Dan Saya pun Resmi Menjadi Penyintas Covid-19

Pengalaman yang akan saya tulis di bawah ini murni berasal dari pengalaman pribadi. Rangkaian peristiwa yang saya rasakan sendiri. Semua diuraikan berdasarkan sudut pandang seorang perempuan yang tidak memiliki pengetahuan spesifik atau ilmu tentang dunia medis khususnya mengenai pandemi. Meskipun pada kenyataannya saya dikelilingi oleh banyak saudara sekandung maupun sepupu yang bekerja sebagai tenaga kesehatan dan teman-teman yang berprofesi sebagai dokter spesialis, saya tak ingin timbul kesan “sok tau” tentang Covid-19. Jadi jangan dinilai sebagai artikel tentang ilmu kesehatan bahkan sebuah jurnal ilmiah tentang pandemi yang sampai saat ini masih menyelimuti tanah air.

Tujuannya semata-mata hanya berbagi pengalaman dan menjadi bahan ajar bahwa Covid-19 itu nyata adanya dan agar kita (lebih) patuh pada protokol kesehatan. Serta menyadari kenyataan bahwa pandemi selayaknya menjadi satu lahan untuk menghargai hak hidup orang lain, selain tentu saja kewajiban untuk menjaga (kesehatan) diri sendiri.

Dan Saya pun Resmi Menjadi Penyintas Covid-19
Spanduk PPKM Darurat yang dipasang di kompleks kami | Featuring Pak Benny (Ketua RT04 Taman Lembah Hijau)

Perkiraan Waktu Terinveksi

Hari itu, 3 Juli 2021, saya, suami dan si sulung (Fauzi) sudah bersiap sejak pagi untuk mendapatkan vaksin Sinovac pertama kami. Saya sangat menunggu hari bersejarah ini setelah berbulan-bulan mencari informasi sahih tentang tempat vaksin di seputaran tempat tinggal kami dan gagalnya rencana pelaksanaan penyuntikan vaksin yang tadinya akan diselenggarakan oleh kantor suami.

Setelah mendapatkan informasi simpang siur dari berbagai pihak, akhirnya dapatlah info bahwa warga kompleks saya bisa ikutan vaksin lewat koordinasi RT masing-masing. Saya sempat nge-rap (baca: ngomel) cukup lama karena kenapa kok informasi sepenting ini tidak tersosialisasikan dengan baik kepada seluruh warga. Padahal biasanya, setiap ada hal atau kegiatan penting, pengurus wilayah (RT dan RW) memberikan selebaran atau on line blast kesemua warga tanpa kecuali. Tapi sudahlah ya. Yang penting akhirnya suami bisa mengurusi dan mendaftarkan kami bertiga sebagai warga yang bisa mendapatkan vaksin.

Tak lebih dari 30 menit berkendara, kami tiba di Balai Desa atau Kantor Kepala Desa Serang. Betapa kagetnya saya saat melihat kerumunan warga yang berdiri mengantri untuk didata ulang dan mengisi formulir yang sudah disediakan oleh panitia. Pemanggilannya pun acak banget. Yang datang duluan bisa tegak berdiri lama, sementara yang baru datang bisa diabsen duluan. Sementara pihak panitia tidak menyediakan tempat duduk dan tenda untuk pengantri. Kursi dan tenda di halaman hanya diperuntukkan bagi mereka yang sudah divaksin dan diminta untuk tetap tidak pulang sekitar 10 menit, berjaga-jaga jika ada reaksi khusus setelah penyuntikan.

Situasi semakin tak terkoordinir saat lewat pengeras suara, semua warga yang berada di halaman kantor, yang sudah kadung padat, diminta untuk keluar dan berbaris antri. Kidding me? Bukannya ini berarti ada kontak fisik antara pribadi ya? Berdiri berjam-jam tadi aja, orang-orang harus tegak berdekatan di tengah terik matahari. Apalagi banyak diantara pengantri tidak disiplin menjaga jarak dan kerap membuka masker. Tim medis yang bertugas dari 3 rumah sakit pun datang (sangat) terlambat. Klop sudah.

Jadi gak aneh, saat mendapatkan giliran memeriksa tensi darah, saya terlonjak melihat angka 150/100 di alat pendeteksi tensi. Sumpah. Saya terkejut tak percaya karena untuk saya penderita hypotensi (darah rendah), angka tensi harian saya itu 80-100/70-80. Bahkan saat melahirkan pun tensi saya tertinggi adalah 130/90.

Tapi meski dengan tensi segitu, saya tetap diijinkan oleh petugas untuk menerima vaksin Sinovac pertama saya. Namun yang saya tak mengira adalah bahwa di tempat itu, saat itu, virus Corona/Covid-19 sedang berlari riang memasuki tubuh saya dan suami. Bahkan menurut dokter yang menangani saya di IGD, kemungkinan besar di hari yang sama atau paling lambat 2 hari setelah penyuntikan, virus sudah mulai menjalar dan berkembang di dalam tubuh.

Dan Saya pun Resmi Menjadi Penyintas Covid-19
Kerumunan masa di luar pagar Kantor Kepala Desa Serang. Dan ini masih meninggalkan kerumunan dengan jumlah yang lebih banyak di dalam.
Dan Saya pun Resmi Menjadi Penyintas Covid-19
Antrian untuk memeriksa tensi darah di halaman depan kantor Kepala Desa

Kenyataan Pahit yang Harus Dihadapi

Dalam seminggu setelah vaksinasi, baik saya dan Fauzi, tidak pernah keluar rumah sama sekali. Sementara suami keluar dalam rangka olah raga bersepeda. Itupun hanya di dalam kompleks aja. Tapi dalam kurun waktu itu, saya sering merasakan leher gatal, kepala pusing dan batuk-batuk tanpa sebab. Awalnya tak begitu mengganggu sampai akhirnya batuk parah disertai dengan sesak napas berulang-ulang. Padahal saya tidak memiliki riwayat asma selama hidup.

