Memegang BUKU PANDUAN WISATA Kabupaten Pesisir Barat di tangan dengan jargon Negeri Para Saibatin (Raja sebuah Marga) dan Kabupaten Pesisir Barat Diciptakan ketika Tuhan Sedang Tersenyum, mendadak hati saya dipenuhi dengan kebanggaan dan haru luar biasa. Kok gitu? Karena jargon terakhir itu dipake hampir di seluruh Kabupaten yang berada di NKRI. Jadi asumsi saya, Tuhan pasti sudah sangat berbaik hati tersenyum di seluruh daerah di Indonesia. Dari senyuman inilah akhirnya lahir ribuan tempat-tempat wisata yang mengagumkan dan wajib kita beritakan ke seluruh dunia.
Kembali ke Krui dari Pulau Pisang
Menghabiskan waktu sehari semalam sebelumnya di Pulau Pisang, pagi-pagi sekitar pkl. 07:30wib, saya dan team kembali naik Kapal Jukung menuju Krui. Kami bergegas pergi pagi itu dengan harapan di perjalanan pulang ini kami bisa bertemu binatang mamalia sahabat manusia, yang sempat malu-malu meong menampakkan diri di hadapan kami sehari sebelumnya.
Hampir setengah perjalanan berlalu mengarungi Samudra Hindia. Ketika episode menunggu mulai di titik nadir, akhirnya kontingen lumba-lumba menampakkan diri dengan ciri khas lompatan-lompatan cantiknya. Mungkin karena masih malu, mereka tampak menyembunyikan kedipan mata dan tidak meloncat tinggi sebagaimana biasanya. Cuma badan yang berkilat terpapar sinar matahari yang memantul di air laut lah yang bisa kami saksikan dan nikmati cuma dalam rentang waktu tidak lebih dari 5menit.
Berjumlah sekitar (mungkin) 10ekor, ada 1 yang sengaja melompat dan menyelam dekat sekali dengan kapal kami. Saya pun seperti biasa ketiban penyakit norak. Jerit-jerit sampe gelagapan menyalakan action cam yang sempet acak adut dengan tali kait pelampung koneng gonjreng yang mengikat dada. Aeeeh makjang. Akhirnya, saya pun hanya sempat merekam detik-detik terakhir mereka berselancar di dekat kami.
Tiba di Pelabuhan Kuala Stabas
Sama seperti kita berangkat, Pelabuhan Kuala Stabas menjadi titik kedatangan kami. Sambil beberes dengan sekian banyak barang bawaan (terutama koper saya yang centil itu), kami diinformasikan bahwa agenda hari itu adalah mengelilingi Krui, mengumpulkan sekian banyak foto dan cerita, untuk mendukung FESTIVAL PESONA KRUI 2017 yang rencananya akan diadakan pada 13 s/d 22 April 2017.
Beberapa titik wisata penting akan kami datangi seperti Hutan Damar di Desa/Pekon Rawas, Pantai Tanjung Setia, Bukit Selalaw yang merangkul Pelabuhan Kuala Stabas, dan Pantai Walur dimana cottage tempat kami menginap berada.
Kesibukan khas daerah pesisir dapat kami nikmati pagi itu. Ada beberapa warung dan lapak yang menawarkan sarapan pagi, serta bapak-bapak pelaut yang asik bercengkrama menikmati kopi. Melawan body yg sepertinya mulai enter by the wind, saya dan Yayan memutuskan untuk menenggak teh yang sudah dicampur dengan cairan herbal anti angin (((gak boleh nulis merk, takut dikira iklan))). Lumayan. Energi bertambah dan semangat menjelajah langsung terangkat. Setidaknya, setelah minum herbal ini, saya kencang bersendawa atas dan bawah. Menandakan bahwa angin di dalam perut sudah terdorong keluar. Begitulah kira-kira sugesti yang merasuk diri sedari kecil hingga saat ini.
