
Saya masih mengumpulkan energi untuk bangun dan beranjak dari tempat tidur di ALAM DANIA Cottage. Villa 2 kamar yang akan kami tempati dalam 3 hari kedepan di Ubud, Bali.
Waktu di gawai saya sudah menunjukkan pkl. 07:00 wita. Yang berarti pkl. 06:00 wib. Jam biologis saya untuk melakukan rangkaian kegiatan di setiap harinya. Meski hanya duduk dan memulai semuanya dengan membaca atau menonton hal-hal ringan.
Setelah mengecek pesan yang mungkin belum terbaca di WA sembari leyeh-leyeh di atas kasur, pikiran saya mendadak kembali ke kisah perjalanan Jakarta – Bali kemarin.
Cikarang – Soekarno Hatta yang Hiruk Pikuk
Capeknya proses perjalanan kemarin masih terasa. Melumat tenaga. Setidaknya untuk saya yang jumlah usianya sudah banyak, lebih dari setengah abad.
Kemarin, saya dan Fiona, harus meninggalkan rumah sekitar pkl. 04:30 wib agar bisa mencapai bandara Soekarno – Hatta (Soetta) lebih awal dengan selisih waktu menunggu yang lapang dan tidak tergesa-gesa.
Awalnya kami ingin menaiki bus DAMRI yang berangkat dari Jababeka pkl. 05:00 wib. Tapi ternyata sejak pandemi berlangsung, bus rute Cikarang – Soetta sudah berubah jadwal. Dari yang sebelumnya berangkat tiap jam (per 1 jam) sekarang menjadi per 2 jam saja. Jadwal pertama jatuh pada pkl. 04:00 wib. Jadi jadwal berikutnya adalah pkl. 06:00 wib. Keputusan yang terpaksa diambil oleh pihak DAMRI karena sangat berkurangnya kuantitas penumpang pesawat selama pandemi berlangsung.
Wah. Terlalu beresiko jika baru berangkat dari Jababeka pkl. 06:00 wib sementara pesawat kami akan boarding sekitar pkl. 09:30 wib.
Menimbang traffic yang pada hari kerja (hari itu) dan volume kendaraan di sepanjang tol Cikampek dan dalam kota yang harus kami lewati, bisa jadi kami baru akan tiba di Soetta sekitar pkl. 08:30 wib. Itupun dengan catatan bahwa bus tidak terjebak dalam kemacetan. Belum lagi ditambah rencana ingin sarapan, ngantri check-in, melewati proses pemeriksaan serta berjalan menuju ruang pemberangkatan yang cukup jauh.
Plan B akhirnya harus diambil.
Saya memutuskan untuk naik mobil sewaan on-line yang ternyata diikuti oleh salah seorang perempuan yang akan terbang ke Batam di waktu yang sama dengan penerbangan saya ke Bali. Zakia, gadis itu, akhirnya bergabung di mobil sewaan dengan sharing 1/3 biaya. Well, it’s fair enough.
Dugaan saya ternyata benar.
Belum lama memasuki tol Cikampek menuju Jakarta, di km 27 (seputaran Cibitung), ada kecelakaan mobil, yang kalau lamat diperhatikan pasti belum lama terjadi saat kami mencapai dan melewati TKP. Sebuah mobil mini van remuk redam di sisi kiri (depan dan tengah). Kondisi yang bisa dipastikan, jika ada penumpang di kedua bagian itu, sedang meregang atau bahkan mungkin sudah kehilangan nyawa. Sementara di sisi pengendara (kanan mobil) pintunya terlihat terbuka lebar hingga tampak supirnya tergeletak dengan wajah menyentuh setir, tanpa sadarkan diri.
Ya Allah. Saya langsung merinding dan berpesan kepada supir kami untuk tidak ngebut mengejar waktu.
Beberapa kali menyaksikan kecelakaan lalu lintas di jalan bebas hambatan, yang kebanyakan diantaranya cukup tragis, saya sering ngilu hati berada di dekat TKP.
Meski sempat berlalu pelan, setidaknya kami sempat tertahan sejenak karena banyak kendaraan ikut melambatkan kecepatan. Ingin rasanya turun membantu. Seandainya tidak dalam rencana perjalanan yang harus tepat waktu dan mobil kami berada di posisi paling kanan jalur, tentunya saya akan menyempatkan diri menelepon petugas tol. Atau bisa saja menolong langsung para korban. Cuma ya itu, setelahnya, biasanya saya tidak bisa tidur berhari-hari.