Ternyata apa yang saya rasakan juga dialami oleh suami. Bahkan suami suaranya jadi sember seperti orang yang berusaha bernyanyi tapi buta nada. Susah mengatur napas untuk berbicara. Bahkan batuknya lebih parah dari yang saya alami.

Seketika saya terduduk lesu. Termenung dengan air mata yang coba saya tahan berulangkali. Sebagai salah seorang yang sering membaca dan mengikuti perkembangan tentang penyebaran virus ini, hati kecil saya langsung terganggu. Apalagi mengingat bahwa suami komorbid genetik diabetes, sementara saya memiliki sejarah penyakit maag akut, pernah kena gula darah tinggi dan gangguan lambung serta masih dalam proses pemulihan dari penyakit DBD.

Pagi itu juga kami berempat memutuskan untuk swab test di sebuah klinik yang ada di dalam kompleks. Hasil tes menunjukkan bahwa saya, Fauzi dan Fiona negatif Covid-19, sementara suami langsung dinyatakan positif. Dari swab test ini, untuk meyakinkan lagi, suami meneruskan pemeriksaan dengan PCR Nasofaring. Dan confirm positif setelah hasil tes PCR kami terima 3 hari kemudian.

Sambil menunggu hasil tes PCR tersebut di atas, kami langsung “memisahkan” suami di lantai 2 sementara kami bertiga beraktivitas di lantai 1 rumah. Karena batuk saya tak kunjung sembuh, saya tidak mengijinkan anak-anak untuk mendekati atau berdekatan dengan saya. Qadarullah ini jadi keputusan yang sangat tepat. Tak disangka, 2 hari dari swab test, saya mengalami sesak sangat parah dan langsung dilarikan ke IGD RS Siloam yang berjarak sekitar 10 menit dari rumah.

Masuk IGD Rumah Sakit

Dan Cerita pun Bersambung di IGD Rumah Sakit

Tempat dimana saya menyadari bahwa swab tes negatif saya di klinik beberapa hari sebelumnya telah berubah menjadi satu keraguan yang hakiki.

IGD dengan ruangan terbatas dan hanya mampu menampung beberapa pasien pun (kalo tidak salah sekitar 5orang) tampak padat dan sibuk saat saya tiba di sana. Saya berasa berada di sebuah lorong dengan didampingi oleh manusia-manusia berbalut pakaian layaknya astronot yang sedang bertugas di bulan. APD lengkap berwarna putih, biru, kuning dan hijau dengan hanya mata yang terlihat sementara anggota tubuh yang lain terbungkus rapat tanpa celah.

Karena tempat tidur full ada pasiennya, saya terpaksa dirawat sambil duduk. Situasi yang menegangkan adalah hasil pemeriksaan kadar saturasi oksigen dalam darah saya anjlok (kalau tidak salah ingat sekitar 84 dari yang seharusnya minimum 95). Tensipun kok ikut-ikutan meluncur turun. Saat tiba tensi saya 80/65. Kondisi yang membuat saya bahkan tak mampu bicara saking sesaknya dan oleng tak terhindarkan.

Jangan ditanya soal mental. Mengingat ibu saya yang hidup berjauhan, meninggalkan suami yang juga dalam kondisi sakit di rumah dan anak-anak yang tentunya kebingungan adalah beberapa hal yang bikin mental saya rapuh luar biasa.

Tim IGD pun terlihat kaget dan bersegera mencari tabung oksigen untuk dipasangkan ke saya. Sementara dilain pihak saya menyaksikan seorang pasien yang sedang berjuang di tengah napas terakhir (sakratul maut) dengan alat pacu jantung yang menimbulkan suara khas. Jadi bisa dibayangkan ya. Di tengah keterpurukan mental, saya menyaksikan satu kejadian yang mungkin bisa menimpa saya di satu waktu yang tak terduga.

Sekitar 1.5jam kemudian saya akhirnya bisa berbaring. Tempat tidur di sebelah pasien inilah yang akhirnya saya gunakan. Tempat tidur seorang pasien yang wafat sekitar 1 jam yang lalu. Tampak jelas di mata saya seorang anggota keluarga dengan badan gemetar berjalan gontai dan 2 orang lelaki dewasa (petugas RS) yang mengusung jenazah melalui lorong IGD.

Subhanallah. Akankah hal yang sama (akan) terjadi pada saya?

Mencoba menata hati dan pasrah pada ketentuan Allah. Saya yang tadi bernafas lewat tabung, sekarang bisa menikmati oksigen yang terpasang permanen di dekat tempat tidur. Dalam posisi terbaring seperti ini setidaknya kepala dan badan saya lebih bisa beristirahat. Dalam sekian menit sesak parah yang sempat saya rasakan pelan-pelan berkurang. Dan sebisa mungkin berusaha memejamkan mata dan istirahat.

Waktu Demi Waktu Berlalu

Saya “tertahan” di ruang IGD selama 3 hari 2 malam karena menunggu ruang isolasi/perawatan yang masih penuh. Seperti yang disampaikan oleh dokter yang berjaga, selama menunggu kamar/tempat tidur di ruang isolasi available, saya dirawat sementara di IGD. Dan itu tidak bisa dipastikan waktunya.

Di selang waktu inilah banyak rasa dan kejadian yang membuat saya semakin menyadari bahwa sehat itu mahal harganya, makna kehadiran keluarga begitu terasa, waktu itu sangat berharga serta luar biasa berat dan beresikonya pekerjaan tenaga medis di masa pandemi.

