Tinggal di satu daerah yang jauh dari tempat bekerja seringkali menguras segala hal. Mulai dari tenaga, waktu, biaya, bahkan juga emosi. Walaupun punya supir pribadi atau tinggal duduk disupirin numpang mobil orang lain (taxi on-line atau bareng temen), macetnya Jakarta lebih kejam daripada nggali sumur 20 meter. Apalagi sudah hampir 2tahun ini, Jakarta lagi bebenah, lagi heboh-hebohnya membangun fasilitas transportasi, yang hampir merata di segala penjuru. Efeknya macica (baca: macet) pun over dosis di sana sini.
Semenjak Tol Cikampek penuh dengan tiang pancang LRT dan tol baru dari Kota Bekasi menuju akhir tol Cikampek, lama tempuh dan jelajah dari dan menuju rumah saya di Lippo Cikarang bisa 2x lipat lebih lama dibanding sebelum-sebelumnya. Bahkan pernah, dari rumah sampe ke Halim aja bisa 5-6 jam sendiri. Boyok langsung KO. Itu baru one-way belum hitungan balik ke rumahnya. Kebelet pun sampe muter dari mules, gak jadi mules, mules banget, sampe gak ada rasa. You name it lah!!
Jadiiii… Waktu dapat info bakal ngajar di Kecamatan Penjaringan yang berada di seputaran Pluit, saya pun lebih memilih untuk mencari tumpangan tidur yang walking distance dengan venue pelatihan. Demi apa? Ya itu. Demi tidak kecapek’an alias menghemat tenaga, demi berhitung cermat dengan waktu dan biaya (yang hampir sebanding dengan naik tajol), plus yang pasti kaga smosi jiwa karena garangnya lalu lintas dari ujung Jakarta Utara sampe memasuki batas awal Provinsi Jawa Barat via Cikampek.
Puluhan tahun tinggal di daerah Pluit – Muara Karang jaman kuliah dan awal-awal masa kerja, nyatanya saya cukup terkesima dengan perubahan-perubahan fisik yang ada. Beberapa lahan hijau dan daerah resapan sudah terpangkas habis oleh bangunan. Danau luas dengan pepohonan besar dan sebuah penangkaran buaya sudah berubah menjadi mall besar seluas lapangan bola. Kantor Camat Penjaringan pun sampe gak saya kenalin. Padahal dulu selalu lewat di depannya setiap naik Metro Mini dan pernah opname 2x di RS Atmajaya yang gedungnya persis bersebelahan dengan kantor pemerintahan ini.
Well, lepas dari acara nostalgila dengan kenangan lama, saya berselancar ke beberapa tautan penyedia jasa penginapan. Yang terdekat adalah Hotel Aston. Kemudian Amaris yang sejalan dengan tempat ngajar. Lalu Fave Hotel yang bergabung dengan Mall Pluit Junction. Dan Holiday Inn Express yang menjadi bagian dari Emporium Pluit Mall dan persis berseberangan dengan Fave Hotel. Tapi menimbang kesesuaian isi dompet dan jarak tempuh, saya akhirnya memutuskan untuk memilih Fave Hotel. Budget Hotel yang berjarak sekitar 200meter jalan biasa, 5cm dilihat dari denah, dan 50meter saja kalo sanggup lari kenceng dari kantor Camat Penjaringan.
Layaknya sebuah hotel setara dengan hotel bintang 3, room rate IDR 500.000,-/malam sudah termasuk makan pagi dan pajak, untuk sebuah kamar superior, sepertinya sudah pas untuk berbagi dengan seorang teman sekamar. Ruangan seukuran sekitar 25m2 ini lebih dari cukup untuk saya dan Mbak Yayuk yang ingin punya banyak waktu istirahat dan tidak terburu-buru bangun pagi keesokan harinya.
Fasilitas Di Dalam Kamar
Menyadari cahaya matahari masih bersinar kala sore kami check in, mengundang saya, seperti biasa, memanfaatkan waktu berfoto-foto dengan bantuan cahaya natural. Apalagi bed-head kamar dipercantik dengan hightech mural bernuansa retro feminin, penuh dihiasi warna merah, pink, dan (sedikit) sentuhan hitam. Gemes kalo gak narsis dengan dinding keceh badai seperti ini. Kok ya ndilalah, kostum saya hari itu, bisa pas banget dengan tema dan warna dominan kamar. Selain itu, anggapan bahwa lukisan besar penuh menutup dinding bakal meninggalkan kesan sempit pun jadi gugur seketika karena permainan lukisan dan warna yang pas dan tidak berlebihan.
Mempercantik ornamen kamar, 2 bantalan senderan bertuliskan FAVE pun tampak girly berwarna merah muda. Bantal yang photogenic buat diajak foto bersama. Meja berukuran sedang diletakkan di dekat jendela, plus 2 nachas tanpa kaki di kanan kiri kasur dilengkapi oleh lampu tempel berbentuk kotak persegi panjang. Gantungan baju bersisian dengan tempat tidur, dan TV layar datar pun memenuhi kualifikasi entertainment di kamar tidur.
Pencahayaan ruangan lebih dari cukup. Buat kamar kami yang menghadap ke jalan raya dengan kaca-kaca besar, memunculkan kesenangan tersendiri. Malam itu, tanpa menutup gorden, mata saya dimanjakan oleh pendar cahaya lampu yang bersumber dari jalanan, bangunan, dan tentu saja bintang di langit yang muncul memenuhi langit cerah. Jarang-jarang kan menikmati masa-masa menuju lelap sambil memandangi bintang di langit.
