Saat publik pada berisik, mengkritik, tentang perempuan (baca: istri pejabat dan petinggi negara) tampil dengan tas dari berbagai jenama internasional, bergengsi, dan berharga selangit, saya juga kemerungsung. Katanya ingin memajukan produk asli dalam negeri. Mengangkat jenama lokal di kancah internasional. Tapi kok malah kebalikannya?
Topik ini, terus terang, sering jadi materi pembicaraan antara saya dan teman-teman. Khususnya dengan rekan sesama UKM yang bergerak di bidang craft, handmade products, and fashion. Usaha skala kecil yang berusaha menjadi besar. Setidaknya membesar dari tahun ke tahun. Membaik dari masa ke masa. Bahkan mungkin jadi pemain atau produsen yang kemudian disegani, dikenali oleh banyak publik nusantara. Setidaknya begitu.
Kita loh berkeringat, berpeluh, berjuang mati-matian agar produk domestik berkibar. Bahkan banyak diantara kami yang mengerjakan semua sendiri. Dari hulu hingga ke hilir. Dari membeli bahan, memproses, mempromosikan, dan mencatat semua keperluan, termasuk memutar otak bagaimana caranya agar sisi keuangan tetap sehat dan cash flow bisa berjalan sebagaimana mestinya. Sementara mereka, what so called, para pejabat, justru enggan melirik, membeli, dan mengenakannya. Beli mungkin iya tapi nawarnya yahud (setidaknya itu pengalaman saya berkali-kali). Itu pun biasanya terjadi pas pameran atau pas ada event yang menampilkan “kepedulian” pada UKM. Boro-boro mau menjadi salah satu “media” promosi. Jauh bener sepertinya harapan untuk itu.
Yah jadi curcol berkepanjangan deh (ngakak). Tapi eh coba deh perhatikan berapa persen sih emak-emak sosialita atau ibu-ibu pejabat itu pakai produk dalam negeri di waktu-waktu mereka tampil resmi di depan publik. Mereka lebih “rela” tampil dengan kemewahan berharga puluhan – ratusan juta – bahkan milyaran dari jenama internasional yang menunjukkan “kelas” mereka.
Diskusi ini menjadi seru saat saya dan Ipeh sedang dalam perjalanan pulang ke hotel dari satu tempat wisata saat kami liburan bareng di Yogyakarta. Entah karena alasan apa saya membuka Instagram dan mencari beberapa informasi tentang tempat-tempat belanja dengan produk lokal yang cukup ternama. Aaahh ini karena kami berdua terjebak macet ding. Bumper to bumper traffic jam yang lumayan lama di depan sebuah mall besar membuat kami punya kesempatan banyak untuk ngobrol tentang banyak hal.
Begitulah hingga akhirnya saya tetiba terpikirkan tentang DOWA. Salah satu produsen tas rajut berkualitas yang lokasi salah satu outlet nya berada hanya sekian langkah dari Tugu Yogyakarta (Jl. Margo Utomo, Jetis). Tempat yang belakangan saya baru ngeh jika namanya adalah DOWA Honje Mangkubumi.
Bapak supir yang mengantarkan kami pun langsung merubah arah saat saya mengutarakan perubahan tujuan.
Tentang Saya dan DOWA
Saya sudah mengenal DOWA hampir 10 (sepuluh) tahun lamanya. Bahkan mungkin lebih. Saat itu saya diajak salah seorang teman -yang juga adalah konsumen DOWA- untuk berkenalan dengan jenama asal Yogyakarta ini. Kala itu kami pergi ke Flag Store & Factory di Godean yang berlokasi di Sidomoyo. Atau bisa jadi bukan yang ini karena saya susah tidak lagi mampu mengingat lokasi tepatnya. Yang pasti outlet nya lumayan besar dan luas. Rumah berlantai satu yang sepertinya berdiri di atas tanah seluas sekitar 400-500 m2. Ada ruang pamer di bagian depan dan ruang pengerjaan/produksi di sisi belakang. Saya bisa yakinkan itu adalah ruang produksi karena saya bisa mendengar suara mesin jahit bersahut-sahutan. Iramanya teratur dengan detak-detak hantaman jarum jahit dari beberapa mesin otomatis.
