Salah seorang teman lama menghubungi saya setelah membaca sebuah artikel yang saya tulis tentang memori akan pasar buku bekas yang ada di Senen, Jakarta.
“Memang ye kenangan kenangan kito dengan wong tuo tuh selalu berkesan,” ulas si teman dengan suara pelan. Tampak berhati-hati dalam berbicara karena dia tahu persis bahwa almarhum Ayah adalah salah seorang yang menjadi bagian penting dari rangkaian hidup saya. Kebetulan, saat dia menelepon, dia belum lama kehilangan sang Ayah tercinta. Dan kabar itu dia beritakan langsung sekaligus menuntaskan rindu karena kami sudah lama, bahkan tahunan, tidak ngobrol.
“Aku inget nian cerito awak soal pasar buku bekas di Senen itu,” ujarnya lagi. “Gara-gara itu jugo lah aku laju teringat dengan pasar buku bekas yang ado di Bandung. Dulu ayah aku pernah ngajak aku ke sano.”
Maka mengalirlah secuil kisah tentang kunjungannya ke Palasari puluhan tahun yang lalu. Sekitar menjelang akhir 1980-an dimana kami menjelang lulus SMA. Kebetulan kami memang seumuran dengan tahun angkatan SMA yang sama. Hanya saja kami berpisah cukup jauh. Saya menamatkan SMA di Malang, sementara dia tetap di Palembang, tanah kelahiran kami.
Menurut ceritanya lagi, dulu, saat liburan, dia diajak sang Ayah untuk berkunjung ke rumah salah seorang saudara (adik Ayahnya) di kota Bandung. Liburan panjang kenaikan kelas 3 (sekarang dihitung sebagai kelas 11). Salah satu tempat yang dia kunjungi saat di Bandung adalah Pasar Palasari.
“Besak nian pasarnyo Nie. Ado banyak penjual buku di lantai pucuknyo itu,” celotehnya lagi dengan penuh semangat.
Maka cerita panjang tentang kenangan selama main ke pasar buku Palasari mengalir dengan lancarnya. Memiliki hobi membaca yang sama dengan saya, topik tentang pasar buku selalu menarik dan seru bagi kami berdua. Pun saat dia membandingkan dengan apa yang dia alami saat dia pernah berada di pasar buku bekas di daerah Senen.
Tak lama setelah pembicaraan ini, saya kemudian menyampaikan niat untuk ke pasar buku Palasari kepada suami.
“Dulu juga aku sering ke situ untuk cari buku cetak sekolah. Dari zaman SD sampai kuliah malah. Di sana tuh buku bisa ditawar. Beda dengan kalau beli di toko buku besar. Entah sekarang masih ada gak ya .” ungkap suami yang beberapa menit kemudian menghubungi salah seorang anggota keluarga besar yang rumahnya tak jauh dari kawasan Palasari. Mendapatkan kepastian bahwa pasar buku Palasari masih ada, saya pun mengatur waktu agar sempat mampir di serangkaian acara ke Bandung dalam waktu dekat. Kebetulan di akhir pekan yang bersangkutan, saya dan suami sudah mengatur beberapa acara di beberapa tempat sekaligus.
Sepanjang perjalanan dari hotel menuju Palasari, suami juga berkisah bahwa pasar buku ini telah banyak membantu nya dalam menyelesaikan pendidikan. Sebagai anak yatim sedari usia 12 tahun dan hidup pas-pasan, beli buku di sini tentunya sesuai dengan kemampuan kantong. Saya terdiam dalam keharuan.
Menyusur Jejak Literasi di Pasar Buku Palasari
Usia menuntaskan urusan administrasi untuk check-out dari hotel, suami langsung memetakan arah menuju kawasan Palasari. Tak jauh sejatinya. Tapi suami tetap menjalankan kendaraan dengan perlahan agar bisa mengenali setiap sudut jalan dengan baik dan tidak tersesat. Hal ini bisa saya pahami karena dia sudah puluhan tahun tidak pernah ke daerah ini lagi. Setidaknya setelah menamatkan pendidikan S1 di ITB, meneruskan S2, dan merantau ke banyak tempat. Jika pun kembali ke Bandung, tidak sesering sekarang karena dulu sebagian besar tugasnya adalah berkeliling kesana-kemari.
