Meski hujan dan panas bergantian menyambut kedatangan saya di provinsi Aceh, saya tetap merasakan kegembiraan yang teramat sangat. Begitu mendarat di bandara Sultan Iskandar Muda, langit mendadak terang setelah selama di pesawat hujan deras. Nunggu bagasi hujan lagi, lalu mereda saat masuk ke mobil yang menjemput. Menjelang tiba di hotel, hujan lagi, deras banget. Air seakan disiram dari sebuah ember besar milik langit. Seperti ada tombol ke kanan dan ke kiri yang di sampingnya ada tulisan hujan dan tidak hujan.
Mungkinkah karena semesta sepertinya begitu riang menyambut saya yang baru pertama kali menjadi tamu Bumi Serambi Mekkah? Bisa jadi.
Sekilas Tentang Kyriad Muraya Hotel Banda Aceh
Saya tidak begitu familiar dengan nama Kyriad Muraya. Setelah suami mengkonfirmasi bahwa kami akan menginap di hotel ini, saya langsung berselancar di dunia maya. Sungguh penasaran. Informasi pertama yang saya catat setelah menilik tautan resmi mereka adalah bahwa Kyriad Muraya Hotel tergabung dalam Louvre Hotels Group (beberapa hotel dengan nama Tulip, Premiere Class Hotel, dan lain-lain). Dan hotel ini adalah satu-satunya hotel bintang empat di kota Banda Aceh (Banda), ibu kota provinsi Aceh. Di atas mereka ada satu hotel bintang lima – Hermes Palace by Bencoolen. Sayangnya di waktu kunjungan kami selama empat hari tiga malam, hotel bintang lima ini sedang fully booked. Tak berhasil kami pesan bahkan hanya untuk semalam saja.
Tapi yang pasti dari sekian banyak review yang hadir di official website mereka dan beberapa tautan yang mengkompilasi pendapat dari banyak pengunjung/penginap, saya penasaran ingin turut merasakan rehat berkelas di Kyriad Muraya Hotel Banda Aceh ini. Satu-satunya hotel bintang empat dengan lokasi strategis di tengah kota. Diantaranya adalah walking distance dengan Simpang Lima, dua resto legenda yaitu Nasi Goreng Daus dan Mie Aceh Rajali di Peunayong. Lalu hanya sekian menit – sekitar lima hingga sepuluh menit – berkendara ke Masjid Raya Baiturrahman dan Museum Tsunami Aceh.
Berada di salah satu jalan utama di kota Banda – Jl. Tengku Moh. Daud Beureuh, Laksana, Kuta Alam – bangunan menjulang Kyriad Muraya Hotel sudah terlihat dari kejauhan. Ground floor nya memang dibuat lebih tinggi dari jalanan umum. Bahkan area parkirnya menyabot lahan pejalan kaki yang melintas di jalan tersebut. Selain bisa mencari via google maps dengan mencantumkan Simpang Lima sebagai petunjuk arah, di samping hotel persis ada outlet Pizza Hut yang cukup besar. Satu jenama internasional yang mengusung konsep jajan ala American dan Italian. Opsi asik kalau sudah bosan dengan masakan serba nasi. Saya sih pengen mampir, tapi kegilaan (baca: ketagihan) suami akan Mie Aceh, tak memungkinkan saya untuk mewujudkan keinginan itu.
Petugas keamanan dan receptionist begitu sigap menyambut kami diantara kesibukan mengatur tamu-tamu lain yang terlihat berpartisipasi pada beberapa event yang menggunakan meeting room facilities yang ada di lantai atas. Kalau menilik dari beragam signage di dekat lift, sebagian besar event yang sedang berlangsung diadakan oleh institusi pemerintah.