Saya membeli sebuah tas kerja dengan ukuran cukup besar karena memang lagi butuh tas seukuran itu untuk membawa laptop. Harganya waktu itu, menurut saya, cukup pricey. Tapi saat berulangkali memegang dan mengamatinya, saya merasakan sebuah bahkan serangkaian keyakinan serta keistimewaannya. Pertama adalah soal kualitas benang yang dipakai, kedua tentang pengerjaan tangan langsung, dan terakhir adalah soal kualitas asli kulit yang terjahit sempurna dengan benang tebal yang dirajut tangan.
Yang paham dengan pengerjaan crochet, apalagi menggunakan benang yang cukup tebal seperti yang digunakan DOWA, plus proses kreatif yang harus dilewati, pasti paham dengan rentang harga yang ditetapkan.
Dan perlu juga diinfokan bahwa tas kerja yang saya beli 10 (sepuluh) tahun yang lalu itu, masih tetap cantik berkualitas hingga saat ini. Pengerjaan crochetnya kuat, kulit tebal aslinya tetap kokoh, jahitannya awet rapi, dan tak sedikit pun lecet meski sering saya gunakan. Terutama saat harus membawa laptop, dokumen kerja, buku, alat tulis, dan lain-lain.
Terakhir saya gunakan adalah di saat saya mengikuti writing retreat yang diadakan oleh komunitas Satu Pena. Acara diadakan di area Puncak selama 3 (tiga) hari 2 (dua) malam. Tak sedikit yang memuji tas yang saya bawa karena terlihat kokoh dengan warna yang begitu menarik. Mereka pun salut dengan setiap inci rajutan yang dikerjakan murni oleh tangan manusia. Beberapa dari teman ini ada juga yang memiliki tas DOWA tapi dengan ukuran yang lebih kecil. Ada yang membeli saat pameran craft & fashion di JCC. Ada juga yang datang ke showroom DOWA di kawasan Kebayoran Baru. Tas-tas mereka juga awet seperti halnya milik saya.
Teman-teman penulis yang besarnya sama di angkatan saya masih pada ingat bahwa merajut dulunya menjadi satu keahlian yang diajarkan turun temurun. Saya juga awalnya belajar dari sekolah. Ada mata pelajaran kerajinan tangan. Jadi saat itu para murid dikenalkan dengan banyak pilihan craft dengan beragam teknik dasar. Ini jadi salah satu mata pelajaran yang saya sukai selain sejarah dan bahasa.
Jadi ketika menemukan pengerjaan crochet yang begitu rapi dengan ikatan yang kuat, saya terjebak dalam kekaguman. Apalagi sesungguhnya teknik handmade ini juga saya pakai dalam memproduksi wire jewelry. Perhiasan berbahan dasar utama kawat yang menjadi salah satu lini bisnis saya.
Mengenal Tas Rajut DOWA
Satu hal pasti yang ingin saya sampaikan adalah bahwa rajutan/crochet itu sudah pasti handmade. Sejauh ini masih dikerjakan oleh manusia bukan mesin. Menggunakan alat yang secara umum fisiknya mirip jarum, para perajut menggunakan alat yang dikenal sebagai hakpen.
