Setiap orang patut bermimpi. Mimpi menjadi orang terkenal, menjadi orang kaya, naik kapal pesiar, punya rumah mewah, menikah dan hidup bahagia, dan lain-lain. Tak ada yang salah dengan bermimpi, meskipun menurut orang lain kita jauh dari titik awal mimpi tersebut. Well, don’t consider other’s thought. Yang penting adalah diri kita sendiri. Malah, menurut saya, dengan memiliki mimpi, jalan hidup kita memiliki arah dan tujuan yang pasti.
Bagaimana dengan saya?
Menerbitkan buku solo adalah salah satu dari banyak mimpi saya. Mimpi yang sudah dan pernah berjalan hampir 4 tahun. Seriously? Yes my friends. It had been delayed for almost 4 years. Lamanya pake kebangetan. Jadi bisa dibayangkan ya, bagaimana haru birunya perasaan saya saat buku ini akhirnya mencapai tahap final layout dan siap cetak persis di akhir Agustus 2021.
Dengan niat untuk mengenang semua langkah, kejadian, peristiwa dan cerita selama 4 tahun itu, ijinkan saya menguraikannya lewat artikel yang satu ini. Rangkaian kalimat yang khusus disusun sebagai kenang-kenangan, dan kisah proses transformasi dari seorang penulis diary, blogger, group writer hingga akhirnya bisa mengtasbihkan diri sebagai seorang author.