Sembari menunggu pelayanan check-in, saya menyempatkan diri menebar pandangan ke setiap bagian dari lantai terbawah Kyriad Muraya Hotel ini. Tadi, saat melangkah masuk, mata saya langsung bersirobok dengan ramainya artificial flowers yang tinggi besar dengan aneka warna yang eye-catchy. Gentong yang menjadi potnya juga gak main-main. Grande dan terlihat precious. Lemari kayu panjang dengan alas marmer juga membuat spot ini terlihat wah. Sementara di kanan pintu masuk, berderet sofa dengan hiasan ruangan yang tak kalah menarik. Dekorasi berkonsep akar pohon jadi satu pusat perhatian yang unik. Ruang kerja para penerima tamu juga terlihat nyaman dan workable. Petugas bisa duduk menunggu karena sisi tertinggi meja kerja mereka bisa menutupi keberadaan orang yang berada di dalamnya. Strategi jitu untuk bisa istirahat selama tidak ada pengunjung atau tamu untuk dilayani.
Di belakang pot yang tinggi tadi, ada sebuah lounge bar yang asik banget untuk dijadikan area menunggu sembari menikmati berbagai minuman dan camilan. Saya dan suami sempat ingin ngopi di sini sebelum sarapan. Tapi sayang, tak ada petugas khusus yang berjaga untuk melayani di pagi hari buta.
Persis bersebelahan dengan slot khusus penerimaan tamu, Kyriad Muraya Hotel menyediakan merchandise outlet atau toko cendera mata yang cukup besar. Bertumpuk boneka lucu serta souvenir berjejer rapi. Produk handicraft pun tampak memenuhi ruangan ini. Termasuk diantaranya kain atau songket Aceh (tenun anyaman atau printing), kaos bersablon gambar tempat wisata, serta makanan kecil. Isinya padat banget. Ukuran tokonya pun termasuk luas. Hanya saja, saat saya bolak-balik ingin masuk, saya harus menunggu petugas hotel atau staff penerima tamu untuk membukakan pintu.
Tak jauh dari toko cendera mata ini, ada sebuah resto bernama Alhambra. Resto tempat para tamu menikmati makan pagi. Sementara di lantai dua ada Daud Terrace Cafe – cafe semi rooftop – yang kabarnya sangat populer di kalangan para penggemar kopi sembari nongkrong menikmati keindahan malam Simpang Lima. Pengen banget nyobain black coffee – kopi Aceh jenis apapun – di sini yang kata seorang teman adalah salah satu yang terenak di kota Banda. Tapi lagi-lagi jam bukanya tak klop dengan jadwal kami berdua. Jikapun saatnya kembali ke hotel, tubuh sudah menuntut untuk istirahat. Susah memang ya setelan fisik edisi golden age ini. Nongkrong malam-malam tuh jadi pe-er banget. Padahal dulu rasanya kuat aja nongkrong berjam-jam, ngopi, sambil ngobrol dari Sabang sampai Merauke. Sekarang? kalau memaksakan diri melakukan ini, besoknya pasti masuk angin (ngekek).
Satu poin penting dari fasilitas dan service yang diberikan Kyriad Muraya Hotel adalah layanan antar jemput ke dan dari Masjid Raya Baiturrahman. Saya dan suami tentu tak melewatkan kesempatan ini. Kami dibangunkan persis 30 menit sebelum azan subuh berkumandang. Naik mobil Hiace sebelas seats, saya dan suami beserta banyak tamu dari luar daerah, berangkat menerobos hujan deras untuk bersujud dua raka’at di satu masjid ikonik milik provinsi Aceh. Pengalaman yang tentu saja menjadi bagian terpenting dan tak terlupakan selama berada di Aceh, Seuramo Mekkah yang indah dan sangat fenomenal.
Tentang Aceh : Menelusur Sejarah dan Peristiwa di Museum Tsunami Aceh
Kamar yang Saya Tempati
Suami memesan kamar tipe deluxe sesuai dengan budget yang ada. Kamar seluas sekitar 26m2 ini didominasi oleh warna biru pekat yang memberikan kesan tenang dan elegan. Dengan lantai parket, selain tiga lukisan abstrak yang digantung di atas bedhead, tipe kamar deluxe juga dilengkapi dengan sofa panjang – yang bisa jadi kasur ke-3 – sebuah meja besi bulat kecil yang multi fungsi, TV layar datar, amenities standard hotel bintang empat, dan toiletries yang cukup lengkap. Kamar yang saya tempati ini adalah salah satu kamar yang memiliki pintu koneksi dengan kamar sebelah – sesungguhnya ini adalah salah satu hal yang kurang nyaman di hati saya – karena suara dari kamar sebelah bisa dengan mudah terdengar. Tak ada peredam karena celah-celah pintu banyak yang tidak rapat.
