Menjejakkan kaki di Taman Purbakala Waruga, cagar budaya bersejarah di desa Sawangan, kecamatan Airmadidi, Minahasa Utara, mengajak saya untuk kembali ke masa lampau. Masa dimana Minahasa Utara mengukir budaya kuno yang akan dikenang sepanjang hayat. Sebuah rangkaian artefak budaya tentang pemakaman yang pernah berlangsung ratusan tahun yang lalu
Pagi Hari Menuju Taman Purbakala Waruga
Subuh menjelang. Saya melirik jam digital yang ada di gawai. Pkl. 06:00 wita. Berarti saat itu di rumah saya baru pkl. 04:00wib.
Tubuh saya menggeliat berjuang dengan kondisi melawan perbedaan waktu dua jam antara Waktu Indonesia bagian Timur dan Waktu Indonesia bagian Barat. Tapi jadwal hari ini, mengunjungi beberapa tempat penting di kota Manado dan Taman Purbakala Waruga di Sawangan, Airmadidi, Minahasa Utara, telah membakar semangat itu sekaligus mengusir rasa segan untuk menggerakkan tubuh.
Saya bergegas mandi, berpakaian sepantas dan senyaman mungkin, lalu melangkah ke restoran milik hotel tempat saya menginap untuk mengisi lambung agar bisa menikmati serangkaian perjalanan tanpa gangguan lapar dan dahaga.
Seperti yang sudah dijadwalkan, Axel, tour guide saya selama berada di Manado, sudah siap di area lobby hotel sesuai janji yang sudah kami sepakati sehari sebelumnya.
Axel menyapa ramah dan memastikan bahwa tidak ada perubahan jadwal perjalanan saya hari itu. Saya mengangguk pasti sembari memastikan bahwa dia pun telah mempersiapkan fisik untuk sebuah rangkaian perjalanan jauh. Karena untuk mencapai Taman Waruga di Sawangan, Airmadidi, kami butuh perjalanan darat sekitar dua jam. Tentu saja dengan catatan bahwa lalu lintas dalam kondisi normal tanpa kemacetan yang berarti.
“Kalau saya selalu siap Ibu. Sudah jadi pekerjaan sehari-hari,” jawab Axel dengan nada riang tanpa beban.
Saya tersenyum lega. Suka banget dengan keramahan dan bawaannya yang selalu riang tersebut. Karakter yang memang seharusnya dimiliki oleh mereka yang bekerja dalam bisnis jasa perjalanan.
Sejenak kemudian saya memutuskan untuk mampir di sebuah mini market yang berada tak jauh dari hotel untuk membeli berbotol-botol air mineral dan beberapa bungkus camilan untuk persediaan konsumsi selama dalam perjalanan.
“Kalau masih mengantuk, Ibu bisa sambung tidur saja.” Usul Axel tersampaikan saat melihat saya menguap beberapa kali. “Perbedaan waktu dua jam pastinya cukup berpengaruh pada kondisi biologis ya Bu.”
Saya tertawa ringan. Mendadak ingat saat harus bekerja di luar negeri dengan kondisi yang sama puluhan tahun yang lalu.
“Duh sayang banget kalau dibawa tidur Xel. Bisa terlewat semua nanti keindahan dalam perjalanan.”
Axel mengacungkan jempol.
Keputusan ini ternyata tepat. Sepanjang perjalanan di jalur yang berkelok-kelok dan di beberapa titik jalur yang dilewati, saya bisa menyaksikan kesibukan desa dan atau perkampungan yang ada di kabupaten Minahasa Utara.
Saya juga menyaksikan beragam bentuk bangunan gereja setiap – setidaknya – jarak sekitar 1km dimana setiap kampung berada. Ada yang dibangun dengan semen permanen dan fasad yang tinggi serta tampak megah. Tapi ada juga yang masih berdindingkan semen tipis atau kontruksi kayu seadanya. Cukup sederhana untuk dilamati.
Selain gereja, di sepanjang perjalanan saya juga melihat beberapa rumah panggung berbahan dasar kayu yang terlihat masih kokoh tegak berdiri. Jumlahnya tidak banyak karena sebagian besar rumah penduduk sudah didirikan dengan bahan dasar batu dan semen selayaknya rumah masa kini.
