
Berkunjung ke Kintamani jadi agenda ke-2 selama kami mengitari Ubud. Setelah sempat berjuang fisik naik dan turun jalur menantang di air terjun Cepung, perut pun lapar dan minta diisi. Saya sih gak ikutan bertarung napas demi air terjun Cepung karena cukuplah pengalaman sudah pernah kesana bareng Dwi dan Mbak Yayuk beberapa tahun yang lalu. Pegelnya kaki dari penjelajahan terakhir sepertinya belum sembuh karena teringat perjuangan balik ke parkiran mobil yang sempat bikin hidup segan mati tak mau. Lebay.
baca juga : air terjun cepung (cepung waterfall). Keindahan tersembunyi diantara pahatan bukit di bangli, bali
Sejujurnya saya sempat maju mundur mau ke Kintamani lagi. Karena waktu terakhir kesana, saya mengunjungi tempat yang sama berulang-ulang. Sebuah resto dengan bangunan lama yang menghidangkan makanan buffet seharga Rp 125.000,-/orang. Resto ini memiliki banyak bale-bale yang ditaruh di sebuah teras terbuka. Dari teras inilah pengunjung bisa menikmati pemandangan Kintamani dan Danau Batur dari sebuah kejauhan. Bonusnya adalah angin dingin yang begitu merasuk sampai ke tulang dan bebas mengambil bercangkir-cangkir kopi atau teh. Tentu saja dengan tenggat waktu nongkrong yang tidak dibatasi. Sampai pengunjung puas pokoknya.
Tapi waktu diajak kembali ke Kintamani dan iseng menjelajah informasi baru tentang area ini lewat media sosial, saya menemukan banyak tempat-tempat baru. Tempat nongkrong kekinian dengan setting-up ngehits yang sering disebut orang sebagai instagrammable atau istagenic venue. Tempat yang tidak saya ketahui sebelumnya.
Ada 2 kemungkinan sih. Pertama, saya yang memang terlambat tahu akan perkembangan Kintamani. Atau kedua, tempat-tempat itu memang baru dibangun dan eksis selama 2 tahun belakangan. Masa dimana saya absen dari berkunjung ke Kintamani.
Jadi saat mobil sewaan kami memasuki area Kintamani, saya mendadak kelabakan sendiri karena banyaknya pilihan cafe yang berbaris dari ujung ke ujung. Bahkan saat Bli Wayan (driver kami saat itu) bertanya tentang cafe mana yang ingin dikunjungi, saya jadi bingung sendiri. Mati gaya gak ada ide.
Karena tak kunjung mendapatkan jawaban dari saya, Bli Wayan langsung mengusulkan The Amora Bali yang menurut beliau sedang jadi pembicaraan dan favorit dari para tetamu yang diantar oleh beliau. Oke lah kalau begitu.
Yok. Saya bersiap diri menjadi saksi indahnya Kintamani di The Amora Bali.

The Amora Bali. Tempat yang Bikin Saya Langsung Terkesan
Deretan mobil memenuhi halaman depan The Amora Bali. Parkir terlihat penuh tanpa sela bahkan untuk 1 mobil pun. Ada sih space tambahan di seberangnya. Tapi itupun juga penuh. Naga-naganya di dalam pasti rame ya.
Melihat kondisi yang ada, Bli Wayan memutuskan untuk menurunkan kami, menunggu di satu tempat dan meminta kami untuk menghubungi HP nya saat ingin dijemput. Baiklah.
Suprisingly. Persis sebelum kami melangkah keluar mobil, hujan deras pun menghujan bumi. Penyambutan spesial yang sudah kami duga karena sedari tadi, selama dalam perjalanan menuju Kintamani, langit mendung tak bersemangat.
Menuntaskan lari-lari kecil menghindari basah dan kemungkinan masuk angin (khususnya untuk saya), kami memasuki The Amora Bali yang terlihat lumayan padat oleh pengunjung. Kesibukan terjadi disana-sini dibarengi dengan suara obrolan dan jejeritan anak kecil yang berlari keriangan di tengah gemuruh hujan yang semakin deras.
