

Ke JAKARTA. Yeay!!
Bagi beberapa, mungkin banyak teman-teman yang mengira saya tinggal di Jakarta. Dulu iya. Sempat tinggal di Jakarta Barat nebeng orang tua selama kuliah dan awal-awal kerja lalu hidup mandiri (baca: ngekos di selatan Jakarta) karena mendekati kantor. Setelah menikah, juga dengan alasan mendekati tempat kerja dan kelahiran anak sulung, saya pindah ke Cikarang, Kabupaten Bekasi, JAWA BARAT sejak 2001. Jadilah status saya berpindah dari warga DKI JAKARTA menjadi warga JAWA BARAT.
CIKARANG ini masuk dalam Kabupaten Bekasi ya bukan Bekasi Kota. Letaknya tuh nanggung banget. Yang kata banyak orang tuh BEKASI CORET. Kota enggak tapi pusat provinsi juga enggak. Jaraknya ke sisi terujung Jakarta (Halim), kalau lewat tol Cikampek, sekitar 35km. Sementara ke Bandung, pusat kota Jawa Barat, itu 114km lewat Tol Cikampek lalu menyambung Tol Cipularang. Tapi meskipun ke Bandung lebih jauh, kami sekeluarga lebih prefer main ke Bandung ketimbang ke Jakarta.
Kenapa? Karena meski jaraknya lebih pendek, biasanya kami butuh setidaknya 2 jam untuk mencapai Jakarta. Itu dengan catatan bahwa kondisi lalu lintas normal. Tapi sayangnya jarang banget seperti itu. Seringnya sih bumper to bumper traffic jam and it will takes approximately 2.5 hours to reach Jakarta. Apalagi saat jam-jam berangkat dan pulang kerja plus datang dan perginya segerombolan truk dan container plus bis semog 45 seats antar provinsi dari dan ke Jakarta. Mereka ini kalau sudah turun ke jalan, selalu dominan menguasai. Mobil-mobil biasa tuh terasa terintimidasi total. Bahkan dalam waktu-waktu tertentu, seperti masanya loading di Tanjung Priuk untuk kegiatan export, semua kendaran beroda lebih dari 4 ini, bakal ngantri di Cikampek dengan rapihnya.
Tapi kali itu saya ingin banget main ke Jakarta di hari kerja menuju weekend. Alasan utamanya adalah ingin datang ke INACRAFT 2022 yang diadakan di Jakarta Convention Centre (JCC). Sebuah pameran handicraft terbesar dan setahu saya masih yang terbaik di tanah air. Eksebisi tahunan yang sempat tidak diadakan selama 2 tahun belakangan karena pandemi. Jadi saat event ini diadakan kembali dengan (katanya) segala keterbatasan, saya pun langsung mengatur waktu, booking tiket masuk secara daring, dan berkomunikasi dengan teman-teman yang menjadi exhibitors.
Alasan kedua adalah mengunjungi KFC NAUGHTY by NATURE yang berlokasi di Senopati, Jakarta Selatan. Premium fast food store ini sudah lama saya incar. Karena selain memiliki tempat dengan dekorasi yang sophisticated, impian ingin merasakan ayam goreng iconic KFC dengan menu tambahan yang khas dan berbeda dari gerai-gerai KFC seperti biasanya (reguler) sudah bulanan tertahan. Dan itu sungguh menggugah selera dan tentu saja melahirkan pengalaman kuliner yang baru.
Baca Juga : KFC NAUGHTY by NATURE. ASUPAN CEPAT SAJI BERKUALITAS, BERKUANTITAS dan BERKELAS di SENOPATI JAKARTA
Alasan ketiga adalah ingin melihat salah satu sisi Jakarta dari sebuah ketinggian di sebuah SKYWALK yang berlokasi di SENAYAN PARK (SPARK) MALL yang cuma selemparan kaos dari JCC (tempat dilaksanakannya INACRAFT 2022). Dan ternyata keputusan untuk kesini tuh bener-bener entertaining. Saya harus berterimakasih nih kepada beberapa blogger dan atau media social influencer yang sudah berulangkali menghadirkan foto-foto ciamik dari Skywalk sehingga saya penasaran sampe ke ujung rambut. Bonusnya pulak ada beberapa spot foto di lahan belakang SPARK yang ciamik banget.