Tapi ada daya kondisi tidak memungkinkan.
Saya tidak sempat melanjutkan tidur-tidur ayam gegara memikirkan kecelakaan itu. Apalagi Zakia terus mengajak saya mengobrol. Cocoklah dengan saya yang hobi bercakap-cakap dalam berbagai topik, dari Sabang sampai Merauke, betah duduk mengobrol hingga sekian masehi.
Apalagi jika yang diajak ngomong adalah kenalan baru dengan pola pikir yang sama. Dan akan bertambah-tambah semangatnya jika lawan bicara saya adalah orang yang smart, pengetahuannya luas hingga saya bisa menggali banyak ilmu baru darinya. Tak peduli usia. Jauh lebih tua atau lebih muda. Yang penting otaknya “berisi” dengan attitude yang berkualitas sebagai syarat utama.
Jadi waktu hampir 2 jam untuk Cikarang – Soetta sepagian itu sungguh penuh akan pengalaman baru. Khususnya cerita Zakia tentang pengalaman hidupnya selama di Batam. Bekerja disana hingga akhirnya memegang posisi penting di kantor pusat yang berlokasi di Cikarang. Anak mudah yang jempolan. Single, fairless, bebas merdeka dan sedang menikmati masa-masa muda dengan hidup yang bermanfaat.
Antrian Pemeriksaan di Bandara Soekarno – Hatta
Saya tiba di Soetta sekitar pkl. 07:15 wib dengan kantung yang mulai menyergap. Keasikan ngobrol dengan Zakia sudah melupakan niat awal untuk mengistirahatkan mata selama perjalanan menuju ke bandara. Inilah saatnya saya kembali menginjakkan kaki di tempat ini setelah cerita panjang soal pembatasan bepergian bagi publik tanah air.
Zakia berpamitan. Yang kemudian saya balas dengan anggukan dan lambaian tangan. Saya yakin Zakia melihat senyuman saya meski hanya lewat sorotan mata.
Persis di saat ketibaan tersebut saya menyaksikan ratusan orang datang dengan koper bagasi yang jumlahnya tak kira-kira. Ada yang turun dari mobil pribadi, taxi, bahkan bus besar yang padat manusia. Tua, muda, besar, kecil, berjalan cepat sembari menyeret dan menenteng barang bawaan.
Saya tak bisa menyembunyikan rasa kaget. Ternyata, selain saya dan Fiona, sedemikian banyak orang memutuskan untuk berlibur akhir tahun 2021 dan menggunakan pesawat sebagai moda transportasi. Kebayang sih bakal banyak orang di bandara, berlibur menjelang akhir atau tutup tahun. Tapi tak menyangka akan sepadat ini.
Banyaknya para calon penumpang ini bikin saya ketar-ketir juga. Sebanyak inikah mereka yang akan bepergian dengan pesawat? Alamak. Sungguh diluar dugaan.
Sembari berjalan menuju Gate F yang saat itu adalah satu-satunya gerbang masuk menuju Terminal 2, saya memutuskan untuk mengajak Fiona sarapan di Solaria terlebih dahulu. Lebih baik mengamankan lambung dulu sebelum berjuang dalam antrian.
Beberapa resto yang biasanya ada di sisi depan Terminal 2 dan rutin saya hampiri sebelum masuk terminal, terlihat banyak yang tutup. Entah permanen atau tidak. Kemungkinan besar sih tutup sementara karena efek pandemi.
Kami menikmati sarapan sambil sesekali berkomunikasi dengan adik ipar dan keponakan saya yang masih dalam perjalanan dari Kelapa Gading menuju Soetta. Mereka akan bergabung dalam liburan kali ini. Tak berapa lama setelah saya masuk, Solaria mulai dipenuhi oleh pengunjung dan suara-suara ngobrol pun terdengar di setiap sudut tempat duduk.
Ingatan kisah perjalanan hampir 2 tahun yang lalu pun terangkat.
