Nyak Mu. Legenda Tenun Songket Aceh

Nyak Mu. Legenda Tenun Songket Aceh
Kak Dahlia (kiri foto), saya, dan Kak Dekya (kanan foto) di depan rumah warisan Nyak Mu di desa Siem

Tentang Nyak Mu Sang Legenda

Maryamun. Terdengar asing bagi telinga orang kebanyakan, tapi sesungguhnya nama ini sangat populer di dunia wastra Aceh, khususnya Tenun Songket Aceh.

Nama Maryamun yang kemudian dikenal dengan panggilan Nyak Mu  ini lekat dengan eksistensi kekayaan salah satu wastra nusantara yang melegenda. Kata Nyak yang berarti Ibu adalah satu panggilan dalam bahasa Aceh untuk menghormati seseorang yang dihormati atau mengharumkan negeri ini dalam berbagai bidang.

Nyak Mu sudah berpulang tahunan yang lalu tapi namanya begitu harum karena telah berhasil melahirkan beragam bahkan ratusan motif songket Aceh. Khususnya Pinto Aceh yang sudah mendunia dan menjadi icon dari Provinsi Aceh, serta digunakan dalam banyak produk fashion yang mewakili “wajah” Bumi Serambi Mekkah. 

Ratusan karya atau motif yang tercipta tersebut kemudian mendorong beliau menularkan ilmu atau mengajarkan kemampuannya menenun kepada siapapun yang berkenan untuk berlatih.  Dari aktivitas inilah Nyak Mu melahirkan banyak penenun baru yang kemudian meneruskan kepiawaiannya dalam merancang motif dan mengerjakan kain khas Aceh ini.

Nyak Mu sendiri menerima warisan 25 motif tradisional dalam selembar kain sutera yang sudah berusia ratusan tahun dari ibunya, Nyak Naim.  Seorang perempuan hebat yang sudah menginspirasi Nyak Mu untuk meneruskan usaha melestarikan Tenun Songket Aceh sekaligus menjaga tradisi tenun Aceh itu sendiri.

Nyak Mu kemudian membantu mengembangkan kelompok tenun Songket Aceh di berbagai sisi dan daerah di Nanggroe Aceh Darussalam lewat banyak pelatihan yang diselenggarakannya. Semua catatan bersejarah inilah yang kemudian menjadikan Nyak Mu layak untuk mendapatkan piala/penghargaan Kalpataru dari Soeharto (mantan presiden Republik Indonesia ke-2) pada 28 Desember 1991.

Tinggal di Desa Siem, Kecamatan Darussalam, Aceh Besar, di sebuah tanah seluas sekitar 500m2, Nyak Mu mendirikan Rumah Tenun Kelompok Bungong Jeumpa. Tempat yang membuatnya terus aktif berkarya hingga akhir hayat dan mewariskan seluruh peninggalannya yang membanggakan tersebut kepada Dahlia, anak ketiga, satu-satunya ada perempuan dari lima anak yang dilahirkan Nyak Mu.

Semua inilah yang menjadi bara dan semangat di dalam benak saya yang kala itu berkesempatan bertandang ke provinsi Aceh. Sebuah daerah di ujung utara Sumatera dan mendapatkan status otonomi khusus dari pemerintah Indonesia. Saya mengatur waktu khusus untuk bertemu Ibu Dahlia. Meminta kesediaan beliau untuk bercakap-cakap, menggali histori puluhan tahun yang lalu, sembari melihat beberapa kain tenun songket yang dihasilkan oleh Rumah Tenun Kelompok Bungong Jeumpa.

