Menggapai Bali Kembali

Waktu sudah beranjak menuju pkl. 13:00 wita saat pesawat yang kami tumpangi mendarat di bandara internasional I Gusti Ngurah Rai Bali. Udara panas menyengat dan menyerang seketika. Menggigit kulit yang barusan terkukung pendingin udara saat berada di dalam badan pesawat selama hampir 2 jam perjalanan.
Tapi saya bersyukur bahwa penerbangan barusan, dari Jakarta ke Bali, berlangsung mulus tanpa hambatan berarti. Telat mengudara selama sekitar 30 menit akhirnya terobati dengan proses landing yang nyaman dan aman. Bahkan saya nyaris tak merasakan benturan roda pesawat dengan aspal saat proses pendaratan terjadi. Satu hal yang begitu menenangkan. Setidaknya untuk saya yang punya beberapa trauma terkait dengan take-off dan landing transportasi udara.
Dilain pihak, saya merasakan kegembiraan tak terkira karena akhirnya, setelah hampir 2 tahun tidak melakukan perjalanan jauh menggunakan pesawat, saya bisa bepergian meski harus melewati dan melakukan serangkaian protokol kesehatan. Rangkaian perjalanan perdana setelah terakhir bepergian di pertengahan Februari 2020 ke Surabaya. Tepat 1 minggu sebelum kasus Corona pertama kali digaungkan di bumi pertiwi.
Yup. Saya berlibur, melakukan perjalanan singkat lebih tepatnya, ke Bali, bersama Fiona (anak bungsu saya), Metty (adik ipar saya) dan Gita (keponakan dari kakak tertua). Kami berencana berada di Bali selama 4 hari 3 malam saja (23-26 Desember 2021). 2 malam di Ubud dan 1 malam terakhir di Seminyak.
Was was? Pasti. Karena saat kami pergi kita masih dibayang-bayangi oleh virus (baru) jenis Omicron yang kabarnya merebak kencang dan sudah menulari ratusan orang. Jadi saya, jujur, sempat khawatir saat melewati proses check-in di bandara Soekarno Hatta (Soetta) yang ternyata sudah sesak penumpang. Antrian mengular dalam beberapa barisan. Pun saat duduk di pesawat yang nyaris penuh dengan penumpang yang duduknya tak berjarak.
Hope everything is going fine, safe and sound.
Jadi saat lancar mengurus bagasi, menemukan driver yang sudah diutus oleh pihak cottage tempat kami menginap di Ubud, duduk di dalam mobil Avanza yang menjemput kami, saya bisa sedikit bernapas lega.
OK. Napas sih boleh lega tapi eeehh naga di lambung mulai bergerak lincah. Pertanda alami harus mengisi perut. Ya iyalah memang sudah waktunya makan siang.
Tadi sambil berjalan ke arah area penjemputan di bandara, sekilas saya melihat banyak perubahan terjadi di area kedatangan. Resto-resto yang dulu berderet seperti outlet, sekarang sudah berganti dengan rangkaian food truck yang berjejer beriringan bersama dengan beberapa wall mural yang berdiri tegak dan tinggi. Beberapa diantaranya adalah tulisan tentang makna dari kata atau kalimat dari bahasa daerah Bali.
Semua terlihat begitu atraktif dan well-designed. Tapi saya tidak sempat mengabadikan mereka karena diburu waktu untuk segera sampai di Warung Wardani yang berada hanya sekitar 1-2km dari bandara.
Ah. Kangen berat dengan nasi campur khas Bali yang dijamin halal satu ini. Lezatnya masih seperti dulu gak sih?

Meluncur ke Warung Wardani

Hanya butuh waktu 15 menit berkendara dari bandara menuju Warung Wardani. Dan memang sedekat itu jaraknya.
Warung ini berada di seputaran lampu merah yang tak berjauhan dengan Patung dan Taman Satria Gatot Kaca. Patung serba putih dan taman mini yang jadi identifikasi bahwa kita memasuki kawasan bandara. Sebagian besar publik mengenal patung ini sebagai patung kuda karena memang sang Gatot Kaca berdiri tegak dengan beberapa kuda putih yang berada di depannya.
Untuk yang datang dari arah bandara, selepas lampu merah, harus langsung mengambil jalur lambat agar bisa mencari tempat parkir tanpa mengganggu lancarnya lalu lintas di depan resto. Sayangnya area parkir disini sangat terbatas. Jadi hanya ada 2 pilihan yang bisa memudahkan kita. Pertama, naik sepeda motor. Kedua, naik mobil tapi disetirin.
Begitupun yang kami alami sesiangan itu.
Mobil mini van yang membawa banyak tamu tampak berjejer mendominasi lahan parkir. Kami harus diturunkan sedikit jauh dari resto dan mencatat telepon Pak Made (driver kami) untuk janji menjemput. Wah. Pertanda tamu resto pun pasti melimpah.
Benar saja. Barisan pengunjung mulai mengular di pintu masuk. Kami duduk di salah satu meja kecil persis di pusat pengolahan pesanan. Dari sini kami menyaksikan kerepotan dan keriuhan para pegawai, mengamati rangkaian menu dari barcode yang tersedia/tertempel di meja, lalu bertanya soal proses pencatatan.
Sambil menunggu pesanan datang, saya menyempatkan diri memotret berkeliling. Menelusuri bagian belakang resto. Ruangan seluas lapangan basket ini juga tampak padat oleh penikmat nasi campur. Di satu sisi ada counter khusus yang melayani pesanan minuman. Tampak beberapa anak muda bercucuran keringat, bekerja dan bergerak cepat, agar setiap pesanan minuman dapat diproses seefektif mungkin.
Melihat satu meja kosong, saya bersegera menitipkan ketersediaannya pada salah seorang pelayan. Saya pun bergegas memanggil rekan seperjalanan agar pindah ke bagian belakang. Area makan yang lebih luas dan sedikit adem meski tidak menggunakan pendingin ruangan.
Setidaknya tidak hiruk-pikuk seperti di bagian depan tadi.