Hakpen ini tersedia dalam berbagai ukuran yang disesuaikan dengan besar kecilnya diameter media rajut yang akan digunakan. Untuk saya yang mengerjakan wire jewelry menggunakan kawat ukuran 0.3mm atau 0.28mm, saya sering memakai hakpen dengan ukuran 2mm atau 1.75mm. Jenamanya pun bermacam-macam. Ada yang berasal dari Eropa, Jepang, China, dan lain-lain. Saya sendiri menggunakan hakpen dari jenama TULIP yang asli Jepang. Selain awet secara materi/bahan pembuatannya, Tulip memahami faktor ergonomis penggunanya. Bantalan di pegangan telapak tangan dan jari-jari sungguh sangat melegakan. Tidak gampang capek saat kita merajut berjam-jam. Kualitas jarumnya juga istimewa. Tidak akan berkarat.
Jika melihat dari hasil rajutan tas DOWA, saya berasumsi bahwa benang yang digunakan berukuran diameter sekitar 1-2mm. Jadi hakpennya pun pasti lebih besar dari yang biasa saya gunakan. Jika dulu -saat saya pertama beli- teknik rajut yang digunakan cenderung dari basic (teknik awal), sekarang sudah lebih bervariatif. Sudah ada yang berbentuk setengah bunga, persegi panjang. Tidak hanya lurus saja. Tapi meskipun “hanya” menggunakan teknik sejajar, sang perajut pasti butuh konsentrasi dan tenaga yang kuat serta tarikan yang sama konsistennya, supaya hasil rajutan seragam dari ujung ke ujung, lapis demi lapis.
Benangnya pun pastilah berkualitas baik karena warnanya awet bertahun-tahun. Saat saya coba tarik pun benang itu bergeming. Ditekan juga tidak berubah. Semua tampak perfect. Saat saya tanyakan kepada seorang petugas yang berjaga di DOWA Honje Mangkubumi, tali atau benang yang digunakan sayangnya masih berstatus import dari beberapa negara. Belum ada produsen lokal yang bisa dan mampu membuat benang dengan standar kriteria yang ditetapkan DOWA.
Dari apa yang saya baca lewat tautan resmi DOWA, saya memahami bahwa jenama ini melibatkan para ibu kreatif untuk mengerjakan rajutannya. Mereka tersebar di beberapa tempat yang ada di Yogyakarta, seperti desa Kulonprogo, Bantul, dan Sleman. Keahlian dan kerja sama mereka dengan DOWA diharapkan dapat menjadi tambahan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari hingga bisa mewujudkan kemandirian secara ekonomi. Mereka mengerjakan rajutan setengah jadi yang sudah diarahkan oleh DOWA. Pekerjaan mereka kemudian dipilah dan disempurnakan oleh mesin canggih. Finalisasi indah yang kemudian bisa kita lihat di beberapa showroom dan e-commerce yang membawa kita menikmati indahnya handmade crochet dalam berbagai aplikasi.
Lewat aneka manmade items inilah, kita bisa melihat sebuah bahkan rangkaian kombinasi istimewa dari kesabaran, ketekunan dan tangan-tangan terampil yang menghasilkan karya yang berkelas. Seperti misalnya home appliances collection (home set for tables, cushion, tissue case, placemat, coaster, table runner), aneka produk tas (backpack, canvas, crossbody, hobo, satchel, tote, weekender, wallet, dan clutch). Kemudian ada hanging charm, cosmetics case, coin purse, traveling pouch, dan gadget case.
Yang perlu saya sampaikan juga adalah bahwa karena menggunakan benang yang cukup besar dengan rajutan yang bertumpuk, produk DOWA, khususnya tas wanita, jadi lebih berat jika dibandingkan dengan produk-produk sejenis. Jadi jangan lupa mencoba mengenakannya saat membeli langsung atau menilik info beratnya saat memesan secara daring.
