Hari ke-2 dari serangkaian pelesir selama 6hari di Tidore, kami habiskan dengan snorkling di Tanjung Konde, melewati Pulau Maitara, makan siang di Cobo, dan berakhir di Gurabunga untuk menghadiri Upacara Pembukaan rangkaian peringatan Hari Jadi Tidore ke-909 dengan ritual Ake Dango.
TANJUNG KONDE
Lahap menyantap nasi kuning dengan lauk ikan, mie goreng, dan sambal yang bikin mata kedap-kedip (((yang akhirnya jadi menu langganan sarapan))), hari itu saya sudah siap dengan kostum renang yang terus terang kebesaran di badan. Gak yakin kalo badan sudah menyusut, saya masih gak pede pesen baju seukuran di bawah biasanya. Jadilah, begitu tuh baju datang, langsung kedobyoran ketika dicoba. Alamak. Masker snorkling baru pun sudah siap di dry bag. Let’s rock the sea!!
Nangkring manis di kursi paling depan bis koneng mentereng milik Pemkot Tidore Kepulauan, kami menuju Pelabuhan Rum untuk kemudian menggapai Tanjung Konde hanya dalam 15menit perjalanan. Huru hara dan kesibukan tim pun mendadak pecah di atas perahu. Ada yang sibuk pakai baju pelampung (((ternyata cuma 2buah))), ada yang asyik ngobrol sambil sambil nemplokin sun-block, ada yang konsentrasi dengan kain kodian, lipstick, dan bedak untuk berfoto, dan ada yang mumet dewe karena belom bisa mengoperasikan action cam dan masker snorkling yang ternyata memory cardnya ketinggalan di rumah (((nunjuk diri sendiri))).
Kasus ketinggalan memory card ini akhirnya jadi perkara serius karena ujung-ujungnya saya tidak punya foto sama sekali. Keindahan terumbu karang Tanjung Konde yang khas berbentuk piring lebar pun harus direlakan. Kecerobohan yang sangat disesalkan sampai sekarang. Mencoba memindahkan memory card HP ke action cam, ternyata tidak cocok. Saya pun berusaha membungkam kekecewaan yang mendalam sampai kegiatan hari itu selesai. Satu lagi pelajaran penting dalam traveling, harus ngecek sendiri semua perlengkapan kamera dan teman-temannya. An important lesson to learn!!
Gak mau nangis bombay karena gagal snorkling sambil merekam, akhirnya terpaksa pake jurus terakhir memohon bala bantuan pasukan untuk mengabadikan keberadaan saya selama di tempat ini. Tinggal menjerit “Tolong dong fotoin gue”, dapatlah beberapa foto untuk disunting sebelum diunggah.
Gak sanggup merunduk-runduk di air laut dalam waktu yang lama, saya memutuskan untuk leyeh-leyeh di atas kasur tiup yang sepertinya bocor kecil di beberapa titik. Ah tak apalah. Yang penting masih bisa mengembung, mengambang dan ditiduri. Menikmati terpapar sinar matahari cabang Tanjung Konde, saya dan Anita merasakan priveledge baring-baring untuk Mamak Kopassus tanpa ada yang berani mengganggu (((catet!!))). Kalo saya asyik dengan kasur tiup, Anita bisa terapung-apung dengan Lazzy Bag koneng mentereng.
Jadilah kami berdua terapung-apung di atas laut yang bening, ketarik sana sini sambil berpegangan tali yang dicantolkan ke perahu, sementara di sekeliling kami menyebar rekan-rekan gegap gempita bahagia menikmati main air yang terdengar menyenangkan hati.
Haripun beranjak siang ketika ajakan untuk melanjutkan perjalanan terdengar dari mulut Gathmir. Membayangkan makan ikan bakar dengan sambal dabu-dabu ala bujangan-bujangan Tidore pun mulai menari-nari di pelupuk mata. Bersegera kami berkumpul dan melanjutkan perjalanan kembali ke Rum sambil melewati dan merekam Pulau Maitara.
