
Kekaguman akan indahnya kerajinan keramik di SERAYU Pottery & Terracota (SERAYU) belum berakhir di benak saya, saat rombongan kami tiba di Desa Penglipuran. Perjalanannya tak lama. Tak lebih dari 30 menitan. Tapi diantara belasan menit tersebut saya menyempatkan diri membagikan foto terbaik saat memotret di SERAYU tadi. Satu fase cerita kunjungan ke Bali di minggu terakhir Desember 2021 yang tak sabar ingin saya bagikan ke ribuan followers Instagram saya (halah sok ngetop, padahal yang nge-like postingannya cuma seujung segelintir manusia hahaha).
Saya berpesan kepada Bli Nyoman untuk parkir di sisi utara saja karena di sisi inilah ada lahan parkir yang lumayan luas serta nyaman. Setidaknya kendaraan tidak berada di bahu jalan yang bisa menghambat lalu lintas.
“Wah, Ibu tampaknya sudah hafal sekali ya?” sahut Bli Nyoman sambil melirik ke arah saya yang duduk di tengah. Pertanyaan bonus senyum khas yang begitu bersahabat.
“Ini sepertinya bakal jadi kunjungan saya yang keempat Bli. Yang belum itu nginapnya. Dan anehnya juga setiap ke Penglipuran saya selalu disambut dengan hujan. Nah mungkin dikunjungan sekarang atau berikutnya saya dapat hadiah payung,” jawab saya semangat. Mencoba melucu tapi garing. Nyatanya yang ketawa cuma Bli Nyoman. Itu alasan kenapa saya gagal lolos babak penyisihan stand up comedy. Kegaringan tiada akhir. Ampun.
Gak berapa lama turun dari mobil dan melangkah, rintik hujan pun pelan-pelan menghantam bumi dan mulai membasahi kepala dan baju kami. Taelah. Baru juga bayar HTM. Tapi ternyata hujan di Penglipuran udah amat sangat merindukan saya.
“Yaaaahhh hujan beneran deh,” teriak saya dalam hati. Meski Bli Nyoman mengiringi kami dan sudah siap dengan beberapa payung yang cukup besar, saya tetap merasakan sendu karena ini jadi pertanda bahwa saya lagi-lagi gagal mengambil rangkaian foto dengan langit biru dan awan putih yang sejatinya bakal menyempurnakan hijaunya lingkungan Desa Penglipuran.
Yup. Desa Penglipuran. Satu dari sepuluh desa terbersih di dunia dan pada 7 Desember 2021 yang lalu mendapatkan penghargaan sebagai DESA WISATA MANDIRI INSPIRATIF. Penghargaan versi dan diberikan oleh ADWI (Asosiasi Desa Wisata Indonesia), salah satu program unggulan dan kebanggaan dari KEMENPAREKRAF (Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif) Republik Indonesia.
Ah ketemu lagi kita ya Desa Penglipuran. Terimakasih sudah mengijinkan saya kembali.
BACA JUGA : PENGLIPURAN BALI. SATU DARI SEPULUH DESA TERBERSIH DI DUNIA

Menelusuri Jalan Utama Desa
Di ketibaan saya sekali ini, lagi-lagi disambut oleh langit menggelap dengan rintik hujan yang turun tidak konsisten. Saya sempat menunggu di sudut tertinggi jalan utama desa dengan beberapa tangga semen berukuran cukup lebar. Di bagian atas jalan utama ini ada sebuah pura yang selama saya kemari tidak pernah kelihatan terbuka untuk umum. Di depan pura ini ada halaman yang cukup luas serta sebuah bale-bale yang lumayan besar untuk sekedar duduk-duduk atau berkumpul sembari bersenda gurau dan menunggu.
Para wisatawan biasanya berdiri di ujung tangga tersebut. Ada yang sibuk berfoto. Tapi ada juga yang sekedar memandang indahnya jalan utama dengan semen bebatuan serta nuansa hijau yang terbentang lurus. Keindahannya dilengkapi dengan bunga-bunga berwarna-warni, berbagai jenis, di kanan dan kiri jalan. Terlihat juga pagar-pagar semen setinggi sekitar 2 meter dengan Angkul-angkul atau pintu/gerbang depan rumah khas Bali yang beratapkan bambu.
