Siapa sih yang gak kenal dengan tempat ini? Kalau boleh dibilang, peninggalan (penjajahan) Belanda yang populer dan masih terawat rapih di Indonesia, salah satunya ya Lawang Sewu.
Apalagi setelah dijadikan tempat untuk Uji Nyali, bagian paling menarik dari program Dunia Lain yang dikelola oleh Trans TV, kepopuleran Lawang Sewu pun jadi semakin meningkat. Info ini didapat dari Mas Nur Abidin yang menjadi guide (plus photographer) selama kunjungan saya di sini. Setelah acaranya disiarkan, melihat peserta Uji Nyali berguguran alias tidak berhasil melewati tantangan dengan (katanya) beberapa penampakan, jumlah pengunjung pun mendadak meningkat tajam. Masa pun berbondong-bondong datang, penasaran ingin mengetahui dan melihat sendiri dimana dan seperti apa tempat Uji Nyali berlangsung.
Berkali-kali mendengar, membaca, dan menonton ulasan-ulasan berbau mistis mengenai Lawang Sewu dari berbagai media, akhirnya saya pun dirundung rasa penasaran, persis seperti orang-orang yang kepo di atas. Bertahun-tahun menjelajah berbagai tempat, tak pernah sekalipun menginjakkan kaki di Semarang. Dan keinginan itupun terjawab ketika salah seorang teman, Melia, mengajak saya untuk menemaninya ke Semarang. Pas banget.
LOKASI | FUNGSI BANGUNAN
Ketenaran namanya membuat tak seorangpun gak bisa nunjukin jalan ke sini. Untuk saya yang waktu itu menginap di Novotel yang berada di Jl. Pemuda, saya hanya perlu berjalan sekitar 200 meter untuk mencapai Lawang Sewu. Atau bisa naik becak dengan biaya Rp 10.000,- kalo males jalan.
Menilik Peta Wisata Semarang, bangunan bersejarah ini, berada di tengah-tengah beberapa titik tempat wisata dan beberapa jalan utama seperti Jl. Jend. Sudirman, Jl. Imam Bonjol, dan tentu saja Jl. Pemuda. Di depannya terdapat Tugu Muda yang melengkapi Lawang Sewu sebagai icon wisata Semarang. Malah ada beberapa tulisan yang menyebutkan bahwa Lawang Sewu berada di kawasan kompleks Tugu Muda. Apapun itu, seperti yang saya sebutkan di atas, destinasi wisata yang satu ini sudah pasti dikenal oleh setiap warga Semarang. Sama seperti warga Jakarta yang tau persis Monas, walaupun mungkin belum kesampean main ke sana.
Ditetapkan sebagai Landmark nya Semarang dan berada di Jl. Pemuda No. 160, Lawang Sewu juga disewakan untuk beragam acara seperti pameran, festival, workshop, pemotretan, shooting, pesta pernikahan, ruang pertemuan, bazaar dan pentas seni.
Seperti contohnya Pagelaran Peringatan Setengah Abad Gamelan Soepra yang diadakan di sini pada 13 Juni 2016 oleh Komunitas Gamelan SMA Kolese Loyola Semarang, dan Pagelaran Budaya Pelangi Nusantara dalam rangka Hari Batik Nasional yang terselenggara berkat kerjasama antara Batik Keris dan Ibu-ibu Bhayangkari Jawa Tengah. Acara yang disebutkan terakhir ini diadakan pada 16 Oktober 2016. Mengambil suasana malam hari dengan lighting yang indah, pagelaran budaya menjadi wujud nyata kecintaan kita terhadap Batik yang sudah ditetapkan sebagai warisan budaya Indonesia oleh UNESCO pada 2 Oktober 2009.
Keputusan untuk menjadikan Lawang Sewu sebagai tempat yang dapat digunakan (disewakan) oleh/untuk publik, menurut saya sangat tepat. Selain membantu mensosialisasikan dan meningkatkan brand image, keindahan bangunan juga lebih dari cantik untuk sebuah kekayaan photography dan dunia digital media. Apalagi sempat melihat perubahan yang lumayan signifikan, melalui beberapa foto dari hampir keseluruhan bangunan, sebelum dan sesudah renovasi terakhir yang dilakukan pada 2011. Pekerjaan menampilkan wajah baru yang luar biasa. Bangunan konservasi ini terlihat semakin menjual secara fisik.
Seperti yang disampaikan oleh Mas Nur Abidin, Lawang Sewu memiliki keunikan dan keindahan arsitektur yang bisa juga disebut sebagai Living Museum. Konsep pemanfaatan gedung akan diutamakan guna mendukung kegiatan-kegiatan produk industri kreatif. Selain gedung, halamannya pun bisa dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan (seperti 2 acara pagelaran yang saya sebutkan di atas). Penggunaannya pun ditawarkan secara professional sehingga dana yang didapat bisa digunakan untuk pengembangan fasilitas dan pemeliharaan Lawang Sewu secara keseluruhan.