Melewati waktu-waktu dalam kondisi tubuh lemah, saya banyak termenung tanpa mampu melakukan satu hal pun yang berarti. Memperbanyak kesempatan memohon ampun kepada Yang Kuasa jika mungkin banyak perilaku buruk yang sudah saya lakukan atau kurangnya sedekah yang saya lakukan selama ini. Saya yang biasa aktif, tidak bisa diam, dan selalu ingin melakukan sesuatu, pada saat itu hanya bisa memandangi lajunya tetesan infus dan minum obat di sebuah ruang yang hanya dibatasi oleh gorden berwarna biru. Dalam kondisi (sangat) bergantung pada orang lain dan sulit untuk tidur, seringkali airmata menetes tanpa bisa ditahan. Dan itu sangat menyiksa.

Saat tidak pusing saya sebisa mungkin membuka HP hanya untuk sekedar menanyakan kabar ke anak-anak. Saya malah baru sempat mengabari suami bahwa saya di IGD dan dinyatakan positif covid-19 setelah 1 malam dirawat. Anak-anak mungkin tidak tega menyampaikan berita itu kepada suami atau mungkin takut jika kabar ini malah memperburuk kondisi kesehatan ayah mereka. Karena kami tahu persis, disadari atau tidak, diakui atau tidak, secara psikis saya dan suami sudah melekat satu sama lain.

Dan itu terbukti pada keesokan harinya.

Suami yang tadinya isoman di rumah, akhirnya terpaksa dilarikan ke IGD karena saturasi oksigen menurun dan demam yang semakin tinggi. Dan karena IGD penuh, suami akhirnya diijinkan tidur di kasur saya. Ya Allah. Dada saya sesak dengan tangis tertahan. Apalagi saat memegang kepala suami yang panas, sorot mata redup dan melihat tubuhnya semakin mengurus. Melihat rekam medis selama ini, dokter internist yang biasa merawat suami, memutuskan untuk memberikan prioritas pengobatan dan segera mungkin mencarikan ruang perawatan.

Melihat kondisi yang ada. Saya meminta dokter untuk memulangkan saya. Selain memang tak ada bed di IGD maupun di ruang isolasi (khusus perempuan) dan saya tidak betah dengan kondisi dan situasi IGD, terutama karena tidak mandi, berganti baju dan makan minum yang sangat terbatas (bahkan tak mampu saya telan), serta ribut plus hiruk pikuknya ruang IGD.

Alhamdulillah akhirnya diijinkan. Meskipun saat itu saya masih dalam kondisi positif. Tapi saya memiliki keyakinan bahwa dengan isoman di rumah, badan bersih, tempat tidur yang nyaman, makan minum yang lebih teratur dan situasi lingkungan yang (jauh) lebih nyaman, inshaAllah proses penyembuhan akan lebih cepat. Walaupun lagi-lagi saya harus terpisah dengan suami tercinta.

Dan Saya pun Resmi Menjadi Penyintas Covid-19
Hasil tes lab sebelum pulang ke rumah

Pulang ke Rumah dan Isoman

Home Sweet Home

Saya dan suami benar-benar bertukar tempat. Kamar di rumah yang tadinya digunakan oleh suami untuk isoman, sekarang ditempati oleh saya. Sementara suami menempati tempat tidur saya di IGD rumah sakit. Kalau diingat sekarang rasanya masih gak percaya. Tapi itu benar terjadi.

Menempati kamar Fauzi di lantai 2 yang sudah dibersihkan Fiona dan disemprot cairan disinfektan berjam-jam sebelumnya, saya langsung mandi dan memutuskan untuk mengistirahatkan diri. Menyalakan AC, menutup kamar agar tenang dan bisa membawa saya tidur. Deretan kenikmatan yang tidak bisa saya rasakan selama di IGD.

Berada di Rumah Sendiri adalah Sebaik-baiknya Kenyamanan Hidup

Selama saya isoman di lantai 2, anak-anak berpindah ke lantai bawah. Termasuk ruang kerja dan studio saya yang akhirnya jadi kamar tidur plus ruang kuliah on line si sulung. Komunikasi banyak kami lakukan via WA. Selain untuk efektivitas tenaga, juga rasanya lebih nyaman. Semua kebutuhan harian saya, terutama makan dan minum, terlebih dahulu ditaruh di depan pintu kamar, memastikan anak saya sudah turun, sebelum akhirnya saya keluar mengambil. Pakaian kotor terlebih dahulu saya semprot cairan disinvektan, dimasukkan dalam kantong plastik, sebelumnya akhirnya diantar ke penatu.

Karena dalam 5 hari isoman fisik benar-benar terpuruk, saya hanya bisa banyak berbaring. Terkadang diselingi dengan kegiatan mandi 1kali sehari, buang hajat dan duduk sebentar (tak bisa lama karena tensi yang drop). Saat kepala sedang tidak oleng dan tertidur, saya biasanya mendengarkan musik dan nonton beberapa youtube channel, drama serta film yang menyenangkan hati.

Ngomongin soal film, saya pernah iseng nonton film horor berjudul Lampor. Secara ya saya penggemar berat film/drama di genre ini. Walhasil, di tengah film berlangsung, mendadak saya sesak napas dan terengah-engah seperti orang habis lari 10km tanpa henti. Bukan karena saya takut tapi karena banyaknya adegan yang mengagetkan. Sokorin (ngakak guling-guling).

Oia, terkadang juga membalas beberapa pesan WA dari anak-anak dan mereka yang berhubungan dengan masa pemulihan. Saya menghindari membaca pesan WA yang menanyakan kondisi dan cerita panjang tentang bagaimana saya bisa terjangkit karena terus terang hal-hal seperti ini justru membuat psikis saya terguncang. Bukan apa-apa. Bagi saya mengulang-ulang ingatan akan hal buruk, justru membuat hati kita terus nyangkut dengan kesedihan. Jadi mohon maaf banyak pesan yang sengaja tidak saya buka. Jikapun dijawab, saya seringnya membalas dengan kalimat pendek-pendek.

