
Saya awalnya menemukan Alas Harum dari beberapa artikel on-line beberapa hari sebelum berangkat ke Bali di minggu ke-4 Desember 2021. Saya bersengaja mencari berbagai tulisan tentang destinasi wisata yang berfokus pada agrotourism di seputaran Ubud, karena memang akan menginap di Ubud dalam 3 hari pertama.
Setidaknya dengan mengumpulkan beberapa informasi tentang tempat yang ingin dikunjungi, saya bisa membuat run-down kecil-kecilan agar tempat dan waktu kunjungan bisa diatur/dirancang semaksimal mungkin. Apalagi mengingat masa liburan kami sangat singkat. Hanya 4 hari saja. Itupun sudah termasuk 2 hari perjalanan dengan transportasi udara Jakarta – Denpasar – Jakarta serta jalan darat rumah – bandara – rumah yang butuh waktu tidak sedikit.
Meski sudah puluhan kali menjejakkan kaki di Bali, nyatanya sejak pertengahan 2019 dan hampir 2 tahun setelahnya dirumahkan karena pandemi, saya malah banyak menemukan tempat-tempat wisata baru lewat postingan IG. Bahkan sempat berhari-hari membaca sekian banyak tulisan dengan tema beragam selama isoman 14 hari. Dengan banyaknya waktu luang untuk membaca, saya jadi bisa menelusuri berbagai berita dan informasi terbaru tentang dunia wisata lewat dunia maya dan media sosial.
BACA JUGA : Saat Desa Penglipuran Mengijinkan Saya Kembali

Menyaksikan Lembah Keindahan di Alas Harum
Setelah berdiskusi dengan Bli Nyoman, driver kami hari itu, kami sepakat untuk memasukkan Alas Harum di bagian terakhir dari daftar kunjungan. Sebuah destinasi wisata alam yang berada di salah satu lembah yang berlokasi di Tegallalang. Pertimbangannya adalah bahwa Alas Harum berada di arah jalan pulang. Good idea menurut saya. Pergi ke tempat yang jauh dulu lalu ditutup dengan yang paling dekat.
Hujan mengiringi perjalanan kami menuju Alas Harum. Tidak begitu jauh sebenarnya tapi derasnya air yang menghujan bumi sempat memberikan kami waktu untuk memejamkan mata di sepanjang perjalanan. Dan saat hampir tiba di tempat, saya cukup kaget ketika menyadari bahwa lokasi Alas Harum hanya beberapa langkah dari Ceking Rice Terrace, sawah terasering yang sempat saya kunjungi di 2018. Satu titik terbuka di Tegallalang dengan pemandangan persawahan spektakuler yang selalu banjir para wisatawan. Beruntungnya saya bahwa saat berada di Ceking Rice Terrace, semua petakan padi mulai menguning dan tampak menunduk siap dipanen. Hasil jepretan pun terlihat lebih ciamik dan indah.
BACA JUGA : Indahnya Sawah Terasering di Ceking Rice Terrace Tegallalang Bali


Identifikasi termudah dari tempat wisata ini adalah hadirnya patung binatang Luwak di halaman depannya. Besar banget. Satu emak Luwak super jumbo dengan sekitar 7-8 anak Luwak yang berwarna keabu-abuan dan dibiarkan berada di sekitar kakinya. Di bawah patung ini terdapat tulisan ALAS HARUM BALI yang terbuat dari tembaga berwarna rose gold. Persis seperti warna kawat yang biasa saya gunakan untuk membuat wire jewelry.
Di dekat patung ini disediakan toilet, pondokan untuk menunggu dan sebuah rangkaian wastafel unik yang terbuat dari jalinan daun pandan. Duh kreatif banget. Seneng lihatnya.
Bayangkan ya. Dari area parkir atau halaman depan saja sudah demikian estetik. Apalagi bagian dalamnya. Bikin tambah penasaran gak sih?
BACA JUGA : Berwisata Agro di Bali. Mendekat ke Alam dan Mencintai Bumi
Membayar HTM senilai 50K/orang saya melangkah masuk dengan rasa penasaran yang tak tertahankan. Setelah sebelumnya beberapa kali mengunjungi wisata agro di beberapa tempat di Ubud, menambah satu lagi referensi tentunya bakal jadi pengalaman yang menyenangkan.