Kami ke kawasan Palasari di hari Minggu pagi. Jalanan begitu lowong dan kami langsung parkir di pinggir jalan yang kosong yang diarahkan oleh seorang petugas. Tempatnya persis di depan sebuah kios buku. Di sebelahnya ada kedai kopi serta warung masakan padang yang mulai menghadirkan masakannya satu persatu di sebuah kotak kaca. Diantara kesibukan ini harum wangi kopi yang baru diseduh langsung menyeruak. Di depan kios kopi ini ada beberapa meja kecil dan bangku kayu. Wah, saya langsung membayangkan betapa asiknya ngobrol atau membaca di kedai ini sambil menyeruput kopi.
Sayangnya lambung saya sudah terlalu penuh dengan sarapan di hotel tadi. Bahkan saya sempat duduk sebentar, nonton tv di dalam kamar sembari kembali menyeduh kopi hitam.
Dalam rangka menghormati pemilik kios yang sisi depannya kami gunakan untuk parkir, saya menyempatkan diri mampir dan melihat berbagai koleksi buku yang dia miliki. Meski terlihat padat dengan tumpukan buku di sana-sini, kondisinya masih terlihat cukup teratur. Setidaknya dengan caranya menyusun, saya masih bisa menikmati judul buku dari sisi samping dengan jelas.
Setelah bermenit-menit ngobrol dan menelusur koleksinya, akhirnya ya mengambil sebuah buku yang berjudul “The Terracota Army. China’s First Emperor and the Birth of a Nation” yang ditulis oleh John Man. Seorang sejarawan dan travel writer yang bermukim di London. Menilik banyaknya buku yang beliau tulis dan diberitakan di bagian profil, saya jadi (sangat) tertarik pada beliau. Nama besarnya dalam bidang literasi menjadikan beliau salah seorang penulis dan sejarawan dunia yang tulisannya paling banyak dibaca. Fix. Merampungkan buku ini, saya akan membeli dan menelusur buku-buku lainnya seperti “The Great Wall,” “The Leadership Secrets of Genghis Khan,” dan masih banyak lagi. Buku yang diterjemahkan lalu dicetak di Indonesia pada 2017 dan dijual kepada saya seharga Rp25.000,00 ini tampak sudah menua disana-sini dengan hadirnya fleks pada beberapa lembar buku. Saya tak masalah. Justru saya bahagia mendapatkannya karena rahasia Terakota adalah salah satu kisah sejarah yang ingin sekali saya baca. Tentu saja dengan harapan suatu saat, entah kapan, saya bisa menyaksikan langsung dengan mata kepala sendiri, menginjakkan kaki di Xi’an dimana Terakota berada.
Usai melewati beberapa kios buku yang mulai buka satu persatu, saya melangkah ke sisi dalam pasar buku Palasari. Di sini terdapat lorong panjang membentang. Hari masih begitu pagi dan belum ada penerangan yang mumpuni untuk melihat rangkaian kios ini dengan rinci. Hanya ada beberapa kios yang buka dan mereka mengandalkan lampu pribadi untuk mulai berdagang.
Saya melangkah pelan dan berharap menemukan buku-buku bekas lain yang sesuai dengan selera dan harapan. Tapi sebagian besar kios yang buka didominasi oleh berbagai buku sekolah. Mulai dari paud hingga perguruan tinggi. Kualifikasi ilmunya juga beragam. Sains (matematika, fisik, kimia) dan berbagai ilmu sosial (sejarah, PKN, bahasa, dan lain-lain). Bertebaran juga buku-buku latihan soal untuk semua tingkatan pendidikan. Saya juga sempat terkesima dengan banyak buku persiapan CPNS, IELTS, dan masih banyak lainnya.
Di setiap langkah, para penjual dengan ramah menyapa. Ada satu kalimat yang begitu berkesan di hati dan selalu muncul dari mulut mereka.
