Buku atau Novel dengan 37 sub cerita ini sudah bolak balik saya baca. Dan di setiap episode membaca, yang sebagian besar dilakukan di tempat umum, selalu sukses bikin saya senyam senyum sendiri. Kok gitu? Ya karena ada beberapa cerita (banyak mungkin) yang sama serunya, yang (pernah) saya dapatkan dari beberapa teman yang juga adalah teller di sebuah bank capek banget antrinya (pasang muka lempeng).
Sekedar flash back. Di seputaran tahun 1995, saya pernah ngantor di daerah Kuningan, Jakarta Selatan. Demi menghemat ongkos, saya memutuskan ngekost di bedengan khusus untuk perempuan berpintu banyak berjudul “Kost Wanita Baik Baik”. Kost yang cuma butuh bolak balik ngesot untuk sampe kantor ini, penghuninya sebagian besar adalah cewek-cewek pegawai bank itu tadi. Kebetulan pulak bank nya ada di gedung yang sama dengan kantor saya. Jadilah dunia kami sempit hanya selebar sempak ukuran M.
Sebagian besar dari mereka adalah teller. Tapi ada juga yang bekerja di bagian HRD, GA, dan Customer Service. Jadi setiap tiba waktunya makan malam, kita semua ngumpul di ruang serbaguna khusus untuk nonton TV. Saat-saat ini nih yang selalu saya tunggu. Celoteh riuh rendah bonus cerita lucu, seru, nggemesin, ngeselin, mengisi waktu-waktu kami berkumpul. Pokoknya hebring dengan keriuhan setiap malam. Obat stress paling ampuh setelah hampir seharian digojlok oleh pekerjaan dan boss masing-masing.
Selain episode-episode penuh tawa, cerita ngenes karena harus nombokin salah hitung duitpun lumayan sering terjadi. Kalau sudah kek gitu, sayalah yang biasa jadi tempat utangan. Secara, kalau diukur dari digit upah bulanan, saya masuk dalam golongan paling sejahtera diantara semuanya (sombong padahal duit juga ngepas buat sehari-hari).
Eettsss. Dah segitu dulu nostalgilanya. Sekarang balik ke laptop (baca: ke novelnya Yayan)
Sebelum ngebahas berbagai isi novel yang saya suka, semua pasti sepakat bahwa setiap pekerjaan punya dunia dan perjuangan psikologisnya masing-masing. Untuk saya yang pada awalnya bekerja sebagai sekretaris dan personal assistant, psychology’s battle saya adalah mengerti dan memahami orang yang sama. Setiap hari. Jadi semua sisi baik dan buruk boss, selama kita bekerja di situ, ya harus ditelan apa adanya. Gitu dah nasib pegawai junior (ketawa getir mengingat masa lalu). Bisa dibayangkan dong gimana nasibnya teller. Saban hari menghadapi orang yang berbeda-beda. Kadang nyenengin, nyebelin, bikin ketawa, bikin sesak nafas, dan lain lain. Pengen nyubit tapi jari terkunci.
Yang Bikin Ngakak Terjungkal-jungkal
Keliru Gender. Nama yang menipu terjadi ketika menghadapi customer bernama Desy Haryanto. Desy gitu loh. Cewek banget kan? Tapi ternyata ada edisi cowoknya. Riweh banget saat harus menyebutkan “Pak” atau “Ibu” sementara teller dalam kondisi kudu hormat dengan menyebutkan panggilan yang tepat. Cerita yang senada bisa kita temukan di bagian 31 (Ibu? Bapak? Bapak Ibu Bapak?).
Saya juga pernah punya temen kantor namanya Ferranti. Panggilannya Ipung (beda jauh kaaan). Namanya cewek banget. Tapi alhamdulillah orangnya lelaki tulen. Tak pernah satupun orang baru atau yang baru kenal, langsung menyebutkan “Pak”. Bahkan untuk mengisi beberapa form, aplikasi visa misalnya, saya selalu sengaja menuliskan (Mr.) di bagian belakang nama, walaupun sudah ada kolom khusus jenis kelamin untuk ditandai. Begitupun kalau orang menelpon. “Bisa bicara dengan Ibu Ferranti?” Awalnya saya selalu sibuk membenarkan, “Pak Ferranti?” Biasanya selalu dijawab “Oh maaf, saya kira cewek” Tapi hari-hari berikutnya saya nyerah sendiri (ngekek). Sutralah, ntar juga kalo denger suara ngebass pasti langsung ngeh sendiri.
