Banda Aceh buat saya adalah impian. Setelah berulangkali gagal berangkat ke Aceh beberapa (baca: puluhan) tahun yang lalu, akhirnya semesta mengizinkan saya berkunjung ke Banda Aceh lewat pengaturan suami. Tak terkatakan bagaimana riangnya saya saat diajak untuk menginjakkan kaki di Banda Aceh lalu menikmati serangkaian kelezatan kuliner khas Aceh yang selalu sarat rempah itu. Salah satunya adalah Daus Penayong. Resto legenda yang menawarkan nasi goreng khas Aceh yang menjadi salah satu hidangan andalan mereka
Referensi yang Jitu
Pesawat dari bandara Soekarno Hatta Tangerang baru saja landing di bandara Sultan Iskandar Muda Aceh Besar saat pikiran saya mulai menerawang ke beberapa masakan ala Aceh. Saat itu memang waktu sudah melewati jam makan siang seperti biasa. Perut sudah kemeretukan mengimbangi tarian para naga di dalam lambung. Tadi sebelum boarding, setidaknya beberapa menit sebelum panggilan memasuki pesawat bergema, saya sempat memajukan makan siang. Tujuannya adalah agar di pesawat tidak kelaparan dan anteng menghabiskan waktu sekitar dua jam penerbangan dengan membaca atau tidur.
Tapi nyatanya strategi ini tak ampuh.
Saya memang terlelap setelah membaca sekitar setengah jam. Begitulah kiranya yang biasa terjadi saat perut dalam kondisi penuh. Namun saat selesai memproses bagasi dan naik mobil yang menjemput di bandara, mendadak terbayang berbagai masakan otentik Aceh yang harumnya seakan mampir melewati indera penciuman. Jadi saat dalam perjalanan dari bandara menuju Kyriad Muraya Hotel yang berada di Banda, obrolan saya, suami, dan abang yang menjemput tak jauh dari cerita kejadian tsunami 2004 dan aneka hidangan khas Tanah Rencong yang sudah populer seantero nusantara.
Tentang Kuliner Aceh : Mencicipi Lezatnya Kuliner Khas Aceh di Mie & Nasi Goreng Bardi Banda Aceh
Hasil dari obrolan tersebut adalah tentang area Peunayong yang hanya sekitar 200 meter dari hotel. Mendekat ke arah Tugu Simpang Lima yang cukup populer di kota Banda, ada dua rumah makan legendaris yang patut disambangi. Begitu menurut si abang yang menjemput kami.
“Jalan kaki aja Pak. Ada dua rumah makan yang terkenal di Banda. Mie Aceh Rajali dan Nasi Goreng Daus. Keduanya saya referensikan. Soal rasa tak diragukan lagi enaknya.”
Pesan sponsor ini meyakinkan saya dan suami. Jadi setiba di hotel, membereskan administrasi, istirahat sebentar di kamar dan salat, saya dan suami bergegas membuktikan secara langsung referensi yang disampaikan oleh si abang tadi. Kami berdua pun berjalan kaki dengan impian makan enak di waktu yang tidak biasa. Makan siang sudah terlewat tapi makan malam belum tiba waktunya.
Tentang Aceh : Hotel Grand Arabia. Strategis di Tengah Kota Banda Aceh
Nasi Goreng Otentik Aceh yang Kaya Bumbu
Seperti yang sudah diinformasikan sebelumnya, di area Peunayong ini ada dua rumah makan yang sudah jadi legenda di Banda Aceh. Mie Aceh Rajali yang sudah ada sejak 1967 dan Nasi Goreng Daus yang telah beroperasi sejak 1970. Keduanya seumuran dengan saya dan suami. Saat kedua resto ini lahir, saya dan suami ditakdirkan Allah juga lahir di dunia. Jadi kami berempat sudah berada di usia 50an tahun. Usia matang yang tentunya sudah kenyang pengalaman hidup. Saya yakin kedua tempat makan ini pun punya cerita panjang tentang eksistensi mereka. Apalagi jika bicara tentang konsistensi, mempertahankan nama baik, menjaga kelezatan hidangan, dan tetap eksis di tengah pertarungan dan persaingan dengan usaha-usaha sejenis.
Mukadimah yang asik banget ya.
