Menelusur Kemegahan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh

Menelusur Kemegahan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh

Menelusur Kemegahan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh
Lampu gantung berbahan dasar tembaga dengan tampilan jaman baheula itu sungguh dramatik untuk dilihat

Alhamdulillah. Di akhir September 2023 saya akhirnya menginjakkan kaki di Aceh. Sebuah provinsi yang berada di ujung utara pulau Sumatera dan provinsi paling barat di Indonesia. Beribukota di Banda Aceh, provinsi ini sudah berganti nama sebanyak empat kali : Atjeh, Aceh Darussalam, Daerah Istimewa Aceh, dan Nanggroe Aceh Darussalam. Sejak 2009 nama ini kemudian kembali ke kata Aceh seperti pertama kali berdiri meski ditulis dengan ejaan lama. Aceh juga adalah salah satu provinsi di Indonesia yang diberi status sebagai daerah istimewa dan juga diberi kewenangan otonomi khusus.

Selain dikenal sebagai Bumi Serambi Mekkah, Aceh juga mendapatkan julukan sebagai Tanah Rencong dan Negeri Sultan Iskandar Muda. Penduduknya dikenal dengan denonim Acehnese, Bangsa Aceh, Rakyat Aceh atau Orang Aceh. Menurut data demografi per 2023, 98,68% penduduk adalah beragama Islam dan menerapkan hukum Islam sebagai pegangan dan aturan dasar dalam bermasyarakat.

Saya merasakan girah yang begitu kuat mulai dari meninggalkan rumah, berada di bandara Soetta, terbang selama kurang lebih 2 jam 45 menit, menyentuh Bandara Sultan Iskandar Muda, hingga akhirnya berkendara dari Aceh Besar menuju Kota Banda Aceh. Semangat menjelajah saya semakin tak terbendung saat supir yang membawa kami dari bandara menuju hotel Kyriad Muraya Hotel bercerita banyak tentang perkembangan tanah kelahirannya setelah belasan tahun diterjang bencana tsunami. Bagaimana akhirnya provinsi ini menggeliat dengan kehadiran berbagai destinasi wisata sejarah yang terbangun dari musibah serta banyak akomodasi yang beroperasi untuk melayani banyak wisatawan dalam dan luar negeri.

Diantara semua yang diceritakan, hati saya sudah lebih dulu terpaut pada Masjid Raya Baiturrahman yang adalah landmark dari kota Banda Aceh dan provinsi Aceh secara keseluruhan. Selain ingin menelusur kemegahannya, saya banyak mendapatkan rangkaian cerita istimewa tentang salah satu masjid tercantik di tanah air ini.

Baca Juga : Menelusur Serajah dan Peristiwa di Museum Tsunami Aceh

Menelusur Kemegahan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh

Menelusur Kemegahan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh
Masjid Baiturrahman sehari setelah diterjang tsunami

Menelusur Kemegahan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh
Menikmati masa-masa saat payung terkembang

Terpekur Pada Keheningan Salat Subuh dan Kemegahan Interior Masjid

Hotel yang kami tinggali, Kyriad Muraya, menyediakan jasa antar jemput ke dan dari Masjid Raya Baiturrahman, di setiap salat Subuh. Saya pun segera mendaftar ke receptionist untuk ikut bergabung dalam rombongan ini keesokan paginya. Petugas kemudian mengingatkan bahwa kendaraan yang dipersiapkan oleh hotel akan berangkat 30 menit sebelum azan Subuh berkumandang. Jarak antara hotel dan masjid yang hanya sekitar 400 meter, membuat perjalanan hanya memakan waktu sekitar 10 menit saja. Tapi meskipun dekat, petugas mengingatkan untuk tidak terlambat.

Kami sudah bersiap pergi saat telpon di kamar berdering. Sebuah panggilan pengingat dari para petugas yang ada di lantai dasar. Hujan begitu deras menghujan bumi saat kami bergabung dengan sekitar tujuh orang tamu lainnya. Rombongan pun bergegas beranjak, menaiki mobil Hiace sebelas seats dengan pengendara yang ramah dan sopan. Dada saya bergetar. Langit masih terlihat begitu pekat seakan saat itu masih di tengah malam buta. Hujan tampaknya enggan untuk berhenti. Bahkan saya sempat mendengar suara geledek bersahut-sahutan, memecah keheningan pagi.

