Mendapatkan undangan mengajar, selalu memberikan kesan tersendiri buat saya. Apalagi jika kesempatan itu datang dari sebuah tim dengan visi dan misi yang bertujuan mengembangkan kemampuan informal masyarakat (umum), membantu mereka menggali satu lagi kemungkinan untuk membuka usaha baru, membantu perekonomian keluarga, dan pada akhirnya mampu meningkatkan taraf hidup.
Tampak klise ya. Tapi nyatanya, setelah bertahun-tahun melewati proses mengajar sambil belajar, visi dan misi di atas alhamdulillah terbukti seiring dengan berjalannya waktu. Passion yang tadinya lebih ke arah berkarya dan berjualan, dalam 6 tahun belakangan akhirnya lebih condong ke dunia pengajaran, menyebarkan ilmu, dan menjawab cita-cita saya sedari kecil, yaitu MENJADI GURU.
Bahkan, ketika tahun demi tahun berlalu, dengan sekian banyak menabung pencerahan dari berbagai lapisan peserta didik di setiap workshop yang saya bimbing, kata GURU ini kemudian berganti dengan istilah FASILITATOR. Kok bisa begitu? Ya. Karena sejatinya kehadiran saya di depan kelas hanyalah sebagai seorang penyampai ilmu, dimana ilmu yang telah saya tabung tersebut sejatinya berasal dari Allah SWT. Bukan saya yang menciptakan. Bukan saya memunculkannya dari langit atau tanah. Tetapi berasal dari guru yang lain, fasilitas lain, media lain, melalui sekian banyak proses, dan wajib dibagikan kepada orang lain.
Setelah puluhan kali menjalankan pelatihan, baik secara individual maupun berkelompok, di akhir November 2017, saya mendapatkan telpon dari Suku Dinas Perindustrian dan Energi yang bernaung di bawah Pemerintah Daerah/Kantor Walikota Jakarta Utara, untuk berbagi ilmu dengan 20 (dua puluh) warga penghuni Rusunawa Marunda di seputaran Tanjung Priuk. Pelatihan ini adalah aplikasi nyata dari program pemberdayaan warga Rusunawa, Marunda yang dicanangkan oleh pemerintah kota Jakarta Utara.
Pelatihannya pun gak main-main. Selain diadakan untuk 9 (sembilan) hari, materi yang akan diajarkan juga beragam, 3 topik kerajinan tangan, yaitu craft yang berhubungan dengan payet, kawat, dan tali nylon. Setelah melewati proses diskusi singkat, kamipun bersepakat untuk menularkan ilmu payet dalam berbagai teknik dalam aplikasi kain dan hijab. Wire jewelry untuk materi yang berhubungan dengan kawat. Dan berbagai teknik macramme menggunakan nylon untuk produk kalung, gelang, dan tassel. Kesemuanya masih dalam tahap keahlian awal (basic) karena seluruh peserta belum pernah mempelajari dan mengolah semua materi yang diberikan menjadi sebuah kerajinan tangan yang dapat dipasarkan.
Karena bererotnya materi yang akan dipelajari dalam 9 hari ke depan, belanja materipun benar-benar menguras tenaga. Waktu persiapan yang notabene kurang dari seminggu, menimbulkan kerempongan tersendiri. Cek dan ricek kesiapan fisikpun berkejaran dengan waktu, apalagi di saat yang sama saya harus menuntaskan kewajiban-kewajiban lain, yang butuh skala perhatian setara.
Sampai di titik ini, satu realita hidup pun mendadak hinggap dalam proses pembelajaran. Sekuat apapun fisik kita, serapih apapun manajemen tenaga dan waktu, nyatanya kita butuh bantuan orang lain untuk menyempurnakan kerja. Alhamdulillah, kehadiran 2 orang sahabat, Mbak Yayuk dan Dewi, mampu mengisi sela-sela ketidakmampuan saya untuk mempersiapkan seluruh materi yang dibutuhkan. Berkat bantuan merekalah, tugas mendidik dan berbagi ilmu dalam 9 hari yang cukup melelahkan, dapat berjalan lancar tanpa hambatan yang berarti.
