Saya sempat sekilas membaca beberapa review drama ini di berbagai tautan, sebelum akhirnya memutuskan untuk menonton. Drama Korea yang diangkat dari sebuah kisah nyata di tahun 1920an dan dibuat (hanya) dalam 6 episode ini banyak mendapatkan pujian. Apresiasi tersebut ditujukan kepada 3 hal yaitu tata busana, alur cerita dan cinematography nya. 3 hal yang menurut saya adalah prioritas disamping tentu saja beberapa hal lain yang turut mendongkrak kualitas hadir dan lahir nya sebuah drama.
The Hymn of Death sebelumnya pernah diwujudkan dalam sebuah film yang berjudul Death Song dan ditayangkan pada 1991. Setting pakaian dan lingkungan dibuat mengikuti jaman saat Korea berada di bawah kekuasaan Jepang. Style outfit nya menurut saya sih ada sentuhan Eropa nya. Atau setidaknya biasa kita lihat saat menonton film-film Hollywood dengan tampilan masa lampau. Jadi gak salah jika penonton memuji tatabusana dan cinematography drama korea yang satu ini.

Sekilas Tentang 2 Pemeran Utama
Bergenre historical, romance, dan melodrama, peran utama drama korea ini dipercayakan kepada Lee Jong-suk (Jong-suk) sebagai Kim Woo-jin (Woo-jin) dan Shin Hye-sun (Hye-sun) sebagai Yun Sim-deok (Sim-deok).
Woo-jin dikisahkan sebagai pria dengan penampilan stunning, diidolakan oleh teman-temannya, anak orang kaya, dan mahir menulis (berbagai karya sastra). Woo-jin saat itu sedang kuliah Sastra Inggris di Tokyo University. Dia menikah dengan seorang perempuan pilihan ayahnya. Istrinya tinggal bersama sang Ayah di kampung halamannya. Woo-jin dikisahkan selalu dalam kontrol Ayahnya yang menginginkan agar dapat terus melanjutkan/mewarisi bisnis Ayahnya setelah selesai kuliah.
Sementara Sim-deok juga mahasiswi Tokyo University tapi mengambil jurusan musik. Sim-deok lahir dari keluarga sangat sederhana dengan 2 adik (lelaki dan perempuan). Rumahnya pun di pelosok desa. Sim-deok menjadi tulang punggung keluarga. Mulai dari membiayai keperluan makan hingga biaya sekolah adik-adiknya. Sim-deok bekerja sebagai seorang penyanyi sopran (sopran) dengan bayaran yang tidak seberapa. Mencapai puncak karirnya dan populer saat tampil di sebuah gedung teater/opera, hingga akhirnya mendapatkan kesempatan rekaman di Osaka, Jepang. Dalam catatannya Sim-deok diakui sebagai soprano perempuan pertama di Korea Selatan.
Lahirnya Sebuah Cinta Terlarang

Keduanya mulai merasakan getaran cinta saat kelompok drama Woo-jin akan mengadakan pertunjukkan. Sim-deok sendiri diperkenalkan oleh salah seorang teman lelaki Woo-jin, seorang pemain biola, yang juga adalah teman dari Sim-deok. Tadinya Sim-deok diajukan sebagai pemeran utama wanita untuk drama tersebut, tapi akhirnya dihadirkan sebagai soloist yang mengiringi jalannya drama. Dari pertemuan yang rutin terjadi diantara merekalah akhirnya jalinan cinta itu semakin menguat dan kokoh.
Sim-deok awalnya tidak mengetahui bahwa Woo-jin sudah menikah. Tapi saat Woo-jin mengundang seluruh teman drama/teater nya ke rumah, Sim-deok akhirnya paham beberapa hal tentang Woo-jin. Fakta bahwa Woo-jin adalah anak orang kaya dan dia sudah menikah sangat meluluh lantakkan hati hingga akhirnya Sim-deok kembali ke Tokyo secara diam-diam dan sempat menghentikan hubungannya dengan Woo-jin.
Tapi ternyata kekuatan cinta bisa mengalahkan jarak dan waktu. Meskipun 5 tahun kemudian masing-masing dari mereka hidup terpisah, nyatanya cinta mereka tak pernah mati. Woo-jin selalu mengingat Sim-deok lewat tulisan-tulisan yang sangat menyentuh. Sementara Sim-deok setiap bernyanyi selalu merasakan kehadiran Woo-jin di sisinya.
Kerinduan itu mencapai puncaknya ketika Sim-deok tampil sebagai soloist di sebuah gedung teater besar yang dulu menjadi mimpinya sebagai seorang penyanyi. Mimpi yang sempat dia utarakan kepada Woo-jin. Saat itu dia berharap agar Woo-jin turut hadir menyaksikannya menyanyi. Dan itu terjadi. Reuni inilah yang akhirnya menjadikan hubungan mereka terbangun kembali. Bahkan lebih kuat dari sebelumnya.