Adapun informasi sewa yang saya dapatkan adalah sebagai berikut:
Sewa foto-foto prewedding = Rp 300.000,-/jam
Penggunaan fasilitas/area Plaza (termasuk halaman) = Rp 3.000.000,-/jam
Gedung A. Lantai 1 Rp 15.000,-/m2/hari. Lantai 2 Rp 12.500,-/m2/hari
Gedung B. Lantai 1 Rp 12.500,-/m2/hari. Lantai 2 Rp 10.000,-/m2/hari
Ruang Pertemuan = Rp 2.500.000,-/hari
Informasi lebih lanjut: Unit Museum Kereta Api Indonesia, Telp.: +62-24-3562661, atau melalui email: lawangsewu.ptkai@gmail.com
Saya sempat bertanya kepada Mas Nur, kok Lawang Sewu terkait dengan PT KAI. Beliau menjawab bahwa semenjak pemugaran terakhir, Pemerintah Kota Semarang telah memberikan kekuasaan kepada PT KAI untuk mengelola Lawang Sewu sebagai museum perkeretaapian. Hal ini juga terkait dengan sejarah berdirinya Lawang Sewu di masa lampau, yang memang didirikan oleh Belanda sebagai gedung administratif pengelolaan kereta api. Info rincinya akan saya sampaikan di bagian terpisah (Sejarah Lawang Sewu).
Kembali berbicara soal fungsi dan peta bangunan, Lawang Sewu terbagi atas empat yaitu Gedung A, B, C, dan D.
Gedung A. Digunakan sebagai ruang pamer yang menyajikan beragam koleksi dari masa ke masa perkembangan perkeretaapian di Indonesia. Koleksi yang dipamerkan antara lain: mesin hitung, mesin tik, surat berharga dan foto-foto bersejarah lainnya. Ada juga koleksi miniatur lokomotif uap dan baju seragam asli tokoh revolusi PT. Kereta Api Indonesia (Persero), 2009-2014.
Gedung B. Merupakan bangunan tambahan yang didirikan sekitar tahun 1916 dan selesai tahun 1918. Gedung B saat ini diperuntukkan untuk penyewaan ruangan, baik untuk pameran, bazaar, dan berbagai kegiatan lainnya dimana bersifat temporer.
Mengamati perbedaan fisik diantara ke-2nya, dan tambahan keterangan dari Mas Nur Abidin, sisi dinding luar Gedung A terdapat jejeran bata expose, sementara di Gedung B tidak demikian. Bata expose ini adalah asli dibuat dari bahan yang didatangkan dari Belanda dengan menggunakan cetakan yang juga berasal dari sana. Cetakan batanya pun rapih tersimpan di Gedung C.
Gedung C. Di dalam gedung ini, kita bisa mengetahui rangkaian peristiwa bersejarah dalam perkeretaapian Indonesia. Termasuk proses pemugaran Lawang Sewu baik dalam bentuk foto dan video dokumentasi maupun bahan material pemugaran. Di ruangan ini juga dipajang koleksi persinyalan Alkmaar dan mesin cetak tiket Edmonson.
Gedung D. Saat ni digunakan sebagai ruang P3K, ruang menyusui, gudang, tempat istirahat, dan smoking area. Sering dimanfaatkan oleh pengunjung untuk melepas lelah dengan beristirahat sejenak.
SEJARAH LAWANG SEWU
Mengucapkan kata SEWU, tentunya kita sudah mengerti bahwa artinya adalah SERIBU. Sementara LAWANG artinya PINTU. Jadi kalau kita mau menyambung arti dari 2 kata dalam bahasa Jawa ini ke bahasa Indonesia, maka keseluruhan maknanya adalah PINTU SERIBU.
Pada kenyataannya jumlah pintu yang ada di tempat ini adalah (hanya) 492 buah dengan daun pintu sebanyak 1.200 buah. Pintunya pun dibuat besar-besar dan tinggi. Konsep membuat pintu dalam jumlah dan ukuran besar pada jaman itu adalah karena pertimbangan iklim tropis di Indonesia. Jadi pemerintah kolonial Belanda mengatur bangunan dengan pintu sebanyak itu agar perputaran udara di dalam ruangan tidak terhambat.