Baca Juga : BERWISATA SERU di SENAYAN PARK
Alasan keempat adalah mengunjungi SARINAH. Tempat yang memorable dan sudah berganti wajah total. Yang menurut saya sih bisalah dikategorikan sebagai face-off. Sarinah yang tahunan menjadi icon dari classy and high-class sejak saya masih kecil ini betul-betul bikin saya penasaran dengan wajah barunya itu. Dan lagi-lagi media sosial lah yang bikin rasa itu semakin membuncah.
Alasan kelima adalah berfoto di beberapa jembatan penyeberangan yang belokasi di Sudirman dan Thamrin. 2 jalan protokol utama DKI Jakarta. Dua diantara adalah jembatan penyeberangan di depan GELORA BUNG KARNO (GBK) dan jembatan PHINISI yang persis di depan Hotel LE MERIDIEN yang belum lama diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta, Bapak Anies Baswedan. Dua-duanya ciamik luar biasa. Struktur dan rancang bangunnya selalu dapat pujian. Terutama saat melihat sekian banyak photographer yang sudah dengan apiknya menghadirkan sudut tercantik di Instagram mereka.
Dan yang terakhir adalah berkunjung ke TACO BELL yang berlokasi (juga) di Senopati. Tidak jauh dari KFC NAUGHTY by NATURE yang saya kunjungi sehari sebelumnya. Datang dan membeli aneka sajian khas Mexico ini sebenarnya memenuhi keinginan anak-anak. Bahkan sebelum saya berangkat ke Jakarta, anak-anak sudah punya pilihan apa yang mau dibeli dan dimakan. Saking kepengen dan tidak sabarnya, si sulung meminta agar saya take away saja supaya tidak lama menunggu.
Yah tak apa. Apa sih yang tidak buat anak-anak? Apalagi emak-emak kan? Saban pergi keluar terus pulang, anak-anak musti nanya emaknya bawak apa. Jadi meski anak-anak saya sudah beranjak dewasa, tetap aja nanyain oleh-oleh layaknya bocah-bocah SD. Anehnya suami juga jadi ketularan. Lengkap sudah.
Nah dari segerbong keinginan tersebut di atas, rasanya gempor juga kalau harus PP Cikarang – Jakarta selama 2 hari. Apalagi kalau nekad digeber, semua dilakukan dalam 1 hari. Duh kayaknya gak bakalan kuat. Nyetir sendiri pulak. Saya pun mengajukan usulan kepada suami agar bisa menginap semalam di Jakarta saja. Dan karena jadwal ke Sarinah akan saya lakukan sore hari, pilihan terbaiknya adalah staycation di seputaran SABANG dan WAHID HASYIM. Dua lokasi yang walking distance dengan Sarinah dan sekitarnya.


Setelah travel proposal resmi disetujui oleh suami, saya pun sregeb berselancar di berbagai tautan pencarian moda traveling. Karena sudah lama ‘tidak main’ di seputaran Sabang dan Wahid Hasyim, munculnya beberapa nama hotel di kedua area ini cukup bikin takjub.
Menjamurnya hotel bintang 3 sungguh bikin saya terkesan. Rata-rata bukanlah hotel dengan jaringan besar. Kalaupun berada dalam kelompok manajemen tertentu, pastilah hotel bintang 3 itu tidaklah besar. Hal ini mengingat bahwa bangunan di seputaran Sarinah tuh lahannya terbatas, bahkan cenderung sempit. Shoulder to shoulder. Jikapun ada yang jaraknya ratusan meter dari Sarinah dan berada di main road seperti Hotel Indonesia Kempinski dan Grand Hyatt, biaya inap seharinya tentu tidaklah ramah di kantong saya.
Mendadak saya ingat, bahwa sekitar pertengahan May 2021 saya pernah menginap di JAMBULUWUK Hotel yang berada di Jl. Riau, Jakarta. Lokasi yang juga sangat dekat ke Sarinah. Yah sekitar 300 meteran. Tapi sayangnya hotel ini sudah fully booked dan sayapun lebih senang menggali cerita dan pengalaman baru dengan menginap di hotel yang berbeda.
Baca Juga : JAMBULUK THAMRIN JAKARTA. STAYCATION DI TENGAH KERISAUAN PANDEMI
Beruntung akhirnya saya menemukan STANLEY BOUTIQUE HOTEL yang berada tepat di Wahid Hasyim. Sesuai harapan. Stanley Boutique Hotel sedang ada promo dengan rate di bawah 500rb/malam. Lumayan banget. Saya pun bergegas menginformasikan suami agar melakukan reservasi karena memang tinggal beberapa unit kamar yang masuk dalam program promo ini.
