Saya salah seorang penikmat film Indonesia yang telat banget nonton Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Film yang released pada 19 Desember 2013 dan adalah karya sinema terlaris di tahun yang sama, baru saya tonton tidak lebih dari seminggu yang lalu (awal Juli 2021). Nyaris 8 tahun selisihnya. Ampun. Lagi ngapain dan dimana saya waktu itu ya? Sampai melewatkan film yang fenomenal ini.
Selintas Tentang Film Ini
Film yang beranjak dari sebuah novel karya Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) dengan judul yang sama ini, diolah secara serius oleh Soraya Intercine Films. Disutradarai oleh Sunil Soraya, film ini melewati masa 5 tahun untuk observasi, proses praproduksi, pemilihan peran dan penulisan skenario. Hingga akhirnya membutuhkan waktu 6 bulan untuk shooting, penyuntingan selama 4-5 bulan dengan 300 adegan dan menghasilkan sebuah film dengan waktu siar selama 2 jam 49 menit. Khusus untuk penulisan naskahnya, Dhonny Dhirgantoro dan Imam Tantowi membutuhkan waktu selama 2 tahun untuk riset hingga rampung dan siap untuk digunakan dalam proses produksi.
Mengambil lokasi shooting di beberapa daerah di Indonesia, seperti Medan, Padang, Pasuruan, Surabaya, Lombok dan Jakarta, film ini menghadirkan Samuel Wattimena sebagai penata kostum dan grup band Nidji yang menghadirkan lagu Sumpah & Cinta Matiku sebagai lagu andalan. Tak lupa juga akan pentingnya nuansa 1930an lewat scene pedesaan, kendaraan yang digunakan, termasuk sebuah rumah mewah dengan sentuhan lawas tetapi sangat “berkarakter” yaitu Villa Ledduk yang berada di tengah hutan Pasuruan. Tepatnya di Desa Dayurejo, kecamatan Prigen. Villa bergaya Eropa dan merupakan bagian dari perkebunan dan resort Kaliandra Sejati ini adalah milik Atmadja Tjiptobiantoro. Kabarnya tak sembarangan untuk mendekati properti ini. Harus ditemani oleh pendamping yang memang bertugas melayani tamu.
Film ini menghadirkan 2 (dua) orang pemeran utama yaitu Mahbub Herjunot Ali (Herjunot) sebagai Zainudin dan Pevita Cleo Eileen Pearce (Pevita) sebagai Hayati. Serta 2 (dua) orang main supporting roles utama yaitu Reza Rahadian Matulessy (Reza) sebagai Aziz dan Randy Danishta (Randy, keyboardist Nidji) sebagai Muluk. Semua pelakon bermain apik khususnya Herjunot. Terutama saat melihat ekspresi gundah gulananya saat terpuruk itu “dapet” banget. Reza sepertinya perlu wajah sedikit garang dan licik dengan sorot mata yang lebih gahar supaya karakter Aziz bisa “tersampaikan” dengan baik. Reza, menurut saya, terlalu alim dan berwajah lembut untuk memerankan seorang lelaki yang gila judi, gila perempuan dan gila-gila lain yang enggak banget buat dicontoh.
Kapal Van Der Wijck yang dijadikan judul dari film ini adalah sebuah kapal penumpang mewah yang dimiliki oleh Koninklijke Paketvaart Maatschappij (PKM) yang berkantor pusat di Rotterdam, Belanda. Perusahaan inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya Perusahaan Pelayaran Indonesia (Pelni). Nama Wijck diambil dari nama seorang gubernur jenderal Hindia Belanda, Jonkheer Carel Herman Aart Van Der Wijck, yang memerintah dari 1893 hingga 1899. Kapal ini tercatat telah tenggelam pada 19-20 Oktober 1936 di Teluk Lamongan. Dan untuk mengenang kejadian ini, telah dibangun sebuah tugu peringatan atau sebuah bangunan monumen bersusun 3 lantai dengan lantai 2 berupa balkon yang menghadap ke laut. Monumen ini berada di halaman kantor perikanan yang berada di Brondong, Lamongan. Di salah satu sisi bangunan terdapat plakat yang bertuliskan “Tanda peringatan kepada penoeloeng penoeloeng waktoe tenggelamnja kapal Van Der Wijck DDC 19-20 Oktober 1936”.