Bukit Selalaw
Bukit ini sejatinya menyatu dengan Pelabuhan Kuala Stabas karena berada persis di bibir pantai pelabuhan. Dengan jangkau panjatan yang tidak begitu menyiksa dan indahnya panorama yang disajikan, ada baiknya para wisatawan diarahkan untuk ke bukit ini. Signage ukuran sedang dengan tulisan yang apik sebaiknya dipasang supaya informasinya terbaca jelas oleh pengunjung.
Berdiri di atas bukit, kita disuguhkan hamparan laut berwarna turqoise yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia. Terlindungi oleh karang-karang besar dan beberapa tanaman yang terlihat sangat kokoh, hempasan ombak ke jurang yang berada di bawah tempat saya berdiri, seperti layaknya mendengar tamparan air yang begitu kuat. Memandang jauh ke depan, dalam samar, saya bisa melihat Pulau Pisang menyelip kecil diantara luasnya samudra.
Pantai Walur
Puas mengabadikan Bukit Selalaw kami diantar menuju Krui Matun Wulur Surf Camp yang akan menjadi tempat menginap malam terakhir kami di Krui.
Tempat yang berkonsep bambu, semi private, dengan jumlah kamar yang terbatas ini, berada di pinggir Pantai Walur yang bersih, landai dan tenang. Berdiri di atas tanah sekitar hampir 1000m2, Matun Wulur memiliki 2 kamar bertipe private (kamar-kamar kami), 1 rumah panggung yang bersisian dengan kamar kami, 1 rumah panggung yang menghadap ke laut dan 2 unit lagi rumah 2 lantai yang bisa disewa oleh rombongan dalam jumlah banyak. Di taman yang berada di tengah-tengah, terlihat beberapa pohon kelapa yang menjulang tinggi.
Karena berada di lokasi yang agak jauh dari pusat keramaian, dan posisinya yang tidak di pinggir jalan, jika ingin mampir ke sini kita harus melambatkan laju mobil. Sebagai petunjuk satu-satunya, dari sisi kanan jalan (dari arah pusat kota Krui), kita dapat melihat papan merk bertuliskan Krui Mutun Walur berwarna dasar putih dan tulisan hitam dengan sebuah gerbang kayu kecil. Dari depan ini, hutan pohon kelapa dan lintasan off-road akan menyemarakkan jiwa petualangan kita, sebelum mencapai gerbang besar cottage.
Yang unik dari cottage tak akan terlupakan satu ini, selain tempat jemuran yang terbuat dari bambu berbentuk piramid adalah hobi banget bergelap-gelapan dan menghemat tagihan listrik. Di siang hari, ketika kami sampai, aliran listrik juga enggan meluncur sampai ke sini. Menikmati waktu menjelang makan siang dan berharap cemas bisa menambah tenaga batere HP dan kamera, kami memutuskan untuk nongkrong bareng di sebuah gazebo di pinggir pantai.
Kondisi terang terus, terus terang (((iklan))) cuma kami rasakan 1jam setelah kembali dari mbolang, dan wafat lagi mulai pkl. 20:00wib, persis tak lama setelah saya selesai mandi. Tadinya sih, kalau kondisi “aman” saya pengen banget tidur telentang di tengah taman sambil menghitung bintang di langit, ketimbang kepanasan di dalam kamar. Tapi apa daya 2 anjing penjaga cottage asik bernyanyi sepanjang malam dan gak mungkin telinga saya mendengarkan konser mereka sampai pagi hari.
Jadilah malam itu kami tidur sambil mandi keringat dalam gelap, merem melek gak menentu, dan rasa cemas takut gak kebangun karena pkl. 03:00 wib akan dijemput untuk menempuh perjalanan darat menuju Lampung dan kembali ke kota kami masing-masing.
Terlepas dari bonus pengalaman di atas, Pantai Walur yang jadi obyek cuci mata kami dari gazebo, sungguh adalah pantai yang menenangkan. Selain kami, di sisi yang berbeda, beberapa tamu bule tampak juga ikutan menikmati deburan ombak sambil mengobrol. Tak lama, satu demi satu rombongan bule ini, tak tahan godaan untuk nyebur ke laut sambil berkelakar satu sama lain.
Sebagai informasi tambahan, untuk menginap di sini, kita bisa merogoh kocek senilai Rp 300.000,-/kamar/malam sudah termasuk makan pagi.
