.
Jadi masih ada tambahan nanas dan belimbing wuluhnya untuk menu pindang ini, wah jos gandos dong apalagi nikmat banget musim panas gini makan ikan kuah, auto nambah nasi
Dengan nanas dan belimbing wuluh bikin kuah pindangnya terasa asem-asem manis. Berseteru di lidah dengan pedes dan rasa khas yang muncul dari fermentasi durian. Harus nyobain Mbak Prima Santi. Di Palembang yang namanya pindang tempoyak tuh populer banget.
Sedep banget sore-sore gini makan dengan pindang. Jadi ngayal gitu jadinya. Kenapa tidak menyebut tempoyak karena memang belum kenalan. Hihihhi.
Tapi asli deh, dari fotonya itu kelihatan lezatnya.
Kudu nyobain kapan-kapan Mbak. Tapi di daerah Jepara dan Jawa pada umumnya pindang tempoyak sepertinya sulit untuk ditemukan.
Mauuuu pindang tampoyaknya. Porsinya lumayan besar juga ya mbak? Btw restorannya enggak terlalu wah tetapi resik banget dan betah ya kalau makan di tempat kyk gtu.
Wah aku belum pernah nih ke Bengkulu. Pengen juga deh kapan2 ke sana semoga bisa dan kopdaran ma teman2 bloger sana, siapa tahu bisa mampir juga makan di sini hehe.
Salah satu resto yang recommended di Bengkulu ini Sar. Aku belum menemukan kuliner yang benar-benar khas Bengkulu. Rata-rata memang warisan dari Sumatera Selatan. Provinsi yang dulu menaungi Bengkulu.
Kak Annie tuh paling bisaaaa bikin pengen ikutan nyicip juga menu yang sedang diceritakan. Mana foto terakhir mendukung banget lagi berasa dihadirkan di depan mata. Rupanya mampir ke sana karena mampir ke blognya Mba Rien, hihihi … seru.
Kuy kapan ke Bengkulu mampirlah ke resto ini ya Cha. Recommended.
Suamiku seneng banget ikan pindang mba, tapi gak tau deh kalau dicampur tempoyak apakah dia pun akan suka? Tapi dia sih suka duren juga. Hmm karena mba Annie sudah mencobanya sepertinya kita pun harus nyoba, sudah direkomendasikan begini masa ragu hehe.
Biasanya sih kalau suka duren, lidahnya bisa menerima tempoyak. Kudu dicoba
Aku juga suka banget sama Pindang ikan nih mba.. Apalagi makan di restoran yang punya menu spesial Pindangnya kayak Pindang 77 di Bengkulu. Berasa puas banget🤩