Ngomongin panganan, baik itu berat atau camilan, pasti condong ke beberapa aspek dari daerah asalnya, seperti dominasi bahan mentah yang mudah didapat, sejarah hidup masyarakat setempat, selera yang sudah terbangun dari jaman dahulu kala, dsb. Jadi, kalau kita berada di daerah penghasil ikan, pastinya produk-produk olahan ikanlah yang sering kita temui. Berada di tengah kabupaten penghasil terigu dan gula, nah musti banyak panganan yang mengandung 2 bahan dasar ini. Terus ketemu kota yang sarat durian, beehh puas dah tuh ketemu aneka olahan durian yang seolah gak kenal musim.
Di Tidore, yang kondisi geografisnya bercampur antara gunung dan ikan, saya menemukan panganan dengan kombinasi diantara keduanya. Ada beberapa yang penampakan luarnya mirip panganan dari daerah lain. Tapi walaupun terlihat mirip tentu saja diberikan nama berbeda dan dengan rasa yg (terkadang) juga sedikit dibedakan.
Yok kita bahas panganan apa saja yang saya dapat selama 1 minggu di Tidore. Tak mulai dari yang paling sering terhidang di depan mata ya.
DALAMPA
Tampak luarnya seperti: lontong, otak-otak atau nasi bakar ukuran kecil. Bener gak?
Pertama kali saya lihat ini, yang terlintas di otak saya adalah LEMPER hahaha. Cumaaa ya ukurannya aja yang sedikit berbeda. Kalau lemper biasanya segi empat atau persegi panjang dan cenderung semog (seperti saya), tapi yang satu ini kutilang alias kurus tinggi langsing. Proses pembuatannya sih bener persis sama dengan lemper. Selain bentuk, 1 lagi yang membedakan adalah isinya. Kalau di Jawa lemper biasanya diisi dengan daging ayam atau abon, tapi kalo Dalampa isinya adalah ikan yang sudah diolah (digoreng atau ditumis) dan diberi rasa-rasa pedas.
Bentuknya yang kutilang bikin gampang masuk mulut dan dipegang. Makan 3 buah aja sudah bisa gantiin nasi sepiring. Kalau mau lebih kenyang ya ditambah lagi dengan lauk ikan atau lauk lainnya. Kalau digabung dengan telor dadar juga enak kali ya hihihihi
GOBORO
Mencoba mengingat Goboro ini mirip apa ya? Gambaran bentuknya terpatri di kepala tapi namanya gak keluar di otak hahahaha. Gak seperti Dalampa yang ada isinya, Goboro ini murni hanya nasi atau ketan yang dibungkus dengan daun pisang dan diikat sana sini supaya bungkusannya tidak terlepas.
Ada juga yang terbuat dari jagung yang sudah dihaluskan. Dibuat gurih luar biasa dan bisa menjadi pengganti nasi yang tidak dibungkus. Semuanya mengenyangkan karena Goboro sangat padat dan dibuat 1/2 ketupat ukuran besar. Menurut saya yang isinya nasi jauh lebih enak dibandingkan yang jagung karena yang jagung sedikit lebih keras dan lama ngunyahnya hahaha.
KUE PELITA
Awalnya tak kira kue ini cuma berisi tepung beras yang dimasak gurih aja karena terlihat dari atas semua full tercover tepung. Tapi begitu disendok loohh di bawah ada gula arennya. Jadi rasa kue Pelita ini campuran antara asin, gurih dan manis dalam sekali gigit. Menurut teman yang asli Tidore, setelah tampah kecil dari daun pisangnya dibuat, disiramkan dulu gula aren tipis-tipis rata di bagian bawah, baru setelah itu ditutup dengan lelehan tepung beras.
Tetiba jadi teringat nagasari. Walaupun penampakan akhirnya beda jauh dan isinya juga gak sama. Merasakan tepung beras di mulut itu yang mengingatkan saya akan nagasari.
Kue Pelita menurut saya nyenengin banget karena campuran gurih dan manisnya meleleh di mulut. Dengan tampah yang berukuran sekitar 4x6cm, makan 2buah aja kenyangin banget.
NASI JAHA
Saya ketemu dengan Nasi Jaha ini ketika berada di Pelabuhan Rum ketika akan berangkat menuju Kie Maitara dalam rangka FESTIVAL MAITARA 2016.