Sendiri di Tengah Rasa Sakit dan Keheningan Itu Nyatanya Perlu Penerimaan dari Hati yang Lapang

Sering tetiba airmata menitik tanpa disadari. Banyak pertanyaan yang melintas di kepala yang tak terjawabkan. Seperti “Kok bisa ya saya tertular, padahal sudah menjaga dan patuh prokes sedemikian rupa“, “Siapa sih orang yang sudah menularkannya kepada saya. Apakah orang ini tahu bahwa dia sudah terpapar?”, “Kenapa ya waktu itu saya tidak pulang saja. Toh sudah jelas terlihat situasi penyelenggaraannya tidak aman?” Pertanyaan seperti ini terus saja berputar di kepala.

Salah satu hal yang membuat saya banyak berpikir adalah berjauhan dengan suami yang sehari setelah kepulangan saya dimasukkan ke ruang isolasi khusus. Apalagi dalam beberapa hari komunikasi kami sempat terputus. Salah seorang yang saat itu bisa saya andalkan adalah dokter penyakit dalam yang merawat suami yang kebetulan juga adalah dokter yang sering menangani saya. Tapi itupun harus bersabar menunggu balasan karena tentunya beliau pun sangat sibuk menangani sekian banyak pasien.

Berpisah dengan pasangan dan belahan jiwa dalam kondisi sama-sama sakit nyatanya sadar atau tidak sudah banyak memakan pikiran. Nasihat-nasihat untuk tidak “terjerumus” dalam beban pikiran ini banyak mampir di setiap pembicaraan on-line. Saya cuma terdiam. Yang tidak pernah mengalami tentu tidak akan mendapatkan empatinya.

Leher Pahit dan Indera Pengecap yang Terkontaminasi

2 hal yang sangat mempengaruhi isoman dan proses pemulihan. Saya tidak tahu persis apa penyebabnya tapi kuat dugaan hal ini terjadi karena obat-obatan dari dokter yang saya konsumsi. Dari sekian banyak obat yang saya minum, 1/2 diantaranya pahit nauzubillah. Leher saya jadi susah menelan, merasakan pahit yang berlebihan dengan lidah yang hanya bisa merasakan asin yang tak terhingga. Jadi selama mengkonsumsi obat-obat ini nafsu makan saya sangat terganggu, bahkan seringkali sampai tidak mampu menelan. Yang lancar bisa saya konsumsi adalah buah-buahan (terutama jeruk, melon dan buah naga). Itupun harus dimakan dalam potongan kecil-kecil, dikunyah pelan-pelan hingga hancur agar bisa ditelan.

Beberapa kali saya akali keinginan makan dengan menghadirkan makanan ringan yang sangat saya sukai. Tapi nyatanya nafsunya hanya bertahan di mata. Sedih banget. Padahal pengen bisa makan lahap supaya kondisi tubuh segera membaik. Keinginan kuat tapi kemampuan tak ada. Dari titik ini saya mendadak berpikir bahwa meskipun kita punya uang banyak untuk membeli semua atau aneka makanan, tapi kalau tidak sehat, semua itu menjadi tidak berarti.

Kondisi Perlahan Membaik

Saya akhirnya berkonsultasi dengan salah seorang teman yang juga adalah dokter spesialis. Atas sarannya saya diminta untuk berhenti mengkonsumsi obat-obatan dan beralih ke materi herbal. Dia menginstruksikan saya untuk memberi jeda sekitar 2-3 hari diantaranya. Jadi di hari ke-6, semua obat dokter saya berhentikan, lalu dilanjut dengan Vitamin C dosis tinggi (Hevit-C 500gr) dan herbal penguat kondisi tubuh sekaligus bisa berfungsi sebagai peningkat imunitas (Propoelix dan Qusthul Hindi) di hari ke-8 isoman. Alhamdulillah cara ini ternyata jitu.

Nafsu makan saya perlahan mulai bangkit. Rasa pahit di leher hari demi hari berkurang. Kondisi yang membuat saya nyaman untuk menelan. Saking kepengennya makan dengan kondisi normal, di hari ke-8 saya “hajar” dengan nasi putih plus rendang padang (ngakak). Lumayan. Meski baru 10 suapan, setidaknya bisa makan seperti biasa. Nasi dan lauk hanya 1 kali bisa saya telan. Selebihnya adalah telor rebus dan buah-buahan. Tapi hanya sekali itu saya nelan nasi padang, selebihnya kebanyakan bubur dengan kecap manis dan rebusan telur. Untuk mengimbangi rasa asin berlebihan yang lama bertahan di mulut.

Di hari pelepasan obat (hari ke-6) saya mulai melatih diri untuk duduk dan berjalan. Meski tak bisa lama. Jam 10:00wib saya usahakan berjemur di teras lantai 2 rumah. Mandi dalam rentang waktu yang lebih panjang, mampu membaca, dan menikmati dan mengecap harumnya kopi hitam tanpa gula. Saya juga sudah bisa mengobrol lebih lama di WA. Dengan catatan kepala tidak dalam kondisi berat.

Alhamdulillah selama isoman banyak sekali dukungan doa, percikan semangat, dan limpahan kiriman makanan, minuman istonik, dan vitamin yang dikirimkan ke rumah. MashaAllah. Sungguh satu kenikmatan tak terhingga saat kita sedang terpuruk dan butuh uluran tangan.

Di hari ke-12 isoman dan kepulangan suami dari rumah sakit saya sangat merasakan suntikan semangat yang begitu bernilai. Meski harus mengurus suami yang terlihat belum pulih secara fisik di tengah batuk, sesak yang terkadang muncul, saya merasakan hati yang lebih lapang dan gembira. Belahan jiwa sudah ada di sisi. For good or bad, we’re home together. Waktu yang tepat bagi saya untuk merawat dan menabung pahala sebagai seorang istri, walau di saat yang sama saya juga sedang berjuang menuju pulih (fisik dan mental). Welcome home my kind-hearted hubby. Tetap semangat melanjutkan isoman di rumah.