Nyak Mu. Legenda Tenun Songket Aceh
Seorang ibu dengan Alat Tenun Kaki Tangan (ATKT).
Alat tenun tradisional yang masih digunakan oleh Rumah Tenun Kelompok Bungong Jeumpa

Nyak Mu. Legenda Tenun Songket Aceh
Rumah Tenun yang sederhana dengan logo Bank Indonesia sebagai pengampu

Perjalanan Menuju Rumah Nyak Mu

Akmal, pria muda yang menjadi tour guide  saya selama berada di Aceh, melambatkan kendaraan saat memasuki desa Siem, lokasi dimana rumah Nyak Mu berada. Di sepanjang perjalanan, tampak deretan rumah kayu sederhana dan pohon-pohon tinggi yang tumbuh subur dengan dedaunan hijau yang menyegarkan mata. Satu pemandangan eksklusif yang jarang saya nikmati selama tinggal di kawasan industri.

Menyertai mobil yang saya tumpangi berjalan melambat di atas jalur aspal yang mulai berlubang disana-sini, saya tekun mengamati betapa bersahajanya kehidupan masyarakat beberapa kampung dan desa yang sedang saya lihat saat itu.

Pencarian terus berjalan. Google maps tidak membantu banyak karena jaringan internet yang kurang stabil. Jadi dengan bermodalkan keyakinan bahwa kami sudah memasuki desa Siem, Akmal mengajak saya untuk ikut melihat tanda-tanda atau signage yang kemungkinan bisa membantu pencarian.

Dugaan ini benar.  Kami melihat sebuah spanduk kecil yang menuliskan jenama Nyak Mu.  Spanduk ini terikat baik di salah satu pagar kayu yang feasible dari jalanan. Saya meyakinkan diri sendiri bahwa untuk jenama sekelas Nyak Mu yang sering menjadi perhatian pemerintah dan banyak organisasi petunjuk arah seperti ini bakal sangat membantu. Apalagi rumah sang legenda tidak berada persis di pinggir jalan.  Semoga petunjuk jalan ini nantinya bisa diganti dengan materi yang lebih permanen dan kuat seperti besi atau kayu.

Akmal berbelok mengikuti petunjuk arah tersebut. Tak lama, beberapa menit kemudian, sebuah rumah panggung yang terbuat dari kayu dan dominan bercat merah terlihat dari kejauhan. Sebuah pemandangan yang membuat Akmal tersenyum lebar. Rumah yang sama persis seperti yang kami lihat di beberapa jaringan media sosial.

“Nah, itu Bu rumah Nyak Mu. Kita sudah di tempat yang tepat,” ujarnya dengan nada puas dan suka cita. Saya? Tentu saja sama senang dan semangatnya.

Langit begitu cerah menyambut kedatangan saya, begitupun dengan Ibu Dahlia yang mendatangi saya dengan langkah-langkah lebar dan wajah antusias.  Usia yang lebih dari 60an tahun, sekitar sepuluh tahun lebih tua dari saya, tampak dalam guratan wajah beliau.  Senyumnya mengambang dan langsung memeluk saya erat bagai adik kandung yang sudah lama tidak pulang kampung.  Saya membalas pelukan tersebut dengan keharuan yang tak terkatakan dan langsung merasakan kehangatan yang tak terkira.

Nyak Mu. Legenda Tenun Songket Aceh
Rumah panggung warisan Nyak Mu yang sudah tidak digunakan lagi

Rumah Tenun Kelompok Bungong Jeumpa

Ibu Dahlia, yang akhirnya diminta dipanggil Kak Dahlia, langsung mengajak saya masuk ke sebuah rumah berukuran 10x3m yang merupakan bangunan ketiga selain rumah panggung yang berwarna merah tadi, dan rumah Kak Dahlia yang berada di belakang, menempel di rumah panggung merah.

Bangunan bercat putih ini dibangun kombinasi antara kayu dan semen. Di dekat pintu terpampang tulisan “Rumah Tenun Kelompok Bungong Jeumpa” dan logo Bank Indonesia yang sudah menjadi pengampu ilmu tentang wastra nusantara dan pembina tempat ini bertahun-tahun lamanya.  Bank Indonesia malah sempat membuat satu buku eksklusif tentang tenun nusantara yang mana salah satu isinya adalah membahas tentang Tenun Songket Aceh.