Saya mengajak Fiona untuk masuk ke rumah pertama yang ada di sisi kiri jalan. Bukan dengan tujuan memotret tapi karena ingin membeli selembar baju untuk anak saya itu, yang terlihat basah kuyup setelah menelusuri air terjun Cepung. Selain toko kecil dengan beragam pakaian dan kaos, disini juga menjual topi, tas selempang, camilan/makanan kecil, buah salak, serta minuman dingin dan hangat. Setelah pilah pilih, Fiona akhirnya membeli sebuah baju katun putih lengan panjang yang diberi ornamen machine embroidery berwarna biru. Lumayan kok ternyata kualitasnya karena bahan katun kan memang nyaman di tubuh. Saya pun akhirnya memutuskan untuk membeli 1 buah topi anyam dengan pinggiran bergelombang dan sebuah pita centil yang menempel di bagian tengah. Untuk 2 item ini saya cuma membayar 100ribu. Murahlah ya.
Keputusan untuk membeli topi ini ternyata tepat karena sepanjang jalan menelusuri desa dari posisi tertinggi (utara) sampai hanya di bagian tengah, kami ditemani oleh hujan yang enggan banget untuk berhenti. Karena tak nyaman berlama-lama, saya hanya menyempatkan diri memotret berbagai bunga-bunga yang tumbuh subur di sepanjang jalan. Lalu saat hujan mendadak deras, kami masuk ke sebuah rumah penduduk yang juga membuka warung kecil di belakang Sanggah. Tempat ibadah yang menjadi bangunan terdepan dari setiap rumah yang ada di desa Penglipuran ini.
Sembari menunggu hujan sedikit mereda dan memungkinkan melanjutkan langkah, saya mencoba minuman khas Desa Penglipuran yang namanya Loloh Cemcem di salah satu rumah penduduk. Menurut Mbok yang menawarkan kami minuman ini, Loloh Cemcem memiliki kandungan yang bermanfaat untuk kesehatan tubuh. Salah satunya adalah untuk menyembuhkan panas dalam. Mirip seperti beras kencur atau kunyit asam yang menjadi signature drinks nya Jawa. Warnanya juga mirip. Didominasi oleh warna gelap dan tidak kuning terang. Awalnya saya ragu untuk mencoba karena barusan menghabiskan air mineral satu botol penuh. Tapi melihat decapan dan komentar enak dari rekan-rekan seperjalanan, akhirnya saya pun meneguk minuman kesehatan ini.
Rasanya lebih mirip juice kedondong. Ya iyalah. Loloh Cemcem memang dibuat dari cemcem atau daun kedondong hutan. Dan itu enak banget. Apalagi dihidangkan dingin. Jadi tanpa ragu Loloh Cemcem seukuran botol air mineral 300ml pun lancar meluncur melewati tenggorokan saya. MashaAllah. Meski berada di tengah hujan deras, saya merasakan kenyamanan minuman dingin yang sungguh menyegarkan. Leason learned. Ternyata loh cold drinks tuh cocok juga untuk cuaca dingin. Apalagi jika seenak Loloh Cemcem ini.
Satu lagi yang perlu dicatat adalah bahwa nyatanya hampir di setiap rumah penduduk ada warung yang menjajakan berbagai produk serta sajian yang cukup menghibur. Usaha sederhana ini, menurut saya, adalah kegiatan bermanfaat untuk mendukung pariwisata di desa terbersih di tanah air ini. Tentu saja sekaligus memberikan pemasukan rutin bagi penduduk setempat. Keadaan inilah yang sepertinya menghubungkan konsep desa wisata berbasis kemasyarakatan. Dimana artinya adalah pariwisata harus mensejahterakan bangsa, tidak merusak budaya, mendukung kehidupan perekonomian dan dengan tetap memelihara kebaikan lingkunan.



Merambah Pengetahuan Tentang Desa Penglipuran
Salah satu manfaat dari bergabung dengan komunitas yang memiliki minat yang sama adalah kesempatan menambah pengetahuan selain tentu saja mempererat silaturahmi dan memperluas network. Dan itu sangat saya rasakan saat berada di sebuah komunitas Blogging Happy Family.
Komunitas ini berisikan ratusan blogger dengan beragam niche dan rutin berbagi link tulisan masing-masing secara berkala. Yang lain memberikan dukungan dengan cara membuka, membaca dan memberikan komen di artikel-artikel tersebut. Komen yang berkualitas tentunya.