Ngomongin Fisik. Walaupun harusnya gak boleh, tetap aja kesan pertama ketika bertemu orang adalah fisiknya. Pepatah boleh mengurai “Don’t judge the book by it’s cover” tapi dasarnya manusia yaaa tetep aja yang dilihat adalah casing nya dulu (ya apa iyaaaa).
Naahh ada 1 karakter yang jadi favorit saya di novel ini. Namanya Micky Cullun. Diceritakan di bagian 21 dengan judul Micky Cullun vs Mrs. Wawa
“Micky ini dandanannya unik. Pakaiannya dandy. Rambutnya mohawk. Entah berapa kilo jel yang dia pakai dalam sehari. Sebagai generasi alay, tak lupa Micky pakai behel. Behelnya warna warni pula. Dan yang bikin Micky terkenal itu adalah cara ngomongnya yang culun dan gayanya yang gemulai serta kemana-mana dia selalu pakai bedak”
Baca sederetan kalimat ini ke paragraph ke-2, saya langsung mempetakan fisik Micky dalam kepala saya. Terutama untuk urusan mohawk dan bedak. 2 unsur yang sungguh berbeda. Antara maskulin dan feminin. Kalau dalam bahasa Perancis mungkin harus ditulis lo karena gak bisa menggunakan le atau la (ngekek guling-guling).
Salah seorang pegawai distro yang bergiliran setor duit penghasilan ke bank tempat Yayan bekerja ini, suatu saat amprokan dengan Ibu Wawa (salah seorang nasabah setia juga).
“Woi Dek, kau ini pake bedak yo?”. Merasa diltelanjangi, Micky keliatan sebel banget dan bete.
Belum mendapatkan jawaban yang akurat, Bu Wawa kembali berseloroh, “Ah pastilah kau ini pake bedak. Kok biso muko putih tapi leher masih item. Hahahaahahaha. Kau nih anak lanang, madak’i pake bedak?”
Mendakak bedak Micky luntur. Mukanya berubah merah, “Alangke cerudikkannyo Ibu ini. Emang nak ngapo kalu aku pake bedak? Rai-rai aku dewek”
“Diemlah ye Bu. Ibu tuh nah bekaco, cantek idak, manis idak, tapi kok nak ngatoi wong,” bela Micky sambil berangsur pergi.
Aamppunn. Berulang kali mbaca, tetap aja geli banget (sambil membayangkan kejadian di TKP nya langsung). Beruntunglah saya yang Plembangers, jadi langsung nyantol dengan bahasa daerah yang ditulis Yayan. Kalau ditulis dalam bahasa Indonesia mungkin bisa berkurang tuh peringkat kelucuannya (ngekek). Etapi kalau sulit mengerti edisi baso plembangnyo, ada kok terjemahannya dalam bahasa Indonesia di bagian bawah.
Cerita Berkesan Seumur Hidup
Ngeri banget ye baca sub judulnya. Tapi saya tidak menemukan kalimat yang tepat kecuali di atas. Pas menurut saya untuk cerita nyata yang Yayan tuangkan di bagian 30 (Sungguh Tidak Berperiketteleran), bagian 32 (Gangster Boulevard Part 1), dan bagian 33 (Gangster Boulevarad Part 2).
Cerita tentang apa sih? Kisah tentang sebuah kesalahan yang berujung dengan rentetan pengalaman. Dari ke-3 bagian cerita ini, saya menemukan beberapa catatan khusus. Pertama tidak semua orang gampang tergerak hatinya untuk membantu orang lain. Kedua ketika kita berada di titik nadir tapi tidak menyerah, insyaAllah selalu ada pertolongan tanpa kita duga. Ketiga selalu ada sesuatu yang dikala kita berada dalam satu posisi tertentu dalam pekerjaan, bakal meninggalkan memori kombinasi antara kecut dan manis.