Sesaat sampai di pelataran luar masjid, sorot lampu dari beberapa sisi masjid tampak terang benderang. Saya dan suami berlari kencang di tengah rintik hujan. Tadi sebelum berangkat, saya dan suami memutuskan untuk berwudhu terlebih dahulu. Dengan asumsi bahwa nanti kami tidak kerepotan untuk mencari tempat wudhu yang belum diketahui posisinya. Saya tak sempat menebarkan pandangan diantara berbagai lampu sorot, sebelum akhirnya masuk di salah satu sisi pintu besar yang adalah pintu untuk jamaah lelaki. Beberapa orang terlihat sudah duduk, bertafakur, sembari menunggu azan berkumandang.

Saya melangkah ke arah belakang lalu melewati pagar kayu berukir setinggi lutut yang memisahkan antara shaf lelaki dan perempuan. Di area belakang tampak beberapa perempuan yang sudah duduk di sana mengenakan mukenah berwarna-warni. Beberapa karpet berwarna gelap, empuk, bersih, dan panjang, sudah tersusun sebagai garis batas shaf. Saya segera mengambil barisan terdepan, mengikuti banyak ibu-ibu yang sudah berada di barisan ini terlebih dahulu. Mengisi shaf terdepan.

Masih tersisa beberapa menit untuk melihat sekeliling setelah melaksanakan salat tahiyatul masjid sebanyak dua raka’at. Tadi saat melangkah ke arah belakang, saya melewati banyak sekali tiang putih dengan marmer putih dalam beragam motif. Marmer yang berbeda ini – menurut perkiraan saya – menunjukkan adanya pekerjaan perluasan masjid. Ukiran di langit-langit pun tampak indah meliuk di setiap sisi bersamaan dengan beberapa chandelier baik yang berwarna putih polos dan bergaya lama dengan bola-bola lampu yang terjaga dalam sebuah bulatan dan ornamen gelantung yang terbuat dari tembaga. Ada sentuhan gaya Eropa seperti saat mengunjungi bangunan-bangunan kolonial yang masih digunakan sebagai restoran berkelas (fine dining) di Jakarta dan berbagai kota besar di Indonesia.

Tak berapa lama, setelah jamaah terlihat mulai memenuhi ruang dalam masjid, lantunan azan pun terdengar. Saya sempat terpaku pada hati yang sendu. Hujan dan azan seringkali membangkitkan ingatan akan anak-anak dan orang tua. Sementara saya berada ratusan kilometer jauhnya dari mereka. Doa panjang saya lantunkan untuk orang-orang tercinta. Terutama untuk kesehatan, kebahagiaan, keteguhan pada iman Islam, dan penjagaan dari Allah Subhannahu Wata’ala.

Ada satu kejadian yang cukup mengganggu kekhusyuk’an salat subuh di hari itu. Ada seorang gadis yang lupa mematikan handphonenya. Kok ya ndilala suara panggilan itu sangat keras. Entah karena ada yang menelpon atau berasal dari suara alarm. Tapi yang pasti deringannya begitu menusuk telinga karena diatur dengan nada yang lumayan tinggi. Saya yang berada persis di samping gadis, sungguh merasa terganggu. Nikmat khusuk (sangat) terusik. Subhanallah kesabaran rasanya diuji. Saat salat jamaah berakhir, saya bersegera mengerjakan dua raka’at lagi, menggantikan subuh yang jauh dari konsentrasi tadi. Saya tak memperdulikan si gadis yang tampaknya menunggu saya dan mungkin hendak meminta maaf. Cukuplah tatapan mata saya yang setajam elang yang mewakili apa yang saya rasakan dan ingin katakan. Pengingat ya bagi kita semua, saat melangkah ke dalam masjid, tolong atur nada panggilan gawai kita dengan getaran saja. Dan itu tetap harus tanpa suara. Jangan sampai kelalaian kita membuyarkan ibadah orang lain.

