“Bukan hanya di Jawa, di Sulawesi pun kain tenun diproduksi dengan lembaran cinta. Bentenan adalah salah satu diantaranya. Tenun yang sempat hilang selama 200 tahun lamanya ini, kini berjaya di tanah kelahirannya sendiri.”
Ini hari kedua saya berada di Manado, ibu kota Minahasa Utara. Semangat untuk menjelajah semakin membludak di dada. Setelah kemarin saya menikmati keindahan alam di Likupang, hari ini adalah waktu khusus untuk menjelajah budaya dan kuliner khas Manado.
Alex Pelealu – tour guide saya selama berada di Manado – sempat membicarakan tentang Bentenan melalui whatsapp beberapa hari sebelum saya berangkat. Tenun khas Minahasa Utara yang hingga saat ini terus dilestarikan, diproduksi, dipromosikan, dan dipasarkan kepada khalayak luas.
Hati saya langsung tergerak. Ada rasa penasaran yang menyelip di sela hati. Apalagi, lewat beberapa tautan atau referensi digital, saya menandai bahwa kain Bentenan yang sempat hilang selama 200 tahun lamanya. Masa di mana kain tenun, yang tak mudah untuk dibuat itu, terkalahkan oleh kondisi dan persaingan perdagangan global yang cepat bergerak di dunia atau bisnis kebutuhan sandang. Saat banyak kain produksi mesin dengan beberapa pilihan yang menarik, kenapa harus menggunakan tenun yang sulit diproduksi dan diketahui mahal itu?
Semesta Mengatur Pertemuan dengan Mark Sahuleka
Sebelum berangkat dan menyusur agenda kunjungan saya di hari ke-2, saya dan Alex menyempatkan mengobrol dan membahas apa saja yang akan ditelusuri hari itu sembari ngopi. Seperti yang sudah disepakati, agenda perdana adalah mampir ke Krisma Kain Bentenan yang berada di Sario, kota Manado.
Semesta sudah mengatur. Persis setelah saya mengetuk pintu utama outlet Prisma, sebuah rumah putih dengan rancang bangun klasik, Mark – sang manajer – sedang mengisi waktu dengan bebersih dan menata ulang ruang pamer jenama ini. Sambutan dan sapaannya yang ramah memberikan kesan akrab yang begitu mendalam. Mendadak mengingatkan saya akan seorang teman yang memang suhu di bidang courtesy management. Lewat dialah saya mendapatkan ilmu dan pengetahuan tentang bagaimana selayaknya sebuah usaha atau bisnis menyambut baik semua tamu yang datang. Dan itu langsung saya lihat dan buktikan dari seorang Mark Sahuleka, sang operational manager dari jenama Krisma Kain Bentenan.
Selepas mengenalkan diri secara singkat dan mengutarakan maksud kedatangan saya, kami kemudian terlibat dalam percakapan berjam-jam di teras belakang outlet. Akrab, seru, dan bagai teman yang sudah kenal bertahun-tahun. Waktu berjam-jam pun berlalu dengan banyak insight baru, khususnya tentang Kain Bentenan yang adalah salah satu mahakarya seni di bidang wastra milik Sulawesi Utara.
Tentang Krisma dan Tenun Bentenan
Jauh sebelum memutuskan untuk berangkat ke Sulawesi Utara, saya – jujur – tak pernah sekalipun mendengar nama tenun dan kain Bentenan. Jadi saat Mark memulai percakapan kami dengan siapa, apa, dan bagaimana posisi Krisma untuk kelestarian kain dan tenun Bentenan, saya langsung tertohok pada kekaguman.
Krisma yang didirikan dan dikelola oleh Yayasan Karema yang didirikan oleh Ibu Ony Tambunan Markadi (alm) – yang notabene adalah nenek/oma dari Mark – telah konsisten melestarikan tenun dan kain Bentenan. Selain melakukan promosi dan menampilkan wastra ini pada khalayak lewat outlet di Sario kota Manado ini, Krisma melakukan kerjasama dan melakukan pembinaan usaha dengan beberapa penenun yang berada di Sonder, Minahasa Utara, untuk memproduksi tenun dan kain Bentenan. Sementara untuk pemasaran, Krisma bekerjasama dan bersinergi dengan beberapa butik-butik ternama untuk melakukan rapid promotion, setidaknya di tanah kelahiran mereka sendiri.