Saat saya dan suami tiba di lokasi, kedua rumah makan sedang riuh-rendah oleh masa persiapan buka (sekitar ba’da Ashar). Kesibukan terlihat di sana-sini. Saya dan suami ikut memperhatikan.
“Sabar ya Bu. Ini lagi beres-beres. Tapi kalau mau duduk dulu silahkan aja.”
Saya menjawab tawaran ini dengan senyuman. Alih-alih duduk di bangku yang disediakan, saya memutuskan untuk tetap berdiri sembari menengok kanan dan kiri. Dari yang saya perhatikan kedua belah pihak tampak berdampingan dengan baik. Buka warungnya juga barengan. Setiap petugas berseragam rapi. Semuanya lelaki. Tak ada petugas perempuan.
Mengikuti selera dan keinginan yang berbeda, kami memutuskan untuk ke Mie Aceh Rajali dulu. Jadi saya mendahulukan suami untuk makan satu menu yang memang sangat dia sukai. Melihat suami yang tampak lahap tanpa noleh-noleh lagi, saya yakin bahwa dia sangat puas dengan mie aceh yang sudah melegenda ini. Seperti biasa tampak luar dari mie ini persis seperti mie godok. Yang menjadi kunci pembeda adalah bumbu yang dicampurkan. Gak usahkan saat menyentuh lidah, dari baunya aja kehadiran rangkaian rempah tersebut sudah menggoda selera. Mie ini dilengkapi oleh potongan daging, potongan acar hingga kerupuk dan emping.
Liur saya tertahan. Tapi keinginan kuat untuk makan nasi goreng tidak meruntuhkan pertahanan saya.
Usai mampir ke Mie Aceh Rajali, kami berdua pun “ngungsi” ke warung sebelah. Tepatnya ke Nasi Goreng Daus yang tampaknya saat itu mulai dipadati pengunjung. Melihat selembar menu yang sudah dilaminating, saya membaca ada berbagai pilihan nasi goreng seperti nasi goreng ala Daus, nasi goreng kampung, nasi goreng seafood, dan nasi goreng kambing muda. Ada juga nasi gurih dan nasi kuning. Menu pelengkapnya juga berhamburan jenisnya, seperti aneka sajian telur, sate gorengan, segala jenis ayam, dan masih banyak lagi.
Karena kata si abang petugas “semua enak” akhirnya saya memutuskan untuk mencoba nasi goreng ala Daus. Dengan mencantumkan kata “ala” saya berasumsi bahwa Nasi Goreng Daus tentunya punya resep tersendiri untuk sajian ini. Menu signature yang menonjolkan berbagai keunikan yang tidak dimiliki oleh resto lain.
Baiklah mari kita coba.
Gak butuh waktu lama bagi saya untuk menikmati pesanan. Hadir dengan porsi yang lumayan besar (setidaknya untuk ukuran lambung saya), nasi goreng ala Daus ini dilengkapi dengan potongan timun dan bawang merah segar, emping, cabe keriting goreng, ikan asin, dan kacang tanah goreng. Untuk menu tambahan ada aneka gorengan seperti udang, telur dadar, bistik, cumi, rempela, burung atau ayam kampung. Segala tambahan ini akan dihitung terpisah sesuai dengan apa yang kita konsumsi.
Untuk harga, menurut saya, cukup murah. Setiap sajian rata-rata Rp10.000,00 – Rp17.000,00 yang sedikit lebih mahal hanya nasi goreng kambing muda dan nasi goreng seafood dengan harga Rp45.000,00 – Rp50.000,00. Harga ini cukup reasonable karena memang bahan dasarnya lebih mahal dibandingkan dengan menu yang lain.
Buat saya yang baru pertama kali menikmati nasi goreng aceh, saya merasakan kekuatan rempah pada sajian ini. Dari beberapa referensi yang saya baca, Bapak Firdaus atau Bapak Daus yang namanya menjadi jenama resmi, memasak nasi gorengnya melalui proses pembakaran dengan kayu bakar (arang). Saya tidak memperhatikan atau menemukan hal ini karena saya hanya melihat petugas menggoreng nasi menggunakan kompor gas biasa. Kuali besar yang digunakan pun berada di sisi depan resto, ditaruh di sebuah dapur terbuka. Kunci kelezatannya pastilah datang dari bumbu rahasia yang memang sudah digunakan Nasi Goreng Daus sejak 1970.