Saya melangkah masuk dan langsung terkesima dengan apa yang terhidang di depan mata. Selain hamparan puluhan kain songket yang indah beraneka rupa, warna, dan motif, saya juga melihat sekitar delapan alat tenun kaki tangan yang masih sangat tradisional.  Pencahayaan ruangan ini lebih dari cukup. Apalagi setengah dindingnya dibiarkan terbuka dengan list kayu tipis yang memungkinkan angin mengisi udara di dalam ruangan. Jadi saat berada di dalam ruangan ini, kita tidak akan gerah karena bisa merasakan sejuknya angin yang menerobos masuk.

Ada tiga ibu-ibu anggota kelompok yang juga adalah tetangga Kak Dahlia yang sedang menenun. Kehadiran dan kegiatan mereka menjadikan saya tambah kagum akan keahlian para penenun yang luar biasa sabarnya. Bagaimana tidak? Satu-satu benang tenun itu dimasukkan seperti sedang menjelujur, lalu diikuti gerakan menarik dan menggoyang kayu sepanjang sekitar 1.5m untuk menutup anyaman yang sudah diatur sedemikian rupa.  Terdengar nada derak tarikan dan hantaman halus dari kayu penyanggah dan kayu penggerak tadi.  Ritme tarikannya nyaris teratur dan menimbulkan bunyi yang berketuk perlahan. Hanya orang yang tabah dan sabar yang bisa berjam-jam melakukan ini.

Saya mencoba memperhatikan dengan seksama. Merasakan dan melamati bagaimana ibu-ibu ini berkonsentrasi mengerjakan selembar kain tenun. Dengan ukuran 2×1.5m saja, kain tenun tersebut baru bisa selesai dirampungkan dalam 2-3 bulan. Semakin sulit dan complicated motif yang dikerjakan, maka akan makin lama mereka menyelesaikannya. Itu dengan catatan bahwa mereka fokus menenun tanpa ada gangguan yang berarti. Seperti misalnya urusan rumah tangga dan anak-anak. Maklumlah. Mereka ini adalah para ibu rumah tangga dengan keluarga yang juga menuntut perhatian.  Banyak dari mereka, biasanya, baru bisa menenun setelah rangkaian tugas harian mereka sebagai ibu dan istri rampung. Atau mereka menenun di rumah yang berarti bahwa di rumah-rumah para anggota kelompok ini juga menyimpan alat tenun kaki tangan seperti yang dimiliki Kak Dahlia.

“Mereka inilah yang menghidupkan rumah tenun ini Bu. Saya tak pun mungkin mengerjakannya sendiri.” Ujar Kak Dahlia dengan ekspresi bangga yang begitu terpancar.

Saya mengangguk dan merasakan energi yang begitu besar yang saya dapatkan saat berada di antara para ibu yang luar biasa inspiratif ini. Yang pasti mereka sepakat bahwa apa yang sekarang dan terus akan mereka lakukan adalah sebuah kebanggaan dalam rangka mengangkat warisan budaya leluhur melalui sebuah produk kain yang memiliki seni budaya dengan nilai estetika tinggi yang patut untuk dilestarikan. Tangan-tangan terampil merekalah yang memungkinkan semua itu terjadi.

Nyak Mu. Legenda Tenun Songket Aceh
Bersama salah seorang penenun yang tekun membuat kain songket.

Tentang Tenun Songket Aceh

Usai memotret dan berbincang akrab di dalam rumah khusus untuk menenun tersebut, Kak Dahlia mengajak saya ngobrol di sebuah bale-bale kayu yang luas dan berada persis di bawah rumah panggung.