Di sebuah bangunan yang cukup besar di mana Krisma berada saya terkagum-kagum pada banyak informasi yang disampaikan oleh Mark. Di outlet ini, saya melihat Krisma menampilkan kain-kain tenun meteran dan berbagai bahan atau materi kain print (non tenun) dari bahan polikatun, sutra, siffon, bahkan sutera ulat bulu (di kelas premium) yang motifnya disesuaikan dengan pakem yang ada. Ada juga motif kontemporer yang terlihat menampilkan satu bahkan banyak jejak terbarukan yang mengiringi kebutuhan dan selera pasar.
Selain dalam bentuk kain, Bentenan juga diproduksi dalam bentuk fashion finished product lainnya. Seperti blouse wanita, hem pria, gaun, jaket, blazer, beragam tas wanita, pouch, dompet, souvenir, bahkan kantong panjang untuk botol air minum, dan masih banyak lagi.
Saya juga sempat melihat tenun dalam bentuk motif timbul dengan efek tiga dimensi yang dibentang dan ditaruh di dalam lemari kaca. Keindahannya tak terbantahkan. Tidak heran jika kain tenun yang dikerjakan hingga berbulan-bulan dengan skill penenun yang tinggi, ditawarkan dengan harga tinggi sesuai dengan kualitasnya. Jika nanti kain ini menemukan “tuannya” saya yakin produk wastra yang telah dibuat dengan ribuan kesabaran, kerapihan, dan konsentrasi tinggi ini akan menjadi salah satu koleksi eksklusif sepanjang masa.
Selama duduk sembari menyebarkan pandangan dan sesekali memotret, saya kerap terpaku pada setiap sudut outlet. Untuk seseorang yang pernah melihat secara langsung seorang penenun duduk di hadapan alat tenun ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin) maupun ATKT (Alat Tenun Kaki Tangan), memasang lungsi dan pakan, kemudian menariknya satu persatu dengan pegas manual yang menyelaraskan antara kaki dan tangan, saya merasakan betapa kain tenun itu adalah sebuah mahakarya yang tak ternilai harganya. Dunia handcrafted yang selalu menampilkan valuable things menjadi hal yang terus mengisi pengetahuan saya tentang kayanya seni budaya tanah air.
Sebagai salah satu icon dari Bumi Nyiur Melambai, kain dan tenun Bentenan pernah berpartisipasi dalam berbagai acara berskala internasional. Seperti Annual National Weaving Exhibition 2006 di Jakarta Convention Centre. Lalu World Ocean Conference 2009 yang diadakan di Manado. Kemudian juga dikenakan sebagai seragam Aparatur Sipil Negara Sulawesi Utara.
Mereka juga mengenalkan beragam motif seperti Kainu Patola, Tinonton Mata, Tinompak Kuda, Koffo – Sangihe Talaud, Sinoi, Pinatikan Batik dan masih banyak lagi. Beberapa motif yang saya sebutkan ini di redrawing oleh Yessy Wenas, seorang seniman dan figur asal Sulawesi Utara yang sangat disegani di nusantara. Budayawan, seniman, dan seorang maestro yang banyak karyanya menjadi kebanggaan bagi masyarakat Minahasa.
Mark sempat juga memperlihatkan sebuah buku berjudul Sejarah & Kebudayaan Minahasa yang ditulis oleh beliau. Saya menyempatkan diri membaca sekilas daftar isi dari buku yang diterbitkan pada 2007 ini. Lewat itu saja, saya mendapatkan kesan yang luar biasa akan nilai informasi yang tertulis di sana. Beginilah salah satu cara yang tepat untuk melestarikan budaya daerah itu sendiri. Dengan menulis maka warisan itu sudah terukir. Buku ini bukan saja bisa menjadi legacy bagi generasi penerus tapi juga bisa menjadi referensi sebuah karya ilmiah yang membahas tentang sejarah, seni dan budaya masyarakat Minahasa.