Tentang Aceh : Menelusur Kemegahan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh
Kopi Khop di Nasi Goreng Daus Peunayong
Sembari menunggu saya yang khusyuk melahap nasi goreng, suami berniat untuk memesan kopi. Seorang petugas pun datang dengan beragam pilihan. Salah satunya adalah Kopi Khop yang menjadi keunikan yang dimiliki Aceh. Terhidang dingin atau panas, kopi ini ditawarkan di harga Rp12.000,00 dan Rp15.000,00.
Sebuah lembar bergambar kemudian disodorkan kepada saya. Terlihat satu hal yang belum pernah saya saksikan sebelumnya. Khususnya dalam dunia perkopian dan cara penyajiannya. Setelah puas pernah menikmati kopi tarik Aceh saat tinggal di Medan, ternyata ada kopi yang dihidangkan dalam kondisi wadah gelas terbalik. Di bawahnya ada piring kecil yang menahan laju tumpahnya kopi. Jadi apa yang akan kita nikmati adalah bukan rasanya tapi lebih kepada caranya.
Lewat sebuah tautan resmi milik pemerintah, saya mencatat bahwa Kopi Khop atau Kupi Khop ini berasal dari pesisir pantai barat Aceh, tepatnya kota Meulaboh. Kopinya sengaja disajikan terbalik untuk menjaga kehangatan kopi karena para nelayan tidak langsung menghabiskannya. Dengan kondisi terbalik pula lah diharapkan agar kopi tersebut aman dari polusi, kadar asamnya terjaga, dan kopi tidak tercemar oleh apa pun. Jadi saat kopi ditinggalkan untuk pergi (dalam rangka memancing atau melaut), kopi yang ada masih bisa dinikmati dalam kondisi layak minum.
Lalu bagaimana cara meminum kopinya dalam kondisi terbalik begitu?
Nah sayangnya suami tak memesan Kopi Khop ini karena kekenyangan. Tapi dari penjelasan si abang petugas, biasanya di salah satu titik gelas akan dipasangkan sedotan. Alat inilah yang membantu kita mengeluarkan kopi ke piring atau dihirup langsung lewat sedotan tersebut.
“Ditiup pelan-pelan Bu, supaya kopinya turun dan tidak membawa serbuknya,” begitu penjelasan si abang petugas.
Saya mengangguk paham, tentunya ada hukum fisika yang membuat semua ini bisa terjadi. Dalam perjalanan pulang ke hotel, saya sempat mencatat untuk nantinya mencoba Kopi Khop. Tapi ternyata, setelah berhari-hari keliling Banda Aceh, saya malah tidak sempat mampir ke warung kopi yang menawarkan Kopi Khop. Yang pasti, saat mencari dan membaca beberapa referensi lewat media on-line, saya bangga bahwa Kopi Khop sudah dideklarasikan sebagai Warisan Tak Benda (WBT) Kabupaten Aceh Barat, sejak 2019 oleh pemerintah setempat. Dengan demikian keberadaan Kopi Khop merupakan aset tak berwujud atau intangible asset bagi masyarakat Provinsi Aceh.
Tentang Aceh : Keajaiban Tsunami di Gampong Lampulo Aceh
Kuliner Daerah Adalah Warisan Budaya
Matahari mulai turun menuju ke peraduannya saat saya dan suami melangkah keluar dari warung makan Nasi Goreng Daus. Suara orang mengaji terdengar dari kejauhan. Kemerduan suara yang mengaji terdengar syahdu di telinga. Dalam perjalanan pulang ini saya sempat mampir ke beberapa toko yang berada di sederetan ruko yang ada di lingkungan rumah makan. Ada toko handphone dan perlengkapannya, toko peralatan rumah tangga, fashion, minuman kekinian, dan resto Pizza Hut yang berada persis di samping hotel tempat kami menginap.
Saat tiba di lobby hotel, saya sempat mengambil sebuah buku traveling yang ada di meja tamu. Buku ini berisikan banyak informasi tentang beberapa destinasi wisata (alam dan kuliner) yang wajib dikunjungi saat berada di Aceh. Semua hadir dengan foto-foto dan rangkaian narasi yang begitu atraktif. Saya membacanya berulang-ulang lalu menggali informasi lebih lanjut lewat situs pencarian publik dan media sosial sembari berleyeh-leyeh di dalam kamar. Terselip juga banyak info kuliner otentik Aceh termasuk rincian sejarahnya.