Yang Serius Buat Dibahas
Fisik vs Attitude. Balik lagi ke urusan “Don’t judge the book by it’s cover”. Kita lagi-lagi sering dibuat tertipu untuk urusan fisik vs attitude. Dalam hal per-duit-an ternyata jelas banget pengkotakannya. Nasabah yang merasa punya duit banyak, biasanya (biasanyaaaaa loh ya) sering memanfaatkan “nilai tabungannya” untuk bersikap bak raja.
Pak Jaja yang disebutkan di bagian 4 (Warung vs Cabe) misalnya. Si bapak yang mendadak pengen narik dana 600 juta kesrimpet lidah menjuluki bank sebagai Warung Cabe. Dan saya mendadak geli saat Yayan menulis “Aaarrgghh, gue tutup teller sebentar dan lari ke belakang. Nyari lakban, tali, dan asah gergaji”.
Anyway busway, ngebaca namanya kok saya langsung kebayang aktor senior Jaja Miharja yang sedang ngomel. Berpakaian betawi, peci hitam, sambil bawak golok dan bersuara nyaring membelah bumi. Hahahaha. Catet yo Yan, kalau novel ini difilmkan, tokoh Pak Jaja kudu diperankan oleh Pak Jaja juga (ngekek sampe Sabang).
Satu lagi nih di bagian 20 (Kamu! Ingetin Muka Saya). Bapak-bapak, nasabah prioritas, seorang petinggi, yang datang bersorak sorai minta segera dilayanin. Bahkan untuk sekedar menulis slip aja ogah. Walaupun akhirnya masalahnya terpecahkan dengan ngenes berpindahnya tabungan 1M ke bank lain, penghargaan tinggi bolehlah diacungkan untuk pihak Bank. Bahkan ketika kalimat “Hai kalian, ingat muka saya! Saya gak mau lagi dilayani seperti ini!” saya mendadak pengen baca doa supaya si Bapak bisulan selama 3bulan. Gak bisa dibayangkan yang ngadepin langsung ya. Makanya Maaaak, lo gak cocok kerja di Bank hahahaah
Tak ketinggalan juga adalah kisah tentang Nenek Yungyun di bagian 29 (Angkuh Berjamaah). Ketika membaca kata durjana, saya ngekek bermenit-menit. Kelakuan durjananya ini nyiprat ke anak-anaknya yang bernama Ningcing dan Sungsung. Terus terang di bagian ini saya mbacanya terkaget-kaget. Makan apa ya orang-orang ini hingga mampu mengeluarkan kalimat-kalimat yang menusuk hati orang lain. Penutupan di paragraph terakhir sengaja saya stabiloin sebagai pengingat.
Gue sadar, nggak ada gunanya gue ucap sumpah serapah kepada mereka. Belakangan, gue meyakinkan diri, sikap baik dan buruk yang diperbuat oleh manusia akan mendapatkan balasakan setimpal. Gue yakin banget itu. Tuhan tahu tapi menunggu!!
Pesan Pesan Bankir Yang Perlu Dicatat
Sampe di bagian 25 (Do It), refleks saya menscreenshot beberapa bagian tulisan untuk disimpan di HP dan dibagikan ke teman-teman.
Duit Jangan Disteples. Bukan cuma bisa mengakibatkan kerusakan. Tindakan begini bisa mencederai teller yang akan menghitung dan harus membuka staples terlebih dahulu sebelum ditaruh di atas mesin penghitung. Masih banyak cara untuk menggolongkan dan mengelompokkan uang tanpa harus merusak fisiknya.
Uang Dipisahkan per Gopur dan Gepok, Per Kepala, dan Dalam Kondisi Rapi Tanpa Lipatan. Yang begini ini bakal mempercepat proses pelayanan. Itu kan tugasnya teller? Eeeh jangan salah. Dengan membantu teller membiasakan diri berlaku sistematis, kita juga jadi gak capek dan berlama-lama menyelesaikan transaksi. Berasa kan bedanya kalau urusan kita bisa selesai dalam waktu singkat dengan hasil yang tepat. Buat saya sih sedetik waktu pun berharga untuk dihitung. Jadi tak ada salahnya kita turut jadi bagian “orang yang memudahkan pekerjaan orang lain”.