Munculnya Rentetan Perkara
Derita Woo-jin.
Setelah bertahun-tahun mengikuti keinginan Ayahnya memimpin perusahaan/bisnis, Woo-jin akhirnya menyerah. Passion menulis yang biasanya dia lakukan setelah jam kerja, akhirnya menuntut lebih banyak perhatian. Kemarahan Ayahnya yang tidak menyukai kegiatan menulis Woo-jin berbuah tindakan membakar semua buku-buku dan karya tulis Woo-jin. Pertengkaran demi pertengkaran terus terjadi diantara Ayah dan anak ini. Hingga akhirnya Woo-jin benar-benar meninggalkan rumah. Bahkan saat istrinya mendatangi tempat tinggalnya di Tokyo, membujuk Woo-jin pulang untuk menengok Ayahnya yang depresi, Woo-jin nyatanya tak bergeming.

Derita Sim-deok.
Jika Woo-jin bisa dengan bebas meninggalkan keluarganya, lain cerita dan derita yang hinggap untuk Sim-deok. Terhimpit dengan tuntutan hidup dan keuangan, Sim-deok dijodohkan oleh orang tuanya dengan anak orang kaya. Harapannya bahwa dengan terlaksananya pernikahan ini, kedua adik Sim-deok bisa dibiayai sekolahnya di Amerika, dan kebutuhan orang tuanya bisa diambil alih oleh sang (calon) mantu. Sim-deok sendiri sudah berusaha mendekat ke lelaki yang jadi pilihan orang tuanya. Tapi cintanya kepada Woo-jin sudah terlalu kuat untuk dikalahkan.
Sementara Sim-deok mencari kesempatan kerja kesana kemari, dia malah jadi perbincangan publik karena sering terlihat mampir ke rumah seorang hartawan yang menyukai bakat bermusiknya. Apalagi saat itu muncul berita bahwa Sim-deok telah putus dari lelaki kaya yang batal jadi suaminya padahal pengumuman tentang pernikahan mereka sudah disebar ke publik. Perkara ini sempat dia curahkan kepada Woo-jin dan dengan tenang lelaki itu merangkul Sim-deok seraya berkata, “Tetaplah bersamaku. Saya tidak yakin akan hidup tanpa mu”. Ah hati siapa yang tak luluh menyaksikan adegan ini.
Barulah rampung kesulitan-kesulitan di atas, Sim-deok mengalami tekanan mental dari seorang pejabat pemerintahan gabungan Korea-Jepang. Bapak yang memandang Sim-deok sebelah mata ini meminta agar Sim-deok bernyanyi untuk pemerintah di setiap acara yang diadakan. Alasannya untuk menghibur para tamu dan sebagai bukti bahwa Sim-deok cinta akan negaranya. Bayarannya sangat kecil dan Sim-deok pun menyatakan keberatannya. Tapi sang pejabat memberikan ancaman pedas. Jika dia menolak permintaan tersebut maka keluarganya akan berada dalam bahaya.