Semua Kegaduhan yang Menunda Mimpi
Disaat mengenal dunia menulis dengan lebih serius, saya sudah 9 tahun menekuni kerajinan tangan. Bahkan disaat melahirkan blog ini pada 2017, saya sedang banyak terlibat dengan urusan ngawat (bikin perhiasan kawat), ngamen (pameran, presentasi dan memperluas network) serta ngajar keahlian khusus membuat perhiasan kawat (wire jewelry) baik secara private maupun untuk kelompok besar. Bisa jadi semua urusan yang menyangkut pengembangan jenama FIBI Jewelry inilah yang menjadikan saya banyak memprioritaskan hampir sebagian besar waktu yang ada. Time consuming very badly. Sementara di sisi yang berbeda mimpi melahirkan buku solo sudah terlintas di salah satu sisi kepala.
Mimpi memiliki buku solo itu kemudian semakin menguat kala mengikuti berbagai kursus menulis dari beberapa guru yang juga sudah menerbitkan buku. Mereka yang tentu saja sudah mempunyai jam terbang tinggi, sarat pengalaman di dunia menyusun kata-kata indah dan dikenal oleh publik. Hal lain yang menjadi booster adalah melihat sekian banyak rekan blogger yang sudah melahirkan buku lewat berbagai penerbit indie.
Saya pun bergegas menyusun rencana. I must do something on my own.
Tadinya saya berpikir atau berencana untuk menyiapkan naskah sebaik mungkin lalu “melamar” ke berbagai penerbit mayor yang mau membantu menangani buku saya. Ini juga yang bikin waktu saya tergerus. Terlalu banyak berpikir hingga waktu banyak terbuang. Tapi sejak tahu lebih jauh tentang peneribit indie, saya pun banting setir memberanikan diri mengandeng publisher muda untuk mewujudkan mimpi itu.
Ok then, let’s move forward.
Karena masih belum punya nyali menyusun novel dengan ratusan halaman, saya pun memutuskan untuk membuat kompilasi artikel atau cerpen saja. Di langkah awal (sekitar April 2018), saya mulai menulis beberapa artikel dengan genre yang beragam. Semua masih berbentuk raw material (belum diedit) yang sebagian besar berangkat dari berbagi kisah nyata. Saya cicil satu persatu di tengah kesibukan ngawat di atas itu tadi. Jumlahnya sudah mencapai puluhan jika saya tidak salah ingat. Saya bikin folder sendiri di laptop dengan keyakinan bahwa semuanya akan aman sentosa.
Tapi ternyata saya salah. Saat memindahkan semua file ke laptop yang baru, mendadak 90% naskah tersebut tidak saya temukan. Sementara laptop lama sudah dibersihkan tanpa sisa. Entah apa yang sudah terjadi. Saya langsung terduduk lemas tanpa bisa berkata-kata.
Saat saya cerita tentang hal ini kepada seorang teman, 1 nasihat jitupun mampir ke telinga saya. “Seharusnya naskah tersebut di backup juga di email. Kirim aja naskahnya sebagai attachment, dikirim satu persatu ke email milik sendiri, dengan subject judul dari naskah tersebut”. Saya mendadak tertegun. Sebagai seorang yang lulus kuliah predikat cum-laude dengan skripsi tentang manajemen kearsipan pun langsung merasa jadi orang terbodoh sedunia. Pengen teriak sekeras mungkin dan mentertawakan diri sendiri. Tragis.
Semenjak kejadian itu, saya mengistirahatkan dan mendamaikan hati dengan tidak memikirkan buku dulu. Ngeblog dan ngawat masih jalan, bahkan sempat mengeksplorasi teknik-teknik wiring baru dan menjalankan beberapa project penting dengan skala yang lebih luas. Sementara di dunia kepenulisan, saya sempat menerima beberapa pembuatan artikel berbayar (paid article) yang ternyata lumayan memakan tenaga dan pikiran.
Kendala ternyata tidak berhenti di titik itu.
Beberapa bulan kemudian, setelah mengikuti kursus menulis dengan seorang author kondang, saya merasakan kembalinya semangat untuk menerbitkan buku. Misi mengumpulkan naskah satu demi satu pun lahir tanpa bisa dibendung. Meskipun tidak semerta-merta jadi dalam jumlah banyak. Saat itu jenis ceritanya sangat beraneka rupa. Saya tidak menetapkan satu jenis tertentu karena tujuan awalnya adalah melahirkan tulisan. Kalau bisa sebanyak mungkin, sesanggup yang saya bisa.
Kala itu saya sudah mulai gerilya mencari penerbit indie. Saya ketuk pintu mereka satu persatu, mencoba berdiskusi dan membangun rasa percaya bahwa mereka bisa menampung ide di benak saya serta mau menerima segala kekurangan saya dalam hal menulis. Belasan penerbit saya hubungi. Tapi pada kenyataannya proses seleksi tidaklah segampang yang saya pikirkan. Bermacam-macam hambatan saya temui. Misal, customer service nya lambat dalam menjawab keingintahuan saya, sense of art layout nya kurang menarik (saya lihat dari beberapa buku yang mereka terbitkan), kualitas pekerjaan yang tak memenuhi syarat penilaian minimum saya, ongkos kerjasama yang mencurigakan (kadang terlalu rendah atau terlalu tinggi), dan lain sebagainya. Berbulan-bulan terus saja berputar di semua masalah itu, hingga akhirnya saya lelah hayati.
Satu lagi perkara yang membuat persiapan saya terjun bebas dan berantakan adalah kondisi kesehatan. Di periode 2018 hingga 2020, bahkan pertengahan 2021, saya merasakan “onderdil tubuh” mulai berkurang kualitasnya. Bolak-balik sakit bahkan sering opname berhari-hari. Terlepas dari faktor usia, tumpukan dan tekanan banyak pekerjaan serta pembagian waktu yang cukup sulit adalah beberapa faktor yang mempengaruhi. Kombinasi diantara kesemuanya lah yang semakin menurunkan kekuatan (baca: pertahanan fisik) saya. Kesel? Banggeeettt.
Jadilah tertunda lagi dan terus tertunda. Tanpa kepastian.
Etapi ya, diantara fakta jatuh dan jatuh lagi itu, nyatanya saya sempat melahirkan 3 (tiga) buku antologi. Yang pertama adalah TO ADO RE. Buku yang dikerjakan gotong-royong bersama teman-teman blogger yang berangkat bersama ke Tidore dari sebuah lomba menulis bertajuk Tidore Untuk Indonesia. Yang kedua dan ketiga adalah buku antologi bersama Writerpreneur Club/Rumah Literasi, komunitas menulis dibawah koordinasi Deka Amalia. Buku kedua berjudul Serenade 2020 dan yang ketiga adalah Back To The 90s. Saat saya menulis artikel ini masih ada 4 (empat) buku lagi yang masih dalam proses.
Baca juga: BACK TO THE 90s. Antologi Berbagai Kisah Sarat Kenangan di Tahun 90an
Baca juga: SERENADE 2020. Mendalami 46 Kisah Inspiratif dari Para Penulis Writerpreneur Club