Dari percakapan saya dan Mark yang semakin seru, saya mendapatkan informasi bahwa workshop yang berada di Sonder, juga menerima tamu yang ingin belajar menenun. Tentu saja dengan membuat perjanjian terlebih dahulu. Seandainya tahu di awal – setidaknya sebelum berangkat – saya pasti menyempatkan diri untuk menuju Sonder dan menikmati beberapa jam dengan belajar menenun dan berbincang lebih jauh dengan para penenun di sana.
Sekilas Tentang Bentenan
Nama Bentenan itu sendiri diambil dari nama wilayah pelabuhan utama di pantai timur Minahasa Selatan. Di pelabuhan ini juga konon kain Bentenan pertama kali ditemukan serta di ekspor pada abad ke-15 hingga ke-17. Sementara keberadaan kain ini sendiri dipercaya sudah saja sejak abad ke-7.
Kain Bentenan kemudian dibuat di berbagai tempat di Minahasa seperti Tombolu, Tondano, Ratahan, dan Tombatu. Pada masa awal keberadaannya, kain Bentenan dibuat dengan bahan dasar alami seperti kulit kayu (tufa), pohon lahendong, pohon sawkouw, serat nanas, serat pisang (koffo), dan serat bambu (wau). Kemudian mulai abad ke-15 pembuatannya baru menggunakan materi kapas.
Motif utama atau motif primer dari Kain Bentenan adalah:
- Tonilama (benang putih, tidak berwarna, dan hanya berupa kain putih);
- Sinoi (tenun dengan benang warna-warni, dan berbentuk garis-garis);
- Pinatikan (garis-garis motif jala dengan bentuk segi enam);
- Tinompak Kuda (dengan aneka motif berulang);
- Tontonan Mata (menghadirkan gambar manusia sebagai simbol dari eksistensi manusia);
- Kainu (menghadirkan motif Patola India);
- Kokera (motif bunga warna-warni bersulam manik-manik)
Kain yang terakhir ditenun di daerah Ratahan pada tahun 1900 ini, awalnya digunakan untuk upacara adat saja. Setelah tidak diproduksi selama 200 tahun lamanya, kain Bentenan sesungguhnya memiliki banyak sekali keistimewaan. Diantaranya adalah:
- Pembuatannya rumit dan memakan waktu;
- Dikerjakan dengan teknik dobel ikat. Teknik dengan tingkat kesulitan tinggi sehingga motif yang tercipta akan bergambar halus, rumit dan sangat unik. Benang yang membentuk lebar kain (pakan) disebut Sa’lange, sementara benang yang memanjang (lungsi) disebut wasa’lene;
- Ditenun tanpa terputus dan menghasilkan kain berbentuk silinder atau tabung;
- Menggunakan pewarna alam yang berasal dari tumbuh-tumbuhan seperti biru/hijau dari pohon taun, hitam dari pohon taun bercampur air kapur sirih, kuning dari semak lenu/morinda bractenta, merah dari semak lenu bercampir air kapur sirih, merah dari bahan lelenu/peristrophe tinctoris, dan hitam dari sangket/homnolanthus paulifolius)
Setelah sempat berhenti diproduksi di masa penjajahan Belanda, kain Bentenan, motif Pinatikan berjumlah 20 lembar, kemudian tersebar di beberapa tempat.
- 2 buah di Museum Nasional;
- 4 buah di Museum Tropen, Amsterdam, Belanda;
- 7 buah di Museum Vour Land an Volkekunde, Rotterdam, Belanda;
- 2 buah di Museum Fur Volkekunde, Franfurtam, Germany;
- 4 buah di Museum Ethnographical, Dresden;
- 1 buah di Museum Indonesisch Ethografish, Delft
Kemudian ada sekitar 8 lembar, motif Kainu Patola yang tersebar di beberapa tempat berikut ini :
- 2 buah di Museum Nasional Jakarta;
- 4 buah di Museum Troppen, Amsterdam;
- 2 buah di Museum Rotterdam Ethnology
Menyadari bahwa sekian banyak koleksi otentik Bentenan yang masih berada di luar negeri, saya berharap bahwa para pemangku kepentingan, seperti pemerintah daerah Sulawesi Utara, pemerintah pusat yang bisa diwakili oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia atau Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, bisa melakukan negosiasi bilateral agar beberapa koleksi kain tenun Bentenan ini bisa “pulang kampung.” Kembali ke tanah air, dan disimpan di Museum Nasional, tempat di mana seharusnya kain-kain yang bernilai tinggi dan memiliki jejak sejarah yang wajib untuk kita ketahui.