Kegiatan perdagangan pun bisa terlihat dengan beberapa warung kelontong dan mini market dari beberapa jenama yang sudah beredar di tanah air.
Saya bahkan beberapa kali bertemu dengan truk bak besar yang mengangkut berbagai hasil perkebunan dan pertanian.
Rangkaian pemandangan dan situasi yang mengisyaratkan bahwa kabupaten Minahasa Utara bergerak aktif dan menggeliat maju dalam dunia perekonomian, khususnya perdagangan.
Kendaraan-kendaraan besar ini pulalah yang sempat beberapa kali menghambat kecepatan banyak kendaraan untuk bergerak dengan leluasa. Selain tentu saja dengan alasan bahwa lebar jalan yang tidak terlalu luas. Hanya ada dua jalur yang pas untuk berbagi kendaraan di dua arah.
Sekilas Tentang Taman Purbakala Waruga
Saat beberapa kali harus melambatkan laju mobil bahkan berhenti dalam beberapa menit, saya mengisi waktu luang dengan membuka gawai, mencari lalu menemukan beberapa informasi tentang Taman Purbakala Waruga.
Saya terhenyak dengan beberapa realita bahwa selain menyimpan jejak sejarah zaman megalitikum, Taman Purbakala Waruga adalah cerminan seni budaya dari masyarakat Minahasa Utara di zaman lampau.
Kala itu, sekitar abad ke IX, penduduk Minahasa Utara membangun waruga, kuburan tua, bagi setiap warganya yang wafat. Kata waruga yang berasal dari wale yang berarti rumah dan maruga atau ruga yang berarti raga yang menjadi hancur, adalah sebuah kuburan yang dibuat dari balok batu yang berongga.
Balok batu ini memilik lebar sekitar 50-100cm, tinggi kurang lebih 100cm, serta memiliki cungkup dengan bahan yang sama. Di bagian pinggir cungkup ini terdapat ukiran atau pahatan yang mencerminkan profesi dari jenazah yang ada di dalam rongga tersebut. Kemudian ada sejumlah goresan garis yang mengindikasikan jumlah dari nenek moyang orang yang bersangkutan.
Setiap jenazah yang dimasukkan ke dalam balok batu ini dimasukkan dalam rongga batu dengan posisi jongkok dan mulut bertemu dengan lutut. Dari setiap artikel yang saya baca, kondisi ini mewakili pemahaman tentang bayi yang berada di dalam rahim ibu yang dalam bahasa penduduk setempat dikenal dengan kata whom. Kita lahir dan wafat dalam kondisi yang sama.
Cara pemakaman seperti ini kemudian dilarang oleh pemerintah Belanda sejak 1860 yang menjajah kita di masa itu. Alasannya lebih kepada higienitas lingkungan dan pada suatu waktu sempat timbul wabah penyakit yang salah satu sumbernya dicurigai berasal dari jenazah yang membawa penyakit hingga bakteri. Virusnya kemudian menembus dan atau keluar dari rongga batu.
Alasan lain berhentinya kegiatan mengubur dalam batu ini adalah karena di masa itu agama Kristen (mulai) masuk ke Minahasa. Jadi peradaban pun mulai berubah seiring dengan mulai pudarnya kepercayaan zaman kuno.
Saya menutup gawai dengan kekaguman dan penasaran ingin segera sampai di Taman Purbakala Waruga.
Ternyata ya begitu panjang catatan sejarah yang bisa kita kulik dari tempat bersejarah ini. Saya langsung membayangkan bakal melihat perpaduan sempurna antara keindahan alam sebuah desa dan jejak sejarah yang membawa kita ke masa lalu.
Tak lama kemudian pertanda ketibaan bernyanyi di gawai Axel. Saya langsung menebarkan pandangan ke jalan. Mobil kami kemudian berjalan perlahan hingga akhirnya menemukan sebuah signage yang sangat besar di sisi kiri jalan.
Tumudipene. Elekenpelako Un. Taman Purbakala Waruga. Wanua Sawangan. Minahasa Utara. Tulisan yang kira-kira berarti Ayo Singgah di Taman Purbakala Waruga.