Rute untuk mencapai hotel ini pun sebenarnya tidak sulit. Tapi karena sudah dirubah menjadi satu arah, dari arah Sudirman saya harus lurus, memutar di bundaran patung kuda yang berada di depan kantor INDOSAT untuk kembali ke Thamrin. Dari sini saya harus berbelok ke Jl. Kebon Sirih (yang juga satu jalur), kemudian mencari belokan kanan lalu kanan lagi. Jalan di kanan kedua inilah yang langsung menghubungkan dengan Jl. Wahid Hasyim.
Menyusuri jalan 2 jalur yang lumayan narrow ini, saya menemukan bahwa jalur pejalan kaki amat diprioritaskan. Dilengkapi dengan tanaman dan pepohonan tinggi, jalur ini dilengkapi juga dengan banyak bangku kayu panjang serta line berwarna kuning yang diperuntukkan bagi para disabilitas.
Hanya sayangnya, di sepanjang jalan masih bererot para penjual asongan. Ada yang bergerobak tapi ada juga yang berjualan dengan alas sekadarnya. Bahkan ada yang dari bagasi mobil yang dibiarkan terbuka. Dan kendaraan ini, yang diparkirkan di badan jalan atau jalur pejalan kaki, sungguh menimbulkan ketidaknyamanan.
Untuk pemerintah setempat tentunya muncul dilema. Disatu sisi ingin menunjang usaha kerakyatan tapi di sisi lainnya harus mempertahankan tata kota yang apik, bersih dan teratur. Dari sudut pandang kepatutan, perijinan dan keindahan pariwisata, jelas pedagang-pedagang ini sudah tidak memenuhi dan melengkapi kriteria itu.
These are truly my personal opinion. And yet it’s not a judgement. Tapi sebagai penikmat dan pelaku dunia traveling, saya berharap di sepanjang jalan yang berada di Ring 1 ibukota negara dapat tampil lebih indah dan proporsional sesuai dengan kebutuhan dan tujuan serta manfaatnya.
Balik ke pengalaman menemukan Stanley Boutique Hotel ya.
Jika teman-teman agak kesulitan melihat big signage nya Stanley Boutique Hotel karena tertutup pohon besar, salah satu penolong penemuan titik lokasi adalah BAKMI TOKO TIGA. Bakmi ini persis bersebelahan dengan hotel dan dia membuat/memasang circle light board merah yang cukup besar dan gampang dilihat dari jalan. Ini opsi yang pas selain tentu saja menggunakan Google Maps.
Dan seperti yang sudah saya kira, Stanley Boutique Hotel berdiri di atas lahan yang tidak terlalu besar dengan parking area yang amat sangat terbatas. Di halaman depannya muat sekitar 6-7 mobil saja. Itupun hampir saling menutupi. Jadi saya memutuskan untuk menitipkan kunci di receptionist agar proses keluar masuk kendaraan tidak jadi masalah. Sempat melihat ada parkiran basement, tapi entah kenapa sepertinya tidak atau belum digunakan.



disini ada counter receptionist dan restoran yang melayani makan pagi

Penerimaan hangat menyambut kedatangan saya. Prokes pun diterapkan mulai dari teras depan hotel. Begitu melangkah masuk, warna hitam dan abu-abu beserta turunannya terlihat memberikan kesan rancang bangun dalam ruang dengan tema industrial.
Counter receptionist terlihat sederhana dengan kaca pipih yang membatasi antara petugas dan para tamu. Di salah satu sisi ada sebuah restoran dengan sudut sajian yang lumayan terbatas. Banyak meja dan bangku disediakan disini. Di dindingnya ada beberapa lukisan impresionis, simpel tapi tetap menarik terpampang, dijejerkan tinggi. Untuk menikmatinya kita harus berada di satu titik kejauhan. Apalagi diantara lobby lounge ini ada tiang struktur bangunan yang cukup besar.
Yang tak boleh dilewatkan adalah kehadiran sebuah patio di sisi luar restoran. Lumayan banyak daya tampungnya. Setidaknya jadi tempat yang aman untuk para perokok. Dan asik banget duduk-duduk disini saat udara (sangat) bersahabat. Terus nongkrongnya dengan sahabat, sepiring besar pisang goreng dan bergelas-gelas kopi, teh, atau juice juga ok banget.