“Cari buku apa Bu? Nanti saya bantu. Kalau gak ada di kios saya, nanti tak carikan di kios teman-teman yang lain.”
Saya membalas sapaan tersebut dengan anggukan seramah mungkin. Mendadak menyesal kenapa ya gak bikin daftar buku-buku yang lama saya cari. Siapa tahu kan ada di sini? Dan eh mendengar itu perasaan saya seketika merasakan semangat bagaimana para penjual di sini memiliki rasa kebersamaan yang tidak dapat dibantah. Setidaknya saling tolong menolong dan tidak membiarkan para tetamu tidak atau susah mendapatkan buku yang diinginkan.
Melangkah keluar di sisi pasar yang berbeda, saya menemukan sebuah kios khusus yang melayani penyampulan buku. Lalu lagi-lagi ketemu sebuah kedai kecil yang semriwing dengan harumnya kopi. Suami sempat memperhatikan saat si Mas penjaga kedai sedang menggiling kopi lalu menyeduhnya dengan penuh hikmat. Kemampuan atau skill yang tentu saja wajib dipelajari dan dikuasai dengan baik.
“Mau ngopi dulu?” tawar saya kepada suami sekali lagi.
“Nanti aja deh pas mau pulang,” ujarnya lugas. Saya setuju. Biar khatam dulu kelilingnya, beli beberapa buku, lalu duduk sembali menyimak lembar demi lembar buku tersebut. Lebih santai dan asik pastinya. Oia di bagian belakang sini, saya menemukan beberapa kios yang melayani pembuatan sertifikat dan piala serta buku Yassin. Bahkan ada satu kios yang lumayan besar yang khusus menjual mushaf Qur’an dan banyak buku Islami dari berbagai sumber. Dari sebuah buku kecil (buku saku), berukuran sedang, hingga Qur’an besar yang pasti lebih nyaman untuk dibaca. Ada sederetan motor terparkir di depan kios ini dengan kesibukan packing yang terus silih berganti.
Ketemu Pasar Tradisional
Mengikuti suami yang tetap melangkah maju, saya kemudian menemukan sebuah lapangan besar persis di depan kios ini. Wah ternyata di sinilah tempat parkir yang sesungguhnya. Tapi ya sudahlah ya masak balik lagi terus bela-belain mindahin mobil ke sini.
Tak diduga, di area yang satu ini suami justru bertemu dengan tempat favoritnya. Apa itu? Pasar tradisional (pasar sayur dan buah) yang ternyata luas dan menyenangkan. Saya sempat memutuskan untuk tidak ikut ke dalam dan duduk di sebuah warung yang ada di pelataran depan. Asiknya ada sebuah kulkas besar yang menyimpan beraneka minuman dingin. Pas banget. Tenggorokan sudah meraung-raung kekeringan dan minta segera “diobati.” Mata saya pun sudah melekat, tak mampu beralih dari berbotol-botol minuman dingin tersebut.
Dan eeehh baru aja neguk setengah botol ternyata suami malah balik dan mengajak (baca: memaksa) saya ikut masuk ke dalam pasar.
“Tenang aja. Pasarnya bersih kok. Gak ada bau-bau gak enaknya.” ujarnya seakan mengerti apa yang saya pikirkan.
Omongan suami ternyata benar. Untuk sebuah pasar tradisional beratap rendah dan dalam kondisi padat, pasar ini cukup bersih dan semu dagangan tertata apik. Di barisan depan ada sebuah kios yang menjual piring, mangkok, gelas, cangkir, yang cantik-cantik dengan design yang unik. Saya mendadak berada di sebuah lahan kebahagiaan karena bisa nambah properti food photography.
Suami? Khusuk banget di beberapa kios yang menjual berbagai kebutuhan dapur. Mulai dari bumbu sampai sayur. Bahagia banget dia kayaknya bisa blusukan di setiap kios tersebut. Asiknya lagi setiap kios punya materi jualan yang berbeda-beda. Dikelompokkan juga dari golongan basah dan kering. Jadi genangan air tak mencampuri mereka yang berjualan bahan-bahan kering di bagian depan.