Saya dan suami kembali ke hotel bersama rombongan tadi. Tak lama beranjak, saya melihat ada sebuah warung yang terang benderang dari sebuah pinggiran jalan. Kedai bertenda ini tampak mengepulkan asap kecil yang begitu menarik perhatian. Ada beberapa orang lelaki yang sudah duduk di dalam warung tersebut, mengobrol, dan menikmati kopinya masing-masing. Saya menatap ke arah kedai itu dengan keinginan kuat ingin ngopi di sana. Tapi kan nanti akan sarapan di hotel. Daya tampung lambung bisa oleng kalau dipaksakan. Jadi begitu tiba kembali di kamar, saya menuntaskan keinginan tersebut dengan membuat kopi hitam, lalu duduk di atas sofa kamar yang menghadap persis ke jalan utama. Rintik hujan masih menyentuh kaca jendela kamar, satu persatu, meski tidak sederas sebelum subuh tadi. Suasana yang kemudian menghadirkan rasa kantuk yang minta dituntaskan.

Baca Juga : Nyak Mu. Legenda Tenun Songket Aceh

Menelusur Kemegahan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh
Chandelier bergaya Eropa terlihat menghiasi beberapa titik langit-langit. Ada juga kipas angin yang menemani di sampingnya.

Menelusur Kemegahan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh
Area salat khusus untuk perempuan. Setiap shaf mengikuti karpet panjang yang sudah diletakkan.

Menelusur Kemegahan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh
Jamaah lelaki khusuk mendengarkan ceramah subuh

Menelusur Kemegahan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh
Masjid Raya Baiturrahman tempo doeloe. Masih dengan satu kubah besar

Baca Juga : Keajaiban Tsunami di Gampong Lampulo Aceh

Sekilas Tentang Masjid Raya Baiturrahman

Saya mencari berbagai tautan yang membimbing saya mendapatkan informasi rinci dan lebih lanjut tentang Masjid Kesultanan Aceh ini. Diantaranya adalah esi.kemendikbud.go.id, duniamasjid.islamic-center.or.id, djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-bandaaceh, dan wikipedia. Kesemuanya kemudian saya rangkum dan menghadirkan sederetan insight baru bagi diri saya pribadi.

Kata Baiturrahman yang disematkan pada masjid ini memiliki arti rumah yang diberkahi Allah Subhannahu Wata’ala. Menjadi icon dari provinsi Aceh, masjid ini pertama dibangun pada 1612M saat Sultan Iskandar Muda memerintah Kesultanan Aceh Darussalam. Di masa penjajahan Belanda, masjid ini digunakan sebagai basis pertahanan dan perlawanan rakyat Aceh. Selain itu juga menjadi pusat pendidikan ilmu agama Islam yang menghadirkan berbagai guru agama dari berbagai negara. Kondisi ini membuat Belanda meradang. Tentara Belanda dibawah pimpinan Mayjend J.H.R Kohler kemudan menyerang masjid dan kesultanan Aceh pada 10 April 1873. Masjid dibakar dan Mayjend Kohler pun tewas tertembak dalam peperangan ini.

Kejadian pembakaran ini membuat rakyat Aceh marah dan semakin melawan. Hingga akhirnya Belanda memutuskan untuk membangun kembali masjid untuk meredam/mengurangi kemarahan yang luar biasa tersebut. Peletakan batu pertama terjadi di 9 Oktober 1879 oleh Teungku Qadhi Malikul Adil (pemuka agama di Kesultanan Aceh) dan selesai pada 27 Desember 1881 di masa pemerintahan Kesultanan Aceh terakhir yaitu Muhammad Daud Syah. Saat itu Masjid Raya Baiturrahman hanya memiliki satu kubah besar.

Rancang fisik masjid ini dilakukan oleh seorang arsitek sekaligus tentara Belanda bernama Gerrit van Bruins. Pembangunan dikerjakan oleh Kapten Zeni Marsose dan Letnan Lie A Sie sebagai kontraktor. Keduanya juga adalah serdadu angkatan darat dari pasukan Belanda. Dalam proses ini van Bruins berkonsultasi dengan Christiaan Snouck Hurgronje – seorang sarjana budaya dan bahasa yang menjadi penasehat pemerintah kolonial Belanda – dan K.H. Hasan Mustapa – seorang penghulu asal Bandung. Tentu saja dengan maksud agar pembangunan masjid telah mengikuti kaidah dan hukum Islam yang berlaku di Tanah Rencong ini.