Kak Dekya, adik ipar Kak Dahlia ikut bergabung. Kak Dekya ini ternyata juga adalah penenun dan punya studio tenun sendiri. Usianya jauh lebih muda dari Kak Dahlia.  Dengan kemampuannya dalam berkomunikasi dan bersosialisasi akhirnya menempatkan Kak Dekya sebagai salah seorang wakil dari Tenun Songket Nyak Mu untuk berhubungan dengan pihak ketiga. Spoke person lah istilah kerennya. Termasuk diantaranya dengan Dekranasda Aceh, Bank Indonesia, awak media, dan banyak pihak yang ingin lebih mengenal Tenun Songket Nyakmu.  Termasuk kedatangan saya tentunya.

Lewat diskusi dan cerita Kak Dahlia dan Kak Dekya inilah, cerita lengkap tentang Tenun Songket Nyak Mu saya dapatkan.

Kami memulai percakapan panjang dari kebanggaan Kak Dahlia akan Nyak Mu, sang ibu. Bagaimana sejak kecil dia melihat betapa besar perjuangan ibunya dalam membuat dan mengembangkan kain tenun asli Aceh.  Saat itu, meskipun belum mengerti benar, Kak Dahlia sering melihat ibunya mengolah benang yang terbuat dari pilinan kapas yang kemudian diberikan pewarna alami dari tumbu-tumbuhan, dedaunan, kulit batang kayu, lumpur, dan beberapa materi alam lainnya. 

Patron yang dibuat ibunya didominasi oleh motif bunga, hewan, alam, lingkungan sekitar dan kaligrafi Arab.  Ini didapatkan dari sebuah warisan kain sutera pusaka dari Nyak Naim. Tarikan motifnya lurus-lurus, vertikal maupun horizontal. Semua dikerjakan sendiri dengan alat yang sangat sederhana. Patron inilah yang menjadi konsep dasar dari berbagai motif yang dikembangkan oleh Nyak Mu.

Waktu itu kain yang dihasilkan hanya untuk digunakan sebagai kebutuhan sandang pribadi dan keluarga. Tapi seiring dengan berjalannya waktu, banyak pihak yang akhirnya tertarik dengan karya Nyak Mu. Jadilah kain-kain tersebut mulai dipasarkan, meski masih dalam kalangan terbatas.

Kak Dahlia kemudian menunjukkan potongan tulisan di sebuah media harian Kompas tanggal 9 Juni 2006, dalam kolom Sosok, yang direkatkan di sebuah pigura kaca. Lewat artikel yang berjudul “Nyak Mu, Menjaga Tradisi Tenun Aceh” ini saya membaca serangkaian perjuangan Nyak Mu menjadi seorang penenun legenda di bumi Aceh. Karya besar beliau yakni Pinto (Pintu) Aceh dan Bungong Kertah kemudian dibukukan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Aceh pada 1992.

Di satu pigura kaca lainnya terpampang foto Nyak Mu sedang bersalaman dengan Soeharto. Presiden ke-2 Republik Indonesia yang mengganjar keberhasilannya mengembangkan kelompok tenun Songket Aceh lewat penyebaran ilmu hingga tingkat mahir dan membuka usaha tenun sendiri.

Dari sebuah penelitian di 2019 yang dilakukan oleh Dina Octaviola, mahasiswa Institut Seni dan Budaya Indonesia (ISBI) Aceh, ada beberapa motif yang cukup dikenal hingga saat ini : Bukulah (simbol pemersatu rakyat Aceh), Geulima Meupucuk (perkembangan pemikiran orang Aced dari masa ke masa), Bungong Kalimah (kalimah Allah agar manusia mengagungkan Allah Subhanallahu Wata’ala), Bungong Meulu (melambangkan kesucian dan kelembutan), Bungong Matauroe (melambangkan kecerdasan dan pemikiran orang Aceh yang begitu luas), dan masih banyak lagi. 

Penilitian ini juga menyiratkan bahwa Tenun Songket Aceh sempat mengalami masa kejayaan saat Aceh dipimpin oleh Guberner Ibrahim Hassan pada periode 1986-1993. Kain ini malah sempat dipamerkan dan diperjual belikan di Malaysia, Singapura, Malaysia, dan Sri Lanka dan mendulang sukses. Tapi yang terpenting dari keseluruhan aktivitas ini adalah bahwa Tenun Songket Aceh mulai dikenal di dunia fashion dunia, setidaknya di tingkat ASEAN terlebih dahulu.