Pulang pun dengan langkah-langkah senang dan wajah berbinar-binar.
Melestarikan Industri Penerbitan Buku
Berjalan balik menuju tempat kami awal datang tadi melewati jalur yang berbeda, alih-alih mampir ke warung kopi, perhatian kami malah teralihkan ke penjual kelapa muda. Wah kebetulan banget. Setelah tadi belum tuntas meneguk minuman dingin di depan pasar tradisional, saya dan suami menyediakan waktu untuk duduk lalu memesan kelapa muda yang dicampur dengan sedikit es. Manis naturalnya air kelapa muda dan daging kelapanya yang lembut sungguh menyenangkan dan mampu mengurai panasnya udara sesiangan itu.
Duh klop banget suasananya.
Sembari minum tadi, saya melirik ke arah sebuah kios buku yang berada tak jauh dari penjual kelapa muda ini. Kiosnya terlihat ramai oleh pengunjung. Tumpukan bukunya menjulang tinggi dengan kesibukan yang tak terkira. Saya memutuskan untuk mampir ke kios tersebut lalu kemudian larut dengan puluhan atau mungkin ratusan buku yang tersusun sangat menarik. Ternyata memang semenarik itu karena si Mas penjual tampak seperti ensiklopedia berjalan. Saya tak bisa menyembunyikan kekaguman saya sembari menunggu dia agak lapang untuk melayani saya. Penasaran pengen mengajak dia ngobrol soal buku.
Benar saja. Si Mas ini sungguh mumpuni pengetahuannya soal perbukuan. Kalau tidak diingatkan suami untuk mencapai tujuan berikutnya, mungkin saya betah ngobrol dengan dia sampai sore hari. Gimana enggak? Dari penampilannya yang santai dengan rentang waktu menjual buku yang sudah hampir setengah umurnya saat itu, si Mas ini dengan sabar melayani konsumen satu persatu yang sibuk bertanya ini dan itu.
Entah dari dan karena apa mulainya, saya akhirnya menceritakan bahwa saya sendiri juga sudah bertahun-tahun terlibat dalam dunia literasi. Berawal dari kecintaan akan buku sedari kecil, senang membuat karya tulisan, menyukai dunia bahasa sedari SD, sempat merasakan honor kecil-kecilan karena cerpen yang saya buat kemudian diterbitkan beberapa koran dan majalah, lalu serius menjadi blogger, menghadiri/mengikuti pelatihan menulis dengan banyak guru, hingga akhirnya sampai ke tahap ini. Saya bahkan sempat menunjukkan akun blog saya dan langsung dia baca.
“Teruslah menulis Bu. Saya mendoakan dari tiga lembar artikel di blog akhirnya bisa menerbitkan banyak buku solo dan antologi. Yakin saya, atas izin Allah, Ibu bisa menjadi penulis yang disegani di jagad literasi tanah air,” ujarnya ramah. Saya tergugu. Bukan hanya pada kalimat-kalimat baik yang dia sampaikan tapi serangkaian doa dan harapan yang terselip di sana. MashaAllah saya langsung terharu dan bersegera meng-amin-kan apa yang dia sampaikan.
Obrolan kami pun berlanjut dengan kondisi produk literasi pada saat ini. Terselip serangkaian kata dan kalimat kekhawatiran bahwa perlahan produk buku fisik/cetak mulai tergerus secara perlahan oleh media on-line yang tumbuh menjamur dari waktu ke waktu. Sayangnya, dibalik industri berita yang semakin maju, budaya membaca masyarakat kita tampaknya semakin menurun. Hal ini dia ungkapkan sembari menyebutkan beberapa sumber penelitian yang sudah dia baca sebelumnya.
“Berapa orang sih Bu generasi sekarang yang rajin beli buku dan membacanya?” tanggapnya pilu. “Penjualan di sini pun tidak serame dulu,” ujarnya lagi. Dengan kesadarannya yang tinggi dia juga merasakan bagaimana usaha-usaha besar di dunia publishing yang pelan tapi pasti “memukul mundur” orang-orang seperti mereka.