Cintanya Zainudin dan Hayati
Cinta yang terhalang adat dan budaya Minang antara Zainudin dan Hayati ini terurai penuh makna dalam 3 bagian cerita. Pertama adalah saat pertemuan kedua sejoli ini hingga akhirnya terpaksa dipisahkan. Kedua adalah masa-masa dimana Hayati menikah dengan Aziz dan Zainudin kemudian merantau ke Surabaya. Ketiga adalah masa dimana mereka dipertemukan kembali dalam kondisi dan situasi yang tidak disangka.
Adalah seorang Zainudin, pria muda berdarah Minang dari Ayah dan Sulawesi dari sang ibu, yang berpindah dari tanah Celebes menuju baratnya Sumatera. Lelaki yang besar di Makasar ini, memutuskan untuk mengunjungi kampung Batipuh di Padang Panjang, Sumatera Barat. Kampung almarhum Ayahnya dan belum pernah sama sekali dikunjunginya saat orangtua masih hidup. Tujuannya datang dan menetap di Batipuh ada dua yaitu ingin tahu lebih jauh tentang tanah kelahiran almarhum Ayahnya sekaligus mencari ilmu, belajar lebih banyak tentang kitab Qur’an.
Diantara hari-hari yang dia lewatkan, menelusuri indahnya alam Batipuh, Zainudin untuk pertamakalinya melihat rangkayo Hayati, perawan cantik bunga desa, yang sedang berkendara, duduk manis di sebuah pedati. Cintapun terpaut tak terhindarkan terutama saat mata mereka beradu tanpa disengaja. Begitulah indahnya cinta pada pandangan pertama. Dunia hanya milik berdua.
Kekuatan cinta jugalah yang menyelimuti setiap pertemuan-pertemuan mereka yang penuh arti dan banjir kata penuh sentuhan kalbu setelah itu. Amboi indahnya dunia. Merekapun berbagi kasih bahkan Hayati berani mengungkap janji bahwa Zainudin lah jodoh dunia akhiratnya. Setidaknya jika di dunia mereka tak bisa bersama, maka akhiratlah yang akan menyatukan mereka.
Meski Hayati bersumpah setia di pinggir danau sampai menitikkan airmata (di sini actingnya Pevita keceh habis), nyatanya gadis menawan itu tak kuasa menolak keinginan ninik mamak untuk menerima pinangan Aziz. Lelaki rupawan, keturunan bangsawan, berpangkat bagus, bekerja di kantor pemerintahan Belanda, flamboyan dan penuh pesona. Tak sebanding dengan Zainudin yang miskin dan yatim piatu. Tak seimbang walau seujung kuku. Tak bisa menjamin hidup Hayati yang lahir dari keluarga kaya dan terpandang.
Hayati bisa saja menerima lamaran Zainudin yang disampaikan secara bersamaan dengan lamaran Aziz jika dia benar menginginkan cinta sejatinya sebagai imam. Tapi entah kenapa dia jadi amnesia dengan sumpahnya sendiri. Alih-alih memperjuangkan cintanya, Hayati malah mengangguk, menyetujui lamaran Aziz. Menangis tapi tak berusaha berjuang. Menyerah sebelum bertarung.
Payah kali kau Hayati.
Bumi pun bergetar seiring dengan hancurnya hati Zainudin membaca surat penolakan lamaran yang disampaikan oleh Uwaknya Hayati. Zainudin langsung jatuh sakit dengan hati yang hancur berkeping-keping, merana dalam siksaan cinta. Meski Muluk, si sepupu, sudah berusaha menghibur hatinya, nyatanya Zainudin terperangkap dalam hancurnya cinta tak tergapai. Bahkan saat Hayati berkenan menemui Zainudin yang sedang sakit keras, situasi tak sedikitpun membawa kebaikan bagi jiwa Zainudin.
“Tanganmu sudah ber-inai Hayati. Kau sudah jadi milik orang lain,” dan benteng cinta Zainudin pun runtuh tak tersisa.
Kejamnya kau Hayati.