Di lain cerita, kegiatan menenun sempat terhenti karena adanya perang tuntutan memerdekakan diri yang berlangsung terus menerus di Aceh. Begitupun saat Aceh diterjang Tsunami pada 2004. Meski desa Siem tidak tersentuh air bah, tapi showroom atau gallery salah seorang anak Nyak Mu yang berlokasi di Kampung Laksana, kota Banda Aceh, diterjang air. Seluruh barang, kain, dan pewarna senilai sekitar Rp50.000.000,00 musnah, luluh lantak, tak bersisa.

Karya ilmiah di 2019 di atas juga menguraikan proses pembuatan songket yang dilakukan oleh Rumah Tenun Kelompok Bungong Jeumpa yang diuraikan menggunakan bahasa daerah Aceh yaitu:

  1. Peuglah Beuneung Sutera – menggulung benang sutera;
  2. Seumiweut – menghani benang sutera;
  3. Peuget Idong – membuat simpul benang lungsi yang akan dililit pada batang kumpar;
  4. Dong Teupeun – melilit benang lungsi pada batang kumpar dan;
  5. Nyulek Motif – mendesain motif

Semua proses yang telah dilaksanakan bertahun-tahun dengan alat tenun kaki tangan ini, masih tetap berlaku hingga saat ini. Hanya saja, dengan keterbatasan sumber daya alam lokal yang ada, benang dan materi pewarnaan sudah banyak diimpor dari Cina dan India.

“Sudah susah sekarang Bu untuk mendapatkan bahan-bahan alam seperti dulu. Apalagi saat perang tak henti dan tsunami itu. Tak pun ada yang berminat menanam di dekat-dekat sini. Jadilah kami impor saja,” Uraian kedua perempuan di depan saya ini adalah realita. “Tapi kami tetap mempertahankan kualitas dan terus berusaha menciptakan motif-motif baru dengan rancangan yang bersaing.” Lanjut Kak Dahlia dengan penuh keyakinan. Sebuah statement penting yang saya simpan sebagai sebuah janji. Saya pun kemudian mengangguk dalam kekaguman yang tak bisa saya sembunyikan.

Untuk kegiatan pemasaran, selain berjualan langsung di desa Siem, kain songket Nyak Mu juga dipasarkan lewat media sosial dan bergabung dengan galeri Dekranasda provinsi Aceh di ibukota Banda Aceh. Fokus produksi lebih kepada kain songket meteran, sarung, dan selendang, di rentang harga ratusan ribu hingga jutaan rupiah.

Nyak Mu. Legenda Tenun Songket Aceh
Liputan harian Kompas tentang Nyak Mu

Nyak Mu. Legenda Tenun Songket Aceh
Bale-bale di bawah rumah kayu panggung. Tempat saya, Kak Dahlia, dan Kak Dekya ngobrol berjam-jam

Nyak Mu. Legenda Tenun Songket Aceh
Deretan songket khas Aceh yang siap dipasarkan

Nyak Mu. Legenda Tenun Songket Aceh
Motif garis-garis dengan susunan warna yang menarik hati

Bagian Penting Dari Sejarah

Obrolan kami bertiga tak terasa sudah berlangsung berjam-jam lamanya. Seperti di banyak kesempatan berbicara dengan para legenda atau pembawa estafet tongkat kejayaan dari sang legenda, saya melibatkan diri pada banyak jejak yang harus dikumpulkan menjadi satu di sebuah keranjang ilmu. Dari keranjang inilah, catatan tersebut saya baca satu persatu kembali untuk kemudian saya susun menjadi sebuah atau rangkaian berkas yang berharga.