Jejak Sejarah yang Mengagumkan
Mengikuti signage di depan tadi, mobil pun berjalan perlahan. Ada beberapa rumah penduduk yang harus kami lewati sebelum akhirnya bertemu dengan sebuah area parkir mobil di sisi kiri dan sebuah rumah panggung kayu yang sangat tinggi, serta lahan terbuka di bagian kanan jalan.
Saya turun dari mobil, meluruskan pinggang, lalu menebarkan pandangan ke segala arah. Ada beberapa anak kecil mendatangi kami dan menginformasikan bahwa sang juru kunci kompleks makam sedang tidak berada di tempat.
Sejenak rasa kecewa berhembus ke dalam hati. Tapi Axel membesarkan hati saya sembari mencari info dari penduduk yang rumahnya berada di sekitar kompleks tersebut. Ternyata memang benar, dua orang juru kunci makam sedang pergi. Tapi anak perempuan berusia 10 tahun yang menegor saya tadi ternyata punya pengetahuan yang cukup untuk menjadi tour guide cadangan. Meski bahasa Indonesianya belum begitu sempurna, kepiawaiannya dalam mengurai penjelasan cukup menambah pengetahuan saya akan Taman Purbakala Waruga.
Dan penelusuran pun dikawal oleh si gadis cilik.
Dari area parkir tadi, saya menjejakkan langkah melewati sebuah jalan khusus dengan pijakan batu-batu koral besar-besar dan sudah disemen, tertata dengan baik. Sepanjang jalan ini ada dinding setinggi sekitar 2meter yang di dalamnya terdapat serangkaian relief yang menceritakan tentang proses pembuatan waruga, pekerjaan pemahatan batu hingga memasukkan jenazah serta memasangkan cungkup di bagian atasnya.
Sama seperti berbagai pahatan yang dikerjakan untuk candi, rangkaian relief ini seakan berbicara untuk dirinya sendiri. Ada nilai ritual dan religius yang sangat penting bagi suku Minahasa khususnya rakyat setempat.
Kompleks makam tua ini tampak dipagari sekelilingnya dengan satu gerbang masuk dan pagar besi dua bukaan. Sebuah rantai kokoh dan gembok besar mengunci gerbang tersebut. Tapi karena besinya berjarak, saya masih tetap bisa memotret beberapa waruga di barisan depan. Susunan makamnya cukup rapi, menyebar seimbang ke kanan dan ke kiri. Dalam beberapa titik terlihat beberapa tanaman yang tampak terpelihara dengan baik. Kebersihan area makamnya pun terjaga.
Saya berjinjit berusaha mengambil posisi memotret dengan sebaik mungkin. Saya tak bisa menghitung jumlahnya karena keterbatasan jangkauan penglihatan, tapi menurut si tour guide cilik jumlahnya ada sekitar 143-145 buah. Ada yang berukuran kecil untuk satu jenazah, ada juga yang berukuran cukup besar untuk satu keluarga. Muat untuk 12 (dua belas) orang katanya.
Saya bergidik. Pilihan terakhir tentunya butuh usaha yang tidak sedikit karena meskipun – mungkin -setiap anggota keluarga tidak wafat dalam waktu yang sama atau berdekatan, memasukkan jenazah diantara tulang belulang yang tersisa pasti menegangkan.
“Ada beberapa tulangnya yang diambil dan dibawa ke museum sana,” ujar si gadis sambil menunjuk rumah kayu panggung yang saya lihat tadi.
Saya mengangguk pelan meski tetap tak bisa menahan rasa takjub.
Saya kemudian mengatur lensa kamera dalam posisi zoom. Apa yang sempat saya baca tadi di perjalanan terbukti. Di bagian cungkup waruga, ada pahatan dan serangkaian garis.
Di salah satunya ada goresan bergambar bayi. Menurut artikel tadi, ini menandakan bahwa sang jenazah dulunya berprofesi sebagai dukun beranak.
Saya kemudian langsung memahami, di abad saat manusia belum memahami huruf, mereka mewakili maksud dan pikiran mereka dengan sebuah gambar. Sebuah saksi biksu di satu masa peradaban serta sejarah kehidupan masyarakat tentang tradisi leluhur dan apa yang terjadi saat itu. Khususnya bukti fisik dari serangkaian tradisi pemakaman yang terjadi di Minahasa Utara.