Mempertahankan harga diri yang sudah terinjak, Zainudin berdiri tegak, memutuskan untuk meninggalkan Batipuh. Dia pun, ditemani Muluk, mencoba peruntungan hidup, merantau menuju Surabaya. Di kota inilah lelaki yang telah ternodakan cintanya ini membangun karir dan mencari nafkah sebagai seorang penulis. Lembar demi lembar dia hasilkan hingga akhirnya terkenal dengan sebuah karya yang mengangkat kisah asli hidupnya. Dia bersama Muluk malah akhirnya bisa membangun kerajaan publisher sendiri dan hidup berlimpah harta dunia. Memiliki rumah megah bak istana dan banyak orang yang bekerja untuk dirinya.
Saya kagum terduduk dengan hadirnya visual rumah bak istana dengan langit-langit tinggi, tiang-tiang besar khas Eropa dan mobil-mobil antik yang dimiliki oleh Zainudin. Banyak sudut pengambilan gambar di venue ini yang bikin saya terpesona. Tampak begitu sempurna mewakili kesuksesan hidup Zainudin. Kalau ingin lebih rinci diamati, kehadiran materi kekayaan yang ditampilkan lebih mengesankan Zainudin sebagai saudagar atau pedang kaya dibandingkan dengan seorang pemilik usaha percetakan. Tapi charmingnya Herjunot dalam mengenakan jas karya Samuel Wattimena, menghadirkan sosok seorang lelaki muda berharta yang jadi impian para wanita. Setidaknya itu yang terlihat di ujung mata Hayati saat bertemu kembali dengan Zainudin yang sudah berubah drastis dari waktu-waktu terakhir mereka bersama.
Bagaimana dengan Aziz dan Hayati?
Bak menelan karma dan sumpahnya, Hayati tak merasakan bahagia dan indahnya hidup berumahtangga. Aziz terjerat hutang, sering mabuk-mabukan, diberhentikan dari pekerjaannya, tak setia pada janji pernikahan, bahkan sering menyakiti fisik dan hati hayati. Pasangan inipun tak dikaruniai keturunan.
Aziz dan Hayati bertemu kembali dengan Zainudin di sebuah acara. Tepatnya saat menonton pertunjukan drama yang berangkat dari novel karya Zainudin tentang pengalaman cintanya yang gagal bersama Hayati. Selepas pertemuan itu, Aziz dikejar oleh rentenir. Harta merekapun habis terenggut. Hingga akhirnya mereka hidup menumpang di rumah Zainudin sampai berbulan-bulan karena tak punya lagi tempat untuk berteduh.
Meski awalnya ditentang Muluk, Zainudin tak tega melihat Hayati harus hidup susah. Menyampaikan ijin untuk mencari pekerjaan, Aziz malah mengakhiri hidupnya dan meninggalkan pesan tertulis untuk Zainudin agar memaafkan dia dan Hayati serta mau menerima kembali istrinya sebagai bagian dari hidup Zainudin.
Tapi apalah arti serangkaian permohonan itu dibandingkan dengan harga diri yang sudah terluka dan diinjak-injak. Zainudin pun menolak untuk memperistri Hayati dan meminta agar Hayati kembali pulang ke Batipuh. Berlayar dengan kapal Van Der Wijck dari pelabuhan Tanjung Perak.
Lalu apa kabar dengan cinta sejati?
Zainudin ternyata terlalu lembut hati untuk tidak memaafkan dan menerima kembali Hayati. Membaca berlembar-lembar tulisan Hayati yang menyentuh, kapal Van Der Wijck sudah keburu tenggelam dan Hayati tidak terselamatkan, meski tubuhnya bisa diangkat ke daratan.
Selesai sudah cinta tak bertepi antara Zainudin dan Hayati.
Pendapat Pribadi
Saya suka film ini. Terutama jika membicarakan tentang keindahan pengambilan gambarnya. Luar biasa estetik, menarik dan meninggalkan setumpuk kekaguman. Salah satu film yang tidak saya duga diproduksi keseluruhan oleh para sineas Indonesia. No wonder kalau pada akhirnya film ini menjadi film terlaris di 2013 dan menerima sederetan penghargaan seperti Actress of The Year untuk Pevita Pearce pada Indonesian Choice Awards 2014, Pemeran pria utama terpuji (Herjunot) dan pemeran wanita utama terpuji (Pevita) di Festival Film Bandung 2014 dan Penata visual efek terbaik (Eltra Studio dan Adam Howarth) di FFI/Festival Film Indonesia 2014.