Tapi yang membuat kamar ini terasa spacious adalah jendela kaca besar dengan pemandangan sisi depan hotel dan Tugu Simpang Lima yang meriah dengan lampu-lampu berwarna-warni. Bahkan persis di jalan depan hotel, ada sebuah videotron yang sangat besar dengan presentasi destinasi wisata Aceh serta langkah-langkah strategis yang dilakukan oleh pemerintah setempat dalam pembangunan fisik dan pengembangan kota Banda dan provinsi Aceh secara keseluruhan. Saya bersengaja duduk di sofa dan menonton. Menyimak apa yang disajikan di layar lebar tersebut. Siapa tahu kan banyak insight baru yang saya dapatkan tentang provinsi yang ada di sudut utara pulau Sumatera ini. Kalau saya tidak keliru, videotron ini dioperasikan oleh salah satu BUMD dalam bidang perekonomian yang kantornya berseberangan dengan Kyriad Muraya Hotel.
Karena cahaya videotron yang begitu masif dan terang benderang, saya akhirnya mematikan seluruh lampu di dalam kamar. Membiarkan jendela hanya tertutup vitrase, supaya bisa menikmati malam dengan terang dari cahaya alat komunikasi massal tersebut. Meskipun langit terlihat redam dan cukup pekat, saya merasakan syahdu dan hati kecil yang tersentuh dengan keheningan. Di kamar senyaman ini dan suasana yang begitu mendukung, dorongan untuk salat berlama-lama pun langsung terbit di sanubari. Bertemu Sang Pencipta dalam kondisi hening adalah masa yang seharusnya tidak boleh dilewatkan.
Hotel Review : Menginap Semalam di Hotel Santika Bengkulu
Pagi hari, ketika pulang subuh dari Masjid Raya Baiturrahman, saya meneruskan hari dengan membaca beberapa flyer yang ada di dalam kamar. Sembari menikmati secangkir kopi hitam pekat, saya bersiap-siap untuk membasuh diri dan membawa banyak perbekalan sebelum menjelajah Aceh di hari itu. Dari lembaran informasi yang telah disiapkan pihak hotel ini, saya melihat beberapa tipe kamar yang disediakan oleh Kyriad Muyara Hotel. Selain kamar deluxe yang saya tempati, juga ada kamar tipe standard, superior, business suite, honeymoon suite, dan presidential suite. Satu persatu foto kamarnya saya lihat dan lamati. Bagus-bagus banget deh. Rancangan dalam ruangnya begitu hommy dengan sentuhan dan karakter yang kuat. Furniturenya juga tidak berat sehingga tidak menimbulkan kesan “penuh dan padat.”
Satu tipe kamar yang paling sukai adalah business suite. Foto-foto tipe kamar ini sungguh compact dan fungsional. Perpaduan tiga warna antara biru, putih, dan hitam, terlihat sangat elegan berpadu antara dinding, dekorasi dan furniture yang digunakan. Karena berkonsep bisnis, Kyriad Muyara Hotel menyediakan satu space khusus untuk bekerja. Terasa sekali efek efisiensi dan efektifitasnya. Saya langsung membayangkan sebuah apartemen tipe studio dengan segala kelengkapan seperti kamar ini. Wah, bakal betah kerja di rumah ini sih.
Pak suami, halo, tolong buatkan kamar seperti ini ya.
Hotel Review : Semalam Betah Menginap di Hotel Kollektiv Bandung
Sarapan yang Membangkitkan Selera
Setiap berkunjung ke daerah, menikmati kuliner lokal tuh wajib hukumnya. Selain di warung, rumah makan atau restoran yang berada di dalam kota, saya mengharapkan dapat bertemu menu lokal di hotel yang saya tinggali. Kyriad Muraya Hotel menyediakan itu. Meski hanya satu atau dua pilihan saja.
