Mencicipi Lezatnya Choi Pan di Kawasan Tradisional Marga Thjia Singkawang

Mencicipi Lezatnya Choi Pan di Kawasan Tradisional Marga Thjia Singkawang

Saya mengenal Choi Pan saat mulai menyukai chinese food yang bertebaran di seantero Jakarta, khususnya di kawasan Jakarta Barat, di mana dulu saya dan keluarga tinggal. Choi Pan bagi saya sama menarik dan enaknya dengan siomay, lumpia, bakpao, cakwe, dan berbagai jajanan khas Tionghoa lainnya. Kesukaan saya akan Choi Pan ini kemudian tereksplorasi dengan sempurna saat berkunjung dan mencicipi lezatnya Choi Pan di Kawasan Tradisional Marga Thjia di Singkawang

Hari itu adalah hari ke-3 saya berada di Pontianak. Setelah dua hari sebelumnya panas sungguh melekat dan memunculkan butiran keringat sebesar biji jagung serta membuat baju yang saya kenakan lengket berat, hari itu suasananya sungguh sangat berbeda. Tanpa diduga, mendadak pkl. 03:00 wib dini hari, tiba-tiba kota Pontianak diguyur hujan amat deras dengan angin kencang yang berhamburan. Hal ini jadi begitu mendebarkan karena angin tersebut menghantam jendela kaca kamar hotel di mana saya dan suami menginap. Hantamannya lebih menyerupai pukulan layaknya seseorang yang sedang menggedor-gedor pintu dengan ritme tidak sabaran.

Awalnya saya merasakan nikmatnya berada di sebuah suhu udara dingin, tapi kemudian jadi khawatir karena hingga keesokan paginya hujan deras tak kunjung reda. Saya menggerakkan tubuh, mencoba mengusir rasa malas yang mendera. Gimana enggak. Dengan cuaca sedemikian nikmat, seharusnya lebih asik terus mengukur kasur. Menaikkan selimut, memeluk guling, dan merajut mata agar tetap terlelap.

Tapi sayangnya, saya harus bangun. Mandi, berpakaian rapi, sarapan bersama suami, karena harus berangkat menuju Singkawang di pagi-pagi sekali. Seperti yang sudah sehari sebelumnya saya sepakati dengan Rizky, blogger yang menemani saya menjelajah selama di Pontianak, saya harus berangkat paling lambat pkl. 07:00 wib agar bisa tiba di Singkawang persis di jam menjelang makan siang. Itu pun dengan catatan bahwa waktu tempuh selama 4 (empat) jam tidak mengalami hambatan sama sekali.

Namun qadarulah, gara-gara hujan deras tersebut, Rizky terlambat menjemput saya dan ada beberapa pohon tumbang di beberapa titik jalan yang kami lewati. Saya merasa lelah dan ngantuk di awal perjalanan hingga akhirnya memutuskan untuk mampir ke Aming Coffee yang berlokasi di Kabupaten Mempawah. Salah satu kabupaten yang berada di hampir 1/3 perjalanan menuju Singkawang. Saya berhenti dan memutuskan untuk ngopi sejenak sembari memberikan kesempatan kepada Rizky untuk mengistirahatkan mata dan tubuh.

Choi Pan Terenak Sejagad Raya

Selama dalam perjalanan, saya kemudian menghubungi Kak Sari. Seorang teman yang sempat bertemu di Medan kemudian pindah ke Jakarta dan usung-usung berkemas merantau ke Singkawang mengikuti mutasi kerja suami. Setelah mungkin sekitar 10 (sepuluh) tahun tidak bertemu, nasib ternyata menyempatkan raga kami untuk menyambung silaturahim di sebuah kota nun jauh di baratnya Kalimantan.

Jadi saat Kak Sari mengatur janji untuk makan siang yang kesiangan di Choi Pan Thjia yang berada di Kawasan Tradisional Marga Thjia, saya masih merasakan seperti berada di alam mimpi. MashaAllah. Sesungguhnya, selain cerita Rizky tentang keindahan dan keistimewaan Singkawang, keberadaan Kak Sari lah yang menjadi pendorong kuat untuk saya beranjangsana dan mengatur waktu khusus untuk berada di sebuah kota yang mayoritasnya adalah warga keturunan Tionghoa ini.

Sungguh sebuah berkah perjalanan yang tercatat indah dari serangkaian kisah hidup saya.