Waktunya Memutuskan
Timing yang menjadi puncak keputusan justru datang di waktu dan saat yang sungguh tidak saya duga. Tagihan janji melahirkan buku yang sempat saya sampaikan ke beberapa sahabat juga merebak datang.
“Ayok buruan. Mumpung masih eksis di dunia. Masih dikasih napas. Kesempatan nih nulis dan nerbitkan buku. Katanya mau meninggalkan legacy dan kenang-kenangan selama hidup”
Menampar sekali. Yang ngomong gini tuh adalah orang yang tahu persis siapa saya. Sahabat yang sudah tahunan menelan baik dan buruknya saya. Jadi tak sedikitpun saya tersinggung. Tapi justru dari 4 baris kalimat inilah saya mulai berpikir untuk lebih serius dan memutuskan bahwa inilah saatnya. Persis seperti doa tahunan yang saya haturkan kepada Yang Kuasa pada akhir 2020. Dari sekian banyak doa, memiliki 1-2 buku solo dan 3-4 buku antologi adalah bagian dari permohonan itu.
Siapa menyangka selama Mei-Juni 2021 beberapa naskah dalam beberapa genre sanggup saya matangkan. Masa dimana saya harus, lagi-lagi, dirumahsakitkan karena DBD. Jika dulu saya menyerah, almost doing nothing in bed, kali ini saya melawan. Kalau bisa dibilang sih saat itu saya memaksakan diri. Saya ketik naskah tersebut di HP dengan kondisi mata berkunang-kunang. Lalu semua segera saya email dan pindahkan ke laptop saat saya sudah kembali ke rumah. Saya sempat ingin menyerah kembali saat itu karena masa pemulihan DBD sungguh makan waktu yang tidak sedikit.
Selama Juli hingga awal Agustus satu fase cobaan kembali hinggap. Padahal saat itu saya masih berjuang pulih dari DBD. Tak disangka dan diduga saya KO lahir dan batin. Virus Corona menimpa saya dan suami. Namun lagi-lagi saya berusaha melawan lebih keras. Saya harus kuat. Alhamdulillah, ditengah berjuang sembuh dan isolasi mandiri di rumah, saya berhasil membuat keputusan untuk bekerjasama dengan STILETTO BOOK. Penerbit asal Jogyakarta inilah yang berhasil mencuri hati saya dan berkenan bekerjasama untuk menangani buku solo perdana saya.
Dan untuk melengkapi keindahan tampilan visual buku perdana ini, saya mengajak RINI UZEGAN, seorang ilustrator canva asal Palembang, untuk menempatkan 3 karya ilustrasinya diantara lembaran cerita. Saya pun meninggalkan jejak dengan membuat 1 ilustrasi yang saya sempatkan buat untuk 1 artikel yang sangat mengesankan selama karir penulisan saya.
Baca juga: Dan Saya pun Resmi Menjadi Penyintas Covid-19

Pemilihan Genre dan Judul Buku
Sembari “berlari” mengejar date line penyerahan naskah, saya dihinggapi kegalauan dalam menentukan genre tulisan untuk buku pertama ini. Naskah yang sudah ada sangat beragam. Mulai dari kisah-kisah nyata tentang kehidupan rumah tangga teman-teman saya. Lalu ada cerita lucu dari berbagai sumber dan kejadian. Kemudian cerita horor dari berbagai kisah nyata yang saya alami atau diceritakan kembali ke saya. Rangkaian pengalaman saya selama menjadi wire jewelry designer dan pedagang asong perhiasan di dalam maupun di luar negeri. Beragam kisah seru selama saya traveling. Dan yang terakhir adalah kumpulan cerita hidup selama tinggal di kompleks dengan berbagai kelakuan para tetangga.
Kenapa gak dicampur aja? Oh, big no no friends. Menurut saya sih lebih menarik jika di satu buku solo punya satu tema aja. Dan itu juga sudah jadi aturan baku namun tak tertulis diantara para writer.
Setelah melewati proses tarik ulur, pertimbangan sana sini, dan menelaah tema yang justru jarang dihadirkan, saya akhir memilih rangkaian kisah pengalaman hidup di kompleks dengan para tetangga. Meskipun jumlah naskahnya tidak sebanyak yang lain, saya merasakan bahwa tema inilah yang mudah-mudahan bisa memberikan warna berbeda untuk sebuah buku solo.
Yang lebih bikin galau lagi adalah penentuan judul buku. Layout keseluruhan sudah hampir rampung tapi saya buntu ide dalam penentuan judul. Berhari-hari semedi mencari wangsit, saya selalu mentok dengan kalimat panjang yang jelas tidak cocok untuk dijadikan judul buku. Sampai akhirnya saya memutuskan untuk memakai 3 kata, TETANGGA KOK GITU tanpa tanda tanya atau tanda seru sebagai judul buku saya. Alhamdulillah pihak editor pun menyetujui ide ini. Karena selain unik, rangkaian katanya juga mudah diingat.
Baiklah mari kita bungkus.
Baca juga: TO ADO RE. Antologi Kaya Rasa, Sarat Cinta dan Penuh Makna untuk TIDORE

It Comes to The End
Persis di hari terakhir Agustus 2021, semua rampung sesuai jadwal. Masa-masa koreksi demi koreksi pun sudah terlampaui. Alhamdulillah saya tidak sekalipun menemukan kendala yang berarti selama proses pra-produksi. Komunikasi via WA dan email dengan publisher pun berjalan lancar.
Penasaran bakal seperti apa buku perdana saya dan cerita apa saja yang ada di dalamnya? Yuk tunggu aja ya. InshaAllah jika Allah SWT mengijinkan, edisi cetaknya akan disiap ditawarkan kepada publik dalam beberapa hari kedepan. Jangan lupa untuk membeli dengan sukacita dan membacanya dengan bahagia ya. Karena lewat pembelilah saya merasakan satu penghargaan istimewa sebagai seorang penulis. Tentu saja dengan harapan bahwa setelah ini saya bisa melahirkan buku-buku solo lainnya.
Salam Literasi!!

#tetanggakokgitu #bukusolo #bukuperdana #bukusoloperdana #annienugraha