Saya mengakhiri kunjungan di Krisma Kain Bentenan dengan membawa setumpuk insight baru. Bukan hanya tentang kain dan tenun Bentenan itu sendiri, tapi juga bagaimana wastra asli milik warga Minahasa ini selalu akan menjadi kebanggaan yang selalu lestari sepanjang masa.
Sebuah alat tenun kayu berukuran kecil yang berada di dalam outlet Krisma Kain Bentenan dan semua karya tenun yang ditawarkan kepada publik, meleburkan semua harapan dan doa baik yang saya sampaikan kepada semesta. Semoga eksistensi Bentenan terus bergerak maju dengan jejak langkah yang kuat dan membanggakan.
kalau motif kainnya dengan efek tiga dimensi mengesankan banget pastinya Bu Annie.
semisal dikenakan, bakalan membuat bangga karena kualitasnya jempolan ya.
dan memungkinkan perawatannya juga harus demikian tekun.
Kalo yang tiga dimensi ini memang khusus untuk display bukan untuk dipotong dan dijadikan produk fashion. Saya pengen megang aja gemetar Fen hahahaha. Saking cantiknya dan membayangkan bagaimana sulitnya untuk membuat maha karya ini.
Aduh cantiknya …… ternyata Minahasa juga menghasilkan kain tenun
dulu saya pikir kain tenun hanya berasal dari NTT, Maluku dst ….. tapi emang berdekatan ya?
sehingga gak heran culture-nya mirip-mirip
saya dulu pernah dapat hadiah kain tenun (yang dulu pun harganya cukup wow karena terbuat dari ATBM
saking sayangnya, sampai sekarang belum saya jahit ^^
Cakep-cakep banget Mbak. Kalau Mbak Maria ke Krisma, bisa dijamin bingung mau mililh yang mana hahahaha. Terjadi di saya akhirnya.
Kalau tenun asli mending didisplay dan dirawat aja Mbak. Jangan dipotong. Sayang banget. Saya juga ada beberapa yang begitu.
Cakep2 motifnya…
Kayaknya kalau aku punya kain ini, pasti bakalan aku jadikan pajangan aja :D
Btw, keren banget mba, seru banget pasti ngelihatin proses pembuatannya. Klaua bisa nggak usah pulang2 pun nggak papa wkwkwkw
Next trip ke Manado atau ke daerah-daerah produsen tenun, saya ingin belajar nenun Teh Pida. Pengen lebih paham soal proses produksinya. Khususnya bagaimana sebuah maha karya wastra terlahir.
Bagus-bagus motifnya kain tenun Bentenan ini.
Sempat “punah” hingga 200 tahun, alhamdulillah kini kembali di kenal dan digunakan oleh masyarakat ya. Sebagai salah satu seragam untuk ASN di Sulawesi Utara. Bahkan sudah dikenalkan juga di forum-forum internasional
Maha karya Mbak Nanik. Kalau pas bertugas ke Manado, mampir ke Krisma ya Mbak. Pasti seneng deh berada di sana.
Kain Bentenan terlihat tebal ya, ka Annie.
Kalau dijahit baju atau bawahan masih perlu diberi vuring kah?
Motifnya yang cantik dan warna-warni keindahan khas Minahasa.
Yang bikin terpukau memang cara pembuatannya yang masih menggunakan ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin) dan ATKT (Alat Tenun Kaki Tangan).
Ini kudu hati-hati, jeli dan penuh kesabaran sekali.
Ada beberapa yang saya lihat memang tebal Len. Terutama yang dikerjakan dengan peralatan tradisional atau yang memang sengaja diproduksi untuk koleksi. Kalau untuk dipakai sehari-hari, ada yang print atau cap. Untuk kita yang muslim sepertinya aman jika divuring.
Bangga dengan maha karya Indonesia dalam bentuk kain yang begitu beragam, namun miris juga kalau sampai ga ada yang mau meneruskan dalam membuat karya seperti ini . Apalagi ketika Bentenan sempat hilang selama 200 tahun lamanya. Saya kaget membaca info ini di tulisan mbak.