Alur dan isi ceritanya juga jempolan. Kalau ini jelas tak terbantahkan. Secara ya. Lahir dari sebuah novel yang ditulis oleh seorang ulama, politikus, sastrawan, pengajar, wartawan dan penulis setenar Datuk Indomo/Hamka. Seseorang yang sangat disegani, memiliki “nama besar” di tanah air dan sudah mendapat gelar Professor. Gelar kehormatan tertinggi dalam dunia akademis.
Saat membuat ulasan ini saya belum sempat membaca bukunya. Tapi keras dugaan bahwa novelnya pasti jauh lebih menyentuh jiwa dibandingkan filmnya. Apalagi selama film berlangsung, banyak kalimat-kalimat berkualitas, yang sarat akan nilai sastra. Dan itu baru sepenggal. Di buku pastinya lebih tumpah ruah lagi.
Para pelakon gimana? Herjunot dan Pevita bermain apik. Chemistry nya perfect. Dan ini kali pertama saya nonton acting mereka. Reza Rahadian nih yang terlalu berwajah sendu dan baik-baik. A good man face. Kurang pas untuk memainkan peran seorang lelaki jahanam seperti yang saya urai di atas. Jika bertukar peran dengan Herjunot malah mungkin pas. Lebih cucok kayaknya.
BTW, ada satu hal yang begitu menggelitik hati saya tentang busana Hayati. Saat masih berstatus lajang dan hidup di Batipuh, Hayati terlihat mengenakan gamis dan berkerudung (bukan berjilbab). Meski tidak termasuk dalam busana muslim syar’i. Tapi berubah drastis menjadi begitu “terbuka” saat sudah diperistri oleh Aziz. Apakah demikian penggambaran fisik Hayati di dalam novelnya?
Overall and frankly speaking this movie is stunning. Something to be proud of. Sangat layak untuk dinikmati oleh para penggemar film bergenre drama romantis dengan sentuhan klasik.
Aaahh nyesel deh baru nonton sekarang.
Saya sudah menonton film ini. memang sangat bagus. Memukau. Saat di Batipuh, adem dan pesan budayanya dapat banget. Saat sudah di Jawa, mulailah modernitas yang juga bagus tapi entah kenapa agak membosankan penggambarannya. Untung saja ceritanya bagus dan saya sudah pasti menangis tersedu-sedu serta tak rela film berakhir.
Nah jadi pertanyaan saya juga itu Mbak Susi. Pas Aziz dan Hayati pindah ke pulau Jawa, kenapa Hayati berpakaian seperti itu ya? Bukankah mereka yang berdarah Minang sangat menjaga tata busana yang islami?
Tulisan kak annie mengingatkan sejarah kilas Pelni melalui film ini juga perjalanan sebuah insan kehidupan yang berjuang dengan romantika
Jujur saja, baca judul tenggelamnya kapal van der wijck nggak pernah membuatku tertarik untuk baca atau liat filmnya. Tapi ulasan ini, membuatku ingin nonton akting-akting mereka. Keren sih kalau bacanya. Mau cari novelnya dulu lah di ipusnas. Barang kali ada. Hehehe
Saya juga pengen banget baca novelnya nih Mbak Yuni. Sepertinya bakal banyak ketemu wawasan sastra yang lebih luas di media tulisnya
Saya juga sering telat nonton Mbak Annie
Dulu karena gak ada teman nonton di bioskop, jadi cuma saya catet untuk ditonton nanti
((dan lupa)) 😀😀
Saya harus nonton Kapal Van Der Wijck nih, apalagi sesudah baca review keceh Mbak Annie
Hahahahaha. Ternyata ada juga yang belum nonton film ini ya? Selamat menikmati Mbak Maria. Keren filmnya.