Selama dua malam menginap dengan dua kali sarapan, saya berjumpa dengan Ikan Keumamah (ikan tongkol yang dipedaskan) dan Timpan (makanan ringan khas Aceh yang terbuat dari campuran ketan dan pisang yang isinya parutan kelapa. Rasanya manis dan dibungkus oleh daun pisang). Lalu ada satu menu yang cukup unik yaitu telor ceplok yang dimasak dengan bumbu saus padang. Baru kali ini saya menemukan olahan telur seperti ini serta nasi goreng yang kaya akan rempah seperti yang dijual oleh salah satu warung makan kenamaan di dekat hotel. Pokoknya selama sarapan di hotel dan berwisata kuliner sembari mengunjungi beberapa tempat wisata, saya selalu menemukan bahwa sebagian besar masakan tradisional Aceh memang kaya rempah dan bumbu. Tasty and heavy.
Selainnya adalah hidangan domestik khas hotel bintang empat seperti biasa. Nasi goreng, nasi putih, berbagai pilihan olahan telur, bubur ayam, aneka mie (baik goreng maupun kuah), sayur-sayuran, dan berbagai appetizer yang membangkitkan selera, seperti aneka bakery, kue basah, puding, dan lain-lain. Satu yang cantik untuk difoto adalah canape. Kue berukuran kecil yang bisa disantap dengan sekali makan. Yang di sini bentuknya seperti burger kecil dengan irisan daging dan sejumput sayur-sayuran. Saya gak sempat makan karena kekenyangan. Pengen ambil buat bekal jalan-jalan tapi sungkan (hahahaha). Padahal asik tuh buat camilan selama dalam perjalanan.
Overall, semua hidangan berada di angka tengah. Tidak istimewa tapi juga tidak mengecewakan. Tapi untuk sekelas bintang empat, Kyriad Muraya Hotel seharusnya bisa menghidangkan sarapan yang lebih umami dengan ragam dan plating yang jauh lebih menarik.
Satu hal yang membangkitkan pujian akan Alhambra Restaurant adalah dekorasi dalam ruangnya. Berkutat dengan artificial plants dan beberapa dekorasi unik, resto yang berada di lantai dasar ini punya beberapa sudut istagenic untuk kita potret. Ada beberapa sisi ceiling dan tiang yang dipadati oleh dedauan atau pohon ukuran kecil, sehingga vibes berada di alamnya bisa kita dapatkan. Begitupun bebungaan yang ditaruh di beberapa sudut peletakan hidangan. Berjalan sedikit ke arah smooking area, saya mendapatkan sebuah ruangan khusus dengan meja kayu panjang. Bisalah untuk acara khusus dengan tamu terbatas. Mungkin sekitar 15an orang. Saya sempat berfoto di sini. Siapa tahu kan nanti-nanti, teman-teman pas mau bikin acara di Aceh, Alhambra Restaurant bisa jadi salah satu referensi yang tepat.
Hotel Review : Dua Malam Bertandang di Hotel Mercure Bengkulu
Kesan Khusus Untuk Kyriad Muraya Hotel dan Provinsi Aceh
Dari cerita suami yang sudah beberapa kali ke Aceh (semasa bujangan dan dua kali setelah menikah), geliat usaha bisnis akomodasi di Aceh baru tampak setelah kejadian tsunami. Mungkin karena di masa itu banyak “tamu” yang secara khusus datang ke Aceh. Baik itu tamu internasional maupun domestik. Meski, tentunya saat itu masih dalam kondisi huru-hara dan “seadanya”, pemerintah setempat pastinya kemudian memikirkan bahwa provinsi Aceh, yang dulu bernama Nangroe Aceh Darussalam, bisa bergerak maju dengan mengembangkan sektor wisata sebagai salah satu penyumbang APBD. Tidak tetutup pada dunia luar tapi dengan tetap mempertahankan syariat Islam sebagai pegangan hidup.
Saya sempat mengingatkan suami untuk membawa buku nikah agar tidak mengalami masalah saat hendak check-in (setidaknya screen shot dokumen ini). Dan benar ternyata ini ditanyakan. Meski kami tampak baik-baik saja dan terlihat sebagai pasutri plus foto saya yang masih di jaman jahiliyah (belum berjilbab), tapi penjagaan administratif dan syariat ini menurut saya harus dihormati. Seperti yang kita pahami “Lain ladang lain belalang. Lain lubuk lain ikannya”. Setiap tempat/daerah memiliki aturan dan kebijakan masing-masing. Tugas kitalah untuk selalu menghormati dan menjalankannya meski berbeda dari adat istiadat dan peraturan yang ada di daerah kita sendiri.