Oia, untuk kamar mandi, ukuran dan fasilitasnya masuk dalam ukuran cukup. Toilet bersih. Shower dengan pilihan air panas pun lancar. Hotel menyediakan sabun cair yang juga multi fungsi sebagai shampoo, dipasang menempel di dekat shower. 2 sikat gigi, 1 handuk lantai, dan 2 handuk mandi. Dinding kamar mandi tak tersentuh warna yang sama dengan ruang tidur. Pilihan keramik hijau lebih pas untuk area ini. Yang kurang dan minim adalah tissue (keluhan sama yang saya baca di situs booking hotel).
Tidak ada fasilitas refreshment atau mini bar seperti kopi, teh sachet, gula, dan penghangat air. Bahkan gelas minum pun tidak tersedia. Jadi kalo nginap di sini kudu bawak stok ransum sendiri. Tapi jangan khawatir, karena menyatu dengan mall, semua camilan dan minuman langsung seduh bisa dibeli di Farmer’s Market yang berada di dekat pintu masuk hotel. Namun bila berasa malas menyeret body ke luar kamar, layanan room service dengan aneka menu pun tampak begitu menyelerakan di harga standard.
Fasilitas Di Luar Kamar dan Lingkungan Hotel
Ketika berselancar mencari budget hotel di seputaran Pluit, saya menandai nama Fave Hotel ditulis sebagai Fave Hotel Pluit Junction. Dengan adanya gandengan nama mall di belakang nama hotel, kita akan langsung berasumsi bahwa pastilah hotel yang dimaksud menjadi satu dengan mall yang disebut. Bener aja. Melangkah dari salah satu pintu masuk mall, pintu utama dan area receptionist langsung terlihat. Sampe di tahap ini warna pink dan merah hampir menguasai seluruh tempat di ground floor yang bergabung dengan resto ukuran sedang, dan beberapa info layanan hotel mulai dari pintu masuk.
Naik ke lantai 3 via lift berpintu serba pink, saya tersenyum melihat water dispencer bercover pink dan body mesin yang juga dilapis dengan warna feminin ini. Mesin air ini terpasang persis di dekat lift yang bisa digunakan oleh semua tamu yang berada di lantai yang sama. Rupanya ini strategis praktis menggantikan teko penanak air yang tidak disediakan di dalam kamar.
Selesai beristirahat sebentar di dalam kamar, kami memutuskan untuk menjelajah mall sembari mencari apa yang bisa kami kunyah buat makan malam. Di lantai bawah kami menemukan beberapa tempat nongkrong yang asik seperti Excelso, Starbuck, Resto Onokabe yang memiliki konsep seperti Hanamasa, resto fastfood ala Korea, dan Farmer’s Market yang cukup komplit walaupun tidak berukuran besar. Setidaknya stok makanan ringan, aneka minuman segar, dan buah-buahan, tersedia buat diboyong ke kamar.
Mall yang berada di salah satu sudut lampu merah besar memasuki kawasan Pluit dan salah satu jalan masuk menuju Airport Soekarno Hatta ini tampak berasa hidup hanya di lantai bawah saja. Karena tidak menemukan makanan yang kami inginkan, kami pun menyebrang ke Emporium Mall Pluit yang berada di sudut jalan berbeda. Nah mall yang satu ini selain besarnya hampir 3x lipat Pluit Junction juga ipenuhi oleh berbagai brand fashion international, toko berbagai rupa pernak-pernik, Gramedia dan resto-resto berkonsep high-end. Tapi buat yang muslim, kudu hati-hati memilih tempat ya, karena sebagian besar resto menyajikan makan non-halal.
Sarapan Yang Kaya Menu
Salah satu aspek penilaian kualitas hotel selain kebersihan, fasilitas, pelayanan seluruh punggawa yang terlibat, dan sebagainya, sarapan jadi sorotan dan bagian penting dari rangkaian deret poin yang diberikan oleh para penginap.
Awalnya saya menduga bakal ketemu pilihan makanan terbatas mengingat luas restoran dan jumlah tempat duduk yang sangat terbatas. Pagi itu selesai berkemas sekaligus menyiapkan diri untuk langsung kembali bertugas di kantor Camat, kami mendapati hampir seluruh tempat duduk sudah dikuasai oleh bapak-bapak yang asyik mengobrol dengan bahasa Mandarin.
Cuek sama obrolan bahasa yang tidak dimengerti, saya menyempatkan diri berkeliling di beberapa meja sajian makanan. Waahh ternyata lumayan lengkap kok. Sarapan pagi ala Indonesia banget, seperti nasi goreng, nasi putih, mie goreng, beberapa lauk pilihan (ayam, sosis, kentang), soup jagung, bubur ayam, dihidangkan bareng beberapa bakery (aneka roti), dan jejeran salad lengkap berikut pilihan dressing yang menyelerakan. Counter pelayanan masak telur di tempat juga ada, tapi tidak tersedia chef yang melayani, jadi harus order langsung dengan personal yang sedang bertugas. Minuman juga beraneka, mulai dari yang berwarna (juice), air putih, kopi, dan teh. Tak lupa beberapa pilihan buah-buahan yang tampak segar walaupun dengan pilihan yang terbatas. Semuanya enak dan menyenangkan.
Pagi itu kami menutup masa menginap semalam di Fave Hotel Pluit Junction dengan perut kenyang dan semangat untuk melanjutkan proses pengajaran craft bagi warga Kecamatan Penjaringan. Lalu lintas tampak penuh menemani kesibukan ribuan warga Jakarta Utara yang mulai hilir mudik mencari nafkah.
Baca juga : Craft Workshop | Program OK OCE | FIBI Berbakti Untuk Negeri