Kunjungan pertama saya ke Rumah Tenun Kelompok Bengong Jeumpa ini menjadi awal yang begitu mengesankan buat saya pribadi. Bertemu Kak Dahlia, Kak Dekya, dan beberapa orang penenun yang berkomitmen untuk terus menghasilkan tenun Songket Aceh yang cantik dan berkualitas mengisyaratkan betapa semangat untuk terus berkarya itu masih mendominasi kehidupan mereka.

Kak Dahlia sendiri, yang sudah berada di masa lansia, belum memiliki penerus yang serius untuk mengambil alih tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepadanya. Kecuali Kak Dekya, sang ipar, yang berjalan bersisian dengan Kak Dahlia, mereka masih mencari anak keturunan langsung Nyak Mu yang suatu saat berkenan mengemban tugas menjadi pembuat dan pelestari kain Tenun Songket Aceh yang sekarang mereka geluti.

“Anak-anak sekarang sudah jarang yang mau menenun Bu. Mencari penerus inilah yang jadi tugas saya hingga saat ini.” Begitu kalimat yang terdengar serius keluar dari mulut Kak Dahlia.  Saya tak menampik kenyataan ini.

Saya membayangkan betapa berat beban yang sekarang dipikul Kak Dahlia. Tanggung jawabnya untuk melanjutkan dan “menulis jejak” di buku sejarah tentang kain Tenun Songket Aceh bukanlah perkara gampang.  Nyak Mu sebagai nama dan jenama yang sudah dikenal seantero Aceh sebagai pelopor dan guru besar dari sekian banyak penenun di provinsi ini, tentunya harus tetap lestari.

Saya sendiri tak pun mampu menenun. Menyaksikan proses pembuatan yang begitu rinci dengan timbangan kesabaran yang tak terkira saja sudah membuat saya jeri. Apalagi duduk berjam-jam dan bekerja di atas alat tenun kaki tangan (ATKT) seperti yang dilakukan oleh para ibu tersebut.

Lalu apa yang bisa saya lakukan? Apa sumbangsih saya untuk mereka? Menulis. Yak. Lewat rangkaian diksi di dunia literasi lah yang mendorong keinginan kuat saya untuk menjadi bagian dari sang pelestari.  Tulisanlah yang menghantarkan dunia untuk lebih mengenal Nyak Mu dan tenun songket Aceh sekarang dan nanti.

Nyak Mu. Legenda Tenun Songket Aceh
Songket yang dalam proses pengerjaan

Nyak Mu. Legenda Tenun Songket Aceh
Menenun adalah sebuah kecintaan akan negeri dan budaya bangsa

Blogger, Author, Crafter and Photography Enthusiast

annie.nugraha@gmail.com | +62-811-108-582

22 thoughts on “Nyak Mu. Legenda Tenun Songket Aceh”

  1. Berkunjung ke pengrajin begini adalah salah satu list saya kalau berpergian.
    Seperti di sentra batik, tenun, pengrajin perak di kota gede atau bali atau pengrajin lainnya.
    Yang baru kesampean baru di batik trusmi cirebon dan pengarjin perak di Bali.
    Itupun ngga seluruhnya menyaksikan pembuatannya.

    Bahkan pengrajin ulos di Tanah Batak tempat saya tinggal aja belum pernah :(
    Tapi di Medan (Sumatera Utara), pengrajin begini belum dapat tempat di sektor wisata
    Belum jadi bagian dari itinerary untuk dikunjungi

    Duuh, banyak PEER nih untuk pemerintah
    Padhal sektor wisata kalau beneran dikelola, pemasukannya gede, ya, Bu…

    Reply
    • Jadi pe-er kita juga Ci. Peran kita menuliskan tentang wastra nusantara ini jadi satu bagian dari usaha melestarikannya. Kebayang gak sih jika gak ada ulasan tentang wastra daerah ini, tak akan ada referensi atau ulasan yang bisa dibaca oleh publik. Saya merasakan sudah di titik ini. Sekaligus menjadi kekuatan bahwa menulis juga akan diwariskan dari generasi ke generasi.