Dari rutinitas berbagi inilah, saya akhirnya mendapatkan banyak insight, upskilling menulis, menambah pengetahuan dan tentu saja mempelajari berbagai cara/teknik menuangkan diksi yang nyatanya mampu menyemangati saya untuk terus menulis serta tak henti membaca.
Nah, adalah disatu waktu saat saya ikut dalam sharing ini, saya menemukan tulisan seorang sahabat blogger, Nanik Nara (Nanik), lewat blog nya yang berjudul Kisah Keluarga Nara. Nanik yang kebetulan adalah seorang abdi negara, menuliskan kisah perjalanannya saat sedang menjalankan tugas di Bali. Salah satu dari sekian banyak kegiatan adalah berkunjung ke Desa Penglipuran sembari mendalami budaya serta adat istiadat yang berlaku di desa tersebut. Termasuk diantaranya tata ruang dan bangunan yang sudah berdiri di desa sejak puluhan tahun yang lalu. Dan informasi yang sudah didapatkan oleh Nanik berasal dari mereka yang memang adalah pemegang kepentingan (stakeholders) akan keterbelangsungan kehidupan masyarakat Desa Penglipuran. Lewat mereka jugalah semua sistem tradisional tetap terjaga, lestari dan berkesinambungan.
Saya pun langsung semangat menelusuri sekian banyak informasi edukasi yang dituliskan oleh Nanik dan belum pernah saya dapatkan saat berulangkali menginjakkan kaki di Desa Penglipuran. Satu privelege dan atau kesempatan meraih informasi yang sejauh ini belum pernah terjadi pada saya. Karena kebetulan, selama bolak-balik ke Desa Penglipuran, saya tidak pernah bertemu dengan tour leader atau pemandu wisata yang bisa menjelaskan, menjawab dan merinci semua keingintahuan saya tentang desa istimewa ini.
Jadi betapa bahagianya saya saat membaca artikel Nanik berikut ini dan akan menuliskannya kembali agar dapat saya baca berulangkali. Termasuk tentu saja sebagai tambahan ilmu wisata bagi para pembaca setia blog saya.
baca juga : tata ruang dan rumah adat warga penglipuran bali
baca juga : desa adat penglipuran. dewa wisata mandiri inspiratif 2021


Saat saya keluar dari rumah yang menyajikan minuman tradisional tadi, sebelum belok ke kiri, saya menemukan sebuah plang besi yang bertuliskan PARAHYANGAN, PAWONGAN dan PALEMAHAN. Ketiga kata yang sebelumnya saya baca di artikel yang sudah ditulis oleh Nanik sebelum saya berangkat ke Bali. 3 kata yang sejatinya adalah Konsep Tata Desa Penglipuran yang dikenal sebagai TRI MANDALA.
Parahyangan diartikan sebagai tempat pemujaan. Berada di bagian utara dari keseluruhan area desa. Zona yang disucikan ini terdiri atas pura (Penataran, Puseh, Dukuh, Ratu Rambut Sri Sedana, Empu Aji dan Penaluah), balai (Kulkul dan Patok), hutan kayu seluas 1.5 hektar dan hutan bambu seluas 45 hektar. Saya sempat melewati hutan ini sekaligus memotretnya saat kunjungan pertama. Awalnya saya kira nyasar. Tapi ternyata jalan dan hutan bambu yang baru saya lewati itu adalah bagian dari Desa Penglipuran. Bambu-bambu ini digunakan hanya oleh penduduk setempat dengan tujuan memproduksi berbagai kerajinan tangan dan kebutuhan lain yang berhubungan dengan aktivitas desa. Dan di dalam hutan bambu ini juga ada 2 pura yaitu Empu Haji dan Empu Naluhan.
Pawongan adalah bagian tengah yang diartikan sebagai penghuni rumah/penduduk. Di bagian ini ada 72 pekarangan, area pemukiman penduduk, pura (Catuspata, Ratu, Dalem Tampungan), balai (Kulkul, Banjar Adat, Gardu, Masyarakat) dan Karang Memadu. Banjar Adat inilah yang seringkali digunakan sebagai tempat beberapa acara atau menerima tamu dalam jumlah yang besar. Saya seringkali mendengar pihak pengurus Desa Penglipuran menyambut berbagai rombongan yang meriah terdengar lewat loudspeaker dan sound system yang besar terpasang.