Dari Akmal – tour guide yang menemani saya bepergian selama di Aceh – saya mendengar bahwa hukum syariat Islam konsisten dijalankan. Hukum cambuk, potong tangan, dan hukum fisik lainnya, selalu berlaku dan dijalankan. Tentu saja setelah melewati proses pembuktian dan persidangan yang adil bagi pelaku. Efek hukuman fisik ini menurut saya bukan hanya “sakit” secara fisik, tapi juga bisa menghadirkan “rasa malu” yang akan terus terbawa dalam hidup. Kasus yang (lumayan) sering terjadi adalah pencurian dan penyelewengan.
Sehari sebelum bertemu, Akmal mengingatkan kepada saya untuk lebih baik mengenakan gamis dan kerudung syar’i. Terutama saat ingin berkunjung ke Masjid Raya Baiturrahman. Alhamduillah, saya memang berpikir melakukan hal ini. Meski setelahnya saya lihat ada beberapa perempuan mengenakan celana panjang berpadu dengan tunik panjang. Tapi yang pasti celana tersebut tidak ketat dan membentuk bodi. Dari hal ini akhirnya mengingatkan saya untuk konsisten melakukan ini. Jadilah sehari sebelum pulang, saya menyempatkan diri mencari abaya atau gamis sebagai oleh-oleh pulang.
Dari beberapa artikel yang saya baca, pelaksanaan syariat Islam di Aceh ini terjadi karena adanya tuntutan masyarakat Aceh yang menjunjung tinggi ajaran Islam. Pelaksanaan dari tuntutan ini kemudian diatur dalam banyak Qanun* yang berisi tentang aturan kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh yang sudah disesuaikan dengan kaidah dan hukum Islam meski tidak secara menyeluruh. Syariat Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi Aqidah, Syar’iya, dan akhlak. Jadi meliputi banyak hal penting yang menjadi panutan hidup berlandaskan pada agama Islam. Agama yang dianut 98,56% (5.24juta jiwa) masyarakat Aceh.
*Qanun adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah provinsi yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh.
Saya sangat menghargai keputusan provinsi Aceh untuk menjejakkan diri sebagai satu komunitas besar yang tetap menegakkan aturan Islam. Karena sesungguhnya, hal ini sudah dilakukan Aceh jauh-jauh hari sebelum bergabung dalam NKRI. Pandangan hidup mereka bahwa dengan mempertahankan aqidah Islam akan memberikan pengaruh yang baik dalam tatanan pemerintahan, tentunya harus kita akui. Inilah, yang saya yakin, kemudian menjadi landasan pemerintah pusat untuk memberikan status otonomi khusus bagi Aceh.
Hotel Review : Nagoya Hill Hotel Batam. Your Leisure is Our Pleasure
Ingin berkunjung atau berwisata ke Aceh dan mencari akomodasi yang recommended? Kyriad Muraya Hotel sangat bisa saya referensikan. Pelayanannya apik dan sopan, kamarnya rapi dan bersih, lokasinya strategis, dan tentu saja nyaman selayaknya standard hotel bintang empat.
Jadi udah ngerasain Timphan dari daerah asalnya ya, Bu?
Jadi inget prahara nyari foto timphan kemaren. Sayang buku udah terbit sebelum ibu ke Aceh, yaa…hehee .
Teteeep alhamdulillaah…
Sejujurnya, saya yang tetanggaan sama Aceh justru belum pernah ke Aceh (malunyaaaa)
Selain saya kurang suka sama pantai, jadi belum ada tujuan utama ke sana, sih, huhuu
Aceh emang suguhan utamanya adalah pantai, dan pantainy diakui ngga kalah sama pantai di Bali dan Lombok.
Mungkin suatu saat nanti pingin wisata ngejar lumba-lumba yang sekarang lagi viral…
Naaah tadinya saya juga niat pengen menyusur beberapa pantai. Tapi karena cuaca tak menentu, akhirnya rencana ini dibatalkan. Semoga ah bisa balik lagi ke Aceh. Pengen ke Sabang dan menelusur pantai2 di Aceh.