Tak ada waitress yang menyambut kami di pintu depan. Hingga salah seorang diantaranya menemui kami saat menuju area teras setengah terbuka yang berada di sisi luar. Sapaan ramah yang mengiringi angin kencang yang mendadak menerpa tubuh dan wajah. Dan masih sangat terasa saat kami menempati meja dan tempat duduk yang mendekat ke pembatas kaca.
MashaAllah. Setelah sekian lama “dirumahkan” karena pandemi, saya tiba di satu tempat dengan sajian pemandangan indah yang healing banget. Saya mendadak mengharu biru. Setelah sempat segan berkunjung ke Kintamani, nyatanya media sosial sudah mengundang saya kembali untuk menikmati salah satu surga lukisan alam yang begitu dirindukan oleh banyak pewisata di Ubud.
Sembari menelusuri buku menu, saya memperhatikan puluhan orang duduk di area ini. Ada yang khusuk makan dan minum bareng keluarga sambil berceloteh ramai. Ada juga yang berusaha memotret meski dalam kondisi yang sedikit gelap.
Terdengar obrolan jawa medhok ala Surabaya yang sudah saya kenal betul. Seperti yang sempat kami obrolkan dengan Bli Wayan sewaktu dijalan menuju ke Kintamani, selama pandemi ini wisatawan memang lebih banyak berasal dari Surabaya atau Jawa Timur. Mereka membawa kendaraan sendiri supaya mobilitasnya lebih nyaman. Yang secara strategis, menurut saya, justru lebih aman secara prokes karena tidak berdekatan dengan orang lain, non-keluarga.
Duh enak betul ya. Tinggal nyebrang selat Bali dari pelabuhan Ketapang di Banyuwangi menuju pelabuhan Gilimanuk, Bali. Gak lebih dari 30 menit kalau gak salah. Dan serunya lagi, dari beberapa tautan yang sempat saya baca, sejak 2015 sudah ada kapal cepat yang bisa membawa wisatawan dari dermaga pantai Boom Banyuwangi menuju Dermaga Jimbaran yang berada di Nusa Dua, Bali. Tentu saja dengan waktu jelajah yang lebih singkat.
Ah. Kapan ya saya bisa off road dari Cikarang menuju Bali bersama keluarga? Menyusuri Pulau Jawa. Berhenti di beberapa tempat/provinsi sambil rekreasi, hingga menyeberang ke Pulau Bali. Bakal seru banget itu pastinya. Tapi rasanya bakalan jauh panggang dari api. Mimpi yang ketinggian. Sayanya pejalan, gatal kaki, sementara suami dan anak-anak lebih senang ngukur kasur dan luasnya rumah yang gak luas-luas. Yah jadi curcol.
baca juga : lezatnya nasi campur bali ala warung wardani

baca juga : menyesap indahnya semesta dan keheningan di bali di alam dania cottage
Saya memutuskan untuk menyisir pinggiran teras dan menarik napas segar dari udara yang ada di sini. Ada rongga di paru-paru yang mengajak saya mengisi oksigen seraya mengagumi Kintamani sepuas mungkin. Di tengah kepungan dingin saya bermunajat, memohon agar hujan bisa segera berlalu agar sajian pemandangan di hadapan jadi lebih clear, cerah, dan tentu saja indah untuk dipotret.
Rezekinya anak sholeha. Doa saya diijabah saat itu juga hanya dalam hitungan menit.
Sambil menikmati berbagai hidangan yang sudah kami pesan, mendadak hujan berhenti dan langit pun pelan-pelan kembali biru terang dengan serangkaian gumpalan awan putih yang malu-malu muncul disana-sini. Secerah senyum yang mendadak muncul di wajah saya.
Saya yakin semua pengunjung bergirang hati karena tak lama kerumuman orang yang ingin merekam saat-saat indah di The Amora BAli mendadak lasak dan gesit memotret di setiap sudut. Sementara saya sibuk memotret food and beverage yang sudah kami pesan. Nantilah foto-foto orangnya yah. Menunggu tamu yang lain puas dulu dan saya bebas berfoto tanpa harus menunggu antrian yang mengular.