Eh jadi ngelantur.
Terlepas dari rancang dalam ruang yang efisien, hematnya waktu dan kepraktisan waktu bisa saya nikmati saat check-in. Gak perlu berpanjang-panjang untuk mengurus administrasi karena toh reservasi sudah lengkap. Keperluan lain yang perlu dipastikan hanyalah menunjukan identitas diri, menandatangai formulir dan ya tadi itu, menitipkan kunci mobil.
Saya pun beranjak ke lantai 3 dimana kamar tipe Superior Queen berada. Tipe kamar terendah selain Deluxe Queen, Superior Twin dan Executive Queen yang kualifikasinya lebih tinggi.
Sambil menunggu lift terbuka, mata saya tertuju kepada beberapa koleksi guci dan produk keramik lainnya yang bejejer rapih di salah satu sisi dinding. Model-modelnya unik dengan shape yang jarang bisa kita nikmati di tempat umum. Tersusun cantik diantara sekat kaca, di beberapa titik dipasang lampu sorot yang menjadikan koleksi keramik ini sungguh impresif.
Tapi kalau saya boleh usul sih, jika memang ingin menampilkan keindahan keramik, lebih cantik jika dinding ini dihiasi piring-piring dengan bentuk tersusun tertempel di dinding saja. Pilih piring-piring handpainted, monochrome dan memiliki sejarah. Lebih mengesankan menurut saya.
Begitupun dengan flooring di lobby lounge. Lantai akan lebih terlihat “punya nyawa” jika di beberapa spot dipasang keramik motif yang garis designnya menyatu dengan konsep industrial atau warna dominan yang digunakan oleh ruangan besar penerimaan tamu ini.
Cus ah. Lift sudah terbuka. Mari kita menuju kamar.
Baca Juga : BERWISATA SERU DI SENAYAN PARK JAKARTA


Ruangan seluas 21m2 ini mengingatkan akan kamar kost saya di seputaran Kuningan. Compact dengan penataan dan warna yang pas. Di dalamnya ada tempat tidur ukuran King. Meja kecil kayu tempat menaruh sajian gratis dari hotel (coffee and tea amenities), beberapa botol air putih plus ketel. TV layar datar terpajang di dinding persis di depan kasur. Lalu ada tempat untuk menaruh koper dengan gantungan baju di atasnya. Dan tentu saja kamar mandi yang cukup lega.
Toilet amenities yang ada dalam bungkusan adalah shower cap, sisir dan sikat gigi serta odolnya. Ada juga hair dryer yang berfungsi dengan baik. Untuk shampoo dan sabun ditaruh dalam tabung yang berada persis di sebelah shower. Ada air hangat dan air dingin yang juga bisa dioperasikan dengan baik. Yang perlu diperbaiki/diganti adalah keramik ruang showernya. Licin banget. Kurang cocok untuk area basah. Saya yang langganan jatuh di kamar mandi, harus melangkah super hati-hati dan selalu diawasi oleh anak saya yang ikut menginap saat itu.
Kamar yang saya tempati ada jendela kacanya. Tapi tidak ada pemandangan kota karena sisi luar kamar saya persis mepet dengan gedung sebelah. Jadi untuk mensiasati kekosongan penglihatan, pihak hotel menaruh berbagai tanaman atau membuat mini kebun seadanya. Yah sesuailah untuk standard kamarnya.
So far kamarnya comfortable, AC juga nyaman, dinding cukup redam, kasur dan bantal empuk. Penataan lampu juga pas. Dua lampu sorot kecil di sisi tempat tidur itu pas banget buat cahaya minim saat tidur dan untuk saya yang sesorean itu memutuskan untuk istirahat dulu sebelum menjelajah Sarinah. Mengumpulkan tenaga dan mengisi batere tubuh untuk melanjutkan eksplorasi.
Rencananya sih, nanti dalam perjalanan pulang ke hotel, ingin menikmati street food yang berjejer di sepanjang Sabang. Tapi ternyata anak saya tergoda untuk memesan nasi uduk Kebon Kacang yang bisa dipesan lewat aplikasi on-line. Karena sudah lama penasaran, akhirnya saya menyetujui usulan ini. Apalagi terus dapat potongan harga. Dari total 75ribu, kami hanya membayar setengahnya aja. 1 box nasi uduk ayam goreng, 1 box nasi uduk ikan lele, setengah papan pete dan kerupuk. Wah murah banget itu.