Usai memotret dan membuat rekaman video secukupnya, si tour guide cilik mengajak saya untuk melihat museum kecil yang ada di rumah kayu panggung tadi. Rumah yang adalah wujud dari rumah adat Minahasa.
Lantai duanya cukup tinggi menurut saya. Terlihat dari tangganya yang cukup curam. Tadi sebelum naik saya sempat melihat serangkaian huruf-huruf besar yang bertuliskan “Waruga Sawangan.” Huruf-hurufnya terlihat mulai rapuh begitupun dengan salah satu sisi tangga rumah kayu yang saya datangi itu.
Axel dan si tour guide cilik mengingatkan saya untuk melangkah perlahan karena deritan kayu yang diinjak terdengar cukup keras. Wah sayang sekali ya kalau tidak dipelihara dengan baik karena saat saya berhasil menjejak lantai dua ini, saya bisa memandangi Taman Pubakala Waruga dari ketinggian yang sangat menghibur indera penglihatan.
Dari lantai dua rumah kayu ini saya melihat bahwa area perkuburan ini bukan hanya diisi oleh waruga yang sudah berusia ratusan tahun, tapi juga pemakaman umum dari berbagai agama. Jadi jika dihitung dari satu ketinggian tempat saya berdiri, luas kompleks pemakaman ini adalah sekitar belasan ribu meter persegi.
Saya melangkah perlahan. Di lantai dua rumah ini ada beberapa lemari kayu yang berisikan beberapa artefak, peninggalan fisik, dari pemakaman.
Ada tulang belulang, manik-manik, benda-benda logam, gelang-gelang perunggu, piring keramik, dan beberapa barang-barang kecil yang dulu ikut dimasukkan ke dalam waruga, seperti keris, perhiasan, pisau, tombak, yang semuanya dalam ukuran kecil.
Ada juga waruga yang terbuat dari batu dalam ukuran mini. Saya tak berani memegang meskipun si tour guide cilik mengizinkan. Tapi karena terbuat dari batu asli, saya yakin waruga mini itu cukup berat untuk diangkat.
Selain artefak yang membangkitkan rasa penasaran itu, di rumah ini juga dihadirkan beberapa foto hitam putih yang menghadirkan orang-orang penting yang pernah berkunjung ke Taman Purbakala Waruga setelah Indonesia merdeka. Diantaranya adalah ratu dan raja dari Belanda, Inggris dan juga Belgia.
Kemudian ada beberapa foto pada saat peresmian tempat bersejarah ini. Terlihat kedatangan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di masa Orde Baru, Bapak Daud Yusuf, yang membubuhkan tanda tangannya di sebuah plakat bertanggal 18 Oktober 1978.
Tak banyak memang jejak-jejak sejarah yang tertinggal di sini karena sebagian besar produk tertinggal, termasuk beberapa waruga, sudah dipindahkan ke museum di Manado (sayangnya si tour guide cilik tidak bisa menyebutkan nama dari museum tersebut).
Sebelum melangkah pulang, saya kembali berdiri di salah satu jendela rumah yang menghadap ke area waruga. Tampak sebuah situs warisan tradisi zaman megalitikum yang tertata dan dipelihara dengan baik. Berderet-deret batu berdiri vertikal dengan posisi yang berderet rapi.
Warga Sawangan tentunya bangga, bahwa daerah mereka – salah satu tempat pertinggal waruga – telah menjadi obyek wisata sejarah dan pendidikan yang patut dilestarikan sepanjang masa. Ada perpaduan sempurna antara keindahan alam dan jejak sejarah yang menghubungkan kita ke masa lalu.
Dari seorang teman yang memiliki pengetahuan mumpuni tentang budaya Minahasa, saya mendapatkan informasi bahwa waruga adalah kuburan atau rumah jiwa orang Minahasa dari zaman megalitikum. Dimana di dalamnya tersimpan eksklusif ingatan perjuangan kehidupan orang Minahasa. Waruga atau rumah jiwa terbagi menjadi 2 (dua) bagian. Badan waruga dan penutup waruga. Bagian atas atau penutup menampilkan simbol hubungan antara manusia itu dengan Sang Pencipta sementara bagian bawah menangkat simbol hubungan manusia dan alam semesta. Tidak semua penutup waruga berbentu segitiga. Tapi banyak juga penutupnya berbentuk segitiga. Hal yang paling menarik dari waruga adalah bahwa kuburan itu dibuat sendiri oleh orang yang akan meninggal dan waruga hanya ada di Minahasa.