Mencicipi Lezatnya Choi Pan di Kawasan Tradisional Marga Thjia Singkawang

Baca Juga : The Sentra Manado. Hotel Berkelas dengan Kenyamanan Maksimal di Minahasa Utara

Mencicipi Lezatnya Choi Pan di Kawasan Tradisional Marga Thjia Singkawang

Mencicipi Lezatnya Choi Pan di Kawasan Tradisional Marga Thjia Singkawang

Di luar perkiraan, saya akhirnya tiba di Singkawang dalam hampir 6 (enam) jam perjalanan darat. Mobil langsung diarahkan masuk kota, menyusur pusat/sentra kegiatan masyarakat hingga akhirnya menemukan sebuah gerbang merah bertuliskan “Gerbang Marga Thjia” Gerbang yang sempat terlewati dan berada di antara sederetan ruko di mana kegiatan perdagangan terjadi.

Mobil yang dikendarai Rizky masuk ke gerbang ini hingga menemukan sebuah area parkir yang cukup untuk hanya satu hingga dua mobil saja.

Turun dari kendaraan dengan pinggang yang mulai terasa linu, saya kemudian melihat gerbang ke-2 dengan sederetan aksara Cina dan di bagian bawahnya tertulis “Kawasan Tradisional” Jika gerbang pertama tadi terbuka lebar, gerbang yang kedua ini ada pintu besi berodanya. Jadi mungkin dalam waktu-waktu tertentu gerbang ini bisa saja terkunci demi keamanan warga, anggota marga Thjia, yang tinggal di kawasan tradisional ini.

Ada sederetan rumah kayu unik dan estetik di bagian paling depan. Keinginan memotret saya redam dahulu karena mengingat Kak Sari sudah menunggu di dalam rumah makan dan lambung saya sendiri pun sudah menjerit-jerit minta diisi. Kelaparan hebat.

Ingatan saya tetiba bergerak mundur. Somehow, some time, saya merasakan bahwa kawasan tradisional ini pernah saya lihat sebelumnya lewat media televisi. Jika tidak salah duga dan keliru ingatan, kawasan tradisional marga Thjia berserta isi-isinya pernah diliput oleh salah satu media internasional dalam sebuah rangkaian film dokumenter. Salah seorang anak keturunannya (seorang lelaki Tionghoa) menikah dengan orang asing (perempuan berkebangsaan Inggris) yang keduanya kemudian memutuskan untuk tinggal di sini.

Tapi untuk sementara saya lanjutkan dulu cerita tentang Choi Pan Thjia ini ya.

Benar saja. Melihat saya datang dari kejauhan dengan langkah-langkah lebar, Kak Sari langsung menghambur dan memeluk saya dengan penuh rasa kerinduan. Begitu pun dengan apa yang saya rasakan. Pertemuan kami ini benar-benar jadi sejarah. Sama-sama lahir di Sumatera, hidup berkeluarga di Jawa, eh dalam tahunan kemudian justru kembali menyapa di tanah Dayak, yang tak pernah mampir ke mimpi saya sekalipun.

Berjam-jam sengaja menahan lambung yang kosong, saya begitu bersemangat menemani Kak Sari untuk mengantri. Tadi saat datang dan memasuki area rumah makan, saya melihat puluhan orang berjubel memenuhi setiap sudut meja. Sebagian besar dari mereka adalah rombongan keluarga karena tampak sekali bagaimana akrabnya mereka bersenda gurau dan bertukar cerita. Sembari melihat wajah-wajah yang semringah, saya yakin rumah makan Choi Pan yang ada di kawasan tradisional marga Thjia ini adalah tempat favorit bagi warga Singkawang untuk mengadakan kumpul keluarga.

Saat mengantri ini saya melihat seorang kokoh tampak mencatat pesanan, menerima pembayaran, bahkan sering kali mengusulkan pilihan sajian untuk tetamu. Kak Sari kemudian memesan 20 (dua puluh) buah choi pan isi bengkuang seharga Rp2.500,00/bh. Kemudian es jeruk besar murni – tentu saja buat saya – seharga Rp20.000,00, sepiring rujak buah Rp25.000,00 dan 2 (dua) gelas es kacang hijau Rp10.000,00/gelas.

Apa rasanya? Beeuuhh tentu saja mantab tak terkira.

Kulit choi pannya tuh lembut banget. Nyaman saat digigit dan lumer di lidah. Isian bengkuangnya pun masih krenyes-krenyes dengan bumbu yang tidak berlebihan rasa. Yang membuat saya terpana adalah ukurannya pun gendut semog. Meski pun tadi saat mengantri saya melihat beberapa petugas mengantarkan pesanan choi pan gendut yang tersusun rapi di atas nampan bulat lebar beralaskan daun pisang, saya tetap aja surprise saat pesanan kami datang. Sepanjang umur saya makan choi pan, baru kali ini saya ketemu choi pan sebesar itu.