Uang Plus Contekan. Sekali waktu saya pernah diperintahkan oleh boss untuk membantu kasir kantor menyerahkan uang cash ke Bank. Di awal 90an dimana transaksi transfer itu masih jarang terjadi. Untuk tahun segitu, uang senilai 50 juta tuh udah gemeter banget loh megangnya. Dan karena lembarannya dalam berbagai nilai 5ribuan, 10ribuan, dan 20ribuan (50ribuan rasanya belum ada), jadilah hampir setengah hari waktu tersita hanya untuk memilah, mensortir, dan mencatat. Jari saya malah sempat kebeset pinggir uang. Perih ye bookk. Di hari itu, walaupun sempet ngedumel kenapa saya yang diperbantukan, akhirnya saya jadi belajar sesuatu. Teman saya ini, yang mentalnya memang kasir tulen, rapi banget menata ikatan uang sambil menulis jumlahnya. Menghitung lagi sampe bener-bener klop. Dan ketika kita jalan berdua menuju bank, dan balik ke kantor hanya dalam waktu 15menit, Finance Manager siap menyambut dengan senyum sumringah. Mission Well Accomplished!!
Person to Person
Saya pertama mengenal Yayan ketika kami sama-sama diajak oleh Katerina untuk memenuhi undangan Dispar setempat ke Krui, Lampung. Kami menjadi langsung akrab bukan hanya berasal dari kampung yang sama, sebahasa ibu yang juga sama, tapi juga karena saya salah seorang penggemar tulisan-tulisan Yayan yang menghibur dan apa adanya.
Buku yang saya bahas ini adalah salah satu buku favorit saya di 2018. Membutuhkan waktu berbulan-bulan, membaca berulang kali, barulah saya menemukan klik untuk menulis resensinya dari sudut mana.
Secara fisik tampilan bukunya juga menarik. Covernya mengkilat jadi tidak gampang kotor. Sementara tulisan judul dibuat embosse. Hanya gambar dan warnanya yang saya kurang sreg. Mungkin karena saya penyuka warna gonjreng tunggal kali ya. But it’s return to people’s taste. Selainnya gak ada masalah. Dengan ketebalan sekitar 200an lembar, dan ukuran yang tidak terlalu lebar, buku ini sudah mundar mandir kebawa tas saya. Satu lagi yang kelewat itu adalah bagian paling akhir, Tentang Penulis, kudunya dipasang lah fotonya Yayan dan alamat email. Sapa tau kan ada bidadari cantik, beli buku ini, kemudian nyetrom menghubungi Yayan, terus kontak-kontakan, lalu ketemuan, jadian, bla bla bla (ketawa ngakak di bawah meja).
Akhirul kata (gaya Ustadzah ngasih ceramah), selamat untuk Yayan (Haryadi Yansyah) yang telah berhasil menorehkan sejarah literasinya dalam sebuah buku. Perlu usaha yang tidaklah gampang agar buku ini terbit. Teruslah menulis, tetaplah berkarya karena di masa yang akan datang, hanya tulisanlah yang akan mengingatkan orang lain bahwa kita pernah hidup di masa lampau.
Aku speechless, susah berkata-kata. Makasiiiih yuk atas ulasan yang kece badai ini.
The pleasure should be mine. Buku Yayan ini bener2 jadi hiburan berkualitas. Salam dari Fiona (anakku) dan beberapa temannya yg sempet ikutan baca buku ini.
Ditunggu buku2 selanjutnya
Mbak, ulasannya “renyah” banget, suja aku bacanya. Persis kayak diceritain isi bukunya sama Mbak Annie.
Btw, buku ini udah berseliweran di beranda aku, tapi belum kubeli juga. Kapan-kapan deh, aku harus anggarin,nih.
Ayok dibeli. Worth to read. Salah satu buku favoritku di 2018 nih. Dah beberapa kali baca, tetep aja pengen ketawa-tawa