“Loh bukannya sekarang kebutuhan buku pelajaran makin banyak Mas? Setiap tahun buku ajar terus berganti. Termasuk buku-buku LKS, buku latihan soal yang wajib dimiliki oleh anak-anak sekolah.”
“Ada unsur monopoli juga Bu,” jawabnya taktis tanpa menghakimi. “Kalo kami yang cekak modal seperti ini kan tetap jadi pilihan terakhir. Lahan pelanggan kami kan juga terbatas.”
Saya tak menggangguk atau pun menolak teorinya. Pada kenyataannya memang begitu kok. Hembusan berita akan hal ini sepertinya sudah jadi rahasia umum.
“Jangan khawatir Mas.” jawab saya dengan senyuman semanis mungkin. “Setahu saya sekarang banyak loh publisher mandiri yang giat menerbitkan buku. Saya juga kalau melahirkan buku solo dan buku antologi bareng teman-teman penulis, selalu menghubungi mereka. Indie Book yang sesuai dengan harapan kita sebagai penulis. Kapan ya kalau ada rezeki saya pengen nitip buku-buku karya saya di sini. Siapa tahu pasar buku Palasari bisa jadi salah satu sumber pembelian buku-buku saya.”
Penjelasan saya ini disambut dengan wajah gembira yang tulus.
Obrolan kami kemudian berakhir saat si Mas menutup semua diskusi dengan satu kalimat panjang yang makjleb. “Sampaikan salam saya kepada teman-teman penulis Ibu ya. Jangan lupa aktif membaca sebelum melahirkan tulisan. Membaca bikin tulisan jadi lebih renyah, lebih bergizi, dan lebih berbobot.”
Saya tersenyum lebar, mengangguk, dan mengacungkan jempol. Suami pun tampak tersenyum dari kejauhan sembari menghirup seplastik besar air kelapa muda dingin yang dia pegang erat-erat.
Sembari berjalan ke arah parkiran saya menyelipkan doa agar pasar buku Palasari terus lestari dan menjadi sumber nafkah yang menjanjikan bagi setiap orang yang ada di dalamnya. Di sinilah salah satu pelestarian buku cetak itu berjalan dari masa ke masa.
Aku biasanya ke pasar buku bekas di Senen dan blok M. Banyak buku komik jaman dulu yg seriesnya lengkap dan nyari buku biologi yang satu series mengenai serangga pas anakku kuliah 😅
Wuiihhhhh bukunya banyak banget Mba, asik banget nih kalau berburu buku di sini. Apalagi ada pasar tradisionalnya, dan suprisingly bersih bangeett itu mah.
Paling senang deh pas nemu tempat yang segalanya ada.
Bisa sekalian belanja keperluan rumah, bisa juga cuman cari buku dan lainnya.
Apakah penjual di Palasari tidak berjualan online juga, ka Annie?
Memang aku juga sedih siih.. karena terlihat sepiii dari luar. Padahal koleksi buku mereka, mashaAllaa~
Aku kalau ke Palasari juga betah banget, nongs di salah satu toko buku karena koleksinya lumayan kekinian.
Kalo dari cerita si Mas yang ngobrol sama aku sih mereka ada yang jualan on-line di beberapa marketplace.Tapi karena aku datangnya Minggu pagi, kesibukan di kawasan ini tidak begitu terlihat.
Waktu Mbak Annie cerita kehausan trus ambil minuman dingin, loh…dalam hati…kok engga ke los kelapa di pojok. Eh…ternyata tertulis juga si kelapa muda itu…hehe…
Pasar Palasari tuh langganan saya sejak menikah dan tinggal di Bandung. Rumah saya cuma 1 km dr Pasar Palasari. Langganan beli buku buat ngajar. Kalau buku buat anak-anak sekolah engga beli di sini. Bener, kata Mas penjual. Buku sekolah ada monopoli dan udah CS-an dengan pihak sekolah. Jadi, justru buku yg di sekolah anak saya tuuuh, engga ada di Pasar Buku Palasari…Ya terpaksa beli buku dari sekolah kaaan.