Bagi saya dan Kak Sari yang masing-masing semakin susut ukuran tubuh dan usianya, choi pan yang kami nikmati saat itu sungguh “terlalu” untuk ukuran lambung kami. Jadi sesungguhnya jumlah 20 (dua puluh) tuh sudah bikin saya kenyang duluan. Saya dan Kak Sari pun ngos-ngosan saat harus berhenti mengunyah masing-masing 3 (tiga) buah. Padahal ya, tadi pas lihat barisan choi pan itu tiba di hadapan dan saya sempat memotret terlebih dahulu, saya masih hakul yakin setidaknya 1/4 jumlah bisa saya telan dengan sukses.

Tapi ternyata itu hanya teori.

Baru juga 2 (dua) saya sudah hampir menyerah. Sementara 1 (satu) buah terakhir ngabisinnya sampe termegeh-megeh (apa ya itu bahasa Indonesianya?)

Untung ada Rizky. Bapak beranak satu dan masih dalam usia awal 30-an ini ternyata punya perut gentong. Sisa 14 (empat belas) buah choi pan isi bengkuang pun tertelan santai. Saya dan Kak Sari saling menatap sembari tersenyum. Kami menunggu Rizky mengunyah dengan santainya sambil ngobrol tentang banyak hal. Khususnya kisah masa lampau saat kami pertama bertemu di Medan hingga akhirnya Kak Sari tinggal di Singkawang. Dan eehh plus soal anak-anak bulu. Peliharaan favorit kami.

Untuk emak-emak di usia emas, silaturahim sembari berbagi cerita tentang banyak hal adalah satu hiburan hati tersendiri. Berada di generasi dan tahun kelahiran yang berdekatan, pengetahuan kami semua sama. Mulai dari masa sekolah, musik, apa yang populer saat kami remaja, kesukaan di masa-masa kami beranjak dewasa, menjadikan setiap topik nyambung aja. Selalu ada aja yang bisa kami tertawakan.

Tapi yang pasti. Dari semua cerita di atas, saya memastikan diri bahwa Choi Pan yang ada di Kawasan Tradisional Marga Thjia ini adalah choi pan terenak sejagad raya. The best ever I’ve tried so far.

Baca Juga : Memanjakan Lidah dengan Kuliner Khas Manado di Dabu Dabu Lemong

Mencicipi Lezatnya Choi Pan di Kawasan Tradisional Marga Thjia Singkawang

Mencicipi Lezatnya Choi Pan di Kawasan Tradisional Marga Thjia Singkawang

Mencicipi Lezatnya Choi Pan di Kawasan Tradisional Marga Thjia Singkawang

Menilik Kawasan Tempat Tinggal Marga Thjia di Singkawang

Seperti yang saya ceritakan di atas, tadi saat datang, saya melewati sederetan rumah kayu dua lantai di sisi kanan jalan masuk. Membayar rasa penasaran, saya pun menyempatkan diri untuk mampir dan bertamu ke dalam kompleks rumahnya.

And it’s truly amazing!!

Saya tertegun dalam beberapa saat ketika menebarkan pandangan ke hampir semua sudut dari titik saya berdiri. Terhampar di depan mata betapa indahnya deretan rumah kayu yang menjadi tempat tinggal sebuah keluarga besar. Marga Thjia. Yang di saat kedatangan saya, salah seorang keturunannya – seorang perempuan hebat – menjadi Walikota kota Singkawang. Luar biasa.

Dibangun pada 1901 dengan gaya arsitektur courtyard di masa kolonial, Kawasan Tradisional Marga Thjia ini sudah ditetapkan sebagai cagar budaya sejak 1999. Sebuah area tempat tinggal yang dibangun oleh generasi pertama marga Thjia, seorang pendatang dari Tiongkok bernama Xie Shou Chi. Foto beliau terpampang jelas dan diletakkan di depan tempat ibadah (pekong). Duduk dengan gagahnya sembari mengenakan pakaian tradisional Tiongkok lengkap dari kepala hingga kaki, profil Xie Shou Chi mengingatkan saya akan Tjong A Fie. Seorang imigran Tionghoa yang menjadi saudagar di Medan, beranak pinak, hingga menjadi orang yang berpengaruh di Medan.

Tentang Tjong A Fie : Sepenggal Peninggalan Sejarah Kejayaan Imigran Tionghoa di Tjong A Fie Mansion, Medan

Kawasan Tradisional Marga Thjia ini posisi tepatnya adalah di kawasan Pasar Hong Kong, di belakang ruko Jl. Budi Utomo dan tepat di pinggir sungai Singkawang. Komposisinya adalah 2 (dua) rumah besar yang langsung terlihat saat memasuki kawasan, sebuah balai pertemuan di bawah salah satu rumah besar tadi, sebuah rumah/tempat ibadah (pekong) di tengah-tengah kawasan, dan 14 (empat belas) rumah kecil satu lantai yang mengelilingi seluruh kompleks tempat tinggal. Salah satu rumah yang berada di paling ujung itulah yang digunakan sebagai rumah makan Choi Pan Thjia.

