TIDORE Dalam Balutan Sejarah – Pendahuluan

Tulisan ini adalah rangkaian presentasi dari Bpk. M. Amin Faaroek, Jajou atau Perdana Mentri Kesultanan Tidore di masa pemerintahan Sultan Tidore ke-37, Bpk. H. Husain Sjah.  

Beliau menyampaikan uraian yang sangat berharga ini agar para pembaca dapat mengikuti sejarah panjang Kesultanan Tidore.  Semua materi adalah sambutan Beliau pada acara Launching Lomba Menulis Blog bertemakan Tidore Untuk Indonesia yang diadakan di Fola Barakati pada 12 Februari 2017

TIDORE Dalam Balutan Sejarah - Pendahuluan

Propinsi Maluku Utara merupakan propinsi kepulauan di mana sekitar 90% dari wilayah ini adalah lautan dan hanya 10% yang merupakan daratan. Dengan demikian kondisi geografis memberikan ciri khas bagi daerah pedesaan di daerah Maluku Utara. Selain itu kondisi sosial budaya yang cukup beragam memberikan juga pengaruh yang cukup nyata dalam perkembangan masyarakat. Dari latar belakang sejarah, terlihat jelas sejak penjajahan Belanda ada upaya pengelompokan manusia dalam satu daerah administrasi dengan memperhitungkan latar belakang kebudayaan, dalam arti suku-suku bangsa memperlihatkan cirri-ciri kebudayaan yang hamper sama digabung menjadi satu daerah administratif. Wilayah kebudayaan kesultanan, ditandai oleh pemerintahan Sultan yang sebelumnya dikenal dengan sebutan Kolano atau raja.

Di daerah Maluku Utara sebelum terbentuk kerajaan-kerajaan dalam abad ke 14, masyarakat sudah terorganisasi dalam kelompok-kelompok social yang genealogis territorial. Kesatuan masyarakat terkecil disebut “soa” mereka ini mendiami suatu wilayah yang disebut dusun. Kepala atau pimpinan dari “soa” disebut “famanyira” artinya orang tua atau yang dituakan. Beberapa soa kemudian membentuk satu kampong yang dikepalai oleh seseorang yang disebut “gimalaha” artinya putra terbaik. Karena ada beberapa famanyira maka terbentuknya juga beberapa gimalaha yang tersebar. Para gimalaha kemudian membentuk persekutuan yang lebih besar lagi yang dikepalai oleh seseorang yang disebut “Kolano” ditempat mana Kolano berkedudukan disebut “Boldan” seperti “boldan Tidore”. Namun tempat atau pemukiman disebut “limau” selaitan sebutan Kolano, lebih diakrabi lagi dengan sebutan yang sangat khas yaitu “Jou”.

Boldan dikatakan merupakan bentuk awal dari kerajaan-kerajaan di Maluku Utara. Sebutan Boldan dan kolano kemudian secara perlahan-lahan hilang dan diganti dengan sebutan “Sultan”. Setelah terbentuknya Kerajaan-kerajaan Islam abad ke 14 khusus di Kerajaan Tidore masa pemerintahan Kolano Cirilyati kolano yang ke 9 datang dan tiba seorang ulama besar dari Kota Mekah yang bernama Syekh Al Mansyur lalu menambah dan menyempurnakan nama Ciriliyati menjadi Jamaluddin, sekaligus sebutan Kolano bergeser menjadi Sultan, hal ini terjadi abad ke 14 bertepatan dengan masa kekuasaan Kolano Ciriliyati atau Sultan Jamaluddin 1495. Dalam menjalankan pemerintahan Sultan dibantu oleh aparat pemerintahan yaitu : Jojau atau Jogugu, Kapita Lao, Jou Hukum, dan para staf atau disebut suduru.

Pemerintahan di daerah-daerah atau disebut dengan nyili-nyili dikepalai oleh seorang “Sangaji” dan dibantu dengan beberapa orang Gimalaha. Kehidupan masyarakat dengan pola pemerintahan kesultanan yang sentralistis telah merupakan kepribadian dan ciri khas masyarakat di Maluku Utara. Pengaruh-pengaruh budaya dan kekuasaan asing yang masuk kemudian tidak terlalu membawa perubahan-perubahan yang besar dari pemerintah colonial.

Bangsa-bangsa barat mengatur system pemerintahan mereka yang disesuaikan pula dengan pola pemerintahan tradisional ini dengan berbagai variasi. Dewasa ini pemerintah sering juga mengalami kesulitan-kesulitan dalam mengatur pemerintahan wilayah-wilyahah kesultanan ini, permasalahan-permasalahan yang timbul berkisar pula pada soal-soal yang menyangkut adat dan tradisi dan sulit diselesaikan secara tuntas, karena adat dan tradisi telah tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat itu sendiri tanpa ada rekayasa dari siapapun juga, sehingga orang atau masyarakat itu merasa bersalah apabila mereka melanggar adat atau tradisi yang telah tumbuh dan berkembang selama ini. Dari latar belakang sejarah, terlihat jelas sejak penjajahan Belanda ada upaya pengelompokan manusia dalam satu daerah administrasi dengan memperhitungkan latar belakang kebudayaan, dalam arti suku-suku bangsa memperlihatkan cirri-ciri kebudayaan yang hampir sama digabung menjadi satu daerah administratif

Blogger, Author, Crafter and Photography Enthusiast

annie.nugraha@gmail.com | +62-811-108-582