  2. Aku langsung mikir, kalau di Palembang siapa ya tokoh songket yang melegenda? Yang kepikiran sih Zainal Songket yang emang mewarisi usaha turun termurun dari ortu dan kakeknya.

    Takjub aku ayuk ketemu aja ini rumah Nyak Mu. Gak cuma ngeliat proses pembuatan (dan ternyata alatnya kurang lebih sama kayak di sini) tapi juga mengulik sejarah Nyak Mu termasuk fase-fase kehilangan akibat terjangan tsunami. Sekilas aku lihat motifnya mirip dengan di Palembang namun pilihan warna benang lebih sederhana. Yang motif garis-garis itu malah keinget tentun Flores.

    Emang nggak habis-habis kebudayaan Indonesia untuk dikulik.

    Reply
    • Naahh ini dio Yan. Aku jugo pengen nian ketemu tokoh songket Palembang yang memang sudah beberapo generasi menjadi pelopor lahirnyo songket Palembang.

  3. Cerita tentang Nyak Mu dan kelompok tenun Songket Aceh begitu menginspirasi. Keberlanjutan warisan budaya ini, meskipun dihadapkan pada tantangan, menunjukkan semangat dan dedikasi yang luar biasa. Melibatkan generasi muda dalam pelestarian tradisi ini menjadi kunci keberlanjutan.

    Terima kasih Yuk Annie telah memperkenalkanku pada legenda seperti Nyak Mu dan mengajak pembaca dalam perjalanan melestarikan keindahan kain tenun Aceh.

    Reply
    • Semoga tenung songket Aceh bisa terus lestari ya Rien. Kak Dahlia bisa mendapatkan penerus yang berkenan mewarisi keahlian menenun yang ada saat ini.

  4. Nyak Mu akan selalu diingat karena sudah melahirkan banyak motif Tenun Songket Aceh yang cantik, Tenun Songket Aceh ini salah satu bagian sejarah yang penting banget. Pengen deh, kesana langsung

    Reply
  5. Huhuhu Mbak Annie selalu tahu tempat yang keren
    Saya baru tahu kalo Aceh terkenal dengan kain tenun songketnya
    Terlalu banget ya?
    Padahal masuk akal karena menenun ini kan bagian dari budaya kita
    Jadi proses menenun tersebar di seantero Indonesia
    Pengrajin menggunakan cara tradisional seperti Nyak Mu
    atau dengan ATM seperti kain sarung Majalaya, Bandung

    Reply
    • ATKT (Alat Tenun Kaki Tangan) ini adalah salah satu alat menenun yang paling tradisional dan berada di peringkat bawah Mbak Maria. Di atasnya ada yang lebih modern yaitu ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin). Waktu ngobrol saya meminta Kak Dahlia untuk mengajukan ATBM, setingkat di atas ATKT agar produksi mereka bisa lebih cepat. Semoga segara dipenuhi oleh pengampu mereka.

  6. Ah senangnya mbak annie bisa berkunjung langsung ke rumah Nyak Mu
    Nyam Mu tentu punya jasa yang besar dalam menjaga kelestarian tenun songket aceh ini ya mbak
    Inspiratif sekali

    Reply
  7. Daku pun juga seperti Bu Annie ndak sanggup menenun, apalagi daku memang ndak punya skill tersebut.
    Hebatnya skill para penenun ini memang harus terus dijaga dan semoga sejak dini anak-anak bisa ya mulai belajar menenun.

    Reply
    • Aamiin Yaa Rabbalalaamiin. Semoga Kelompok Tenun Bungong Jeumpa bisa menemukan penerus untuk terus melestarikan tenun songket Aceh.