Nasi Campur Bali yang Fenomenal Itu
Butuh waktu 15 menit hingga akhirnya pesanan kami siap di meja.
Sesuai misi utama, kami memesan 4 porsi nasi campur.
3 porsi Nasi Campur 1 yang berisikan nasi putih, ayam suwir merah, sate lilit, sate ayam, udang goreng tepung, telur rebus bumbu Bali (ada juga yang bilang telur pindang), sayur kacang panjang dan sambal matah. Nasi Campur 1 ini harganya Rp 38.000,-/porsi.
Lalu 1 porsi Nasi Campur 2 yang berisikan Nasi Campur 1 ditambah dengan dendeng balado. Harganya Rp 45.000,-/porsi.
Jika diperhatikan, terutama saat dibandingkan dengan resto nasi campur yang lain, standard harga menus nasi campur Warung Wardani memang lebih mahal. Di tempat lain, setahu saya, nasi jenis ini harganya berkisar antara Rp 25.000,- s/d Rp 30.000,-/porsi.
Tapi buat mereka yang mementingkan kualitas dengan rasa yang kaya di lidah, tentunya harga diatas bukanlah masalah. Tentu saja faktor selera akan ikut memberikan sumbangsih dalam skala penilaian. Enak buat saya belum tentu orang lain berpendapat sama.
Untuk minuman kami memesan teh tawar seharga Rp 6.000,-/gelas. Es teh manis seharga Rp 12.000,-/gelas. Es jeruk nipis seharga Rp 17.000,-/gelas dan Es Daluman (cincau hijau) seharga Rp 18.000,-/gelas.

yang panas seperti bali

Semua kemudian dilengkapi dengan Kerupuk Keong seharga Rp 8.000,-/bungkus.
Rasanya?
No doubt at all.
Pengalaman makan disini beberapa tahun yang lalu ditambah dengan informasi serta google review dari para pengunjung, nyatanya tetap bisa dipercaya.
Seperti yang disampaikan oleh banyak orang, nasi campur Bali ala Warung Wardani tuh jempolan tanpa terkecuali. Enaknya sudah tak diragukan. Apalagi ini kan halal. Bisa dikonsumsi oleh banyak orang tanpa terkecuali.
Dari beberapa tautan dan artikel tentang Warung Wardani, banyak yang menginformasikan bahwa resto ini melakukan pengolahan khusus untuk ayam suwir merahnya. Dari keterangan seorang chef professional, ayam yang mereka sajikan itu dibakar setelah dimarinasi agar mendapatkan kaldu ayam yang lezat, sebelum akhirnya disuwir tipis-tipis. Tentu saja berlimpah bumbu rahasia.
Telurnya sendiri adalah telur bebek yang juga telah melewati serangkaian proses pematangan dan pengolahan dengan bumbu khusus.
Sementara udang crispy nya adalah udang laut pilihan dengan olahan atau adonan tepung yang melahirkan sensasi garing dan renyah. Suka banget deh sama udangnya. Harusnya mesen terpisah deh. Semangkok kecil gitu misalnya. Biar puas.