Murid Yang Sesungguhnya Adalah Guru
Menjejakkan kaki pertama kalinya di Rusunawa Marunda, saya dihadapkan pada kenyataan akan segala keterbatasan, kesederhanaan, kesiapan fisik, tantangan mental, dan level kesabaran yang lebih dari biasanya. Semua bahkan menjadi lebih menantang dari hari ke hari. Terutama ketika saya menyadari bahwa para peserta tampak mulai kelelahan dan kehilangan konsentrasi untuk belajar karena beberapa hal.
Berbagai minimalitas baik secara fisik fasilitas dan kemampuan menerima materi disebabkan oleh tingkat pendidikan, sejatinya menjadi suatu ilmu baru untuk saya selama mengajar di sini. Ruang belajar yang jauh berada di bawah standard kenyamanan menimbulkan proses transfer ilmu, tak bisa disangkal, harus menggunakan rumus baru. Penyampaian teori-teori praktis yang biasanya bisa dengan mudah saya tuangkan lewat papan tulis/whiteboard, terpaksa berganti dengan penyampaian oral dengan literasi yang sangat sederhana.
Peserta yang keseluruhan adalah IRT dengan rentetan tanggung jawab lainnya, mengingatkan saya bahwa menjadi murid seperti mereka juga tidak gampang. Sejak pagi meninggalkan rumah, melepas (sementara) tugas menjaga dan mengurus anak-anak (terutama), dan membantu roda perekonomian keluarga, menjadi sedikit terhambat. Saya dan tim pun harus berbesar hati menghadapi situasi manakala mereka harus meninggalkan ruangan ketika anak-anak menjerit-jerit butuh perhatian atau saat suami memanggil ibu-ibu ini untuk pulang. Bahkan ada peserta yang harus mengundurkan diri karena suaminya meminta ibu ini untuk menjaga toko kecil mereka, yang notabene adalah sumber penghasilan keluarga.
Aktif berinteraksi dengan mereka di sela-sela waktu belajar, adalah saat-saat dimana saya menempatkan mereka sebagai guru kehidupan. Mendengarkan kisah hidup mereka adalah masa-masa dimana saya semakin mensyukuri nikmat yang diberikan oleh Allah SWT. Ibu-ibu ini, dengan pasangan hidup yang berprofesi sebagai security/satpam, tukang ojek, buruh pabrik, pedagang kecil, cleaning service, nelayan, bahkan buruh bangunan, tampak sangat bersahaja dengan konsep berfikir yang juga penuh dengan kesederhanaan.
Merekalah yang mengingatkan saya untuk selalu dan tetap menginjakkan kaki di bumi. Merekalah yang tanpa sengaja dan terus menerus menumbuhkan semangat kepada saya, bahwa ada seorang wanita dengan kesempatan belajar lebih, mengenyam pendidikan yang lebih tinggi dari mereka, untuk tetap menabung pahala tanpa henti dengan terus gigih menjadi seorang guru, seorang fasilitator, penyampai ilmu. MasyaAllah.
Sembilan hari yang tadinya terhitung sebagai periode terlama saya mengajar craft, pada akhirnya adalah hitungan waktu paling sedikit untuk belajar tentang hidup dan menyadari bahwa saya tidak sepantasnya mengeluh akan kekurangan-kekurangan yang tidak pantas saya pertanyakan. Merekalah, ibu-ibu peserta pelatihan, yang sesungguhnya adalah guru bagi saya.
Hidangan sekuali penuh bubur Manado, sepiring besar ikan asin, tahu, dan sambal roa, menutup kebersamaan kami dengan rasa kekeluargaan yang tak akan pernah tergantikan. Duduk bersama, mendiskusikan harapan dan mimpi ke depannya, telah menyentuh sanubari dan mengobarkan semangat saya agar tetap setia dijalur pengajaran dan pengabdian.
Terimakasih kepada Allah SWT yang telah mentakdirkan saya berbagi ilmu kepada mereka yang (sangat) membutuhkan. Kepada suami dan anak-anak yang telah mengijinkan saya meninggalkan rumah selama berhari-hari untuk menggali cerita hidup yang penuh makna. Kepada kedua sahabat saya, Mbak Yayuk dan Dewi, yang melengkapi kekurangan-kekurangan saya. Serta tentu saja kepada Dinas Perindustrian Pemda Jakarta Utara yang memberikan kepercayaan kepada saya untuk berbagi kebisaan.
Semoga apapun yang telah terjadi dalam pelatihan ini membawa berkah dunia akhirat bagi semua yang terlibat. Aamiin Ya Robbal Alamin.