Pesan penting untuk yang nantinya akan ke Tanjung Konde: Tolong banget JANGAN memarkirkan perahu di tempat yang landai dan terlalu dekat dengan terumbu karang. Di tempat ini, terumbu karang berbentuk piring adalah kekayaan wisata yang tidak tergantikan. Ini warisan alam dan titipan Allah yang bukan cuma untuk kita. Tapi juga untuk anak-anak dan cucu kita bertahun-tahun nantinya. Jika sudah tersentuh dan rusak, perlu waktu yang lama untuk mengembalikan habitat mereka seperti sekarang ini. Tak rela saya jika kasus di Raja Ampat terjadi di Tidore. Tak tenggelamkan siapapun itu (((catet!)))
Anyway busway, menjawab penasaran pemirsah akan bagaimana indah Tanjung Konde, yok nikmati foto-foto indah berikut yang terekam dari kamera anakku Fajri Ismail (Oji). Sekedar bisikan, high quality jomblo satu ini, selalu pesan sponsor ke emaknya bahwa dia adalah Chiko Jerico Wannabe. Okelah daripada ngambek (((ngangguk2))).
Nah sekarang paham kan kenapa titipan keindahan ini harus terus dijaga?
PULAU MAITARA
Akhir Desember 2016, saya pernah singgah ke Maitara untuk menghadiri FESTIVAL MAITARA 2016. Hanya sayangnya waktu itu hujan deras nyaris tanpa henti. Acara yang tadinya dimeriahkan oleh lomba dayung dan hiburan panggung ini, sepertinya tidak maksimal bisa dinikmati oleh masyarakat. Hasilnya saya malah masuk angin dan terpaksa kerokan karena kehujanan dan angin yang menerjang tubuh.
Kali ini, tidak dengan singgah ke darat, saya dan tim mengelilingi hampir keseluruhan pulau Maitara menuju kembali ke Rum. Menikmati keindahan yang sempat lepas dari pandangan mata, saya beberapa kali merekam perjalanan kami ini dalam beberapa video (diupload terpisah) dan berusaha memotret beberapa spot yang terlihat indah dan berbeda.
Setelah sempat berlabuh melihat mamak-mamak bersibuk ria berfoto di buritan perahu dengan background Maitara, perahu pun melaju pelan dalam jalur yang pas untuk memotret dan merekam setiap jengkal pulau di dalam ingatan maupun video. Berikut adalah hasil jepretan saya untuk Maitara, pulau indah yang terpatri di uang kertas pecahan Rp 1.000,- Republik Indonesia edisi 2013.
Dari sebuah tautan travel (2013) yang mengutip pernyataan dari mantan Gubernur Maluku Utara, Bpk. Thaib Armayin, Maitara terpilih menjadi icon uang seribu rupiah karena selain keindahan bentuknya, dulu pulau ini adalah tempat pertama kali Portugis menginjakkan kaki di Maluku dan memiliki kebun cengkeh tertua di Maluku. Alasan lain adalah karena letaknya yang strategis di antara Pulau Ternate dan Pulau Tidore, sehingga kita dapat mengambil foto pulau yang cantik ini dari dua pulau yang mengapitnya.
Nah, kalau liat dari foto yang ada di uang tersebut, sepertinya posisi foto Maitara diambil dari Pantai Fitu yang berada di Ternate. Ini perbandingannya. Kok ya kebetulan ada perahu yang sedang berada di antara titik foto dan Pulau Maitara yang gagah berdiri di depan Pulau Tidore. Lengkap sudah image yang tertangkap di kamera saya.
Makan siang di COBO
Puas menyapa Maitara, tak lama kemudian kami sudah kembali ke Pelabuhan Rum. Melangkah gontai ke bis koneng yang mengantarkan kami ke Rum pagi tadi, saya gerilya ke beberapa warung di pelabuhan ini untuk mencari minuman dingin dan es batu demi menyejukkan leher yang terasa kering kerontang. 1 gelas fanta merah dan es favorit saya pun ludes diminum hanya dalam waktu singkat. Adem dah. Yok, kita lanjutkan cerita hari ini. Tepatnya di rumah dan tanah/lahan milik Anita yang berada di Cobo.
Di atas tanah yang luas, membukit, dan berpohon banyak, tempat ini terhubung langsung dengan pinggir pantai Cobo. Sebuah rumah kayu lama tampak tegak berdiri dan menanti untuk dipermak agar nantinya bisa digunakan sebagai home-base Ngofa Tidore. Disinilah mimpi-mimpi kami akan terjalin. Di tempat inilah nantinya ide-ide kreatif akan terbangun. Semua untuk Tidore.