Duluuu…Pasar tradisionalnya 2 lantai, pasar buku di lantai 2, pasar tradisional di bawah. Terbakar…Trus konon mau dibikin mall. Zaman orba sih…Asa sering denger zaman itu kawasan sengaja dibakar, lalu dibangun baru bangunan lain…
Akhirnya Pasar Buku jadi di depan, di pinggir jalan. Pasar tradisionalnya di belakang. Sampai sekarang. Pasar tradisionalnya memang bersih dari dulu…
Saya juga dengar cerita soal kebakaran itu Mbak Hani. Sempat dua kali kalo gak salah. Sampe akhirnya pasar buku ini ngambil lahan parkiran dan dibangun berjejer seperti bangunan non-permanen gitu.
Sekali perjalanan bisa bertemu tempat² yang disukai di Palasari ini. Yang satu bertemu dengan toko buku yang apik, yang satu bertemu pasar tradisional. Pankapan kalau ke sana memang sebaiknya dibuat liat buku ala yang hendak dicari, biar langsung dicari
Waaaa…nostalgia
Ini tempat saya main Mbak Annie
Karena kuliah sambil kerja, saya kost di area dekat kampus Uninus, jalan Guntur ( sekarang semua udah pindah ke Jalan Sukarno Hatta)
Jadi dulu pindah kost pertama ke Jalan Palasari, trus pindah ke Jalan Burangrang, dan terakhir Jalan Guntur. Nama gunung-gunung-an semua emang di sana.
Karena sejak kecil suka masak, kost pun masak dan belanja di pasar Palasari
Untuk beli buku2 referensi kuliah saya juga beli buku di Palasari karena murah
Di sini banyak buku bajakan Mbak. Ketika novel laskar pelangi baru booming, di sini udah ada bajakannya :D :D
Wah wah waaahh ternyata sudah hafal dengan lingkungan sini ya Mbak. Kalau gak salah ingat, salah seorang saudara suami tinggalnya di Jl. Guntur itu deh.
Nah bener Mbak, suami juga pas kuliah sering banget nyari buku referensi untuk materi science di sini. Lengkap dan murah katanya. Saya juga lihat tuh beberapa buku bajakan yang dijual murah. Paling mahal itu 50K kalo gak salah. Jadi memang gak cuma menawarkan buku bekas.
Seru emang kalau berburu buku ya mbak, apalagi kalau buku yang kita cari ternyata ada diantara buku² bekas tersebut dan harganya pasti bikin damai di dompet. Tapi dari semua itu yang paling menyenangkan ya jajan dong hahahaaa🤩🤩
Hahahahaha iya Mbak Emma. Ada sih beberapa spot jajan apalagi buat ngopi. Beuh asik banget keliatannya. Kebayang serunya baca buku atau sharing pendapat tentang buku sembari ngopi.
Merenda kenangan kalau menyusuri lapak buku Palasari Bandung seperti ini. Di setiap kota terutama yang ada kampusnya sepertinya ada sudut kota seperti pasar buku ini. Tapi makin ke sini tergerus, terpinggirkan dan hilang ditelan zaman. Klop banget ada buku dan penjual yang mumpuni dan menguasai dunia literasi ya Mbak Annie..bisa lupa waktu kalau hunting sekalian ngobrolin tentang buku di situ
Iya Mbak. Sayangnya saya gak bawa list buku-buku lama yang sudah tidak dicetak atau buku yang tidak boleh edar lagi. Semoga aja bisnis penerbitan buku cetak tetap lestari ya Mbak. Membaca langsung dan pegang buku cetak tuh beda sensasinya ketimbang baca on-line. Kalau saya sih mata tuh udah gak kuat.
Solidaritas nya ya Bu, kalau ga ada di tokonya akan dicarikan di toko teman-teman. Duh, nyes banget bacanya. Semoga para penjual buku di Pasar Palasari ini melek internet ya. Merke juga menjual dafangan mereka di internet.
Alhamdulillah mereka juga sudah jualan di e-commerce. Berapa diantara mereka memang aktif di dunia penjualan on-line.