Dan Saya pun Resmi Menjadi Penyintas Covid-19
Suami berfoto setelah vaksin
Dan Saya pun Resmi Menjadi Penyintas Covid-19

Hikmah Dibalik Musibah

Selalu ada makna, pelajaran hidup dan hikmah di setiap kejadian. Baik itu kejadian suka maupun duka. Menyenangkan atau menyakitkan hati. Walaupun saya bukan orang yang hebat dan sempurna untuk mampu menerima hikmah atau mengkoreksi diri, tapi setidaknya hingga setua ini, saya (ingin) terus belajar mengikhlaskan diri pada setiap kenyataan yang menjadi jalan hidup saya. Termasuk untuk urusan yang satu ini.

Seiring dengan masa pemulihan fisik yang hingga saat ini masih berlangsung, seperti batuk dan sesak yang muncul di pagi hari (pas bangun tidur), gampang lelah, daya ingat yang menurun dan sering lemod kalau diajak ngobrol/bicara, saya pun mencatat beberapa hal yang wajib kita persiapkan dikala kita tertimpa musibah penyakit yang mengancam jiwa.

Menabung dan Mempersiapkan Dana untuk Kesehatan

Sudah jadi rahasia umum bahwa sehat itu mahal harganya. Apalagi di tengah pandemi dimana semua hal yang menyangkut pengobatan, harga dan biaya untuk sembuh itu didominasi oleh mereka yang bergerak di bidang/bisnis kesehatan. Jadi kita WAJIB menabung atau menyisihkan dana khusus setiap bulannya untuk kepentingan ini. Meskipun ada fasilitas asuransi (dari tempat kerja/kantor atau pribadi), jasa layanan kesehatan pemerintah, dan lain-lain, nyatanya selalu ada biaya yang harus ditanggung sendiri.

Untuk Swab Antigen di klinik biayanya adalah 180K/orang. PCR Test 1.200K/orang (klinik) dan 1.600K/orang (RS). Biaya selama saya di IGD mencapai dua puluhan juta dan karena IGD masuk dalam outpatient facility, jatah asuransi saya langsung amblas. Malah harus membayar sendiri beberapa cost yang tidak dicover asuransi. Kenapa langsung habis? Karena gak lama sebelum ini, sekitar 2 bulan sebelum terpapar Covid-19, saya sempat lama berobat dan opname karena terkena DBD. Waktu itu, jika tidak salah ingat, asuransi sudah menanggung biaya pengobatan saya senilai lebih dari 30an juta. Amblas lah sudah jatah saya.

Sementara suami, alhamdulillah semua bisa dicover asuransi. Pertama karena tidak pernah opname dalam tahun ini. Berobat juga tak sering. Lalu saat menempati ruang isolasi, data suami dilaporkan kepada negara hingga akhirnya biaya selama isolasi ditanggung oleh pemerintah. Poin terakhir ini penting banget sebelum memutuskan akan isolasi atau opname di rumah sakit karena pandemi. Harus ngecek ke administrasi RS karena seharusnya biaya treatment pandemi bisa ditanggung oleh pemerintah. Karena kalau tidak, siap-siaplah menanggung sendiri semua biaya yang bisa mencapai puluhan bahkan ratusan juta.

Beberapa hari setelah isoman, dalam kondisi sudah memungkinkan, suami harus menjalani beberapa tes kesehatan termasuk diantaranya PCR dan D-dimer (pengentalan darah) sesuai instruksi dokter. Agar jatah kesehatan asuransi suami tidak tergerus dengan cepat, saya akhirnya memutuskan untuk melakukan tes-tes tersebut di luar RS dengan biaya yang jauh lebih murah. Alhamdulillah semua biaya ini bisa direimburse ke asuransi meskipun harus kami talangi terlebih dahulu.

Ini juga penting nih. Harus mau dan meluangkan waktu ngecek biaya-biaya laboratory dari setidaknya 3 sumber sebagai perbandingan. Intinya adalah selain alasan yang saya sebutkan di atas, tempatnya harus berkualitas, bersih dan aman dari antrian. Berkat informasi teman-teman yang tinggal di seputaran Cikarang, akhirnya saya menemukan klinik Prodia yang ternyata total biayanya bisa 1/3 dari RS. Another lesson to learn.

Kesiapan Mental Anak-anak dan Keluarga yang Terlibat

Saat kedua orang tua sedang sakit dan dalam kondisi tak mampu menjalankan fungsi seperti biasa, anak-anaklah yang harus mengambil alih tanggungjawab tersebut. Termasuk diantaranya mengurus kebersihan dan kebutuhan rumah, berkomunikasi dengan sanak famili (di luar keluarga inti), plus bertanggungjawab atas pengaturan keuangan.

Anak-anak saya semuanya sudah beranjak dewasa. Fauzi berusia 21 tahun (yang pas ulang tahun saya berada di IGD) sementara Fiona berusia 17 tahun. Keduanya, terutama Fiona, sudah terbiasa membantu saya mengurusi semua keperluan rumah bahkan akses untuk transaksi keuangan menggunakan akun saya. Jadi saya tidak khawatir saat saya harus istirahat total, lepas sementara dari tanggungjawab sebagai ratu rumah tangga.