Berbagai referensi tersebut di atas juga mencatat bahwa arsitektur dan visual masjid ini mengikuti berbagai gaya. Menara dan kubah besar ala Taj Mahal India mengikuti gaya Mughal. Ornamen dinding bermotif sulur dan pucuk daun mengikuti gaya neo klasik Eropa. Kolom-kolom berbidang lengkung berdasar pada gaya Cordoba Magribi. Bentuk atap genteng keramik dari tanah liat bergaya tropis. Lalu bentuk dan ukiran jendela condong kepada gaya Eropa. Semua berpadu satu dalam langgam yang cantik dengan sentuhan interior design yang menampilkan ukiran estetik, menemani banyaknya tiang putih dan lampu gantung yang tampilannya nyaris seragam.

Hingga saat ini – setidaknya ketika saya berkunjung di September 2023 – Masjid Raya Baiturrahman yang berdiri di atas tanah seluas 31.000m2 dengan luas bangunan 4.760m2 terlihat luar biasa cantik dengan banyak spot foto yang instagrammable. Sebuah taman dengan kolam besar terhidang di halaman depan. Pijakan yang tadinya ada rerumputan kemudian diganti dengan marmer putih. Di sudut yang berseberangan dengan pintu depan masjid dan setelah kolam besar terdapat satu dinding panjang bermotif kubah dibangun sejajar dengan masjid. Jadi jika kita berfoto di dinding ini atau mengambil sudut foto dari seberang dinding berukir tersebut, tampak depan kemegahan Masjid Raya Baiturrahman juga akan terekam dengan sempurna.

Keunikan tampilan Masjid Kesultanan Aceh ini semakin mengesankan saat melihat kehadiran 12 payung elektrik yang bisa buka tutup. Dari warna, motif tutupnya serta fungsinya, saya tetiba teringat akan Masjid Nabawi yang ada di Madinah. Payung elektrik ini tentunya dibuat agar para jemaah yang berada di halaman masjid dapat tetap beribadah dengan nyaman. Sama seperti apa yang terjadi di Masjid Nabawi, bisa dibayangkan saat jamaah yang datang luar biasa banyak dan tak tertampung di dalam masjid. Berada di luar dengan lindungan payung besar tersebut tentunya menjadi salah satu solusi yang tepat.

Perluasan terakhir yang dilakukan pada Mei 2017 di masa pemerintahan Zaini Abdullah (2012-2017) tentu saja telah menorehkan sejarah bagaimana akhirnya kemegahan Masjid Raya Baiturrahman menjadi salah satu dari sepuluh masjid tercantik di tanah air tercinta.

Menelusur Kemegahan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh

Menelusur Kemegahan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh
Salah satu sisi fasad depan Masjid Raya Baiturrahman

Menelusur Kemegahan Masjid Raya Baiturrahman

Rampung menikmati sarapan di hotel tempat kami menginap, pkl. 09:00 wib, Akmal – tour guide saya – selama berkelana di beberapa sudut Banda Aceh tiba untuk memulai rangkaian perjalanan. Saya dan suami memutuskan untuk kembali ke Masjid Raya Baiturrahman karena tadi pagi tidak sempat memotret apapun karena hujan enggan berhenti. Dan mumpung ada orang ketiga yang membantu memotret, tentunya akan banyak shoot yang tercipta untuk kami berdua. Jadi meskipun langit tampak belum begitu cerah, saya yakin matahari akan nyembul beberapa saat di tengah suhu udara yang pelan-pelan beranjak hangat.

Setelah tadi pagi memuaskan diri memotret bagian dalam masjid, kali ini saya ingin menyusur bagian luar masjid yang sangat luas. Selain bangunan masjidnya sendiri, di sisi lain, di atas lahan yang lebih luas terdapat sebuah taman dan kolam air. Kolam inilah yang sering memantulkan gambaran masjid saat malam hari dan semua lampu di badan bangunan masjid menyala dengan sempurna. Di sekeliling kolam, ada serangkaian tanaman yang tampak begitu tumbuh sehat dan pagar yang dipasang untuk menjaga taman. Jika melihat foto-foto lama sebelum renovasi terakhir di 2017, taman ini dulunya full rumput. Tapi dengan pertimbangan kenyamanan dan untuk menampung jamaah yang membludak di saat-saat khusus, maka taman rumput ini diganti dengan marmer putih. Saya merasakan efek dingin dan nyaman di telapak kaki saat melangkah berkeliling. Beberapa saat saya melepaskan kaos kaki untuk menikmati dingin yang begitu menentramkan hati.