Satu yang istimewa adalah Karang Memadu. Tempat ini sengaja disediakan untuk mengucilkan mereka yang melakukan poligami atau poliandri. Satu hal yang dilarang oleh adat yang berlaku di desa Penglipuran. Kalau saya baca dari artikel Nanik, sejauh ini belum ada satupun pelaku yang harus diasingkan di Karang Memadu.
Palemahan berarti lingkungan. Bagian terbawah dari keseluruhan area desa. Dimana ada Tugu Pahlawan, beberapa pura (Pelapuan, Dalem Pingit, Ratu Mas Manik Melasem, dan Ratu Sakti Gede Tungkub). Di bagian bawah yang juga adalah sisi selatan ini ada juga kuburan warga, lahan pertanian dan rumah penduduk.
Cerita tentang kuburan ini juga jadi satu bagian yang istimewa. Tidak seperti biasanya masyarakat Bali yang melakukan pembakaran atas jenazah (ngaben), warga desa Penglipuran memiliki kebijakan sendiri atas yang wafat. Mereka melakukan penguburan seperti biasa (di dalam tanah) dengan ketentuan bahwa jenazah lelaki dimakamkan tengkurap/telungkup sementara jenazah perempuan ditaruh telentang.
Membahas tentang rumah penduduk, Desa Penglipuran memberlakukan 4 unsur utama rumah, yaitu: Angkul-angkul (gerbang masuk dengan lebar sekitar 1.5meter beratapkan bambu), Sanggah ( tempat ibadah) yang diletakkan di halaman depan, Dapur Tradisional (rumah khusus untuk memasak berdinding bambu dan tentu saja dengan peralatan masak yang tradisional) serta Balai Saka Enam (bale bertiang enam) yang bentuknya seperti pendopo. Setelah 4 unsur utama ini, di bagian belakang ada bangunan modern dengan parkir kendaraan. Bagian depan rumah adalah Angkul-angkul yang menghadap ke jalan utama desa. Sementara bagian belakang adalah bangunan modern itu. Di dinding atau pagar yang memisahkan antar tetangga, dibuat juga 2 pintu yang menghubungkan rumah warga dengan tetangga yang berada di sisi kanan sisi kiri.

Melangkah Pulang dan Berharap Kembali

Hujan yang semakin deras ternyata membuat saya enggan untuk bertahan. Padahal saya terus terang banyak berharap untuk lebih bisa mengeksplorasi desa ini serta memotret banyak sudut dengan gear baru yang saya miliki. Menimbang langit yang tak kunjung cerah alias betah berwarna gelap bahkan semakin parah, keraguan untuk tetap tinggal di desa ini pun semakin menguat.
Karena kadung sudah berada di bagian tengah desa, kami mengontak Bli Nyoman untuk menjemput kami di sisi ini. Surprisingly, saya menemukan sederetan stand pameran kerajinan industri kecil dan tanaman hias dalam rangka Penglipuran Village Festival. Beberapa outlet terlihat begitu menarik dan ingin saya hampiri. Pengen ih mampir lihat-lihat. Tapi karena mengingat bahwa di tengah ini tak ada tempat khusus untuk memarkirkan mobil, saya pun bersegera pergi setelah sebelumnya sempat mampir ke toilet yang bersihnya juga patut diacungi jempol. Air juga terasa loh dingin dan beningnya.
Saat Bli Nyoman kembali menghidupkan kendaraan, saya sempatkan menyampaikan harapan kepada Yang Kuasa agar saya dipanjangkan umur dan rezeki untuk ke desa Penglipuran lagi. Ingin sekalian nginap di guest house nya. Setidaknya 2 hari 1 malam dan mengisi waktu-waktu menginap tersebut dengan berbagai kegiatan yang bermanfaat. Lalu bertemu dengan siapapun yang bisa dan mau berbagi tentang lebih banyak kisah dan sejarah tentang desa yang tampak tenang, damai dan tentu saja bersih luar biasa.
Berada di desa yang penuh dengan kenangan seperti Penglipuran ini, juga memberikan kesempatan kepada kita untuk self healing, menyegarkan diri dengan suasana baru yang menyenangkan. Satu kondisi yang tentunya akan memberikan manfaat kesehatan inner kita, pribadi kita. Sama seperti halnya kita membuat sebuah jurnal syukur yang dapat kita akses lewat berbagai artikel yang ditulis oleh rekan blogger saya, Rani Noona.
Sampai ketemu lagi ya Penglipuran.