Kondisi lain yang membuat saya tenang adalah kehadiran adik ipar saya yang pernah tinggal bersama kami selama hampir 9 tahun. Dialah orang pertama yang saya hubungi saat kondisi fisik saya dan suami mulai menunjukkan indikasi tak baik. Metty, adik ipar saya inilah yang banyak mengkoordinir/membantu mobilitas saya dan suami karena anak-anak belum bisa nyetir (bawa mobil). Satu hal yang luput dari skill update saya untuk anak-anak. Metty yang kebetulan adalah seorang pharmacist dan bekerja di KALBE, mengerti akan dunia medis dan perkembangan pandemi, sangat memudahkan kami akan apa dan bagaimana menangani saya dan suami.

Alhamdulillah dengan kolaborasi antara anak-anak dan tantenya (Metty) semua hal dapat berjalan di jalur yang benar dan aman. Dan karena pernah tinggal bersama kami, anak-anakpun tak mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan tantenya. Anak-anak diajari bagaimana menjaga diri agar tidak terinveksi sembari tetap bekerjasama merawat saya yang sedang isoman di rumah.

Memahami Apa dan Siapa Saja yang Bisa Membantu Kita Saat Sedang Kesusahan

Saudara kandung dan ipar saya tidak banyak. Saya punya 2 orang saudara lelaki yang tinggalnya berjauhan (di Cipanas dan Jakarta). Suami punya 3 saudara perempuan yang juga tinggal berjauhan (2 di Bandung dan 1 (Metty) di Jakarta). Meskipun dalam hitungan jarak tidaklah jauh-jauh amat, dalam kondisi pandemi dengan keterbatasan mobilitas makna kata “jauh” pun menjadi lebih luas.

Tak bisa kontak fisik secara langsung, 2 ipar perempuan saya di Bandung (Teh Ima dan Teh Yati) hadir dalam bentuk perhatian yang berbeda. Seringkali mereka berkomunikasi dengan anak-anak, mengirimkan makanan dan menanyakan perkembangan kesehatan saya dan suami. Disini saya paham senangnya punya saudara perempuan. Beda dengan saya yang harus menerima saudara lelaki yang bahkan menanyakan kabar pun tidak. Namun saya tetap paham. Mungkin karena menganggap saya dan suami tidak berkekurangan, mereka tidak merasa (harus) khawatir.

Anak-anak pun saya ajarkan untuk tidak bersikap menuntut ataupun meminta-minta dengan saudara dan pada siapapun itu. Jika diberikan perhatian atau pertolongan ya ditanggapi, wajib mengucapkan terimakasih, mendoakan mereka, dan sebisa mungkin membalas kebaikan tersebut. Kalaupun tidak ya biarkan saja. Sikap yang terus saya tanamkan, ajarkan dan inginkan agar anak-anak mandiri hingga mereka tua nanti dan kami (orangtuanya) sudah tidak ada. Pada kenyataannya kita tidak tahu isi hati dan pola pikir orang lain atas kita. Jadi dalam prinsip hidup saya, kemandirian adalah sikap utama yang tidak boleh ditawar. Disamping tentu saja akhlak dan attitude yang baik dan sopan. Jika orang memperlakukan kita dengan baik maka kita harus membalas kebaikan itu dengan hal atau tindakan yang jauh lebih baik lagi.

Ketidakhadiran saudara kandung ternyata banyak tergantikan dengan para tetangga. Tahu bahwa saya masih sering merasakan sesak dengan saturasi oksigen yang sering turun atau di angka pas-pasan selama isoman, Pak RT membantu menyediakan tabung oksigen beserta kelengkapannya. Teman-teman yang tinggal berdekatan pun seringkali menanyakan apa yang saya butuhkan (terutama makanan).

Begitupun yang dilakukan oleh kantor suami. Atasan suami mengirimkan vitamin dan tim dari kantor di Cikarang juga turut memberikan bantuan makanan yang sungguh tumpah ruah. Karena saya kenal mereka secara pribadi, terutama yang sudah lama mengabdi dan tahu saya dari sejak saya bekerja di grup perusahaan yang sama, perhatian merekapun menjadi satu hal yang berarti.

Semua kebaikan yang selalu saya selipkan dalam doa. Semoga apa yang sudah mereka beri/bantu menjadi keberkahan dan dibalas dengan rezeki yang berlipat ganda dari Allah SWT. Mungkin balasan dari Allah tidak spontan. Tapi saya yakin semua akan terbalaskan tepat pada waktunya.

Penerimaan Diri

Saat dalam kondisi terpuruk banyak hal yang masuk kedalam pemikiran dan relung kalbu kita. Begitupun yang terjadi dengan saya. Banyak perenungan yang hinggap pada diri saya saat sendiri di dalam kamar, melewati waktu demi waktu tanpa bisa melakukan hal-hal yang bermanfaat. Hanya berbaring dan berusaha untuk menyemangati diri sendiri. Sungguh adalah perihal yang membuat kita merasa (semakin) tak berguna. Bergantung pada orang lain, meskipun pada anak dan adik sendiri, membuat tekanan-tekanan psikis itu semakin membebani.

Tapi nyatanya memang itulah yang harus saya lakoni.

Seiring dengan berjalannya waktu selama proses penyembuhan, saya (mulai) merasakan dan memahami bahwa apapun yang terjadi saat itu adalah murni rencana Allah. Saya harus bisa ikhlas menerima, menegakkan kekuatan iman dan berserah atas apa yang sudah Allah gariskan dalam hidup saya. Jadi pada satu titik tertentu, saya sudah ikhlaskan jika nyawa saya harus terenggut meskipun sesungguhnya saya tetap ingin hidup hingga anak-anak berdiri mapan di atas kaki mereka sendiri.

Intinya adalah menerima, menerima dan menerima takdir saya.

Bahkan seharusnya saya lebih bersyukur. Karena di sana, di belahan bumi yang lain, ada banyak orang yang kondisinya mungkin lebih parah, tidak tertolong, bahkan harus meregang nyawa detik demi detik.

Saya harus kuat secara psikis agar kesehatan fisik pun akan turut menyertai.