Catatan : Yang berminat untuk mengetahui lebih jauh tentang Taman Purbakala Waruga, bisa berselancar ke www.warugasawangan.wordpress.com. Dapatkan beberapa rincian fisik yang bisa menambah pengetahuan kita tentang situs bersejarah yang satu ini.
Wah, udah jauh banget travelingnya mbak, udah sampe minahasa utara sana. Saya setuju banget, obyek wisata sejarah dan pendidikan yang patut dilestarikan sepanjang masa buat kenang-kenangan anak cucu kita nanti. Soalnya kami juga suka banget berwisata sejara seperti ini.
Alhamdulillah. Setelah puluhan tahun yang lalu hanya sempat snorkling di Bunaken, sekarang saya bisa menjelajah lebih jauh dengan destinasi wisata yang sangat berharga.
Minahasa Utara ini tempat kelahiran saya Mba Annie. Tapi bukan di Airmadidi nya sih.
Jadi kangen deh, sejak meninggalkan daerah ini di usia 5 tahun, kirain bisa balik lagi untuk berkunjung, tapi sampai sekarang belum terlaksana. Keren banget Mba Annie sampai jauh banget traveling di tempat yang anti mainstream :)
Kebetulan suami ada kerjaan di Manado Mbak Rey. Saya jadi bisa ikutan nebeng jalan-jalan. Alhamdulillah kepikiran untuk menjelajah beberapa kabupaten dan menikmati beragam tempat wisata yang ada di Sulawesi Utara.
Menarik menyimak kisah tentang peninggalan masa lalu. Btw, kuburan batu waruga ini sekaligus mengingatkanku pada kuburan batu di Nias.
Nah Nias tuh saya penasaran Mbak Retno. Hanya Nias tempat di Sumatera yang belum saya kunjungi. Pengen banget suatu saat bisa sampai sana. Ada loncat batu dan pekuburan batu yang menarik untuk dikunjungi dan ditulis.
Iyaya, kita bisa tahu kisah pada jaman dahulu lewat gambar-gambar yang tertera di bagian dinding atau stupa. Sehingga jadi tergambar pada masa itu ada apa dan siapa tokohnya.
Dan satu lagi, salut dengan kegigihan Bu Annie meski harus ada effort sambil berjinjit hehe, dan hasilnya memuaskan juga ya dapat momennya
Pas jinjit itu saya baru merasakan pentingnya tongsis. Punya tapi lupa dibawa hahaha.
Tempat yang sangat direkomendasikan untuk mengajak anak- anak datang ke sini, ya. Banyak hal yang bisa dipelajari. Tempat dan suasananya juga mendukung banget jadi lebih sakral..
Minahasa bagian dari gugusan pulau Sulawrsi memiliki banyak potensi wisata beragam dan menarik. Selain alam yg indah juga cagar budaya seperti Waruga yang memiliki nilai adat cukup tinggi dan menjadi salah satu percontohan pelestarian dan dapat menjadi ikon heritage di Indonesia khususnya sulawesi utara.
Disamping itu berkunjung ke cagar budaya Waruga juga bisa lebih memahami tradisi pemakaman kuno Suku Minahasa.
Wuih udah di Minahasa aja deh Mbak Annie. Semangat. Kalau dilihat, seni pahat leluhur bangsa kita di Minahasa cantik-cantik ya. Bisa dibilang levelnya udah tinggi. Pasti dulu mereka kreatif banget.
kebetulan abis nonton videonya Jiah, YouTuber Korea Selatan yang solo traveling di Menado
ternyata banyak destinasi wisata di sini ya?
Jadi gak sabar tabungan penuh dan solo traveling ke Taman Purbakala Waruga seperti Jiah
Ibuku ga pernah berhenti cerita mengenai airmandidi.
Memang pecinta sejarah, wajib banget berkunjung ke tempat wisata ini yaa..
Ka Aniek mashaAllaa.. perjalanan dan tantangan travellingnya luar biasaaa…