Saya juga sudah nonton film ini mbak Anie
Emang dari sinematografi dan ceritanya sangat menarik
kisah romantis tapi penuh haru
banyak mewek pas nonton film ini
Iya Mbak Dian. Banyak scene yang bikin saya juga mewek tak tertahankan
Salah satu film Indonesia yg cukup Aku suka, sudut pengambilan gambar, isi cerita keren menurutku.
Epic banget emang peran Herjunot Ali dalam film ini yg kaya jadi Ikonik aja dengan intonasinya yg khas bak sastrawan
Lebih dari itu makna dlm film ini pun cukup dalam akan cinta sejati yg juga bercampur benci dimiliki oleh Zainuddin kpd Hayati
Meski telah bilangan tahun dan Hujaman rasa sakit dirasakannya
MashaAllah. Bener banget Mbak Siti. Baca ulasan singkat Mbak Siti saya jadi tergugah
Tahun berapa saya lupa, ibu saya beramai ramai menonton dengan keluarga besar film ini. Romantis namun ga happy ending ya mbak. Coba saya mau nyari filmnya di situs tak berbayar untuk menonton. Penasaran jadinya
Iya. Sad ending. Saya sampe berulangkali berlinang air mata di berbagai scene.
Coba search lewat Telegram Mbak. Saya nonton via aplikasi itu
Film yang indah dan sarat kesan.
Ulasan yang sangat bagus yuk, dan aku sependapat dengan semua Pendapat Pribadi ayuk tentang film ini. Dulu aku nonton di bioskop sama Mas Arif. Aku termasuk jarang mau nonton film Indonesia di bioskop kecuali film itu memang benar-benar menarik dari segala segi, salah satunya film ini karena memuat cerita “langka”, maksudku dari novel terkenal yang ditulis oleh penulis kondang dan legendaris.
Dari sinematografi, pemain, cerita, dan lainnya, semua bagus. Buat yang benar-benar nonton dengan menjiwai, pasti kagum dengan kisah cinta romantis dalam cerita.
Salah satu karya sinema yang patut dibanggakan ya Rien. Menilik masa pra produksi yang bertahun-tahun aja sudah mengisyaratkan keseriuan para sineas Indonesia dalam memindahkan wajah dan ide dari cerita novel yang lahir dari seorang sastrawan yang disegani.
Saya belum pernah nonton filmnya, pernah baca novelnya, tapi belum selesai. Setelah baca ini, jadi pengen cari-cari lagi novelnya, entah ada di mana sekarang.
Butuh waktu 5 tahun untuk observasi, proses praproduksi, pemilihan peran dan penulisan skenario. Pantas saja kalau visualisasinya bagus dan meraih banyak penghargaan ya
Nonton aja via Telegram Mbak atau banyak link nonton free yang ada di google.
Praproduksinya gak main-main. Dalam sekian tahun itu pasti lahir banyak hal yang memperkuat lahirnya film ini.
AKu juga telat nonton film ini :( Tau2 udah bisa tayamg di televisi hihihi :) AKu suka, bagus banget, benar2 aku menikmati semua yang ada di film ini. Mevvah banget ya rumahnya ceritanya bak istana saudagar, meskipun memang dikisahkan sebagai penulis sih. Ga nyangkanya tuh Pevita bisa keren banget berakting di sini. Coba diputar ulang di bisokop yach hihihi :D
Sama Nur. Aku juga suka banyak hal yang tampil di film ini. One of the best cinematic art ever in our country.
Daku pernah nonton waktu tayang di Tivi swasta, tapi gak sampai habis. Senangnya perfilman kita mengadaptasi dari novel sastra, jadinya bisa dapat kisah dan hikmah cerita sekaligus belajar bahasa sastra
Novel sastra berkualitas dan lahir dari seorang budayawan yang sangat dihormati di tanah air.
Aku juga kemana tahun segitu kok belum nonton ya..ya ampun. Film yang diadaptasi dari buku ga semuanya sukses. Dan ini visualisasi yang keren dan menarik dari review Mbak Annie. Apalagi akting kedua pemain memang tak perlu diragukan untuk aktris nasional. Aku mesti cari nih, pengin nonton juga Tenggelamnya Kapal van Der Wijck
Hahahaha sama kita Mbak Dian. Padahal ngetop banget pada jamannya.