Desa/Pekon Rawas
Selesai melepaskan dendam menikmati hidangan nasi padang yang sedapnya sampai ke ubun-bubun di tengah kota Krui, semangat meluncur ke obyek wisata berikutnya langsung moncer. Seperti kata pepatah, kenyang perut senanglah hati. Ih betul banget. Selesai makan, mendadak tenaga jadi full tank dan matapun bersinar-sinar walaupun akhirnya ngantuk karena kekenyangan.
Tujuan kami berikut adalah adalah Desa/Pekon Rawas yang memiliki hutan damar, pohon penghasil getah seperti kristal, yang bisa digunakan untuk salah satu bahan dasar berbagai keperluan rumah tangga (seperti sabun, pewangi), industri (seperti vernish, cat, pelapis kaca), bahkan juga bisa untuk campuran kosmetik.
Hutan damar dengan luas sekitar 10hektar dan 1.300pohon ini, akan menjadi saksi tercatatnya REKOR MURI – NGUNDUH DAMAR sebanyak 1.001 pohon dengan pemanjat damar dalam jumlah yang sama. Kegiatan ini menjadi salah satu agenda penting dalam rangkaian acara FESTIVAL PESONA KRUI 2017.
Penasaran ingin mengetahui bagaimana getah ini dipanen, siang itu kami menyaksikan bagaimana seorang pengunduh getah damar memanjat pohon yang sudah ditandai dengan torehan-torehan segitiga yang nantinya akan dikorek untuk mendapatkan getahnya.
Menggunakan tali rotan pengikat pinggang yang disebut Ambon, Pak Irawan, si pengunduh damar, memanjat pohon dengan luwesnya sambil sesekali berhenti di salah satu titik segitiga, mengerok getah dengan kapak, memasukkan getah yang sudah mengkristal dan dikerok tadi ke dalam sebuah wadah (ember).
Keseimbangan mengatur kaitan Ambon yang menyatu mengikat seperti tali pinggang dengan pemanjat, sepertinya adalah salah satu faktor penting agar proses panen berlangsung dengan cepat dan selamat. Perasaan ngilu pun saya rasakan ketika si Bapak mulai beranjak tinggi dengan suara gesekan tali bambu dan kulit pohon yang semakin menjauh. Mungkin itu sebabnya, tali pengaman dibuat dari potongan bambu ya. Daya cengkram bambu yang memang tidak terbantahkan, sepertinya menjadi alasan yang tepat agar pengunduh dapat bekerja dengan baik.
Pantai Tanjung Setia
Sebagai salah satu icon wisata bahari/tirta di Lampung, Pantai Tanjung Setia terletak di Desa Tanjung Setia – Kecamatan Pesisir Selatan – Kabupaten Krui. Memiliki ombak yang tinggi, terutama selama April s/d September setiap tahunnya, pantai ini adalah surganya para peselancar.
Dari beberapa tautan wisata yang saya baca, sebagian besar wisatawan menulis bahwa tingginya ombak di Tanjung Setia dan beberapa spot yang berada di dekatnya, memiliki ukuran yang sangat menantang untuk ditaklukkan. Yang sering disebut adalah Pantai Ujung Bocur atau Karang Nimbor dan Way Jambu. Menurut mereka ombak di kedua pantai ini sejajar kualitasnya dengan beberapa area surfing yang sangat digemari dan populer di Bali.
Bukan hanya tempat yang pas untuk para surfer. Dilengkapi oleh karang-karang gradasi 3 warna yang elok dan rupawan, menginap di sini dan menghabiskan waktu merekam semuanya melalui kamera, juga bagaikan surga photography bagi para penggiat tulisan dan dunia lensa gambar. Bahkan, jika udara bagus dan awan bersih, menikmati sunset di Tanjung Setia, adalah obyek yang ditunggu-tunggu oleh siapapun yang (sedang) berada di sini. Sayang, keberuntungan tidak berpihak kepada rombongan kami. Hujan dan langit yang gelap, membuat kami hanya bisa melihat cahaya kecil yang tenggelam pelan-pelan di balik awan yang pekat.