Berkunjung ke DOWA Honje Mangkubumi Yogyakarta
Penanda yang paling mudah dari DOWA Honje Mangkubumi adalah letaknya yang sangat dekat dengan Tugu Yogyakarta. Hanya beberapa langkah hingga kita bisa berbelanja sembari foto-foto di Tugu dan sekitarnya yang adalah salah satu destinasi wisata di kota slow living ini. Dan meski berada di kawasan penuh kesibukan, DOWA Honje Mangkubumi menyediakan lahan parkir di dalam bangunan toko mereka. Kita juga bisa kok parkir di pinggir jalan, di mana outlet ini berada. Habis belanja terus mau jajan? Jangan khawatir. Di salah satu sudut Tugu ada resto dan cafe Kebon Ndalem yang sungguh wajib buat dihampiri. Sudut photographynya apik, interior designnya unik, dengan keramahan petugas yang sangat menyenangkan.
Bangunan DOWA Honje Mangkubumi yang berkonsep art deco mendadak mengingatkan saya akan bangunan-bangunan lama, warisan zaman Belanda. Dari luar terlihat tempat ini tersedia dalam 2 (lantai). Saat masuk, sapaan hangat pun mengudara. Di sini berdiri sekian banyak rak besi dan display tools yang didominasi oleh warna emas dan hitam. Lantainya berkeramik unik dengan motif yang cantik. Sementara di bagian terujung ada area kasir dengan latar belakang tulisan DOWA yang mentereng.
Ruangannya terasa begitu lapang karena DOWA Honje Mangkubumi sangat pintar mengatur setiap materi jualan dengan begitu apiknya. Tidak hanya dikelompokkan sesuai dengan jenisnya, tapi juga oleh efek pewarnaan. Semua rapi dan terlihat berkelas, mendorong kita untuk menelusur rak demi rak, bagian demi bagian, agar tak satu pun karya crochet ini terlewatkan. Yang pasti, ini jadi salah satu dunia kebahagiaan bagi para pecinta produk fashion wanita.
Ipeh pun tampak larut dengan kekagumannya sendiri. Dan setelah berbincang lebih jauh, sang petugas mengajak kami ke lantai 2 (dua) di mana tersedia karya-karya DOWA dengan bahan baku (material) benang yang beberapa tingkat di bawah produk andalan mereka. Harga pun otomatis lebih bersaing dan lebih ramah untuk kantong emak-emak. Saya jadi ikut bersemangat.
Melewati pintu belakang dan sebuah area atau spot penyambutan dengan barisan dudukan dan backdrop kayu bertuliskan DOWA Honje Mangkubumi, saya dan Ipeh melewati beberapa anak tangga yang tersusun apik. Sebuah kejutan pun menyambut kami.
Di lantai 2 (dua) ini selain teras yang luas menghadap ke Tugu, ada ruangan resto yang juga menghadap ke arah yang sama. Hanya sayangnya resto ini sudah tidak beroperasi. Berlawanan arah dengan kedua spot ini ada sebuah ruangan besar yang adalah area belanja dari produk yang dimaksudkan oleh sang petugas tadi. Dengan luas ruang sekitar 150m2, DOWA Honje Mangkubumi menampilkan beragam karya dengan menggunakan jenis display yang sama. Namun di area ini penataannya jauh lebih padat. Yang membuat saya tertegun adalah justru pada langit-langit ruangannya. Selain tinggi, ceilingnya terbangun indah penuh warna dengan garis-garis yang tegas layaknya sebuah doom masjid besar.
Jika Ipeh tampak sibuk memilah dan memilih, saya malah asik menengadah dan merekam berbagai sudut ruangan dengan kondisi langit-langit indah tersebut dapat saya potret sekaligus. Senangnya lagi pihak DOWA Honje Mangkubumi mengizinkan saya untuk memotret sepuas mungkin untuk saya hadirkan di artikel ini. Ah senengnya.
Saya dan Ipeh meninggalkan DOWA Honje Mangkubumi dengan hati riang dan mendapatkan apa yang kami inginkan. Keramahan petugas mengantarkan kami untuk ngaso sebentar di sebuah area tunggu yang berada di tengah bangunan. Demi mengukir kenangan, kami berdua berfoto di sini sembari bersenda gurau. Kami pun kemudian bergegas melanjutkan perjalanan pulang ke hotel. Istirahat sebentar baru setelah itu menjelajah Prawirotaman untuk menyantap makan malam.