Dan enaknya itu sepuluh jempol deh. 2 kotak nasi uduk pun tandas tak bersisa. Tidur sore pun lelap tanpa gangguan.

Karena sehari sebelumnya saya sempat mengamati area resto yang cukup terbatas di dekat receptionist, saya sempat membayangkan bahwa dengan lahan yang serba terbatas itu tentulah hidangan sarapannya juga akan terbatas. Minimalis lah setidaknya. Dan itu terbukti keesokan harinya.
Pilihannya memang tidak tumpah ruah. Tapi menurut saya sudah lumayan lengkap.
Didominasi oleh sajian serba Indonesia yaitu nasi dan lauk pauknya serta bubur ayam plus bubur ketan hitam. Pihak Stanley Boutique Hotel juga menyediakan roti tawar dengan beberapa pilihan selai. Lalu ada sereal dengan susu. Potongan buah. Serta puding (yang ini terlupa untuk dicicipi). Plus tentu saja kopi dan teh serta juice sebagai pelengkap.
Sejauh selera saya, si tukang jajan, masakannya cukup ok meski belum bisa digolongkan istimewa. Tapi bumbunya tidak pelit dan rasanya pas. Untuk akomodasi bintang 3 sih sudah sesuai. Tidak lebih tapi tidak juga kurang.
Yang saya rindukan dan tidak ada di sarapan ala Stanley Boutique Hotel adalah sajian telur. Sayang banget hal yang satu ini terlewatkan. Padahal omelette, telur orak-arik dan olahan telur ala hotel adalah favorit hampir semua tamu hotel, termasuk saya tentunya. Saya pun terbiasa sarapan dengan telur. Setidaknya 1 buah. Entah itu jadi pelengkap nasi, bubur atau dinikmati dengan roti panggang. Bagi saya telur itu identik dengan “wajah sarapan”. Terutama di hotel.


Satu yang berbeda dari sarapan kali ini adalah soal pelayanan. Entah demi efisiensi atau memang sudah protabnya, para petugas yang ada sangat cekatan melayani tetamu untuk mengambil makanan. Mereka cenderung meminta tamu untuk duduk menunggu dengan semua diambilkan dan dilayani.
Jarang-jarang sih sebenarnya ada perlakuan begini. Dimanjakan. Macam lagi ngantri di pondokan makanan saat kita lagi di pesta pernikahan. Sistem pelayanan yang sengaja dilakukan karena stok makanan terbatas dan meminimalisir kejadian tamu mengambil makanan melebihi kapasitasnya. Dan parahnya lagi saat tahu bahwa yang sudah diambil tidak dihabiskan.
Ada 2 sisi penilaian ya. Bisa jadi kurang menyenangkan untuk orang yang senang dengan kebebasan memilih dan mengambil sendiri sajian buffet. Bisa bebas ngambil dengan komitmen dihabiskan. Sementara kalau dilayani kan kita segan untuk ngambil kembali. Sementara kalau mau dilihat dari poin positifnya adalah makanan diberikan sesuai kuantitas wajar, makanan tidak dibuang-buang karena dengan porsi yang diambil sudah pasti habis, yang ujung-ujungnya akan (sangat) membantu pengaturan jumlah asupan dan efisiensi pendanaan khusus untuk sarapan.
Kalau saya sih tipe orang yang pengen ngambil sendiri saat ada sajian buffet hotel. Karena saya orang yang sangat bertanggungjawab akan makanan. Orang tua saya memberikan pendidikan soal itu. Apa yang diambil ya harus dihabiskan. Jikapun ternyata tidak sesuai selera, setidaknya habiskan 2/3 nya. Dan itu saya turunkan kepada anak-anak. Mereka tidak kalap dan rakus mengambil ini itu lalu menyisakan. Jadi sedari kecil menandaskan isi piring adalah salah satu bentuk kebiasaan yang turun temurun di keluarga saya.
Dan jikapun ternyata akhirnya anak-anak tak mampu menghabiskan makanan mereka, maka saya atau suami lah yang akan bertugas jadi “dinas kebersihan”. Mereka pun sudah terbiasa merapihkan meja lalu mengumpulkan piring dan mangkok bekas pakai di tengah-tengah meja. Sampah-sampahnya pun dikumpulkan agar petugas mudah untuk mengambil atau memindahkannya.