Tidak ada kesan wah di gerbang masuknya. Tapi begitu melewati gerbang ini, ada anak tangga dan area yang bikin kita tambah penasaran. Setelah melewati beberapa anak tangga, petugas di lapangan akan mengarahkan kita. Sisi kiri menuju ke rangkaian wisata agro, sementara belok kanan adalah Cretya Restoran. Restoran dengan rancang bangun berjenjang di pinggir tebing yang dimiliki oleh Alas Harum.
Karena belum lama menyantap makan siang yang super duper full stomach dan enak, saya dan rombongan langsung menuju area wisata agro. Di sini disuguhkan bertampah-tampah kopi yang sedang dijemur. Di sekitarnya ada beberapa kandang Luwak berikut binatangnya tentunya. Saya tidak mendekat karena tidak tahan dengan baunya yang menyengat.
Sementara yang lain asik mengamati si Luwak tadi, saya melangkah menuju sebuah pondokan beratapkan rumbia yang berisikan beberapa piring terakota hitam yang menampung kopi mentah yang belum diolah. Di tengah pondokan ini ada sebuah lumpang atau lesung penumbuk satu lubang dengan sebuah alu kayu yang panjang dan berat. Entah terbuat dari kayu apa tapi saya lumayan bersusah payah untuk mengangkat dan melakukan gerakan menumbuk. Tapi bisa jadi alunya tidak seberat itu. Hanya saja tenaga saya tidak segagah Xena untuk jadi seorang penumbuk kopi.
Pondokan ini dijaga oleh seorang perempuan yang menurut dugaan saya bertugas mendemonstrasikan atau menggoreng kopi di sebuah wajan besar yang tak jauh dari tempatnya duduk. Cuma saat saya datang beliau tampak letih lesu dan lelah serta minus senyuman. Sayapun tak berminat menyapa karena lebih memusatkan perhatian dengan menciumi berbagai kopi yang sudah ditumbuk. Wanginya sungguh menggoda selera.
BACA JUGA : Tirtagangga Water Palace. Jejak Asri di Relung Karangasem


Beberapa langkah setelah pondokan kopi ini kita akan bertemu dengan pondokan kopi yang lain. Tapi yang kedua ini menyajikan kopi yang sudah jadi. Bahkan sebagian besar diantaranya adalah kopi yang sudah diolah dan dikombinasikan dengan bahan lain sehingga memunculkan rasa baru. Wanginya luar biasa. Benar-benar membangkitkan selerea.
Disini kita bisa melihat bertoples-toples kopi olahan Alas Harum dan bisa mencoba salah satunya untuk kita nikmati secara gratis, sebagai ganti dari HTM yang sudah kami bayar di depan. Meski cuma secangkir kecil, rasanya sudah cukup menurut saya. Sayangnya, entah kenapa, saya kurang berselera untuk menikmati kopi tersebut dengan sajian snack yang ditawarkan oleh petugas. Kalau tidak salah karena sebagian besar menu yang ditawarkan cenderung manis. Sementara kopi yang saya pesan bukan kopi hitam. Jadi pasti berlimpah rasa manis yang nantinya bikin kita mengantuk karena berlebihan kalori.
Saya dan rombongan memutuskan untuk duduk di teras bawah sebuah rumah kayu 2 lantai. Persis di depan kami duduk ada GLASS FLOORING yang lumayan lebar. Karena sudah menjelang sore, entah kenapa memotret di area ini hasilnya selalu memunculkan efek back light. Meski langit tetap biru, tampilan tubuh dan wajah saya tak terlihat sama sekali. Semuanya gelap bak siluet. Lucunya setelah sampai atau kembali ke villa, saya menyadari bahwa harusnya saya dipotret dari lantai 2 rumah atau pondokan ini. Aaahhh terlambat mikirnya.