Selama saya berkelana, buku ini adalah salah satu buku wisata terbaik yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Jika menilik diksi dan kualitas serta sudut pengambilan gambarnya, saya yakin ada sederetan pekerja profesional yang membidani lahirnya buku ini. Saya berharap, suatu saat, karir saya di dunia literasi akan berlabuh di usaha seperti ini. Menjadi seorang copy writer yang kaya diksi, paham sejarah, dan mewujudkannya dalam sebuah buku yang bisa dibaca oleh publik.
Satu yang ingin saya raih adalah mencicipi banyak kuliner daerah di seluruh nusantara, pergi langsung ke tempat pembuatnya, merekamnya dalam lensa kamera, lalu menyusun kalimat berkualitas untuk dikisahkan lewat sebuah buku atau setidaknya lewat blog pribadi ini. Saya percaya kuliner yang dimiliki oleh setiap daerah sesungguhnya adalah warisan budaya bangsa yang wajib kita lestarikan.
Bagaimana caranya agar bisa lestari? Sesuai dengan kapasitas saya, salah satu caranya adalah dengan menuliskannya. Tulisan yang menjadi legacy dan bisa dibaca kapan pun, dimana pun, dan oleh siapa pun. Semoga Allah Subhannahu Wata’ala berkenan mengabulkan permohonan ini.
Ya Allah, pas trakhir ke Banda Aceh, sempet juga kuliah bentar aja di Unsyiah, tapi akhirnya pindah, aku ga pernah makan di daus ini 🤣.
Padahal usia dah lama, menu juga legend BANGETTTT ya mba 😍😍. Penasaran sih Ama nasi gorengnya… Kebayangnya kaya rempah banget, seperti khas menu Aceh yg lain 🤤🤤.
Kopi khop suamiku malah yg pernah coba 🤣. Aku blm. Tp memang kopi Aceh juara sih mba.
Aku tuh suka kopi, tp biasanya kopi susu. Dan hrs panas.
Baru di banda Aceh aku bisa suka kopi hitam dan es 🤣🤣. Biasanya emoh banget. Memang juara sih kopi di sana . Warkop sekalipun enaak kopi nya
Kalo saya justru pertama kali merasakan kopi Aceh tuh pas tinggal di Medan. Banyak banget warungnya di Medan. Seringnya sekalian sama semua menu top dan khas Aceh. Bahkan pernah ditawarkan minum kopi ditambah buah durian hahahaha. Dan itu mantab buangets.
wow ngecesss…..
Dulu sewaktu masih tinggal di Cigadung, saya bertetangga dengan keluarga Aceh
Mereka sering mengajak makan siang/makan malam dengan suguhan lauk pauk khas Aceh
salah satunya otak-otak seperti di fotonya Mbak Annie
Enak bangett, beda dengan otak-otak “Jawa” :D
Salah seorang ipar saya, lelaki Aceh dan suka masak Mbak. Dia pernah juga bikin otak-otak ala Aceh yang bumbunya berlimpah betul. Rasanya mirip dengan bumbu pepes hahahaha. Tapi bedanya ditambahi dengan daging ikan dan dedaunan. Entah daun apa aja yang dimasukkan di sana.
Padahal udah sering makan mie aceh tapi tetap lihat foto ini kok jadi pengen makan lagi, menu lain yang aku recom rujak blang bintang yaa mbak annie…sanger, nongkrong di solong…keumamah, sie rebouh kalau berkunjung ke aceh
Nah Rujak Blang Bintang sudah saya coba Mbak. Sempat diajak makan di sana sama teman penulis asal Aceh yang dulu ketemuan dengan saya saat dia tinggal di KL, Malaysia. Keumamah, Sie Rebouh belum saya coba. Memang kudu balik lagi ke Banda nih. Khusus untuk mengulas dan memotret kulinernya.
Jadi pengen makan mie Aceh dan nasi goreng Aceh. Deket rumah ada Kedai Aceh Cie Rasa Loom. Tapi di Bandung pasti beda jauh yah dengan di Banda Aceh asli. Apalagi masaknya spesial pakai proses pembakaran dengan kayu bakar. Ada wangi-wangi khas gitu selain memang kaya rempah.