Sim-deok di tengah masyarakat yang mempergunjingkannya

Meskipun akhirnya Sim-deok mendapatkan kontrak membuat album menyanyi oleh sebuah perusahaan Jepang, nyatanya kerja paksa terakhir dari pejabat pemerintah tersebut terus menghantui setiap jalannya.
Penutup Cerita yang Tragis
Pada episode terakhir (ke-6) kita disuguhkan betapa dua sejoli ini saling bergantung satu dengan lainnya. Banyak scene kebersamaan mereka yang sarat dengan ungkapan-ungkapan cinta yang mendalam. Dalam satu kesempatan Woo-jin menceritakan sebuah buku yang ditulis oleh Takeo Arishima. Buku yang menceritakan tentang cinta yang tak sampai hingga berakhir pada keputusan untuk bunuh diri. Woo-jin pun menyampaikan bahwa pastilah kedua kekasih yang mengakhiri hidupnya tersebut ingin beristirahat dari segala derita tapi mereka ingin tetap bisa bersama. Sim-deok pun mengutarakan bahwa dia ingin istirahat (dari semua tekanan) dan sudah merasa capek. Tapi dia merasa tidak mampu meninggalkan Woo-jin.
Mereka akhirnya memutuskan untuk terus bersama. Woo-jin menemani Sim-deok berangkat ke Osaka untuk rekaman. Beberapa momen menyentuh pun dihadirkan seperti saat mereka duduk berdampingan di kereta, kebersamaan di dalam kamar dimana Woo-jin terus melahirkan karya-karya tulis, sembari menerima pelukan Sim-deok dari belakang tubuhnya.
Beberapa ungkapan cintamu lahir dari momen-momen ini. Termasuk saat mereka melepaskan sepatu, berdansa di geladak kapal, memeluk, dan berciuman (pertama dan terakhir dalam kehidupan di dunia), hingga terjun ke laut.
Life is running in the vast wilderness. Where is it that you are heading? In this lonely world filled with cruel suffering. What are you looking for? (Sim-deok)
In this world made of tears will my death truly be the end of it all? Those of you in search of happiness, only futility awaits you. (Woo-jin)
Those smiling flowers and crying birds, all share the same fate. (Sim-deok)
Pitiful life, absorbed in living, you are the once dancing on the blade. (Woo-jin)

Baik Woo-jin maupun Sim-deok sempat meninggalkan catatan terakhir untuk orang-orang terdekat mereka. Woo-jin menuliskan pesan kepada temannya untuk “menjemput/bertemu” dia di Osaka dalam 5 hari kedepan. Saat yang diasumsikan adalah waktu dia dan Sim-deok bunuh diri. Pun catatan di atas koper yang ditemukan di dalam kamar kedua sejoli ini. Woo-jin berpesan agar kopernya diantarkan ke rumahnya. Sementara Sim-deok berpesan pada adik perempuannya untuk menjaga orang tua mereka, memastikan bahwa keluarganya menerima upah dari kontrak rekamannya, sembari mengantarkan adiknya pulang ke rumah. Sim-deok menyelesaikan rekamannya di Osaka dengan diiringi oleh permainan piano adik perempuannya. Rekaman ini yang melahirkan lagu Praise of Death ciptaan Sim-deok.
Your unforgettable name. Deep in my heart your name is engraved, and I long for you. You set fire to my heart. In my heart, you ignited the indistinguishable flame of love. Before your name can be forgotten, I long for you again. Ah, even at the moment of death, I shall call out your name. Even as I am living, my heart longs for you. Until the moment of death, I will long for you. You set fire to my heart. In my heart, you ignited the indistinguishable flames of love. (Sim-deok)

Catatan Pribadi
Menonton The Hymn of Death, drama korea tentang tragedi cinta seorang soprano dan sastrawan Korea ini, buat saya adalah tontonan kisah cinta sehidup semati. Cobaan hidup yang sudah tak mampu mereka hadapi, mengalirkan sebuah kesepakatan bersama untuk mengakhiri hidup. Pilihan yang tadinya tidak saya duga.
Saya sepakat dengan pendapat bahwa drama korea sedikit episode ini memilik 3 kelebihan yang disebutkan di paragraf awal. Tapi dibalik kekuatan tersebut saya belum menemukan greget acting dari Jong-suk. Ekspresi dan sorot matanya terlalu datar untuk seorang yang sedang dalam tekanan hebat. Pun saat dia beraksi marah di depan Ayahnya. Ungkapan dari dalam jiwa yang hampa belum terwakilkan lewat garis dan raut wajahnya. Beda halnya dengan Hye-sun. Aktris Korea yang satu ini terasa pas memerankan sosok Sim-deok yang hidup dalam banyak cobaan hidup. Hanya saja pakaian-pakaian yang dia kenakan tak sekalipun mencerminkan bahwa dia berasal dari keluarga yang kekurangan.
Penilaian saya untuk drama korea ini adalah 8/10.
Highly recommended untuk mereka yang senang dengan melodrama yang sarat dengan kisah cinta dalam skala cinta mati. Jumlah episodenya juga gak banyak. Jadi alur ceritanya tidak banyak melantur kesana kemari dan tidak menimbulkan kebosanan.

#TheHymnOfDeath #KoreanDrama #DramaKorea #CintaTerlarang