Buku antologi BACK TO THE 90’s ini adalah buku bancakan ke-2 saya bersama Komunitas Writerpreneur Club, Rumah Literasi yang digawangi oleh Deka Amalia. Buku ini benar-benar saya tunggu kelahirannya karena sepanjang proses persiapan selama kira-kira 3 bulan, saya menandai sekian banyak judul dan tema yang beragam dari setiap rekan penulis yang menyatakan ikut bergabung.
43 (empat puluh tiga) artikel pun akhirnya melengkapi buku yang pantas dimiliki oleh mereka yang melewati masa remaja sampai menjelang dewasa di seputaran tahun 90an. Kalau boleh saya sebutkan, di era inilah terjadi begitu banyak perubahan baik dari segi musik dan hiburan, gaya hidup, ekonomi bahkan percaturan politik di Indonesia. Iklim demokrasi pun terangkat dan memanas di 3 tahun menjelang pergantian era 90an menuju 2000an.
Sungguh suatu masa yang patut dikenang dan disimpan dalam karya tulis seperti buku ini.
Jeroannya Buku

Sejalan dengan judul yang dihadirkan, saya mencatat beberapa tulisan yang menorehkan kenangan istimewa di jaman itu. Satu hal yang kemudian didiskusikan dengan beberapa pembaca sejati saya. Utamanya dengan mereka yang seumuran dan berada di usia 20an pada era tersebut. Satu angkatan dengan kematangan berpikir dan menelaah banyak hal yang terjadi dan melahirkan berbagai kejadian yang patut dikenang. Diskusi yang sempat menyedot waktu dan terus membawa kami kedalam sebuah lorong waktu dengan sekian banyak kisah suka dan duka.
Dari artikel yang disusun oleh Deka Amalia (Deka) yang berjudul Hikmah 1998 dan Efi R. Suwandy (Efi) yang berjudul Hancurnya Sebuah Impian dan Sophia Aga (Sophia) dengan artikel Keriuhan 98, saya kembali mengenang masa-masa dimana tanah air tercinta terguncang oleh kerusuhan. Satu peristiwa yang terjadi di pusat pemerintahan dan tercatat dengan tinta merah sejarah Indonesia. Mencekam dan menorehkan banyak luka, baik dari sisi mental, moral dan ekonomi. Rangkaian demo menurunkan penguasa, tuntutan meninggikan iklim demokrasi dan perbaikan taraf hidup rakyat, terjadi dimana-mana dengan konsentrasi TKP di Gedung DPR/MPR yang berada di Gatot Subroto.
Deka menceritakan bagaimana saat itu suami harus kehilangan pekerjaan dan pembiayaan kehidupan harus ditopang oleh Deka yang berprofesi sebagai dosen. Padahal saat itu, Deka baru saja membangun rumah tangga dengan 2 anak yang masih kecil-kecil. Sementara Efi menceritakan sebuah keluarga yang juga terguncang karena pemutusan hubungan kerja. Sepasang pasutri yang tadinya hidup berkecukupan akhirnya harus menyerah dengan kondisi resesi dan hidup terpisah. Sang suami kembali ke kampung dengan anak sulung, sang ibu tetap bertahan di ibukota dengan anak bungsu. Saat si bungsu sakitlah akhirnya menjadi momen mereka bersatu kembali. Sophia melengkapi cerita tentang 1998 ini dengan situasi ekonomi parah dimana nilai rupiah anjlok yang menjadi salah satu penyebab kita mengalami krismon (krisis moneter). Kerusuhan pun merebak dan semua biaya hidup mendadak naik 2 kali lipat.