Berjarak sekitar 30km dari Krui dan 215km dari Bandar Lampung, Pantai Tanjung Setia dilengkapi dengan sederatan villa, cottage, homestay dan sejenisnya yang berjejer rapi di sepanjang jalur masuk ke lingkungan pantai. Harga sewa per orang per malam nya berkisar antara Rp 250.000,- – Rp 500.000,-. Tentu saja harga ini disesuaikan dengan tipe tempat kita menginap dan fasilitas-fasilitas yang dapat kita nikmati.
Fasilitas penginapan di Tanjung Setia
Disambut dengan gerbang besi yang cukup besar, liputan di Pantai yang satu ini sangat berkesan, setidaknya untuk saya pribadi yang lebih menyukai laut ketimbang gunung. Jalur kendaraan roda empat yang menelusuri pantaipun bergelombang. Jadi sudah pas banget untuk merasakan ombak di Tanjung Setia tanpa harus memiliki papan selancar.
Melengkapi pemberitaan kami tentang tempat menginap, siang menjelang sore hari itu, kami mengunjungi 2 buah cottage yang asri dan pantas untuk dijadikan referensi untuk yang ingin membuktikan keindahan Pantai Tanjung Setia.
Ujung Bocur Bungalow
Mengawali episode mampir dan nenangga di Pantai Tanjung Setia, kami menikmati suasana bungalow yang begitu hommy, tertata dengan baik, walaupun dengan daerah kekuasaan yang tidak begitu luas. Tampak 5 unit rumah beratap ijuk dan model panggung khas Sumatra dan 1 unit lagi dengan ukuran yang lebih besar.
Tetiba jadi ingat. Penataan rumah di tanah lapang dengan beberapa rumah kecil dan 1 rumah induk seperti ini, selalu jadi pola tempat tinggal keluarga Betawi. Rumah besar untuk orang tua, sementara anak-anak dan keluarganya tinggal di rumah-rumah kecil yang berada di sekitarnya.
Tapi kali ini bukan orang Betawi yang saya temui. Bertamu dan duduk di sebuah ruangan khusus bersofa permanen (alasnya semen), lukisan abstrak dan bantal-bantal kecil bertebaran, serta dilengkapi dengan audio karaoke, saya melihat beberapa turis Amerika dan Perancis dalam jumlah yang cukup banyak. Menikmati deburan ombak, bule-bule ini bercengkrama di atas bale-bale kayu besar yang asli beneran pengen saya rasakan. Gak merasa ditungguin kayaknya. Buktinya mereka betah banget duduk di sana dan tidak beranjak sama sekali sampai kami pulang.
Menelan kekecewaan karena gak bisa nongkrong, ngelamun, dan tidur-tiduran di atas bale-bale, saya mencoba menelusuri bibir pantai yang berada persis di depan bungalow. Hamparan pasir bersih dan karang gradasi 3 warna yang bertolak belakang dengan warna turqoise air laut, biru langit, serta awan putih, menciptakan lukisan alam memanjakan mata. Merugi kalau tidak merekam keindahan ini melalui lensa kamera.
Untuk menginap di Ujung Bocur ini, biaya yang dibutuhkan adalah Rp 350.000,- – Rp 500.000,-/orang/malam sudah termasuk 3x makan. Musim surfing yang membedakan penentuan harga. Jika berkunjung di bulan April s/d September, harga sewa akan sedikit tinggi karena peak season mengakomodir waktu-waktu baik untuk berselancar. Sementara jika dalam kondisi sepi, biaya bisa lebih murah terutama untuk wisatawan dalam negri.
Yang menarik dan terlihat berbeda dari Ujung Bocur Bungalow ini adalah pagar di bagian luar. Pagar semen dibuat dengan batu-batu koral expose (menonjol) dan huruf warna-warni yang ditaruh di dekat pintu masuk kayu. Petunjuk yang sangat atraktif.
Sumatra Surf Resort
Mendapatkan undangan berkunjung dari pengelola Sumatra Surf Resort, kami segera meluncur ke tempat yang satu ini. Tampak biasa di bagian luar ternyata tidak biasa di bagian dalam. Pagar tinggi yang terlihat garang ternyata menghadirkan suasana sangat hommy sejengkal dari pintu masuk.