  8. Satu kain tenun songket ini baru selesai dalam 2-3 bulan, berkat ketekunan para penenun, kita masih bisa melihat, meraba bahkan bisa jadi memiliki kain tenun songket aceh ini ya mbak. Salut pada Kak Dahlia, yang mau meneruskan melestarikan tenun Nyak Mu ini.

    Lihat mesin tenun kaki dan tangan ini, saya jadi ingat jaman kecil. Jaman kecil, di kampung saya juga banyak yang menenun lurik menggunakan alat tenun seperti itu mbak. Sayangnya kini tak ada lagi generasi muda yang meneruskan

    Reply
    • Ini juga yang sedang menjadi dilema bagi Kak Dahlia Mbak Nanik. Dia tidak punya penerus. Sementara dirinya sendiri beserta ibu-ibu yang berada di Kelompok Tenun Bungong Jeumpa juga sudah beranjak tua. Tak ada generasi penerus yang mau melanjutkan pekerjaan menenun yang memang effortnya luar biasa.. Gak cuma bicara soal skill tapi juga kesabaran dan kemauan yang keras untuk konsisten berkarya.

  9. Saya baru dingatkan ,elalui tulisan lengkap mba Annie kalau Aceh juga punya songket yang khas.
    Salut untuk Nyak Mu yang mewariskan keterampilan menenun hingga menjadi songket khas Aceh yang melegenda. Semoga generasi muda Aceh sekarang ada yang membaca membaca tulisan mba Annie dan pengunjung ke tempat kerajinan songket Aceh ini yang tergugah untuk meneruskannya, hingga songket Aceh akan terus mewarnai keberagaman songket yg ada di Indonesia.

    Reply
    • Semoga dengan menuliskannya akan semakin banyak publik yang kenal dengan tenun songket Aceh. Salah satu kekayaan budaya dan wastra tanah air yang wajib kita lestarikan dan pelihara hingga akhir hayat.

  10. Asli salut banget dengan Nyak Mu dan kelompok tenun Songket Aceh begitu menginspirasi. Keberlanjutan warisan budaya menenun songket ini,

    Apalagi di zaman sekarang sudah sangat jarang ada orang yang mau menenun ya.

    Reply
    • Bener banget. Komitmen para penenun untuk terus melestarikan tenun songket Aceh tentunya wajib kita apresiasi. Bisa dengan membeli, mempopulerkan atau terus mempromosikannya, bisa juga dengan menuliskannya agar semakin banyak publik yang tahu tentang wastra asli Aceh yang satu ini.

  11. Ka Annie… maaf, mungkin pertanyaan aku teknis banget yaah..
    Kalau ke Aceh dan ingin ke Rumah Tenun Nyak Mu kudu janjian dulu kah?
    Seseru itu obrolan mengenai kain tenun songket Aceh yaa.. Dan gak mudah menjaga ke-otentikannya di tengah derasnya fashion.
    Semoga para desainer bisa membuat ide kreatif dari kain tenun songket Aceh yang dibuat perlahan dan penuh cinta.

    Naksir kain yang warnanya emas.
    Cantik sekali.

    Reply
    • Betul banget. Saya mendapatkan nama Nyak Mu dan Rumah Tenun Kelompok Bungon Jeumpa dari rekan penulis yang kelahiran Aceh. Alhamdulillah dapat nomor telepon beliau langsung jadi bisa janjian.

  12. Mba Annie, terimakasih banyak, aku jadi tahu tentang Nyak Mu., Masya Allah banyak banget yah ada 25 warisan motif kain tradisional. Seneng banget bisa berkunjung ke tempat pengrajin kain songket, apalagi dengan menenun songket. Warisan budaya yang perlu dilestarikan. Semoga songket Aceh terus bisa maju dan berkembang mewarnai keberagaman kain kain songket yang ada di Indonesia saat ini

    Reply
    • Aamiin Yaa Rabbalalaamiin. Semoga Songket Aceh terus menjadi bagian wastra nusantara yang membanggakan dan membawa ketenaran wastra nusantara ke seluruh dunia

Leave a Comment