Ramainya manusia di Soetta mengingatkan saat-saat dimana saya harus solo traveling menyusul suami yang sudah terlebih dahulu berada di Medan dan Surabaya. Motonya cuma satu. Ngintil is the must.
Keluar dari resto yang mulai padat, saya memutuskan untuk bersegera masuk kedalam terminal 2. Derap langkah dan seretan koper terdengar susul-menyusul.
Melewati satu-satunya pintu otomatis yang bisa dilalui, antrian pertama harus saya jalani.
Antrian ini adalah pemeriksaan hasil tes swab antigen dan e-HAC (electronic Health Alert Card). Hasil swab antigen otomatis akan tersambung di aplikasi Peduli Lindungi yang inputnya dikerjakan oleh klinik atau tempat kita melakukan tes. Sementara e-HAC sendiri adalah catatan perjalanan yang akan menunjukkan history perjalanan kita. Ini juga akan ada di dalam aplikasi Peduli Lindungi. 2 syarat administrasi dasar yang harus kita miliki setidaknya 1×24 jam sebelum keberangkatan.
Meskipun sudah ada secara digital, di titik pemeriksaan juga ada beberapa petugas yang mengecek bahkan melakukan scan atas kedua hal tersebut diatas secara manual.
Atas usulan beberapa pihak, baik swab antigen maupun e-HAC saya capture (screen shot) terlebih dahulu. Masuk akal. Karena terkadang jaringan internet kurang stabil di beberapa tempat. Apalagi jika penggunanya padat dan penuh sesak. Jadi daripada nantinya menghambat proses pemeriksaan, lebih baik jika kita tunjukkan hasil screen shot tersebut.
Alhamdulillah cara ini jitu.
Antrian Check-in yang Padat Merayap

Lepas dari antrian pertama di depan pintu masuk dan scanning bagasi, saya mencari counter Lion Air. Jenama airline yang akan menerbangkan saya ke Bali pagi itu.
Dan ini bakal jadi pengalaman pertama saya terbang bersama mereka.
Kami berempat sudah melakukan web check-in dan memilih seats beberapa jam sebelumnya. Dengan harapan agar tidak harus mengikuti proses check-in yang mengular. Tapi ternyata salah. Meski counter pelayanan yang dibuka sudah berderet, nyatanya puluhan jalur antrian sangat padat bahkan hingga menutupi jalan lalu lalang di bagian belakang.
Itupun antri berdirinya sudah tak menjaga jarak lagi saking penuhnya. Catatan bahwa 1M dari 5M standard protokol kesehatan sudah tak dijalankan.
Meskipun penumpang yang sudah web check-in dibuatkan beberapa counter khusus, nyatanya ritme pengurusan bagasi butuh waktu pengaturan yang lebih dari 5 – 10 menit per orang. Laporan swab antigen dan e-HAC diminta dan diperiksa kembali, pun soft-copies boarding pass harus dicetak.
Yang check-in ditempat atau on-the-spot malah antriannya jauh panjang lagi. Bahkan berlapis-lapis.
Saat giliran saya hampir tiba, setidaknya ada 2 orang di depan saya, saya sempat melihat beberapa bapak-bapak yang kesulitan mengakses Peduli Lindungi. Panik. Menarik napas dalam dan menggeleng. Sementara petugas airline tetap mengharuskan mereka untuk menunjukkan hasil swab antigen.
Tuh kan. Coba hasil pemeriksaannya dicapture atau bawa aja deh lembaran print-out hasil pemeriksaannya. Pasti kejadiannya tak akan seribet ini.
Rangkaian-rangkaian kegiatan inilah yang menurut dugaan saya melambatkan antrian.
Another lesson to learn.
Pengetahuan tentang web check-in menurut saya sudah harus atau lebih sering disosialisasikan. Bahkan sudah waktunya diwajibkan untuk dilakukan oleh seluruh penumpang sehari sebelum jadwal keberangkatan. Setidaknya H-1 dengan 3 jam injury sebelum benar-benar berangkat.
Saya rasa hal ini bisa dijadikan pembiasaan. Banyak hal positif yang bisa diambil dari aturan ini. Terutama untuk kepentingan airline dalam mempersiapkan manifest penerbangan. Plus tentu saja memangkas banyak biaya operasional.