Sate ayamnya juga kaya rasa. Bumbunya menempel tumpah ruah dan meresap banget ke daging ayamnya. Dagingnya pun terasa lembut dan mudah dikunyah. Sementara sate lilitnya, saya duga adalah sate ikan atau sejenis otak-otak daging gitu. Meskipun kedua sate ini ukurannya kecil, cukuplah untuk menemani banyaknya asupan yang lain. Tapi semoga ukuran satenya bisa lebih besar lagi ya. Biar lebih puas makannya.
Dari banyak penikmat yang telah dine-in di Warung Wardani, sebagian besar dari mereka mengusulkan publik untuk mencoba Nasi Campur dengan isian 7 Topping. Terdiri dari nasi putih, ayam bakar suwir bumbu merah, telur pindang atau telur rebus bumbu Bali, crispy tempe dan kentang, dendeng sapi, udang crispy, sayur labu plus nangka, sate sapi/ayam, sate lilit, dilengkapi dengan sambal merah atau sambal matah.
Sembari mengetik ini, mendadak mulut saya mengecap dan cus pengen balik ke Bali (lagi). Alamak!!
Eh ngomongin soal Kerupuk Keong. Saya sebenarnya gak sengaja melihat kerupuk ini. Bentuknya yang unik (persis keong) dengan lumuran cabe kecil-kecil, langsung membuat saya tergiur. Diletakkan di sebuah lemari kaca yang letaknya tak jauh dari kasir dan bertumpuk dengan serunya. Si petugas membiarkan saya mengambil kerupuk lucu dan gurih ini sebebasnya. Tentu saja kudu dibayar berada di kasir.
Sebagai penggemar (baca: penggila) kerupuk, dugaan saya bahwa kerupuk ini pas banget untuk nasi campur, ternyata tepat banget. Maklum. Makan tanpa kerupuk tuh rasanya belum sempurna. Bagaikan sayur tanpa garam. Halah. Oia selain Kerupuk Keong ada juga berbagai jenis kerupuk lainnya. Tapi saya tidak sempat mengamatinya satu persatu karena si keong ini sudah mencuri perhatian terlebih dahulu.
Dan for your information, Es Daluman (es cincau hijau) nya juga top markotob pake banget. Segar dengan olahan cincau yang tidak pahit. Manis dari gula batok dan gurih dari santannya juga berkolaborasi dengan sempurna. Buat saya yang lebih menyukai rasa gurih ketimbang manis, Es Daluman ini langsung jadi favorit saya. Segar dan sangat melegakan tenggorokan yang sudah beberapa waktu barusan berjuang melawan panas. Minta es batu yang banyak ya biar pol nikmatnya.
Jadi judulnya makan siang kami yang (sedikit) telat hari itu menghadirkan jelajah dan pengalaman kuliner nasi campur Bali ala Wardani yang begitu berkesan.

Sekilas Tentang Warung Wardani
Saya tidak menemukan info tanggal yang tepat tentang berdirinya Warung Wardani. Hanya disebutkan bahwa resto ini berdiri sejak tahun 80-an. Dan sejauh yang saya tahu, Warung Wardani memiliki 3 outlet di Bali. Di Jl. Waringin, Tuban, yang kami kunjungi ini. Lalu di Jl. Yudistira No. 2, Denpasar dan satu lagi ada di Jl. Merdeka, Renon. Plus 1 cabang yang berada di Transmart Cempaka Putih, Jakarta.
Seingat saya, saat bertugas di Bali pada 1996/1997, saya pernah menjejakkan kaki di resto mereka yang ada di Jl. Yudistira. Warungnya sederhana banget. Persis seperti warung nasi biasa. Kala itu diajak oleh seorang staff marketing hotel Grand Hyatt, tempat saya berada/menginap dan bekerja untuk sebuah konfrensi internasional dalam jangka waktu yang cukup lama. Teman inilah yang kemudian mengnalkan pada saya bahwa di Bali, kala itu, sudah ada resto halal. Salah satu rumah makan halal dan enak yang jarang ada di Bali saat itu.
Saat saya berada di ruang depan resto, selain nasi campur ayam dan nasi campur sapi, Warung Wardani juga menjual soto babat, gado-gado dan soto ayam. 3 menu ini foto-fotonya terpampang jelas di bagian depan resto. Tapi signature dish dan yang selalu dicari pelanggan ya nasi campur itu.
Jadi gak heran, saat saya duduk dan melihat pelayannya mondar-mandir, mereka terlihat hanya atau lebih sering membawa nasi campur saja.
Dari sekian kali, bahkan puluhan kali berada di Bali, saya sempat merasakan susahnya mencari dan merasakan makanan (murni) halal. Terutama di daerah-daerah wisata utama yang banyak dikunjungi oleh pewisata non-muslim. Sebagian besar resto, dimasa itu, tidak mencantumkan logo halal karena mereka memang juga menghidangkan masakan non-halal. Meski, menurut mereka, pengolahannya dipisah, tetap saja keraguan akan muncul di hati.
No wonder, dalam satu masa, wisatawan muslim sangat jarang terlihat berkeliaran di Bali. Karena bagi sebagian besar publik, halal is only halal. No pork. No lard. Or something related to those issues.
Tapi sekarang, seiring dengan perkembangan jaman dan kebutuhan status ke-halal-an serta bertambahnya penduduk, warga Bali dan pewisata muslim, rumah makan halal pun juga ikut bertumbuh dan berkembang di pulau dewata.
Warung Wardani menjadi bagian dari sejarah itu.