Dari gerbang yang tidak terlalu luas, saya berdecak kagum dengan multi function area yang lebih dulu disajikan. Memberikan kesan everyday is holiday, resort ini tidak menyediakan tempat khusus untuk check in dan check out. Cuma ada sebuah bar yang sekaligus difungsikan untuk transaksi makanan dan minimuman yang juga dipakai untuk proses penerimaan tamu. Di sini juga terdapat beberapa sofa yang nyaman buat ngobrol-ngobrol, meja pingpong, meja bilyard dan sebuah meja panjang dengan kursi warna warni untuk makan. Kami sempat lama di sini setelah puas foto-foto dan menunggu sunset yang ternyata lagi-lagi tidak dapat kami nikmati karena hujan dan awan gelap. Yang pasti, setelah berhari-hari mendadak kepengen minum fanta pake es, akhirnya bisa terealisasi di sini hahahhaahaha.
Menghadirkan 16 unit kamar dengan harga bervariatif antara Rp 350.000,- – Rp 500.000,- per orang per malam dengan fasilitas 3x makan dalam sehari, resort ini tidak hanya memiliki pantai yang tertata rapih, tapi juga menyediakan lapangan luas dengan pohon-pohon kelapa menjulang tinggi untuk kegiatan-kegiatan bersama. Tempat yang pas banget untuk mengadakan family/company gathering atau apapun kegiatan dengan partisipan dalam jumlah yang banyak.
Rumah-rumah yang dibangun sedikit berpanggung dengan eksterior dan interior alam memberikan kenyamanan dan sensasi menginap yang berbeda. Staycation yang patut dicoba, khususnya untuk keluarga dengan anak-anak yang bakalan bebas bermain di lapangan yang sangat luas.
Gak cuma itu. Di ujung lapangan atau pinggir pantai, ada sebuah menara kayu yang sepertinya digunakan untuk memantau ombak. Gak jauh dari menari ini, ada sebuah anjungan kayu yang enak banget buat nongkrong-nongkrong sambil bercanda ria tanpa batas dengan para sahabat. Saya, Rien, Dian, Yayan dan Deddy, tak mau melewatkan kesempatan emas ini.
Duduk di anjungan ini, terbentang di depan mata karang gradasi 3 warna yang berulang kali saya nikmati di sepanjang pantai Tanjung Setia. Tapi biar begitu, tetep aja gak bosan-bosan menatap pantai model begini. Indahnya!!
Menebar pandangan ke segala penjuru, dari titik saya duduk di anjungan ini terlihat deretan semen yang dibuat seperti bongkahan kayu besar. Sepertinya sangat bermanfaat untuk menahan laju ombak ketika sedang pasang, sehingga pantai tidak mengalami abrasi yang hebat. Ide yang cemerlang.
Sayang, kegembiraan kami bertukar kata dan canda di anjungan ini harus segera berlalu karena hujan yang menghujan bumi. Kami pun setengah berlari kembali menuju multi function area dan melanjutkan cerita-cerita yang tertunda sambil menunggu Arif dan Aries yang memotret para peselancar.
Untuk mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai Sumatra Surf Resort dan fasilitas-fasilitas, serta layanan mereka, sila berkunjung ke tautan berikut ini www.sumatrasurfresort.com
Lomba Surfing Dalam Rangka Pesona Krui 2017
Mengakomodir banyaknya peselancar yang akan berkunjung ke Krui dan dalam rangka memeriahkan Festival PESONA KRUI 2017, Dinas Pariwisata Pesisir Barat mengadakan LOMBA BERSELANCAR atau SURFING COMPETITION di bulan April 2017.
Adapun AGENDA KEGIATAN dari Festival ini adalah sebagai berikut
Terimakasih saya ucapkan kepada DINAS PARIWISATA KABUPATEN PESISIR BARAT yang telah mengundang saya untuk menyaksikan, meliput, dan menulis apa yang saya rasakan mengenai Pesisir Barat Lampung.