BACA JUGA : Taman Soekasada. Kekayaan Peninggalan Kerajaan Karangasem di Timur Bali
Usai berjuang dengan urusan foto diatas, kami meneruskan perjalanan dengan mendatangi sebuah toko oleh-oleh mini yang berada di ketinggian yang sama dengan tempat kami nongkrong tadi. Terbuat dari rangka besi hitam serta dinding kaca yang kokoh dan pendingin ruangan yang bekerja dengan baik, toko ini terasa sangat nyaman untuk dikunjungi. Nyaman banget untuk jadi tempat ngaso saat udara terasa panas menjerat leher. Di dalam toko ini, selain banyak packaging berbagai jenis kopi yang ditawarkan di awal tadi, juga ada handicraft, pewangi tubuh, teh dan mini homedecor serta outfit.
Saya membeli 2 pack kopi coklat dan kopi tubruk sebagai buah tangan untuk suami dan sebotol kecil EDT dengan wangi Ylang-ylang yang sudah lama saya cari. Harganya cukup menguras kantong. Tapi karena Fiona sangat menyukai kopi coklatnya dan saya memang sedang menginginkan fragrance Ylang-ylang, tak apalah.
Rampung berbelanja, kami tampaknya sudah kehabisan tenaga untuk menuruni bukit menuju ke bagian terbawah lembah. Dari satu ketinggian tertentu yang seperti masih di bahu tebing, kami mengamati penataan tempat yang begitu apik dilakukan oleh Alas Harum.
Lembah yang kami amati itu terlihat indah bak lukisan alam yang sering kita temui di tempat-tempat wisata. Lembah keindahan yang matang disajikan oleh Alas Harum bagi para pecinta wisata alam.
Berbagai Fasilitas yang Disajikan oleh Alas Harum


Selain sawah terasering yang dibentuk kecil-kecil dan dibuat dengan garis pinggir yang bergelombang, Alas Harum menyediakan beberapa fasilitas serta spot foto unik dan estetik yang dapat wisatawan nikmati. Seperti bird nest (sangkar burung berbentuk bulat).
DANCING BRIDGE yang menghubungkan kedua sisi Alas Harum dan tentu saja seru untuk menguji mental. Tentunya seru melangkah di sebuah jembatan kayu di atas ketinggian tertentu. Sementara jembatannya mengajak kita terus berdansa di setiap langkah kita.
GLASS FLOORING yang tadi sempat kami kunjungi. EDUCATION TEMPLE yang dalam asumsi saya adalah sebuah pura kecil untuk kita mengetahui lebih jauh tentang budaya ibadah agama Hindu. Patung GORILLA (lebih tepatnya kepala gorila) yaitu sebuah goa kecil yang terbentuk dari mulut gorilla. Lalu ada patung PEKAK BRAYUT yang juga berada di tebing. Kedua patung ini tampak sudah limuri lumur dan rerumputan yang tumbuh subur. Tapi keindahannya tiada ada yang berkurang.
Selain beberapa spot foto di atas, Alas Harum juga menyediakan berbagai permainan yang mengajak kita untuk menguji nyali. Yang saya lihat pertama kali adalah SWING atau ayunan. Ada ayunan untuk dinikmati sendirian tapi ada juga ayunan untuk berdua. Ayunan ini juga selain dibedakan menurut jumlah orangnya, juga ditawarkan berdasarkan keseruannya. Bisa minta diayunkan setinggi mungkin atau diayunkan biasa saja. Ketinggiannya berkisar antara 15-25 meter. Semakin extreme ya akan semakin tinggi dan besar pula biayanya.
Lalu ada juga FLYING FOX seharga 300K/orang. Kemudian SKY BIKE dengan 2 opsi yaitu single seharga 150K atau couple dengan harga 300K.
Yang tentunya paling menarik dan laris dikunjungi wisatawan adalah EPIC PHOTO BOOTH. Jika kita menginginkan hasil foto dikirim ke alamat email kita, maka biaya yang akan dikenakan adalah 150K. Sementara jika berupa print out atau hard copies maka kita wajib membayar 100K.
Kemudian ada juga tawaran untuk sekedar trekking di sepanjang persawahan sembari memotret berkeliling. Untuk ini setiap pengunjung akan dikenakan biaya 100K/orang.
Semua fasilitas yang disebutkan di atas sudah termasuk asuransi, pendampingan petugas-petugas yang profesional dan dengan jaminan tingkat keamanan yang baik dan terjaga. Kalimat ini penting banget ya menurut saya. Setidaknya dengan pernyataan seperti ini, jika ada kecelakaan (amit-amit semoga tidak), pihak manajemen Alas Harum akan bertanggungjawab.