Selesai mewujudkan misi memotret makanan dan minuman lalu menghabiskannya dengan sukacita, saya pun mencoba berkeliling di lantai ini. Yang pasti di dekat pintu masuk tadi, ada area dine-in yang lumayan luas. Di salah satu dinding bagian atas, ada satu sepeda ontel yang dipasang sebagai dekorasi. Saya baru ngeh kalau dua roda si sepeda sengaja disambungkan dengan huruf F dan D sehingga membentuk kata FOOD saat mengedit foto. Lucu juga idenya.
Ada juga bar space yang melayani khusus penyediaan minuman dingin dan hangat, khususnya kopi. Saat saya memotret di dekat sini, aroma segar dari kopi tercium sangat kuat. Bikin saya kangen rumah.
Secara keseluruhan di lantai dasar/1 ini tidak banyak dekorasi dalam ruang yang bisa dinikmati. The Amora Bali sepertinya fokus menyediakan tempat makan yang bisa menampung banyak tamu. Begitupun di teras. Hanya ada banyak meja kotak putih dengan sejumput bunga yang ditaruh di sebuah vas langsing dan tempat duduk hitam plastik yang menyerupai salur bambu. Furniture yang memang pas untuk luar ruang karena tahan dengan segala cuaca.
Saya lalu menyusuri lantai bawah sekalian buang air. Tempat ini ternyata lumayan luas. Muatlah untuk sekitar belasan orang di dalam juga belasan orang di teras luar. Selain setting up yang mirip dengan lantai dasar/1, disini juga ada perlengkapan lengkap untuk sajian buffet. Peralatannya lengkap banget. Nuansanya seperti lagi kondangan. Berderet tembikar dalam berbagai ukuran tertata rapi. Begitupun dengan piring dan gelas serta cangkir.
Dari keterangan seorang petugas yang sedang bersih-bersih, tempat ini biasanya digunakan khusus untuk tamu dalam bentuk grup atau acara-acara pribadi. Eh, memang cocok juga ya kalau mengajak teman-teman makan-makan bareng disini sambil merayakan ulang tahun misalnya.




Saya bersegera kembali ke lantai dasar/1 saat melihat cahaya matahari mulai menembus jendela kaca. Wah cuaca dan nuansa terang sepertinya sudah sangat kondusif untuk merekam indahnya Gunung Batur, Danau Batur dan hutan yang berada di sekitarnya yang pasti sudah berkolaborasi cantik dengan langit biru dan awan putih yang berarak muncul.
Dan dugaan saya tepat.
Saya pun langsung mengambil gambar sepuas mungkin. Sebanyak yang saya bisa. Merekam kesempatan emas yang bakal jarang saya nikmati saat berada di rumah, di Cikarang, sebuah daerah industri yang padat dengan bangunan beton. Bahkan indahnya alam hijau tetap tidak bisa terlihat saat saya berada di teras rumah saya yang berada di lantai 2.
Persis dan sama luar biasa menariknya dengan beberapa foto dari para pengunjung yang berkesempatan mengunjungi The Amora Bali.
Begitupun saat rombongan kami hendak meninggalkan resto dan cafe ini. Saya beranjak ke lantai 2 lewat sebuah tangga yang berada di salah satu sisi resto bagian dalam.
Di lantai ini luasnya sama persis dengan kedua area yang berada di bawahnya. Tapi disini lebih redup dengan dapur terbuka di salah satu sisi. Melangkah masuk, saya mendapatkan teras berbentuk L yang extraordinary pemandangannya.
Saya menemukan sebuah spot foto dengan instalasi berbentuk hati di salah satu sudut terbaik. Bagi sebagian orang, instalasi seperti ini menjadi idaman tempat foto hanya untuk mereka yang senang bermedsos ria. Seperti saya pastinya. Tapi dibalik kegemeran berpose ini sesungguhnya ada beberapa tujuan yang ingin saya wujudkan. Khususnya terkait dengan salah satu pekerjaan saya. Sebagai seorang travel blogger dan instagram addict, membagikan sembari mereferensikan destinasi wisata dalam bentuk foto dan artikel, punya kebahagiaan dan kesenangan tersendiri.