Kondisi Saat Ini

Saat saya menyusun artikel ini, alhamdulillah kondisi fisik saya dan suami sudah jauh lebih baik. Kami terkadang masih mengalami beberapa gejala long covid seperti batuk, sedikit sesak, gampang lelah dan lemod dalam berpikir (ini terjadi pada saya). Namun alhamdulillah rangkaian masa-masa berat itu sudah terlewati dengan baik.

Semoga apa yang sudah saya tuliskan bisa menjadi legacy atas satu peristiwa penting yang sempat terlampaui. Satu waktu yang makin merekatkan rasa saling memiliki di dalam keluarga kami. Satu waktu yang mengajarkan betapa masing-masing dari kami adalah raga yang sangat berarti. Satu waktu yang sudah mengajarkan begitu banyak hikmah tak terperi.

Terimakasih Allah SWT atas setiap jengkal rencana dan pelajaran bagi hidup saya, suami dan kedua anak saya.

Dan Saya pun Resmi Menjadi Penyintas Covid-19
Dan Saya pun Resmi Menjadi Penyintas Covid-19

#pademi #viruscorona #covid19 #penyintascovid19 #perjalanandiri #muhasabahdiri

Blogger, Author, Crafter and Photography Enthusiast

annie.nugraha@gmail.com | +62-811-108-582

31 thoughts on “Dan Saya pun Resmi Menjadi Penyintas Covid-19”

  1. Alhamdulillah ya mbak ikut senang dengernya sekarang udah sembuh total, semoga pandemi ini segera berlalu biar nggak ada ketakutan2 lagi. Btw menyisihkan sebagian uang untuk dana darurat emang penting banget, biarpun udah tercover asuransi tapi kita kadang harus bayar beberapa perintilan yang kadang gak termasuk dalam list asuransi

    Reply
    • Banyak juga asuransi yang tidak menalangi pandemi. Ada beberapa pasien IGD pas saya di sana yang mengalami ini. Pada awalnya asuransi dari kantor suami malah tidak menerima beragam tes (swab, PCR, dll). Jadi semua harus dibayar sendiri. Tapi akhirnya belakangan diperbaharui.

    • Aamiin YRA. Biarlah virus Covid bertahan di tanah kelahirannya aja. Jangan lagi menyebar ke seluruh dunia

  2. Ini nih yang saya takutkan Mbak

    OTG karena tidak ada gejala sehingga Mbak Annie bisa divaksin

    sementara supermarket/tempat publik lainnya, hanya mendeteksi pengunjung via thermogun

    saya baca Mbak Melina juga gak demam waktu terinfeksi

    berarti anak-anak yang ikut ortunya ke supermarket/tempat publik lainnya sangat sangat tidak aman

    Reply
    • OTG itu menurut saya kondisi paling bahaya Mbak. Yang bersangkutan tak merasa atau merasakan keluhan, dia berinteraksi bebas dengan orang lain, sementara yang diajak berinteraksi tidak tahu bahwa orang tersebut OTG.

      Proteksi di ruang publik menurut saya tidak terlalu ketat dan memproteksi virus untuk tidak menyebar. Kondisi yang dilematis juga ini. Jadi bener kata Mbak Maria, anak-anak tentunya sangat rentan tertular virus

  3. Alhamdulillah kini sudah sehat lagi, Mbak Annie. Saya setuju untuk mempersiapkan dana darurat termasuk untuk jika kita mendadak sakit yang asurasni tidak meng-cover atau jatah asuransi kita sudah habis.
    Memang habis-habisan saat terpapar, saya, suami dan anak yang positif dan isoman di rumah terasa sekali untuk biaya itu ini, apalagi jika dirawat.
    Dan benar sebaiknya memastikan RS adalah RS rujukan covid atau atahu dari awal pembiayaan di cover pemerintah. Ada teman saat kritis dilarikan ke RS, 5 hari tagihan 22 juta bayar sendiri. Hiks.
    Semoga Mbak Annie dan keluarga selanjutnya sehat selalu ya

    Reply
    • Alhamdulillah… Udah sehat lagi ya, Mbak. Saya juga suka gemes sendiri kalau lihat antrian yang mau divaksin, malah sampe nggak ada jarak gitu. Makasih sharingnya, kita jadi bisa memetik pelajaran. Karena memang kita tidak tahu sampai kapan kita dan keluarga bisa aman dan terhindar dari covid ini. Sehat-sehat terus ya, Mbak.

    • Iya Mbak Dian. Banyak perkara penting yang saya pelajari sebelum, saat dan setelah terinveksi pandemi. Sengaja saya tuliskan sebagai legacy tentang sejarah hidup saya.

      Aamiin YRA. Doa sehat juga untuk Mbak Dian dan keluarga ya. Semoga lindungan Allah SWT selalu bersama kita.

  4. Pas baca bagian harus bertukar ranjang di rumah sakit itu sampe berkaca-kaca aku.

    Alhamdulillah sekarang sudah jauh lebih sehat. Dan, semoga akan tetap terjaga terus amiiin.

    Reply
    • Aku juga pas ngetiknya perasaan mengharubiru Yan. Salah satu bagian terpahit dari perjalanan terjangkit pandemi. Semoga gak akan pernah terjadi lagi. Aamiin YRA.

  5. Wah keren sekali pengalamannya. Saya pun pernah terpapar COVID-19, ngerasain wedang jahe aja rasa kuahnya kayak sayur sup hahaha :D

    Btw, setelah vaksinasi COVID-19 memang semakin bagus sih sistem imunitas tubuh kita. Jadinya lebih kebal dan saya pribadi malah gak pernah kena pilek atau batuk. Biasanya kalo ada orang bersin2/flu besoknya pasti ketularan. gak tahu nih setelah vaksinasi COVID-19 malah gak pernah flu dan batuk. Apakah ini efek positif vaksinasi COVID? atau hanya kebetulan ya? hehe #entahlah

    Reply
    • Katanya sih begitu. Setidak selama 1 tahun setelah kita sembuh, sistem imunitas tubuh kita dalam kondisi terbaik.