Beruntung juga di Museum Nasional dan beberapa Musem di Indonesia masih ada meskipun jumlahnya jauh lebih sedikit, bahkan paling sendikit dari yang ad di beberapa negara luar
Tidak banyak memang generasi sekarang yang tertarik untuk membuat/mengerjakan tenun Kang Ugi. Karena memang time consuming dan butuh ketelitian serta kesabaran yang tidak sedikit. Apalagi pembuatannya menggunakan alat yang sederhana, bukan mesin.
Karena memang diproduksi saat zaman penjajahan Belanda, banyak memang yang kemudian dibawa ke Belanda hingga akhirnya dikoleksi oleh beberapa museum di sana. Banyak kok jejak sejarah kita, disimpan di Belanda. Gak heran karena Belanda menjajah kita selama 3.5 abad. Waktu yang bukan sedikit. Sudah puluhan generasi yang terlibat di sana.
Wah ternyata menenun Nggak cuma ada di Jawa tapi juga ada di Sulawesi ya. Jadi bentenan ini kain tenun khas minahasa yang terdiri dari bagian primer dan sekunder. Terus warnanya menggunakan pewarna alami. Prosesnya juga ternyata tidak mudah, pantes aja harganya tinggi. Tapi hasilnya memang bener-bener cantik kainnya sih
Menenun terjadi hampir di setiap daerah. Sabang hingga Merauke. Dari Indonesia bagian barat hingga ke ujung timur. Hanya saja – mungkin – pelestari dan pembuatnya tidak begitu banyak. Bahkan nyaris sudah tidak ada lagi.
kelahiran Minahasa Utara hadiiirrrr :D
Btw, Manado sekarang udah jadi bagian sendiri bukannya Mba?
Ibu kota Minahasa Utara itu kalau ga salah Airmadidi
Huwaaa, ini kota impian saya banget, wishlist banget pengen mengunjungi tanah kelahiran.
Saya baru ngeh, ternyata cantik-cantik banget kain tenun dari sana, warnanya cocok buat tone kulit kebanyakan orang sana tuh, keren :D
Waaahh kampung halaman ya Mbak Rey. Manado setahu saya – sejauh ini – adalah ibu kota dari provinsi Sulawesi Utara. Sementara Minahasa Utara adalah nama salah satu Kabupaten dari provinsi ini. Sementara ibu kota dari Minahasa Utara adalah Airmadidi.
Pulang kampung Mbak Rey. Semenjak pemerintah menetap Likupang sebagai salah satu destinasi wisata prioritas, saya melihat Likupang dan sekitarnya begitu rapi dan tertata. Saya sempat ke beberapa destinasi wisata di sana. Nanti akan saya tuliskan.
Motif tenunnya cantik2 banget, mbaaa. Naksir deh. Pantes harganya mahal ya, masih pake alat tradisional dan bukan pakai mesin pabrik. Jadi kerjanya juga lebih lama buat menghasilkan kain berkualitas.
Betul banget Mbak Ila. Maha karya yang bukanlah mudah untuk memproduksinya. Butuh keahlian tertentu, ketelitian, dan jutaan kesabaran. Selembar kain saja bisa berbulan-bulan prosesnya.
Melihat motif dari Bentenan ini yang penuh warna dan terlihat cantik membuat pengen juga miliki salah satu produk yang gunakan Bentenan. Motif dasarnya aja ada 7 yha, Mba dan ada nama-nama tersendiri. Jika meihat langsung pasti makin bangga dengan mahakarya seni seperti ini.
Benar Kak Ririn. Nanti, suatu saat, ada rezeki datang ke Manado, mampirlah ke Krisma ya Kak. Luar biasa indah koleksi-koleksi kain Bentenan yang mereka punya. Mereka pun tidak hanya menjual tapi juga melestarikannya.
Duhh saya suka banget nih liat kain2 tradisional yang cantik kayak kain bentenan khas Minahasa ini. Apalagi bisa liat langsung proses pembuatannya. Pengalaman yang tak terlupakan pastinya. Apalagi bisa ngobrol banyak sama salah satu tokohnya. Saya juga salfok sama nama2 motif di kain bentenan ini. Makasi udah share via tulisan ini mba Annie
Wooaahh menarik Mbak Gita. Sudah ditulis di blog kah? Jadi pengen baca.