Jadi maapken ya. Kalau pergi ngelencer dengan saya tuh, musti kudu rela dan sabar nungguin saya untuk memotret segala hal. Mulai dari foto minuman, makanan, apalagi sekian banyak sudut istimewa yang ada di tempat yang saat itu dihampiri. Kadang (baca: sering) harus menahan malu karena saya musti pencilak’an kesana-kemari hanya untuk memotret.

Saya dan rombongan tadinya sudah ingin bersegera kembali ke mobil, tapi tetiba sudut mata saya menangkap sebuah tempat makan luar ruang yang juga ada di lantai ini. Di salah sudut yang nyaris tidak terlihat. Terik matahari menyinari sekelompok meja dan kursi plastik putih yang dikelilingi oleh air menggenang yang tersisa dari hujan tadi. Tak ada satupun tamu disitu karena memang semua terlihat masih basah kuyup. Di sisi luarnya ada sederetan tanaman horisontal yang tersusun rapi berderet di beberapa standing pot setinggi dengkul orang dewasa.
Ya ampun. Cakep banget.
Bergegas saya ke teras tersebut dan tertegun dengan paket hiburan indera penglihatan yang cakep tak terkira. Hanya dengan beberapa langkah, ternyata semesta mengijinkan saya menikmati bonus keindahan ini dalam suasana sepi manusia. Jadi kami bebas memotret dan jejeritan seneng (itu saya) karena hasil foto yang tercipta layaknya hasil kerjaan photographer professional.
Lantai keramik yang unik, furniture serba putih, rerumputan berwarna hijau lembut, terasa begitu pas dengan hijaunya pegunungan, birunya langit dan putihnya awan. Dan saya pun makin terlonjak dan terpana sejak jepretan pertama terlihat di layar HP. Saya terlihat seperti sedang berfoto di studio dengan background lukisan alam yang begitu sempurna.
Bahagia tak terhingga. Hasil sederetan foto di spot ini terasa bagai hadiah perjalanan yang sungguh tidak terduga.

Signature Amora Pizza dan Kintamani Citrus Yang Jempolan
baca juga : mengagumi seni dan keindahan tembikar di serayu pottery & terracota, ubud, bali
Gak lengkap dan adil rasanya jika saya hanya membuat ulasan tentang tempatnya tanpa merangkai pendapat soal makanan dan minumannya. Setelah melewati serangkaian pilihan yang banyak banget di buku menu, kami akhirnya memesan kombinasi masakan Eropa, Nusantara dan Thailand. Tentu saja dengan salah satu alasan biar foto makanannya cantik dan kaya untuk dibahas. Terniat.
Untuk makanan kami memesan Spaghetti Carbonara (49K), Seafood Tom Yum Soup (45K), Grill Tuna Steak (68K), Signature Amora Pizza (small) (75K) dan Nasi Goreng (39K). Sementara untuk minuman adalah Tea Mug (18K), Cappucino (35K), Ginger Tea (22K) dan Kintamani Citrus (29K). Semua jika total berikut dnegan 15% pajak menjadi sekitar 470K.
Gimana rasanya?
Untuk apa yang kami pesan, dari segi rasa tidaklah begitu istimewa. Meskipun tidak juga flat atau tasteless. Rasanya hanya “kurang menggigit saja” alias bumbunya kurang berani. Bagi mereka yang tidak terlalu picky akan jenis makanan apapun, tentu tidak masalah. Yang paling saya sukai dari kesemuanya adalah Signature Aroma Pizza dan Kintamani Citrus nya.
Sebagai penggemar pizza tipis dan gurih, pizza yang kami pesan ini asik banget. Gurih, lembut tapi garing dan tetap renyah. Duh nyesel rasanya cuma order yang small. Harusnya pesan yang lebih gede biar lebih puas.