Ngomongin mimpi. Kecapek’an main air di Tanjung Konde, beberapa dari kami pules tertidur gak pandang tempat. Katerina tidur dengan manisnya di atas jalan setapak di bawah pohon. Hanya beralaskan kain properti andalan foto dan mati gaya karena batere handphone sekarat, tampaknya perjalanan mimpinya sudah sampai Merauke. Gathmir dan Fia sekarat tidur di hammock. Bu Woro lelap di teras rumah. Dan entah siapa lagi yang pingsan tertidur. Yang pasti ketika mulut saya masih berkicau kesana kemari, peserta simposium gak pake meja di Cobo, hanya diikuti oleh beberapa orang saja.
Hampir 1 jam kemudian, ketika rahang sudah mulai lelah mengoceh, para bujangan penanggungjawab urusan lambung siang ini pun mulai berdatangan. Gak menyia-nyiakan waktu, sambil bersendagurau dan menunggu matangnya ikan bakar, beberapa dari kami menikmati segarnya kelapa muda. Eko tampak sigap dan lihai memotong ujung buah kelapa dan cekatan menerima pesanan teman-temannya yang tampak gahar menahan haus. Selalu ada orang yang tepat di waktu dan tempat yang tepat (((modus))). Makasih ya Eko. Nanti-nanti bolehlah kita buka warung es kelapa muda di sini. Catet!!
Mengintip para chef dadakan dan ganteng sedunia mengolah ikan bakar, saya jadi semangat dan penasaran melihat cara mereka bekerja. Pertama mengumpulkan batok kelapa kering yang kemudian dibakar dan dijadikan arang. Arang-arang ini lalu diletakkan di bawah besi pemanggang yang sudah terisi ikan-ikan berbumbu. Jadi ikan-ikan lucuk ini bukan dipanggang di atas bara api tapi di atas arang jadi dan diasapkan.
Ikan yang sudah disayat badannya dan diberi bumbu ini, dimasukkan ke dalam penjepit besi (khusus untuk memanggang ikan), dibakar di atas asap sambil dioles bumbu/sambal yang sebelumnya juga dicampur dengan beberapa buah arang kelapa yang masih panas. Jadi ketika arang ini dimasukkan ke dalam mangkok bumbu, suara desisan pun terdengar dan asam mendadak mengepul tinggi akibat reaksi panas bertemu cairan yang terkandung di dalam bumbu. Wow seru banget.
Sementara beberapa orang berjuang mengipas dan menunggu ikan matang, gerombolan yang lain menyiapkan tatanan makan liwet bersama di atas daun pisang. Ada goboro, ketupat nasi, singkong rebus, dan ubi manis. Semua terlihat sudah terolah dengan santan. Gurih cetar membahana. Melengkapi rasa dan menu wajib, tersedia sambal dabu-dabu yang tanpa ragu direnggut dari baskom dengan tangan berganti-ganti.
Menunya tampak sangat biasa, tapi nikmat berebutan dan makan rame-rame sambil bersenda gurau itu yang tak akan terhapus dari ingatan. Gelak tawa pun pecah berkali-kali dengan candaan kejam. Bahkan saya sempat keselek daging ikan, dan terpaksa merem melek berusaha meloloskan gigitan ini melewati tenggorokan karena ketawa geli melihat Bu Woro meledek Zulfa yang tampak berjuang sekuat tenaga membantai banyak ikan.
Nikmat kiamat. Entah sudah berapa goboro yang saya giling di lambung, sampe akhirnya harus menyerah karena jari-jari mulai panas karena meraup sambal langsung tanpa sendok. Bukan hanya itu, makan pun terhenti karena memang ikannya sudah habis hahahahaha. Duuhhh liur pun menetes sambil nulis ini. Rindu ngeriung dan berebutan makananpun melintas di depan mata. Masih terbayang gelak tawa tanpa jaim dan saling membully yang gak pernah berhenti.
Waktu sudah beranjak ke jam 3 sore ketika semua yang indah ini harus berakhir di Cobo. Kamipun beberes dan harus kembali ke Penginapan Seroja untuk mempersiapkan diri menghadiri acara Pembukaan Tidore Festival 2017 di Gurabunga. Titik awal yang sangat penting dari serangkaian peringatan Hari Jadi Tidore ke-909.
BERSAMBUNG