Memang rasanya teramat menyenangkan berada di tengah-tengah toko buku bekas. Ada banyak sekali buku yang bisa kita sentuh dan baca. Saat kuliah, aku juga sering cari buku di pasar buku bekas yang ada di Surabaya. Terus jaman kerja dan dinas ke Jakarta juga sempat diajakin teman ke pasar buku bekas yang di Senen itu. Eh Seneng ada di mana ya? Lupa aku.
Daerah Senen memang ada pasar buku bekasnya Mbak. Luas banget. Aku juga sering main ke sana dulu, waktu masih kuliah. Terkadang bahkan sering banget nemu buku2 lama yang sudah tidak terbit atau buku-buku yang dilarang edar. Tapi entah kalo kondisi sekarang karena saya dah lama banget gak kesana.
Sayangnya, di Palasari juga banyak sekali yang menjual buku bajakan. Sekarang banyak kios di Palasari yang juga berjualan online di marketpace. Tapi karena reputasi buruk soal buku bajakan itu, malah dobel khawatir kalau beli di kios online-nya.
Btw, sampai juga ya ke pasar tradisionalnya. Aku dulu kalau abis dari pasar buku suka ikut shalat di mushala dekat pasar tradisional itu.
Bener Mbak. Sempat juga saya singgung waktu diskusi dengan si Mas yang jualan buku. Ini yang harus dapat perhatikan supaya publik respect sama mereka.
Duh.. jadi pengen berburu buku ke tempat beginian. Sayangnya di Aceh ga pernah ada pasar buku murah. Moga suatu hari nanti..
Semoga suatu saat Aya yang akan jadi pendiri dan pengelola pasar buku di Banda nantinya. Aamiin Yaa Rabbalalaamiin.
Aku terharu lho Mba di bagian yang si Mas mendoakan biar Mba Annie jadi penulis tersohor. Aamiin.
Aku pun candu sama gaya bertutur dari Mba Annie.
Benar banget deh pesan yang disampaikan sama si Mas tadi itu. Sebelum menulis, sebaiknya memang banyak-banyaklah dulu membaca agar tulisan yang dibuat semakin renyah dan nyaman saat dinikmati oleh pembacanya. Biar kosakatanya makin kaya juga. Senang banget baca cerita tentang jalan-jalan ke pasar buku Palasari yang ternyata kalau jalan terus malah jumpa sama pasar tradisional gini.
Aku sendiri nggak dibesarkan dengan banyak kegiatan mengunjungi pasar buku begini. Mkaanya sepanjang baca cerita Mba Annie, aku serasa diajak jalan-jalan juga. Di awal tahun 2000-an semasa kukecil, adanya hanya perpusda dan toko buku kecil. Itu pun jauh dari rumah, jadi Papa harus menyempatkan waktu luangnya disela-sela waktu mengajarnya di kampus, kalau mau bawa aku ke sana, Mba. Maklum, aku anak pelosok. Aku baru kenal rupa-rupa toko buku saat dibawa migrasi oleh Papa Mama ke Bogor sini, Mba. Jadilah yang kukenal ya toko buku besar saja. Mentok-mentok yang dulu di kawasan dekat Stasiun Pondok Cina, Depok. Tapi itu lapak sih ya, bukan pasar. Ehehehe ….
MashaAllah. Aamiin Yaa Rabbalalaamiin. Makasih sudah melapalkan doa terbaiknya Cha. Semoga Acha pun semakin berkibar di dunia literasi tanah air. Hadir dengan berbagai tulisan penuh warna dan membawa manfaat bagi sesama.
Kenangan masa kecil kita memang begitu mengesankan ya. Meski berbeda pengalaman tapi semua dinikmati dengan manisnya. Saya sendiri ingin mengajak anak-anak saya untuk tetap cinta membaca meskipun mereka sekarang lebih banyak bergumul dengan teknologi terbarukan serta dunia IT. Si bungsu bahkan hingga saat ini masih menyukai novel-novel remaja. Semoga akan berterusan dan terus terwariskan.