Membaca beberapa uraian tertulis dalam Wikipedia dan www.seputarsemarang.com, Lawang Sewu mulai dibangun pada 27 Februari 1904 dan selesai pada Juli 1907 dan diberi nama Het hoofdkantor van de Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij. Bangunan yang didesain oleh C. Citroen dari Firma Arsitektur J. F. Klinkhamer dan B. J. Quendag yang berdomisili di Amsterdam. Seluruh pengerjaan desain dikerjakan di sana dan kemudian gambar-gambar (blue print) dibawa ke Semarang. Dari blue print ini tertulis pengerjaan rancangan sudah dilakukan pada tahun 1902. Copy dari dokumentasi ini dapat kita lihat di Gedung C.
Pada awal berdirinya, bangunan ini adalah kantor pusat dari Nederlands Indische Spoorweg Maatschappij (NIS/NISM), sebuah perusahaan kereta api milik Hindia Belanda. Peran NIS pertama kalinya di Indonesia adalah membangun dan melayani jalur kereta api di Jawa Tengah dan Jogyakarta, termasuk jalur di Batavia. Maka tidak heran, jika akhirnya keberadaan Lawang Sewu berpindah ke tangan Djawatan Kereta Api Repoeblik Indonesia (DKARI) yang sekarang namanya berubah menjadi PT. Kereta Api Indonesia (PT KAI).
Melalui catatan sejarah, Lawang Sewu sempat menjadi tempat pertempuran sengit antara Angkatan Muda Kereta Api (AMKA) dengan Kempetai dan Kidobutai – Jepang. Terjadi kerusakan parah akibat dari pertempuran ini dan sempat tidak terawat selama kontak senjata yang sering terjadi pada jaman penjajahan Jepang. Untuk itu Pemerintah Kota Semarang dengan Surat Keputusan Walikota No. 650/50/1902, memasukkan Lawang Sewu sebagai salah satu dari 102 bangunan kuno atau bersejarah di kota Semarang yang patut dilindungi dan dilestarikan.
BERKELILING LAWANG SEWU
Sampai di gerbang depan, kita akan langsung disambut sebuah rumah kecil yang mengurusi tiket masuk. Membayar HTM sejumlah Rp 10.000,- orang untuk dewasa dan Rp 5.000,-/orang untuk anak berumur 3-12 tahun dan pelajar, Lawang Sewu menerima kunjungan mulai dari pkl. 07:00 – 21:00 wib setiap harinya.
Petugas yang berada di sana dengan ramah menawarkan jasa pendamping/guide dengan biaya Rp 30.000,-/kunjungan. Saya pun tidak melewatkan kesempatan ini. Traveling solo, apalagi berkunjung ke tempat bersejarah, memang ada baiknya menggunakan jasa guide. Bukan hanya agar kita mendapatkan informasi yang tepat, guide pun bisa membantu memotret kita. Yang begini ini nih penting banget untuk para penulis/blogger seperti saya.
Baru beberapa langkah dari pintu gerbang, kita akan disambut dengan sebuah papan informasi unik dengan hiasan kayu. Ada baiknya sempatkan diri melihat dan membaca papan informasi ini karena di dalamnya terdapat rincian mengenai Lawang Sewu. Mulai dari sejarah sampai pembagian dan penamaan bangunan-bangunan yang ada.
Melanjutkan perjalanan setelah membaca papan ini, kita akan memasuki sebuah gerbang besar dan pemeriksaan tiket. Di sebelah kiri kita adalah bangunan utama (Bangunan A), di kanan adalah Bangunan C, dan di hadapan kita ada sebuah taman paving block dengan sebuah pohon besar yang memayungi bangku untuk duduk-duduk, serta Bangunan B yang terlihat dari kejauhan.
Duduk di taman yang berada di tengah ini, saya memanjakan mata memandang ke semua sisi dan gedung yang ada. Menghempaskan badan di bangku panjang di bawah pohon besar yang rindang, saya mendapatkan cerita yang menarik dari Mas Nur bahwa dulu walaupun sempat menjadi saksi sejarah sebuah pertempuran, bangunan ini tetap berdiri tegak. Saya pun mengangguk setuju.
Lancar saya pun bercerita kepada Mas Nur mengenai pengalaman-pengalaman akan bangunan Belanda yang memang terkenal dengan kualitasnya yang luar biasa. Dulu, ketika pindah ke Medan diusia sekitar 10tahun, rumah dinas Ayah saya adalah rumah peninggalan Belanda. Berjendela besar-besar, tehel/keramik dengan motif khusus, dan plester dinding yang sangat susah untuk ditembus paku. Rumah kami seluas sekitar 500m2 itu, belakangan saya ketahui, juga memiliki bunker (tempat perlindungan bawah tanah) yang cukup besar. Hanya sayang karena saat itu saya masih terlalu kecil untuk melihat kemungkinan-kemungkinan yang berada di luar nalar, saya tidak diperkenankan untuk menelusuri bunker tersebut.