Saat puncak kerusuhan terjadi, saya sedang berada di kantor yang berlokasi di Cikarang. Untuk memantau situasi, kantor saya waktu itu memasang TV layar lebar dengan program yang menyiarkan secara langsung gerakan demonstrasi yang digawangi oleh mahasiswa dan didukung oleh para politikus yang mulai jengah dengan disfungsi DPR/MPR. Kekacauan pun pecah. Gelombang protes sudah tidak lagi bisa dikontrol. Terjadi penjarahan dan kebakaran dimana-mana. Saya yang waktu itu di kantor, akhirnya tidak bisa pulang karena tol Cikampek menuju Jakarta ditutup total. Kos saya yang berlokasi di seputaran Kuningan, Jakarta Selatan pun dijaga ketat oleh tentara karena banyaknya masyarakat yang ikut aktif berdemo. Saya akhirnya memutuskan untuk kembali ke rumah orang tua di Cengkareng, Jakarta Barat. Itu pun dengan memesan taxi khusus karena sebagian besar kendaraan umum tidak beroperasi.

Cerita seru tentang dunia musik saya temukan di tulisannya Karinka Ngabito (Karinka) yang berjudul I Love Jordan Knight. Saya langsung senyum-senyum karena saya juga berada di beberapa event dan tempat yang diceritakan oleh Karinka. Seandainya kita sudah saling kenal, mungkin waktu itu janjian nonton konser New Kids On The Block (NKOTB) di Senayan (1992) dan kolaborasi antara Back Street Boys (BSB) dan NKOTB saat mereka konser di Mata Elang International Stadium di Ancol.
Saya waktu itu nonton NKOTB bareng temen-temen kantor. Mereka inilah salah satu boyband yang turut melahirkan sebuah grup cowok-cowok ganteng yang bisa bernyanyi sekaligus menari. Di saat bersamaan dan beriringan kemudian lahir BSB, West Life, NSync, Take That, dan masih banyak lagi. Bangkitnya boyband dari negeri Paman Sam ini jika diulangi sejarahnya mungkin sama dengan K-Pop yang sekarang disukai oleh publik.
Waktu NKOTB dan BSB konser di Ancol, saya nonton bersama dengan teman crafter. Pembelian tiketnya harus mengantri panjang hingga akhirnya kami memutuskan untuk membayar jasa orang. Menuju Ancol nya pun butuh perjuangan. Kami menggunakan jasa mobil sewaan untuk menjamin transportasi kami berdua. Dan sepanjang hari itu, ada salah satu radio yang terus menerus memainkan lagu-lagu dari kedua boyband ini sebagai pemanasan. Terniat banget pokoknya.
Nyambung dengan artikel yang ditulis Karinka, saya menyelami tulisan Daty DH (Daty) yang berjudul Harta Karun Sweet Seventeen. Daty yang diawal tahun masuk salah satu SMA Favorit di Jakarta (SMA 6), banyak mengalami peristiwa saat dimana daerah Blok M (lingkungan SMA 6) sangat populer dan jadi area tongkrongan remaja pada jaman itu. Ada Aldiron, Melawai Plaza, Blok M area, lalu ada Aquarius Mahakam yang terkenal sebagai tempat pembelian tiket-tiket konser plus sentra kaset rekaman dari banyak genre musik. Nah ngomongin soal musik dan seni budaya, Rini Susanti (Rini) banyak bercerita tentang hadirnya Roxette (salah satu duo favorit saya juga), modern dance, majalah remaja HAI, dan Novel Lupus dengan serial yang panjang dan seru. Semua terangkum lewat artikelnya yang berjudul Supremasi Seragam Putih Abu-abu.

Di periode 90an jugalah, kaum wanita Indonesia mulai bangkit mengenakan hijab. Tapi ternyata kondisi ini mengalami proses ujian yang tidaklah mudah. Banyak dari mereka mengalami tekanan sosial, dijauhkan dari pergaulan, dianggap puritan, berpikiran sempit, susah mencari busana yang memenuhi syarat syar’i, termasuk mengalami pertentangan dari keluarga sendiri. Kita bisa membaca kisah ini dari tulisan Ema P. Kustanti (Ema) yang berjudul Bukan Pilihan Biasa, Nevi Rosnida Syamsiar (Nevi) yang berjudul Hijabku Identitasku. Lalu ada Sofi Hidayati (Sofi) yang menguraikan pernah ada di satu masa foto ijazah harus menampakkan telinga dan tidak diperkenankan menggunakan penutup kepala. Hal ini Sofi ungkapkan lewat artikelnya yang berjudul Tak Bisa Bersamamu Bukan Akhir Segalanya.