Nah minuman Kintamani Citrus nya nih saya suka banget. Meskipun cuaca dingin, saya tetap memutuskan untuk memesan minuman dingin yang menyegarkan tenggorokan. Kombinasi lemon dan tehnya bercampur begitu sempurna. Gulanya pun gak over dosis. Sepadan dengan efek segar nyelekit yang timbul dari lemon. Visualnya juga cantik. Dengan tambahan daun citrus dan potongan lemon serta es batu, Kintamani Citrus jadi tampil begitu menggoda. Saya sampai habis 2 gelas dalam waktu singkat saking doyannya. Segarnya itu loh. Gak ada banding, gak ada obat.
Oia, plating makanannya pun juga menarik. Piring berwarna pucat membuat isi dari si piring tampak dominan. Sentuhan tim dapur The Amora Bali setidaknya memberikan saya ilmu tentang bagaimana mengatur masakan yang ingin diabadikan.



Kesan Tak Terlupakan Untuk Kintamani dan The Amora Bali
Bagi saya, ibu-ibu yang tinggal di kawasan industri dengan alternatif rekreasi yang terbatas, bisa “membebaskan diri” terbang ke Bali untuk berlibur, bagaikan berada di restoran dengan semua menunya adalah kesukaan dan atau pilihan pribadi. Bisa memesan dan makan apapun yang bisa dipastikan sesuai dengan selera lidah diri sendiri. Kepuasan yang totalitas tanpa batas dan tanpa ada yang boleh protes. Seperti layaknya paket data internet seumur hidup gratis, tanpa harus bayar sepeserpun. Cocok gak itu analoginya?
Cocokin aja lah ya.
Meskipun jumlah waktu berada di Kintamani tak lebih dari 3 jam, saya mendapatkan hiburan istimewa dan pemandangan alam yang jarang banget bisa saya nikmati. Di Cikarang, mana ada gunung. Pohon aja jarang. Kering kerontang. Udaranya pun panas menyengat. Yang banyak itu ya tukang ojek, mobil container, pegawai pabrik dan semua kesibukan yang berhubungan dengan industri.
Jadi saat bisa ngelencer ke pulau dewata dan menjejak memori di The Amora Bali, saya enggan untuk beranjak. Bahkan ketika melanjutkan perjalanan ke tempat lainnya, di mobil saya langsung feeling blue. Saya membayangkan bisa ke Kintamani kapanpun saya mau. Merasuki raga dengan ciptaan Tuhan dari satu cafe ke cafe yang lain. Meski menikmati pemandangan yang sama.
Ingin juga, kapan-kapan menginap di seputaran sini berhari-hari supaya bisa mengeksplorasi daerah Kintamani dengan lebih rinci. Tempat yang katanya memiliki view sun rise terbaik di Bali. Menantikan matahari muncul di sela gunung dan awan yang sedang mengatur dirinya untuk beranjak tinggi. Turun ke Danau Batur yang sekarang pinggirannya sudah dipenuhi oleh berbagai penginapan, resto dan photo spot yang ciamik luar biasa.
Tapi yang pasti saya ingin menyaksikan indahnya Kintamani dari terasnya The Amora Bali. Bisa sambil ngopi-ngopi atau menyesap kembali segarnya Kintamani Citrus sembari mengunyah signature pizzanya yang sangat saya sukai itu. Dengan seorang sahabat yang klop dihati juga bakal asik. Sembari bertukar cerita, kisah apapun itu. Mentertawakan semua kejadian lucu yang pernah terjadi atau memaknani semua pelajaran dan pengalaman hidup yang sudah kami lalui.
Tentukan akan lebih berkualitas jika yang menemani adalah suami tercinta. Bolak-balik nongkrong di The Amora Bali dan serangkaian resto & cafe yang juga beroperasi di sekitar situ, seraya menyegarkan masa pensiun dan menua bersama di Bali. Punya rumah kecil sebagai tujuan anak-anak dan cucu-cucu berlibur sambil bersenda gurau di tengah keindahan alam yang tiada banding.
Quality times with the loved ones anytime.
Galeri Foto