Ada satu lagi nih yang menurutku menarik. Selain melihat proses pengeringan kopi kemudian menjadikannya matang, pengunjung juga diajak untuk mencoba/mencicipi sekitar 14 cangkir kecil dari setiap jenis kopi yang ditawarkan oleh Alas Harum. Persis seperti apa yang pernah saya alami saat berada di beberapa agrotourism yang juga berada di seputaran Ubud. Tapi saat saya berada disini, saya tidak sempat menikmati sajian ini karena layanan ini hanya tersedia di restoran. Ah sayang banget ya. Padahal coffee testing ini adalah salah satu poin terseru saat berada di sebuah wisata agro.
Kesan Pribadi Tentang Alas Harum

Berada di Alas Harum menyadarkan saya untuk lebih sering berwisata alam. Menikmati hijaunya pepohonan, rerumputan yang terhampar bagai karpet alam, sawah dan semua kekayaan hayati yang sudah diberikan oleh Yang Kuasa kepada kita. Saya merasakan satu ketenangan saat melihat bahwa ada pihak tertentu yang ingin tetap mempertahankan wisata agro sebagai bagian dari wisata alam yang selalu dirindukan oleh mereka yang setiap harinya berjibaku dengan masa bekerja yang melelahkan.
Karena berkunjung di masa pandemi yang masih rentan penyebaran virus, saya merasa beruntung karena bisa menikmati keheningan sore hari di Alas Harum. Dengan sedikitnya jumlah pengunjung, saya memiliki kesempatan merekam apa yang terhidang di depan mata tanpa noise foto sama sekali. Kebayang kan seandainya pengunjungnya membludak. Pasti sulit mendapatkan foto yang full landscape tanpa penampakan manusia.
Hanya sayangnya sawahnya sedang kosong. Belum ditanam kembali. Jadi petak-petak kecil tempat bertumbuhnya padi tidak bisa saya nikmati. Cuaca juga tak begitu kondusif karena setelah diguyur hujan sesiangan tadi, mendung ternyata menolak untuk beranjak. Meski matahari sempat melongok sebentar, tapi nyatanya mendung lebih mendominasi. Langit gelapnya mendadak mengingatkan saya akan serangan Dementor.
Saya dan rombongan akhirnya tidak jadi turun menyisir bukit karena rintik hujan mulai menyentuh bumi. Melihat di bawah semua area tampak terbuka tanpa ada tempat untuk berteduh, saya langsung membayangkan susahnya kembali mendaki bukit untuk meraih titik awal dimana saya sebelumnya berada. Butuh perjuangan yang tidak sedikit jika rintik berubah jadi hujan. Memikirkan basah kuyup dan ngos-ngosan menelusuri tangga, mental saya langsung anjlok.
Alas Harum sebenarnya menyediakan tangga kokoh disana-sini, tapi dengan tebing yang cukup terjal, saya sudah menyerah duluan. Turunnya sih tampaknya gampang. Tapi saat mendaki, buat saya yang jarang bahkan nyaris tak pernah olga, pasti akan merasakan bagaimana rasanya sesak napas menjelang sakratul maut. Sumpah. Gak enak banget. Kebayang dulu pernah merasakan hal yang sama waktu naik turun tangga jahanam di Kalaodi, Tidore.
Jadi yah, sudahlah ya. Untuk setakat ini, mending cukup melihat dari tebing atas saja. Next visit, saya akan datang pagi-pagi. Supaya bisa merasakan udara segar sekaligus kondisi tubuh yang lebih fit. Sama itu. Pengen nongkrong di restonya. Kalau dari official website mereka www.alasharum.com terlihat bahwa resto di tempat wisata ini menyediakan pondokan-pondokan kecil untuk lesehan di pinggir tebingnya.
Sama ini nih. Sebelum berkunjung mau memastikan dulu bahwa padi-padi tumbuh. Bahkan lebih baik lagi jika padi-padi tersebut sudah menguning. Biar foto-fotonya lebih mentereng dan tentu saja lebih cantik.