Saya juga tetiba teringat masa awal-awal dimana Indonesia akhirnya memiliki sebuah stasiun TV swasta (RCTI) di Kebon Jeruk yang akhirnya memberikan kita pilihan selain stasiun TV milik negara (TVRI). Kisah ini dituliskan oleh Siti Sulistianah (Siti) di artikelnya Hem dan Jin Gombrong Kesayangan. Lewat tulisannya juga, Siti mengajak kita mengingat masa kejayaan beberapa rock band seperti Megadeth, Sepultura, Metalica, Bon Jovi, Kiss dan lain-lain. Mereka ini, jika tidak salah ingat, sejak 80an sudah menguasai perkembangan musik dunia. Dimasa itu pula, hem kotak-kotak gombrong, celana jeans baggi, sempat menjadi ikon fashion kawula muda.
Ada juga beberapa teman yang membangkitkan cerita tentang masa-masa kuliah atau sekolah. Seperti Cahya Leswaeny (Cahya) lewat artikel Aku dan Sahabat di Era 1989-1995 yang menceritakan persahabatan genk nya dan kenikmatan mereka menikmati beragam komik (Inuyasa, One Piece, Saint Seiya, Samurai X, Sailormoon, Candi-candi). Lulu Arsyad (Lulu) menulis artikel berjudul Belajar Mencintaimu yang berhasil masuk STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara) dan tak bisa menikmati akses on-line untuk mengecek pengumuman penerimaan mahasiswa lalu meluncurkan rangkaian cerita pengalaman selama menjadi anak kos. Halimah Rose/Ade Sumiati (Ade) menulis artikel Saudade Masa SMK. Cerita yang menguraikan bagaimana Ade saat itu memutuskan masuk SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) karena bercita-cita jadi orang kantoran. Endah Widowati (Endah) yang mengurai cerita saat-saat berharga saat di asrama bersama teman-teman kuliah lewat artikel berjudul Nostalgia Asrama Kita.
Oia, jaman segitu juga lagi musim ngebreak loh. Tau kan? Itu loh radio amatir yang musti kudu gantian ngomong ya. Ceritanya Minarni Merry Yanti (Merry) tentang ini seru banget loh. Lewat artikel Diandra Windy (nama udaranya 2 breaker), Merry bertemu dengan almarhum suami. Dari kegiatan kopi darat akhirnya jatuh cinta. Satu kenangan manis yang pastinya akan selalu dikenang mengingat suaminya sudah wafat.
Daaann masih banyak lagi.
Yang pasti dari halaman depan sampai akhir, tak ada kisah yang bikin kita bosan untuk berjam-jam membaca buku ini. Tapi yang paling menarik bagi saya adalah semua kisah yang menguraikan pengalaman pribadi dan menghadirkan diri sendiri sebagai bintang dari artikelnya. Saya sempat duduk berlama-lama, melahap 356 lembar kisah penuh warna di tahun 90an. Meskipun tebal, buku ini nyaman sekali dipegang, perekat lembarannya bagus sehingga buku mudah dibolak-balik tanpa takut akan ada kertas yang lepas.
Partisipasi Saya

Banyak sebenarnya yang ingin saya ceritakan atau bagikan kepada publik di buku ini. Karena disepanjang 90an itu saya mengalami banyak peristiwa dalam kehidupan pribadi, lingkungan sosial, dan berakhir dengan keputusan untuk menikah di April 1999. Tapi karena setiap penulis hanya diperkenankan melahirkan 1 artikel saja, saya kemudian harus memfokuskan 1 tema agar bisa memenuhi batasan halaman yang sudah ditetapkan.