Lucu juga ya restonya seumuran…hehe…
Penasaran juga minum Kopi Khop harus hati-hati ya. Salah pegang gelas & miring, auto byur deh…
Kabarnya memang dengan proses pembakaran rasanya lebih enak ya Mbak. Abang yang menemani saya keliling Banda juga cerita. Sayangnya sudah jarang rumah makan yang mempraktekkan cara tradisional ini. Mungkin demi kepraktisan juga ya.
Nah saya pun masih penasaran dengan Kopi Khop. Susah nyarinya kalau di Cikarang. Semoga bisa kembali ke Banda untuk nyobain,
Lama tinggal di Sumatera, suami 13 tahun (Bengkulu dan Sumut), saya 5 tahun (Sumut) membuat kami enggak asing sama nasi goreng dan mie Aceh, kuliner Aceh, termasuk kopi Khop karena bertaburan yang jual. Kami juga sudah beberapa kali ke Aceh, meski sampai Banda baru sekali. Dan memang kaya rempah masakannya. Suka saya. Kini saat tinggal di Jakarta anak-anak saya jadi lebih suka mie/nasgor Aceh daripada yang ala Jawa…Jadi kalau jajan pilih rumah makan Aceh
Btw, ini sungguh menggoda Mba Annie, menu di Daus Peunayong…mana murah lagi :) Ngiler saya jadinya. Semoga nanti saya berkesempatan ke Banda lagi dan mencoba sendiri
Kuliner Aceh memang kaya rasa dan rempah ya Mbak. Bagi yang sudah biasa, saya yakin susah lepas dari rasa ini. Percampuran bumbu yang kaya itu bikin lidah kita sudah terbiasa dengan ciri khas ini. In fact, memang berbeda jauh dengan masakan Jawa yang cenderung manis semua. Saya pun begitu. Meski sempat berpindah-pindah antara provinsi di Indonesia selama kanak-kanak, asupan ala Sumatera tetap jawara bagi selera.
Mungkin sekarang mah ribet kalo masak pakai arang ya?
Jadi pindah ke kompor gas supaya cepet
Mie godok pinggir jalan di Jogja masih pakai tungku arang
Asyik sih nunggunya, walau lebih lama dan debu berterbangan
si penjual juga harus bolak balik mengatur suhu tungku
Bener Mbak. Banyak yang ngomong kalau dengan tungku tuh nikmat rasanya beda. Lebih otentik.
Waaah, baru tahu tentang kopi khop. Masa tinggal di Banda Aceh dulu aku masih bocil, belum doyan minum kopi. Sukanya minum limun dan ngemil buah rumbia yang dicocolkan ke pliek u dan garam. Hehe…
Dulu kalau hari Minggu suka diajak ortu ke Peunayong. Yang aku inget sih, jajan bolu Aceh di sana. Kalau nasi goreng dan mi Aceh ini… aku nggak inget. Mungkin pernah dibelikan oleh ortu
Saya juga belum sempat nyobain Kopi Khop sampe pulang hahahaha. Tapi sebagai penggemar kopi, sepertinya asik kopi khas Aceh ini. Unik banget.
Kalau melihat Nasi Gorengnya Daus Peunayong memang terlihat biasa aja yaa, kak Anniee..
Tapi begitu mencicip, pasti langsung lahaapp haapp!
Aku suka ada aroma aroma arangnya.. kaya ada sangit-sangitnya gitu kan yaah..
Btw, katanya makanan Aceh bisa enak karena ada campuran daun g*nja-nya, ka Anniee.. Apakah beneran seperti itu?
Huhuhu.. ini ibukku juga dapet resep rahasia dari orang Aceh asli. Dan itu bukan hal yang aneh..
Setahuku juga begitu. Biasanya sedikit aja sudah enak banget dan itu dicampur dengan bumbu-bumbu atau rempah-rempah yang lain. Setahuku banyak rumah makan yang menggunakan itu. Sejauh hanya digunakan sebagai pelengkap bumbu sih sepertinya diizinkan.
Duh, mie gorengnya kaya bumbu banget keliatanya. Nasi gorengnya juga bikin penasaran pengen coba. Duh.. Jadi auto lapar nih setelah baca tulisan ini.
Hahahaha kuy Mbak Sendy cari RM Aceh terdekat