Hal lain yang patut dipertimbangkan adalah masalah paperless. Jika boarding pass digital bisa bekerja atau digunakan dengan baik, mencetak lembaran ini seharusnya sudah bisa dihilangkan. Termasuk diantaranya lembaran identifikasi bagasi.
The world would thank us for these.
Ini bisa jadi salah satu cara dan atau kepedulian kita akan kelestarian lingkungan serta isu pemanasan global yang selalu digaungkan. Menghilangkan atau setidaknya meminimalisir produksi kertas karena harus menebang pohon, bisa jadi salah satu cara untuk mendukung program tersebut.
Kebijakan Penggunaan Kursi dan In-flight Service
Saat melakukan web check-in dan memilih kursi, saya melihat beberapa tempat duduk sudah diambil. Tidak ada tanda X sebagai identifikasi bahwa kursi itu tidak boleh dibooking. Jadi dalam prakteknya nanti tidak akan ada jarak antara penumpang. Semua nomor duduk terbuka dan tidak ada sela.
Jadi saya tidak bisa berharap bahwa di deretan tempat duduk kami yang seharusnya berisi 3 orang, hanya akan diduduki oleh saya dan Fiona. Apalagi saat menyadari antrian penumpang di counter check-in keesokan harinya.
Satu lagi prinsip 5M (menjaga jarak) yang tidak bisa dilaksanakan.
Kalau sudah seperti ini, siapa yang harus dan wajib melaporkan kondisi yang sudah terjadi diatas?
Jika memang perihal menjaga jarak sudah tidak dilaksanakan, lalu bagaimana dengan kebijakan in-flight services yang menjadi hak penumpang. Untuk penerbangan dengan rentang waktu 2 jam, masak segelas air putih pun tidak dihidangkan? Nyatanya banyak loh penumpang yang makan minum dengan tentu saja membuka masker, sementara mereka duduk berdekatan.
Terlepas dari masa bangkit nyaris dari kehancuran, customer’s right sepertinya tetap harus diperhatikan.
In fact, a glass of water won’t make them lost in any way.
Bule yang Fun and Friendly
Di deretan saya duduk (di tengah), ada Fiona yang mengambil seat dekat jendela dan seorang lelaki bule di sebelah kiri saya. Dia duduk di bagian aisle.
Bule ini sempat ingin pindah tempat duduk karena mungkin dia juga ingin menjaga jarak dengan penumpang lain (saya). Tapi ternyata tidak diijinkan oleh flight attendant. Pun saat dia berusaha pindah lagi setelah pesawat sudah berada di udara dan terbang dengan sempurna. Yah. Mungkin memang sudah nasibnya dia harus duduk dengan mamak-mamak seperti saya. Padahal loh saya ini lucu dan menggemaskan.
Kamipun membatasi bicara. Terbukti saat dia menjawab pertanyaan basa-basi saya dengan kalimat singkat.
“Been here twice,” jawabnya singkat saat saya berusaha membuka percakapan. Meyakinkan bahwa saya paham akan apa yang dia bicarakan, si bule mengangkat telunjuk dan jari tengahnya bebarengan. Baiklah brother.
Pengen sebenarnya ngobrol lebih lanjut tapi saya lebih memilih untuk tak banyak berkomunikasi. Bukan karena keterbatasan kemampuan bahasa tapi lebih pada faktor keamanan.
Lucunya saat saya mengisi waktu dengan bermain game Candy Crush di tablet, dia langsung menunjukkan kalau dia juga sedang berjibaku dengan permainan yang sama di gawainya. Tapi dengan level yang masih jauh di bawah saya. Saya tertawa lewat sorotan mata.
Dan lucunya lagi saat saya sedang asik bermain lalu tetiba mati langkah, dia gemes celamitan lewat jari-jaringnya. Langsung memotong. Ikutan main.
Sayapun terkekeh-kekeh hampir tanpa henti. Usil aja sih.
Kami sempat bertatapan lagi saat saya melihat dia terhuyung-huyung mengangkat surfing board yang panjangnya nauzubillah. Untuk badannya yang kurus kecil, jauh dari standard bule, board itu jelas butuh effort yang besar agar bisa terangkat dengan baik.
Saya tertawa dari balik masker.