  6. MasyaAllah perjuangan banget ya mbak bisa sembuh dari virus c+. Alhamdulillah terima kasih banyak sharringnya. Jadi belajar bagaimana harus bersikap bila Ada keluarga yang terkena sakit ini

    Reply
    • Iya Mbak. Mungkin karena sudah berumur dan adaptasi tubuh setiap orang berbeda, jadi proses healingnya pun berbeda-beda.

      Alhamdulillah semoga jadi pembelajaran dan tambahan pengetahuan bagi yang membacanya

  7. Menjadi pembelajaran buat saya setelah membaca kisah ini..terima kasih sudah berbagi ..kiranya ibu Annie dan keluarga senantiasa diberikan kekuatan dan kesehatan selalu Amin YRA..semangat ya bu Annie

    Reply
  8. alhamdulillaaah alhamdulillaaaah
    saya baca pelan pelan dan rasanya sesak dada menyaksikan ayukku yang terkenal baik hati, cantik dan selalu ceria terbaring sakit… dan aku ga bisa nolong sama sekali!

    di saat yang sama, merawat mertua (yang hingga sekarang kadang masih menggunakan tabung oksigen) dan masih dipapah ke kamar mandi, jadi …. speechless

    terimakasih sudah berbagi, insya Allah diberikan kekuatan selalu ya yuk, peluuukkkkkkk

    Reply
    • Alhamdulillah Tan. Meskipun makan waktu yang lumayan lama untuk negatif, tapi semuanya bisa berlalu dengan baik.

      Usia memang banyak mempengaruhi Tan. Semakin berumur kita, semakin rentan tubuh kita untuk beradaptasi. Semoga mertua segera pulih ya Tanti.

  9. Kami juga sekeluarga baru saja jadi penyintas covid mbak. Qodratullah tanggal 5 Agustus kemarin suami demam, udah berharap gak kena eh pas tes ternyata positif. Akhirnya kami ikhtiar isoman karena merasakan gejala yang gak terlalu berat. dan minggu ini baru saja selesai masa 14 harinya dan sudah negatif.

    Reply
    • Iya Mbak Dyah. Kalau masih gejala ringan, isoman bisa jadi pilihan. Tapi untuk seusia saya dan suami dan komorbid sebaiknya harus konsul ke dokter dulu.

      Alhamdulillah sudah sehat ya Mbak. Semoga kita semua tetap sehat dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin YRA

  10. Wah, sama nih Mbak. Aku juga nih. Setelah hati-hati selama lebih dari 1,5 tahun di masa pandemi, lha akhirnya kena juga. Entahlah bisa masuk dari mana si virus. Mungkin memang qodarullah ya. Suami udah full vaksin padahal. Tapi Alhamdulillah ringan gejalanya saat kena. Gejala cuma batuk pilek dan anosmia aja. Seminggu langsung sembuh. Anak-anak juga gejala ringan, batuk, demam ringan, dan anosmia. Semingguan juga langsung sembuh. Aku nih yang lumayan. Semua gejala kerasa. Dari demam sedang, sakit kepala, mual, muntah2, diare, anosmia, pegal otot, kabur penglihatan, menstruasi kacau, susah makan, dan susah tidur. Alhamdulillahnya gak sesak napas, padahal ada asma. Jadinya gak perlu tabung oksigen. Aku sembuh di hari ke -12an. Tapi gejala long covidnya lumayan. Sempet ngerasain parosmia seminggu. Bisa nyium bau, tapi jadi bau busuk. Semua yang berbau baunya busuk. Alhamdulillah, dengan sugesti dan terus dipaksain, akhirnya bisa normal. Tapi sekarang masih kadang ngerasain batuk, lemes, dan ada sesak. Alhamdulillah sih makin berkurang.

    Semoga cuma ngerasain sekali aja ya covid ini. Sehat-sehat selalu ya kita semua. :)

    Reply
    • Subhanallah Mbak Nia. Sesama penyintas ya kita. Luar biasa memang perjuangan menuju sehat Mbak. Memang untuk setiap orang tentunya berbeda gejala dan proses pemulihannya. Saya dan suami agak lambat dan butuh waktu panjang karena komorbid.

      Aamiin YRA. Semoga kita selalu dalam lindungan Allah SWT.

  11. Subhanallah.. pengalaman yang sangat luar biasa. Alhamdulillah, akhirnya bisa melewati semua dengan sekuat tenaga. Semoga mbak Annie dan suami makin diberikan kesehatan yang paripurna oleh Allah SWT Aamiin.

    Reply
  12. ya allah seperti membaca cerminan diri, aq pun terpapar sekeluarga tp sayangnya suami gak tertolong, cuma beda sebulan sama mba Annie. sampai sekarang masih seperti mimpi dan aku masih terseok2 menata hati dan mencoba menjalani ritme kehidupan yang mau gak mau dan siap gak siap mesti aq jalanin mba. sehat selalu mba Annie :)

    Reply
    • Aamiin YRA. Semoga pengalaman melalui covid ini tidak terjadi lagi ya Mbak Ria. Saya, hingga saat ini, kondisi fisiknya sungguh berubah. Tidak sekuat dulu. Lebih gampang rapuh dan sakit. Tapi ya diterima aja. Tinggal sekarang butuh effort ekstra dalam menjaga kesehatan.

      Doa kesehatan juga buat Mbak Ria. Alfatihah buat suami yang sudah mendahului kita. Semoga beliau sekarang sudah berbahagia di surga, di rumah Allah Subhannahu Wata’ala. Mbak Ria selalu kuat menjalani hidup.

Leave a Comment