Dari wujudnya pasti teman-teman tau Nasi Jaha ini sama persis dengan Nasi Lemang. Dan emang betul itu. Sama dengan Nasi Lemang, Nasi Jaha pun dibakar di dalam bambu. Rasanya pun sama persis hanya beda dipenamaan. Dengan potongan panjang sekitar 6cm, menurut saya, Nasi Jaha lebih pas disebut makanan berat dibanding camilan. Sepotong aja bikin sesak kekenyangan. Padahal makannya tidak dibarengi oleh lauk apapun. Jadi kalau buat yang doyan ngemil berat, Nasi Jaha ini jahat banget untuk timbangan badan hahahaha
IKAN FUFU
Ibu penjual Nasi Jaha juga menjual Ikan Fufu. Ikan gemuk yang diasapkan dan memang pasangan yang pas untuk Nasi Jaha. Dagingnya gemuk banget. Tapi karena saya gak bisa nelan ikan asap, ikan ini tak pernah saya coba sampai hari terakhir di Tidore. Menurut teman-teman sih ikan asap begini pas banget dimasak bumbu kuning dan dikasih kuahnya sedikit supaya makannya gak seret di leher. Gimana kalo sekalian bumbu kuningnya dikasih pete? Taaahh, ikan seember juga bisa habis itu ya
BOLU LAPIS TIDORE
Bolu lapis ini memang jadi andalan oleh-oleh khusus dari Tidore. Bolunya sendiri sih sama aja dengan bolu-bolu yang ada di berbagai provinsi di Indonesia. Yang bikin berbeda adalah olahan kacang kenari yang dipotong kecil-kecil dan gula aren yang sudah dibikin selai terus dioleskan disetiap perantara lapisannya.
Ibu Nur, pemilik rumah tempat saya menginap, membawakan saya 2 loyang besar bolu ini ketika akan pulang. Dibuat tanpa pengawet dengan harga 65rb/loyang, bolu ini hanya bertahan selama 3 hari. Jadi ketika tiba di rumah, bolu ini cepat-cepat saya bagikan. Sebagian besar yang nyicip berkomentar kalau selai kenarinya lebih banyak, sepotong kecil aja pasti magtegh di perut. Terus kalo di atasnya ditambahin parutan keju pasti lebih nikmat. Atau selainya dibikin campur-campur keknya juga mantab ya. Let’s say, di bawah pake selai kacang, terus di atas diisi keju parut atau selai coklat. Alamaaaakkkk menetes dah air liur hahahaha
PISANG MULU BEBE (MULUT BEBEK)
Sudah liat kan bentuk pisang Mulu Bebe (Mulut Bebek) di tulisan saya mengenai GOTO – pasar tradisional Tidore? Nah yang di foto ini adalah pisang yang sudah diiris-iris dan digoreng.
Pisang ini dikonsumsi dalam kondisi mentah (kira-kira 2/3 matang) dan dikupas seperti ketika kita mengupas mangga, bukan dikupas seperti pisang lainnya. Setelah diiris tipis-tipis pisang lalu digoreng kering sampai terasa kriuk dan dimakan dengan sambal dabu-dabu atau sambal khas Tidore yang dilengkapi dengan buah kenari. Karena belum matang, rasa dagingnya pun sedikit kesat tapi rasa manis tetap terasa
PISANG COE
Naaahh. Kalau pangangan yang satu ini bener-bener saudaranya nagasari. Cuma berbeda bentuk aja. Kalau nagasari dibungkus pakai daun pisang, Pisang Coe dikukus di dalam cetakan dan dipotong-potong belah ketupat dan tampak seperti kue lapis. Bagian atas adalah tepung beras sementara bagian bawah adalah pisang rebus yang sudah ditumbuk/dihaluskan. Tepung berasnya sedikit diberi pewarna yang menyerupai pisang sehingga kedua lapisan terlihat menyatu.
ROTI COE
Tampak luarnya persis seperti bakpau tapi ukurannya relatif lebih kecil dari bakpau biasa. Dilengkapi dengan isi kelapa parut dan gula merah, Roti Coe enak banget dikonsumsi selagi hangat. Digigitan pertama, roti akan ngempes dengan sendirinya dan lidah akan langsung merasakan isinya. Parutan kelapa yang memunculkan rasa gurih-asin menyatu dengan manisnya gula merah.
APANG COE
Untuk yang satu ini sepertinya gak perlu diulas panjang lebar yak. Dari fotonya aja kata APEM langsung meluncur dari mulut hahahaha. Hanya saja namanya beda. Yang ini salah satu panganan yang saya gemari. Sempat ngabisin sampe 4buah (uuupss). Parutan kelapanya fresh dan manis banget. Manis natural bercampur dengan apem kecoklatan bikin saya lupa kalo sudah berkali-kali bolak balik makan kue ini hahahaha.
Kue tradisional, untuk orang-orang yang lahir di jaman yang sama dengan saya, adalah makanan yang bisa didapat dan dinikmati sehari-hari. Sebagian besar adalah panganan yang dibuat sendiri di rumah dengan bahan-bahan yang mudah didapat dan cenderung tanpa gula buatan. Di jaman itu, dimana belum atau hampir tidak ada toko-toko kue berbahan dasar artificial (terutama gula dan pewangi/perasa), semua panganan terasa lebih sehat dan tidak neg dimakan.
Jadi ketika saya ketemu dengan makanan-makanan ini, kenangan akan masa kecil, dimana gak ada jajan di luar rumah, muncul kembali dalam ingatan saya.
Mau mencicipi panganan-panganan di atas sambil minum kopi dan ngobrol rame-rame? Paling enak itu sambil nunggu sunrise di Tanjung Soasio, di Gurabunga – negri di atas awan sambil nongkrong nunggu awan menyelimuti menjelang maghrib, atau bisa juga nangkring di Kie Matubu seraya menunggu sunset.