Nah buat yang tidak puas dengan sarapan di hotel atau memang sengaja memesan kamar tanpa sarapan, tidak perlu khawatir. Stanley Boutique Hotel ini dikelilingi oleh warung-warung dan atau penjaja makanan pinggir jalan yang cukup bervariasi.
Beberapa langkah dari hotel, persis di perempatan lampu merah yang menghubungkan Wahid Hasyim dan Sabang, ada gerobakan mie ayam yang sudah tahunan jualan disana. Kalau saya sih lebih suka kwetiau kuahnya ditambah dengan pangsit dan bakso kuah juga pangsit goreng. Semakin lengkap jika ditutup dengan fresh juice tanpa gula yang juga selalu mereka tawarkan kepada pelangganan. Pilihannya juice nya banyak banget.
Biasanya berdampingan dengan gerobak mie ayam ini ada tukang sate dorongan. Enak? Bangets. Pilihannya adalah full daging ayam, khusus kulit ayam, atau campuran daging-kulit-telor muda. Nah pilihan terakhir ini yang laris banget. Kalau terniat pengen merasakannya berarti harus duluan setor muka.
Selain kedua pilihan diatas, banyak juga abang-abang penjual nasi uduk yang berdagang dengan box yang ditaruh di belakang motor. Antriannya lumayan. Opsi lauknya juga banyak. Biasanya ditaruh di dalam kotak plastik transparan dan dijaga dengan baik dari debu dan kotoran.
Ini baru paginya ya. Kalau malam pemandangannya beda lagi. Street food nya jauh lebih banyak dan sangat membangkitkan rasa.
Awalnya nongkrong di salah satu warung tenda disini ingin saya lakukan setelah puas bereksplorasi di Sarinah.
Tapi gagal karena lautan manusia yang berjubel hampir di setiap warung tenda. Padahal saya ngiler banget pengen nyoba sate yang sudah ada di seputaran Sabang sejak saya masih SD. Harum dan asapnya menguasai udara yang ada di sekitarnya. Ada juga nasi goreng dengan berbagai campuran yang sungguh menggoda jiwa. Proses masaknya pun berdenting-denting, dengan wajan yang dihantamkan dengan spatula.
Masakan dari berbagai daerah juga ada disini. Pilihannya bakal bikin kita bingung.
Semua menggoda. Jadi kalau nginap di seputaran Sabang, Wahid Hasyim, Thamrin dan sekitarnya, opsi menikmati street food di area ini, bisa jadi pilihan yang tepat dan mengasikkan. Siapkan lambung yang luas dan gampang melar supaya bisa celamitan menikmati semua jajanan yang ada. Lupakan diet untuk sementara ya.
Kalau streetfood tidak masuk dalam selera atau ingin menikmati suasana yang berbeda (baca: ala Mall, cafe dan sejenisnya), rumah makan dengan ruangan AC banyak sekali tersebar di sepanjang Wahid Hasyim, Sabang, Sarinah, Grand Indonesia, Plaza Indonesia dan beberapa yang ada di gedung berdampingan dengan Sarinah. Coba aja buka Google Maps, hakul yakin bakal bingung sendiri mau milih yang mana. Pun saat kita pengen delivery karena lebih memilih stay di dalam kamar hotel. Surga pilihan kuliner lah pokoknya.
Selain urusan kuliner, Stanley Boutique Hotel, akomodasi bintang 3 yang strategis di ring 1 ibukota ini, juga berlimpah dengan pusat belanja. Kalau berkenan jalan kaki sekitar 1km, kita bisa ngemall ke Plaza Indonesia dan Grand Indonesia. Yang terdekat ya itu, ada Sarinah, Djakarta Theatre, bahkan Tanah Abang (pkl. 10:00 – sekitar menjelang maghrib).
Ingin berwisata sejarah juga ok banget. Yang tinggal di daerah yang ingin menikmati wisata Jakarta, menginap di Stanley Boutique Hotel, kita bisa jalan kaki ke Monas, Museum Gajah (Museum Nasional), Perpustakaan Nasionial. Atau bersengaja naik kendaraan dan menikmati sekian banyak bangunan-bangunan lama yang ada di seputaran Cikini dan Menteng.
Asik kan?