Saya melepaskan pandangan ke segala arah. Lalu menatap ke sebuah payung yang sedang dikembangkan. Jika di Agustus 2023 – saat umrah bersama suami – saya belum beruntung menyaksikan payung di Masjid Nabawi mekar, di Masjid Raya Baiturrahman ini saya mendapatkan pengalaman itu. MashaAllah. Sungguh suatu kebahagian dan suka cita yang tak terwakilkan oleh diksi apapun.

Waktu-waktu menelusur kemegahan Masjid Raya Baiturrahman ini saya teruskan dengan mencari spot foto yang istagenic dan sociamediaable. Ternyata tak butuh titik khusus untuk mendapatkan itu. Karena hampir di setiap sudut masjid dan halamannya, kita dapat merekam banyak keindahan dan rangkaian kenang-kenangan yang sangat berarti. Masjid pun terjaga kebersihan dan kerapihannya. Jadi kenyamanan itu dihadirkan dan menjadi milik kita. Di sini saya tidak takut jika foto-foto saya akan “bocor” karena kehadiran orang lain. Tapi justru situasi itu membuat foto terekam sempurna serta natural.

Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh sepagian itu sedang menerima tamu istimewa. Serombongan keluarga besar yang menikahkan anak-anak mereka. Saya mendadak teringat bahwa saya pun menikah di masjid dengan nama yang sama. Masjid Baiturrahman (tanpa kata Raya) di kompleks DPR/MPR Senayan Jakarta. Mendadak saya tersentuh dengan kata Baiturrahman yang disematkan dan memiliki arti yang sungguh mendalam.

Menelusur Kemegahan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh
Sebuah menara tinggi yang letaknya jauh di seberang masjid

Diantara sayup-sayup terdengar rangkaian nasihat pernikahan dari seorang petugas KUA atau seorang Imam yang diundang keluarga, saya melangkahkan kaki menuju pintu utama masjid. Ada rangkaian tangga yang cukup landai. Saya tak menyangka bahwa tangga ini dilumuri oleh air yang terus mengalir sementara saya belum sempat membuka kaos kaki. Idenya menurut saya apik karena kita diijinkan untuk membersihkan kaki sebelum melangkah masuk ke dalam masjid.

Setelah berada di teras depan yang cukup luas, saya terkagum dengan sebuah ukiran yang terbuat dari besi berwarna rose gold. Pintu berukir ini terlihat kokoh dengan sentuhan rancang filigree yang seragam di setiap lipatan. Begitupun dengan dinding berbentuk kubah masjid yang digabungkan dengan ukiran besi yang mencantumkan asma Allah Subhannahu Wata’ala di kedua sisi, di atas pintu besi lipat ini. Di langit-langit teras juga dipasang sebuah chandelier besar berukir dengan lempengan besi yang tertata dengan sangat indah. Beberapa diantaranya juga saya lihat di dalam ruangan masjid saat salat subuh pagi tadi.

Di teras ini juga saya membayangkan saat air bah tsunami menerjang masuk ke dalam kota Banda Aceh dan “menyambangi” Masjid Raya Baiturrahman. Lewat beberapa video dokumenter yang saya tonton di Museum Tsunami Aceh, ada beberapa shoot yang memperlihatkan bagaimana air bah datang sembari membawa sampah-sampah berat seperti potongan atau gelondongan kayu serta besi, jazad para korban yang sudah tidak sempurna, bahkan beberapa kendaraan bermotor yang terbawa arus kesana kemari. Terdengar teriakan-teriakan istighfar dan menyebut nama kebesaran Nya yang berdegung kencang. Hati saya pun terjebak pada kekaguman betapa Allah sudah melindungi rumahNya dengan cara yang tak pernah kita duga. Karena disaat tsunami menghancurkan sekian banyak bangunan, Masjid Raya Baiturrahman tetap tegak berdiri. Masjid ini bahkan menjadi tempat penampungan sementara para penyintas yang tak tahu harus pergi kemana.