Melewati hampir 30menit berkelakar dengan Mas Nur di bangku taman, beliau menawarkan saya untuk lebih dulu ke Gedung A yang adalah gedung pertama dan utama dari keseluruhan kompleks Lawang Sewu. Yok simak foto-foto berikut ini.
Gedung A | Tampak/Bagian Luar
Gedung A | Tampak/Bagian Dalam
Gedung B | Tampak/Bagian Luar
Gedung B | Tampak/bagian dalam | Bunker/ruang bawah tanah
Di saat saya berkunjung, beberapa bagian dari Gedung B sedang direnovasi. Renovasi total saat itu berlangsung khususnya untuk Bunker/ruang bawah tanah yang sempat menjadi area untuk program Uji Nyali – Dunia Lain. Foto di bawah ini adalah pintu masuk bunker dari sisi luar Gedung B. Sementara pintu satunya lagi berada di dalam Gedung B. Pengap menyeruak ketika Mas Nur membukakan pintu kayu atas agar saya bisa memotret tangga menuju bunker. Gak kebayang ya betapa beraninya para peserta Uji Nyali ketika mereka diajak masuk ke dalam bunker ini. Saya, yang baru melihat tangganya aja sudah bergidig dengan bulu kuduk yang betah berdiri.
Ada satu keunikan yang dapat kita temukan di dalam ruangan-ruangan yang tersedia di lantai atas, bagian dalam, Gedung B. Mengikuti rancang ruang standard Belanda, jendela-jendela dibuat bisa dibuka menghadap ke atas, dengan engsel yang juga berada di atas. Jendela seperti ini tentu saja dapat meminimalisir masuknya kotoran-kotoran ke dalam ruangan.
Mas Nur juga menunjukkan kepada saya tampak kaca yang digunakan untuk jendela. Ketika kita amati lebih jauh, kaca dipakai terlihat bergelombang, seperti melihat genangan air yang terperangkap di dalam. Namun, walaupun dalam kondisi tidak clear layaknya kaca-kaca bening lainnya, kita tetap bisa melihat obyek di luar kaca tanpa hambatan dan tetap dengan siluet sempurna.
Beberapa kaca asli ini sudah banyak yang pecah karena kondisi pertempuran yang terjadi sebelum Indonesia merdeka dan proses transisi di masa penjajahan Jepang. Kacapun diganti dengan kaca biasa.
Gedung C | Tampak/Bagian Luar
Gedung ini tidaklah sepanjang 2 gedung sebelumnya. Bentuknya kotak tapi sarat jejak-jejak peninggalan sejarah. Di dalam Gedung C ini terdapat beberapa Blue Print rancangan Lawang Sewu yang dikerjakan pada tahun 1902. Kemudian beberapa mesin kereta api, mesin pencetak tiket, beberapa contoh tiket dan alat pembolong tiket, cetakan genteng dan batu bata yang digunakan untuk membangun keseluruhan gedung
Gedung C | Tampak/Bagian Dalam
Gedung D | Tampak Luar
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya. Gedung ini lebih banyak dimanfaatkan untuk beristirahat dan kegiatan-kegiatan lain yang lebih santai. Jika ada event sedang berlangsung, biasanya gedung ini dipakai sebagai home base panitia penyelenggara.
Waktu menunjukkan pkl. 11:30wib ketika saya mengakhiri kunjungan ke Lawang Sewu. Menghabiskan waktu sekitar 3.5 jam di sini ternyata membawa ribuan cerita menarik tentang sejarah perkeretaapian di negri tercinta. Terus terang awalnya saya tidak menyangka bahwa tempat ini adalah sebuah Museum Kereta Api, bahkan ternyata terhubung dengan Museum Kereta Api yang berada di AMBARAWA. Yang terbayang ketika berangkat ke sini adalah menikmati berbagai sudut bangunan tua peninggalan Belanda, mengambil beberapa foto dari angle yang menarik, kemudian ngobrol panjang lebar tentang sejarah keberadaan Belanda di Semarang dengan Tour Guide.
Salut untuk Pemerintah Kota Semarang yang telah memberikan perhatian khusus kepada Lawang Sewu, sehingga tempat yang sarat akan sejarah ini terlihat begitu terawat, indah untuk dilihat dan nyaman untuk dikunjungi. Apalagi semenjak Lawang Sewu sudah ditetapkan sebagai CAGAR BUDAYA tingkat nasional seiring dengan dikeluarkannya PERMEN Pariwisata dan Kebudayaan No. 57 Tahun 2011, maka adalah suatu keharusan bagi pemerintah setempat untuk menjaga dan memeliharanya.
LAWANG SEWU | Jl. Pemuda No. 160 | Semarang | Telp.: +62-24-3562661 | Email: lawangsemu.ptkai@gmail.com