Suka banget kamarnya Mba, simple tapi bersih banget dan rapi. makanannya juga beragam ya, apalagi liat appetizer nya, jadi pengen nyomot dah, hahaha
liatnya jadi ngiler.
Btw, hotel ini megah banget, super nyaman dan pas buat istrahat setelah keliling Banda Aceh :)
Bener banget Mbak Rey. Kamarnya sungguh bikin betah. Apalagi saya dapat kamar yang menghadap ke jalan raya/sisi depan hotel. Menyenangkan sekali. Pengen balik lagi dan mencoba business suite nya. Kamar favorit banget itu sih.
Lobbi hotel Kyriad Muraya dengan ornamen kayu yang digunakan di mejanya unik menurut saya,
Ruangan lainnya juga, kesan hotel mewah tapi punya nuansa hangat.
Menu olah ikan keumamahnya menggoda selera,
jam segini melihat suguhan menunya membuat perut bunyi minta diisi.
Dicatat, ntar kalau ada rezeki ke Banda Aceh bisa jadi referensi tempat nginap.
Iya Mbak. Untuk standard hotel bintang empat di daerah, Kyriad Muraya cukup cantik, nyaman, dengan lokasi yang sangat strategis. Saya pun ingin balik lagi ke sini. Mencoba tipe kamar business suite nya. Semoga suatu saat bisa berkunjung ke Aceh dan nginap di hotel ini ya Mbak Salma.
Suka style kerudung dan gamis nya Mbak ^^
Hihihi untung bawa surat nikah ya? Kalo nggak harus balik ke Jakarta,…. Eh bisa 2 kamar kan ya?
Eniwei pantesan perut kenyang sesudah breakfast, menunya bikin kenyang walau mungkin vc saya bakal nekad ngebungkus canape yang menggugah selera 😀😀
Selama berkunjung ke Aceh, saya memang selalu pakai gamis dan bergo Mbak Maria. Ringkas dan travel friendly.
Itu atas usulan si tour guide juga sih. Jaga-jaga karena kan pasti dibutuhkan karena Aceh menerapkan aturan yang islami.
Saya suka sekali mampir ke blog Mbak Annie. Karena sangat bercerita, jadi saya seakan diajak ikut bersama Mbak Annie. Dan kemarin cerita jalan-jalan ke Museum Tsunami, sekarang cerita hotel hotel Kyriad Muraya Banda Aceh. Hotelnya sangat bagus ya, Mbak Bintang 5 juga. Kamar bagus dan makanannya enak-enak semua. Semoga bisa menginap di hotel Kyriad Muraya Banda Aceh. Aamin.
Terima kasih untuk compliment nya Mas Bambang. Semoga blog ini membawa manfaat bagi siapapun yang membacanya.
aneka sarapannya bikin semangat banget Bu Annie.
begitu juga bagian kamarnya pun bikin betah
ini sih jadinya bukan hanya staycation sekilas aja di Kyriad Muraya Hotel Banda Aceh
bisa nih buat balik lagi menginap ke sana ya, tatkala kembali lagi berkunjung ke Aceh
Yang pasti hotel ini recommended untuk para pelancong yang berkunjung ke kota Banda Aceh. Semoga suatu saat Fenni bisa datang ke Bumi Serambi Mekkah ini ya.
“Hukum cambuk, potong tangan, dan hukum fisik lainnya, selalu berlaku dan dijalankan.”
Hai kak, sepertinya ini kurang tepat. Hukuman potong tangan sampai dengan detik ini, masih wacana dan terus diupayakan dapat ruang. Namun belum ada satupun qanun yang mengatur tentang hal tersebut
Informasi yang demikian sering sekali menjadi simalakama kak, bagi kami orang Aceh.
Jangan lupa kalimat penutupnya Yudi. Di situ saya juga tulis “Tentu saja setelah melewati proses pembuktian dan persidangan yang adil bagi pelaku.” Di sinilah “kalimat penguat” yang saya harapkan kepada para pembaca untuk lebih teliti dalam membaca. Jadi bahwa jikapun hukuman itu akan dilaksanakan, para peng-hakim tentunya akan memberikan proses penghukuman yang adil bagi pelaku.