Kok gak bantuin? Ya gak mungkin lah. Nenek-nenek kok ngebantuin anak muda yang masih segar dan muda. Saraf kejepit saya bisa langsung kumat kalo sok-sokan berbaik hati membantu angkat-angkat.
Jadi dia hanya sempat melambaikan tangannya sembari melihat saya dari kejauhan.
Satu pertanyaan yang kemudian muncul adalah melihat dia sama sekali tidak bisa berbahasa Indonesia, kemungkinan besar dia datang dari negaranya dan pastinya mengikuti aturan karantina 10 hari di Jakarta sebelum terbang ke Bali. Atau dia memang tinggal di Indonesia dan saat itu liburan ke Bali.
Bali. Mimpi Pensiun Saya

Aaahh. Akhirnya. Saya menginjakkan kaki kembali di Bali. Satu daerah yang menjadi impian masa pensiun saya dan suami tentu saja. Kebayang disaat nanti bisa bebas pergi ke pantai atau ke gunung kapanpun saya mau. Sekedar leyeh-leyeh duduk atau terniat pergi memotret dan menghabiskan waktu untuk eksplorasi.
Inginnya sih saya menggali, menemukan dan berjumpa dengan tempat-tempat baru atau orang-orang yang bisa saya korek ilmu dan pengetahuannya. Terutama berbagai seniman yang menjadi panutan bagi orang-orang sekitarnya. Seperti sebuah perjalanan ke berbagai tempat yang nantinya akan menjadi referensi bagi para pengelana.
Semua kegiatan-kegiatan yang ingin saya tuliskan dalam sebuah artikel, video atau buku untuk dinikmati oleh berbagai lapisan masyarakat.
Selain hal di atas, saya berharap dengan tinggal di Bali, saya bisa memiliki sebuah rumah yang nyaman, yang nantinya bisa menjadi tempat yang damai dan menjadi tujuan liburan bagi semua anak, cucu dan keturunan saya.
Meski sekarang Bali mengalami benturan hebat karena efek pandemi. Saya berharap agar “masa-masa istirahat dari keramaian yang biasa terjadi” berganti dengan pulihnya atau kelahiran kembali tempat-tempat wisata. Alam diberikan kesempatan menjadi lebih bersih karena jauh dari sentuhan ribuan wisatawan. Kemudian berganti dengan wajah baru yang jauh lebih alami.
Semoga Allah SWT berkenan mengabulkan permohonan saya.

Pulihlah Negeriku
Selama 4 hari 3 malam berkeliling di banyak tempat, hampir sebagian besar wisatawan tampak tidak begitu peduli untuk menjaga jarak. Pemeriksaan suhu tubuh dan mencuci tangan di depan resto atau tempat-tempat wisata, sepertinya dilakukan hanya sebagai langkah basa-basi.
Hanya masker yang menunjukkan bahwa saat itu pandemi masih berlangsung. Itupun masih banyak saya lihat orang-orang berkeliaran tanpa mengenakan masker, berdiri dekat dengan orang lain, dan bebas mengobrol tanpa membatasi diri. Atau mengenakan masker yang nyantol di dagu saja. Keliatan banget tak berniat memikirkan keselamatan orang lain.
Sumpah. Ngilu banget saya lihatnya.
Saat bertemu dengan mereka ini, saya memutuskan untuk menjaga jarak. Pengen menegur tapi rasanya akan percuma. Jadi lebih baik kita yang sadar diri untuk tidak mendekati mereka. Pandemi bagi mereka mungkin hanya perkara kecil.
Untuk saya yang pernah berjuang keras untuk sembuh dari virus Corona tahun lalu hingga 2 bulan penuh, menjaga diri adalah salah satu upaya demi keselamatan diri sendiri.
Tapi saya berharap, sangat berharap, agar pandemi ini bisa segera berlalu. Kehidupan pariwisata di Bali pun pulih. Hingga satu persatu, langkah demi langkah, pelan-pelan pulau dewata tercinta ini dapat hidup kembali seperti dulu. Perekonomian yang bersumber dari pariwisata bisa balik lagi bahkan akan jauh lebih baik kedepannya.
Tentu saja dengan sebuah penyelenggara yang bertanggungjawab, peduli dan sangat memperhatikan keselamatan dan keamanan para pejalan di masa-masa virus masih berkeliaran mencari sasaran.