Hingga akhirnya saya memutuskan untuk mengurai cerita persis di 1990 saat saya lulus kuliah dan menjadi mbak-mbak kantoran di Oktober. Bagaikan mimpi, di kala itu Yang Maha Kuasa melancarkan urusan saya untuk menyelesaikan kuliah dan langsung bekerja di sebuah perusahaan real estate hanya dalam rentang waktu 2 minggu. Kala itu bisnis perumahan sedang dalam masa jaya hingga (kalau tidak salah) menjelang 1996-1997.
Sebagai seorang fresh graduate dengan nol pengalaman kerja, saya menabung banyak cerita yang patut dijadikan pijakan awal dalam meniti karir kedepannya. Bekerja untuk banyak orang (dalam jumlah puluhan) dengan keterbatasan yang ada. Belum ada handphone yang memudahkan komunikasi dan masih mengandalkan pager Starko. Belum ada laptop yang memudahkan proses presentasi. Belum ada internet dan media sosial untuk memperlancar promosi. Dan semua kejadulan yang pada kenyataannya sesuai dengan tuntutan hidup yang ada dan terjadi pada masa itu.
Tapi ketika menyelami kembali semua apa yang sudah dialami, ternyata saya bisa mendapatkan banyak hikmah. Mental jadi lebih tangguh, lebih banyak sabar, bisa mengontrol lisan dengan lebih baik, sembari berada dimasa teknologi canggih mulai merangsek masuk saat pertengahan 1990an. Setidaknya dari cerita singkat saya kala itu, bisa jadi pembelajaran dan pengetahuan anak-anak masa kini agar mereka tidak gampang mengeluh. Padahal jika dibandingkan dengan bagaimana perjuangan saya bekerja saat itu, tentunya tak ada seujung kuku dengan apa yang dialami mereka yang lahir di generasi baru.
Semua saya uraikan sepenuh hati lewat artikel Lika Liku Karyawan 90an yang ada di halaman 182-189.
Sebuah Legacy

Setiap buku yang diterbitkan tentunya memiliki misi untuk meninggalkan LEGACY kepada banyak pihak. Bisa untuk keluarga, kalangan tertentu, sanak famili, dan publik dalam cakupan yang lebih luas. Saya merasakan energi berkisah dan bertutur yang begitu apik dan sarat kenangan di setiap artikel ada. Rangkaian memori yang terceritakan kembali dengan begitu lepas dalam rangkaian diksi yang khas dari setiap penulis.
Saya yakin, di setiap pribadi yang sepakat membukuan kisah mereka pada tahun 90an, ada satu bahkan bermacam celah cerita yang ingin jejaknya tertinggal dan tertulis dengan apik untuk dibaca oleh orang lain. Dan itu bagi saya luar biasa dan mengandung arti legacy yang sesungguhnya.
Hujan ucapan syukur dan terimakasih ingin saya sampaikan kepada Deka Amalia, Efi R. Suwandy, Jullie Hakim, Nevi Rosnida, Karinka Ngabito, Nilam Septiani, Dhesiana Ida Suryanti, Lulu Arsyad, Ade Jacklyn, Ayu Subrata, Arinta Yanuasari, Fii, Cahya Leswaeny, Daty DH, Niar Efana, Lide Gantari, Halimah Rose, Endah Widowati, Eka Indah Rosiyanti, Nhietha Astura Rizqy, Meiti Zaini, Retno Wijayanti, Vica Arisanty, Eny Rosa, Retno Hastuti, Ema P. Kustanti, Lilla Anita, Sophia Aga, Dian Novitasari, Naning Suksma, Sofy Hidayati, Rara Nurendah, Wahyu Maryaningsih, Pipit Caliza, Siti Sulistianah, Neni Nufus, Siti Murwati, Rini Susanti, Minarni Merry Yanti, Frida Aulia, Runny dan Amalia. Bersama kalianlah buku ini hadir melengkapi kejayaan literasi serta mengikat kebersamaan yang indah dalam sebuah komunitas menulis.

#BackToThe90s #BukuAntologi #WriterpreneurClub #KomunitasMenulis #RumahLiterasiDekaAmalia #Cerita90an #Kenangan90an