Kalau dari sisi pribadi, menghormati status otonomi khusus yang dimiliki Aceh, saya setuju dengan hukuman-hukuman langsung yang sekiranya pantas menjadi sarana agar kejahatan yang sama tidak terulang kembali. Selama, tentu saja, sesuai dengan syariat agama Islam yang menjadi pegangan pemerintah setempat. Malah bagus jadi contoh real bagi daerah lain. Namun ini kan pendapat pribadi ya. Segala hal pasti ada pro dan kontra nya. Dan saya pun tidak menutup mata untuk hal ini. Jadi jikapun bagi warga Aceh hukuman seperti ini jadi masalah, tentu saja tidak akan ada yang melarang. Itulah inti dari otonomi khusus yang sudah diberikan oleh pemerintah pusat.
Sebagai seseorang yang hidupnya berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah yang lain, bahkan dari satu negara ke negara yang lain, saya melihat keberagam sebagai sesuatu yang istimewa. Seperti kata pepatah “Lain ladang lain belalang. Lain lubuk lain ikannya” Jadi saat melihat ada perbedaan dalam berbagai bentuk (adab, aturan, tingkah laku, bahkan pendapat), saya tak pernah menganggap itu sebagai masalah.
Permasalahannya adalah, hukuman potong tangan itu, tak ada kak. Jadi aneh aja kalau tetiba di informasikan demikian
Kami kami yang di Aceh ini, harus berjibaku lagi untuk meluruskan hal hal yang demikian.
Yang terakhir saya dengar itu hukum cambuk karena ada kasus perselingkuhan yang sudah terbukti.
Mengapa jadi simalakama? Menurut saya, it’s fine aja karena dengan hak sebagai provinsi otonomi khusus, Aceh berhak menentukan melaksanakan kebijakan-kebijakan sendiri. Saya sempat juga bertanya dengan beberapa traveler domestik dan asing. Mereka juga gak merasa terancam atau menganggap ini sebagai sesuatu yang membahayakan. Mereka malah menghormati.
Jika memang tidak ada ya it’s fine. Saya malah bersyukur bahwa ternyata tidak ada pelaku yang berani melakukan kejahatan sebegitu beratnya hingga pemerintah terpaksa menghukum mereka demikian.
Berasa pas banget, siang ini saya lagi sedikit membaca tentang sejarah Aceh. Kemudian lanjut membaca jalan-jalan Mbak Annie ke Aceh. Suka banget dengan nuansa warna hotelnya. Perpaduan birunya sangat cantik. Terkesan adem dan elegan.
Saya juga suka banget dengan kombinasi warna dalam ruangnya. Terkesan tidak gampang kotor juga.
Menurutku kamarnya cantik banget sih mbak. Sarapannya juga cukup lengkap ya, walau makanan di hotel bintang 4 ini masih ada kekurangan tapi menunya menarik semua, bikin ngiler. Kayaknya kalau aku main ke Aceh, mau coba menginap di sini deh.
Iya Mbak Ira. Semoga nanti kalau ada rezeki sampai ke Banda Aceh, Mbak Irra bisa nginap di Kyriad Muraya Hotel.
Ikan yang disajikan terdengar asing di telinga orang Jawa seperti saya, ka Annie.
Rasanya penasaran yaa.. Dan cantik sekali Kyriad Muraya Hotel Banda Aceh.
Rasanya .. menginap di hotel yang aestetik bikin capek segera sirna dan lanjut beraktivitas explore Aceh dengan hati gembira.
Hahahaha. Masakan Sumatera tuh kaya ikan, asin, sambal, bumbu, dan rempah-rempah. Beda jauh ya sama masakan Jawa yang cenderung manis.
Waaah selamat datang di Aceh mba…
Menu ikan keumamah emang uda jadi ciri khas saat perjamuan tamu siih. Apalagi proses dari ikan yang dijemur kemudian di olah jadi menu masakan menjadi hal terunik buatku pribadi yang memang ikan Keumamah ini adalah menu harian setidaknya seminggu sekali di rumah pasti akan ada menu ini, hehehe..