Saya cukup lama berdiri di teras ini sembari memotret semua kecantikan yang terbangun oleh tangan-tangan midas mereka yang paham akan keagungan rumah Allah Subhannahu Wata’ala. MashaAllah. Semoga mereka, semua yang terlibat pada kemakmuran Masjid Raya Baiturrahman ini selalu diberkahi oleh kesehatan, kemurahan rezeki, dan terus menjadi manfaat bagi orang banyak. Aamiin Yaa Rabbalalaamiin.

Menelusur Kemegahan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh

Menelusur Kemegahan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh

Menelusur Kemegahan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh

Menelusur Kemegahan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh

Menelusur Kemegahan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh

Menelusur Kemegahan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh
Sebuah keindah yang tak terbantahkan

Blogger, Author, Crafter and Photography Enthusiast

annie.nugraha@gmail.com | +62-811-108-582

22 thoughts on “Menelusur Kemegahan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh”

  1. Masya Allah adem banget baca artikel mba Annie,
    Jujur aja, Aceh terutama Masjid Baiturrahman udah lama bgt jadi salah satu tujuan impian destinasi lokal yg blom kesampaian.
    Aku selalu liat keistimewaan dari Masjid Raya Baiturrahman ini yg bukan sekedar simbolis agama atau landmark kota tapi kalau baca kilas sejarahnya juga mencerminkan kekuatan, perjuangan dan nasionalisme rakyat Aceh yg masa berdirinya pun sudah lama sekali

    Reply
    • MashaAllah. Setuju banget dengan pendapatnya Mbak. Masjid Baiturrahman sejatinya memiliki makna yang tak terwakilkan oleh diksi manapun. Semoga suatu saat Mbak Siti Nurjanah bisa berkunjung ke Banda Aceh dan menginjakkan kaki di rumah Allah Subhannahu Wata’ala ini. Aamiin Yaa Rabbalalaamiin.

  2. Saya selalu tertarik dengan desain berbagai masjid bersejarah di Indonesia. Unik banget Masjid Baiturrahman yang dibangun tahun 1800-an.
    Walaupun campuran berbagai gaya arsitektur bisa harmoni dengan indahnya.
    Pengen juga kapan-kapan menyambangi masjid ini dan shalat di sana.

    Reply
    • Saya setuju sekali dengan diksi HARMONI yang Mbak Hani tulis. Karena keindahan penggabungan beberapa motif dari berbagai negara justru membuat Masjid Raya Baiturrahman ini menjadi sangat istimewa.

  3. Setiap membaca tentang Aceh, lebih tepatnya Banda Aceh, gak tau kenapa serasa vibesnya seperti saya pergi ke Mekah Madinah

    Walau pastinya beda secara fisik

    Saat tsunami, Allah menunjukkan kuasanya lewat Masjid Baiturrahman, tetap kokoh berdiri

    sehingga tetap bisa bersyukur: “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan.”

    Reply
    • MashaAllah bener banget Mbak Maria. Saya ke Aceh itu September 2023 gak lama setelah saya pulang umrah di Agustus tahun yang sama. Saat melihat payung-payung yang didirikan di teras masjid, saya langsung teringat dengan Masjid Nabawi di Madinah. Payungnya mirip banget dengan yang ada di Madinah itu. Mendadak dejavu seperti umrah kembali.

  4. Wajar Bu Annie terpekur di sana, karena memang vibes masjidnya Masya Allah keren.
    Apalagi masjid ini pun juga udah ditampakkan oleh kota Maha Besarnya Allah SWT yang tidak kena terjangan tsunami.
    Insyaa Allah ada kesempatan, mau juga ziarah ke sana daku

    Reply
    • Aamiin Yaa Rabbalalaamiin. Semoga Allah Subhannahu Wata’ala memberikan rezeki, kesempatan, usia, dan kesehatan buat Fenni untuk berkunjung dan salat di Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh ini.