Sukses terus untuk DOWA. Semoga senantiasa berkibar di dalam maupun di luar negeri. Menghadirkan beragam handmade crochet yang berkualitas dengan skala premium dan beragam produk yang memenuhi keinginan pasar. Saya yakin DOWA adalah salah satu jejaring bisnis andalan dengan manajemen yang sangat mumpuni. Keberadaannya dalam hitungan masa yang tidak sedikit tentunya menjadi salah satu indikasi bahwa jenama ini kerap dan selalu menjaga nama baiknya di tanah air.
Yuk kawans kita (tetap) tumbuhkan rasa cinta kepada produk asli lokal. Apalagi “di belakang” jenama besar ini, ada sederetan ibu-ibu perajut yang menggantungkan pendapatan dari kerja sama mereka bersama DOWA.
Setuju Bu Annie, bisa memungkinkan demikian manajemen yang sangat mumpuni di DOWA, karena tata letaknya yang apik, belum lagi handmade yang dibuat memiliki kualitas oke. Sehingga memang perlu kita dukung produk lokal ini untuk semakin maju
Bagus banget ya mbak tas rajutnya. Saya pernah belajar buat kaya gini susah banget, tapi kalau jadi rasanya puas banget.
Merajut memang banyak tantangannya Mas Adi. Mulai dari tarikannya, hitungannya, hingga kesesuaian rumus dari setiap teknik. Mata dan kesabaran juga tercabar.
Wah baru tentang Dowa Mangkubumi ini
Kalo ke Yogya biasanya cuma ke House of Raminten (dulu Mirota) karena banyak printilannya :D
Saya dulu punya tas rajut seperti itu
Yang bikin sobatnya almarhum ibunda
Sayang disayat pencuri waktu sedang di Pasar Baru Bandung
Sedih banget, dompet dll melayang, tasnya rusak
Mirota berubah jadi Raminten kemudian berubah lagi menjadi Batik Hamzah. Ini yang saya kunjungi di kawasan Malioboro.
Dowa sendiri asli Yogyakarta Mbak. Sudah lumayan lama dan punya nama mentereng di dunia fashion – khususnya produk tas yang menjadi produk awal mereka.
Aku pernah punya tas DOWA ini. Model Tote bag. Bagus rajutannya rapi dan kuat, warnanya juga keren, engga norak. Lapisan dalamnya juga rapi.
Sayangnya berat euy. Mungkin krn benangnya tebal yah. Jadinya jarang dipakai…
Mungkin ke depan, ada benang yg ringan gitu kalik yah. Aku beli lagi deh…
Betul Mbak Hani. Ketebalan tali yang digunakan dan teknik rajut yang dipakai membuat tas kita jadi berat. Tapi memang kuat dan awet banget. Kulitnya juga top dengan jahitannya yang sangat rapi. Tas kerja saya sudah 10 tahun-nan aja masih awet banget. Gak rusak secuil pun.
Produk Dowa cantik-cantik kaya khas aja gitu. Designnya cukup kasual dgn model yang trendi , selain itu juga warnanya beragam.
Nahhh…memang agak mengherankan dgn para sosialita/pejabat/org berduit lainnya. Banyak yg menyuarakan dukung umkm (entah utk kepentingan atau apapun) tp terbilang cukup enggan mengenakan dan lebih berbangga menggunakan inteenational merk
produk Lokal sekarang bagus-bagus, apalagi produk handmade seperti tas ini yang dibuat dengan sepenuh hati dengan tenaga manual atau tangan, kualitasnya nggak perlu diragukan lagi
aku kalau pergi ke pameran umkm mesti dibuat kagum sama karya-karya lokal, bener bener kreatif pokoknya dan desainnya juga unik