  5. Serasa diajak wisata religi bareng mba Annie , terasa ademnya kalau kita mengunjungi masjid di kota tempat kita traveling ya mba.. semoga bisa menjejak sampai ke situ, aamiinn YRA

    Reply
    • Masjid Raya Baiturrahman ini memang sudah lama ingin saya kunjungi. Alhamdulillah Allah memberikan rezeki, waktu, dan usia untuk saya bersujud di sini.

  6. Besar banget ya Kak Masjid Raya Baiturrahman, apakah mungkin lebih besar dari Masjid Nasional Al Akbar di Surabaya. Wuih keren juga Kak Annie bisa membagikan insight seputar peristiwa tsunami Aceh yang sangat menggemparkan itu.

    Reply
    • Saya kebetulan belum pernah berkunjung ke Masjid Nasional Al Akbar Surabaya. Semoga kesamaan kenyamanan dan fasilitas di sana sama megahnya dengan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh ini. Karena sejatinya sebuah landmark, icon, berupa tempat ibadah, tentunya akan menjadi satu tempat yang membuat setiap pengunjungnya khusyuk bersujud kepada Sang Pencipta.

      Masjid ini memang punya cerita luar biasa saat tsunami 2004 terjadi di Aceh. Banyak cerita yang mengagumkan dari para saksi dan penyintas bencana ini. InshaAllah akan menambah kecintaan kita akan rumah Allah Subahnnahu Wata’ala.

  7. Masjidnya megah sekali ya Bu. Bahkan ketika tsunami juga masih nampak kokoh. Saya merinding jadinya. Wisata religi ke Aceh suatu pengalaman tak terlupakan pastinya. Arsitekturnya juga bagus menurut saya. Setiap kota memang punya masjid unik kebanggaan daerah

    Reply
    • Banyak cerita kekaguman yang terukir untuk Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh ini. MashaAllah. Bukan hanya jadi kebanggaan rakyat Aceh tapi juga Indonesia secara keseluruhan. Memori yang melekat di dalamnya juga menjadikan masjid ini begitu istimewa.

  8. Tak bisa menyaksikan payung-payung dikembangkan di Masjid Nabawi saat umroh, eh malah bisa menyaksikan payung dikembangkan di Masjid di Serambi Mekah ya mbak.

    Bagus nih ada antar jemput dari hotel ke masjid saat waktu subuh. Saya tuh membayangkan ini diadopsi hotel-hotel di Jakarta, ada antar jemput ke istiqlal kala waktu subuh.

    Reply
    • Bener Mbak. Belum rezeki menyaksikan langsung buka tutupnya payung besar di Masjid Nabawi. Semoga ini menjadi pertanda bahwa Allah Subhannahu Wata’ala memang mengatur kedatangan saya kembali ke rumahNya yang indah. Aamiin Yaa Rabbalalaamiin.

  9. Kalau kaki sudah melangkah masuk ke masjid memang seharusnya ponsel dibuat silent lebih dulu, biar tidak mengganggu orang sekitar yang sedang beribadah. Apalagi juga diri sendiri si pemilik ponsel kan jadinya ikut terganggu juga

    Reply
    • Betul banget Fen. Dan itu, subhanallah keras banget bunyi deringnya. Terus berbunyi, tak kenal henti. Habislah itu cewek diomelin orang dua shaf salat. Saya pun kembali mengulang salatnya karena tadi gak bisa konsen sama sekali.

  10. Jadi penasaran, adakah di kota lain, hotel yang menyediakan jasa berangkat salat subuh seperti ke Masjid Raya Baiturrahman

    karena banyak masjid di provinsi lain yang punya sejarah panjang

    seperti masjid Agung Bandung, masjid Cipaganti dst …kan lokasinya dekat dengan beberapa hotel

    tapi mungkin beda culture-nya ya? Andai diadakan mungkin gak banyak yang tertarik
    tapi ya siapa tahu?

    Reply
    • Saya baru kali ini ketemu fasilitas pengantaran subuh seperti di Kyriad Muraya Hotel Banda Aceh. Belum pernah merasakan hal yang sama di kota-kota lain. Semoga bisa jadi plus service yang bisa dicontoh oleh hotel atau daerah yang lain.

  11. Sudah berpuluh-puluh tahun berlalu tapi masih dibuat kagum sama kemegahan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh yang walau pernah kena tsunami tapi masih berdiri kokoh. Masha Allah..

    Reply

Leave a Comment