Meski sudah berusia ratusan tahun, kayu-kayu yang menyanggah sekian banyak rumah, tampak masih kuat. Setiap sudut pun bersih. Jika melihat beberapa motor yang terparkir di bagian dalam kawasan, jemuran baju, saluran air bersih, banyaknya pendingin ruangan, saya seperti melihat bahwa tempat ini masih digunakan sebagai tempat tinggal anggota keluarga marga Thjia. Meskipun mungkin tidak seramai dulu. Tapi yang pasti dengan statusnya sebagai museum hidup dan dijaga sebagai aset kebudayaan kota Singkawang, Kawasan Tradisional Marga Thjia ini patut dijaga dan dilestarikan dari masa ke masa.

Dan saya bisa meyakinkan bahwa Kawasan Tradisional Marga Thjia ini adalah salah satu destinasi wisata dan sejarah yang wajib kita kunjungi saat berkunjung ke kota Singkawang.

Mencicipi Lezatnya Choi Pan di Kawasan Tradisional Marga Thjia Singkawang

Perjalanan saya ke Singkawang kemudian berlanjut dengan mengunjungi beberapa tempat wisata (khususnya Vihara/Wihara) dan sebuah warung kopi yang cukup tenar di kota ini. Semuanya akan saya tuliskan terpisah ya. Tapi meskipun saya hanya beberapa jam berada di dalam kota dan sekitarnya karena harus mengejar waktu balik ke Pontianak, rangkaian masa yang sudah saya habiskan benar-benar menjadi satu rangkaian kenangan yang tak akan terlupakan.

Saya kuat berharap agar semesta mengizinkan saya kembali ke kota kecil ini. Menginap setidaknya semalam atau mungkin lebih agar bisa menyusur lebih banyak tempat wisata yang mereka miliki. Kabarnya sih Singkawang akan punya bandara sendiri dalam beberapa tahun kedepan. Semoga segera terwujud. Eksistensi, keunikan, kekhasan kota Singkawang lebih dari pantas untuk menjadi destinasi wisata tersendiri. Apalagi Singkawang terkenal sebagai salah satu kota dengan tingkat toleransi tertinggi di tanah air. Keberagaman suku dan agama di sini, tidak menghalangi warga untuk bersatu dalam kebersamaan. Jadi no wonder jika saat menyusur banyak jalan utama, saya bisa melihat seorang warga Tionghoa bersanding dengan warga muslim untuk berjaya di pemilihan kepala daerah.

Oke Singkawang. Nantikan saya kembali ya.

Mencicipi Lezatnya Choi Pan di Kawasan Tradisional Marga Thjia Singkawang

Mencicipi Lezatnya Choi Pan di Kawasan Tradisional Marga Thjia Singkawang

Mencicipi Lezatnya Choi Pan di Kawasan Tradisional Marga Thjia Singkawang

Mencicipi Lezatnya Choi Pan di Kawasan Tradisional Marga Thjia Singkawang

Mencicipi Lezatnya Choi Pan di Kawasan Tradisional Marga Thjia Singkawang

Mencicipi Lezatnya Choi Pan di Kawasan Tradisional Marga Thjia Singkawang

Blogger, Author, Crafter and Photography Enthusiast

annie.nugraha@gmail.com | +62-811-108-582

32 thoughts on “Mencicipi Lezatnya Choi Pan di Kawasan Tradisional Marga Thjia Singkawang”

  1. Rumah kayu berusia ratusan tahun yang cantik yang ada di Kawasan Tradisional Marga Tjhia dan sudah jadi cagar budaya ini bikin penasaran untuk diulik ya Mbak Annie. Andai bisa nginep di situ, bisa punya banyak waktu menjelajah budaya masa lalu.
    Btw, saya ada tetangga orang Pontianak asli, sebulan sekali gitu buka PO choi pan..dan saya selalu pesan. enak banget, adem di perut. Saya lebih suka isi bengkuang begini daripada ikan atau ayam…enak tenan memang. Ya ampun jadi bayangin makan choipan yang ada di foto Mbak Annie

    Reply
    • Iya Mbak. Rasanya belum puas untuk menjelajah banyak destinasi wisata di Singkawang. Next memang serunya kalau nginap. Datang pagi-pagi kemudian baru pulang esok hari setelah makan siang. Semoga Allah dan semesta izinkan keinginan saya.

      Waahh beruntung banget Mbak Dian. Saya sejak makan choi pan Thjia di Singkawang ini, jadi semakin suka dengan choi pan euy. Cuma belum ketemu choi pan yang segede dan seenak itu.

  2. Beneran deh choi pan ini enak banget kalau pembuatannya tepat dan bumbunya bener. Soalnya beberapa kali dapat yang zonk nih mbak. Dulu pernah makan di Jakarta tapi lupa dimana rasanya enak banget.

    Reply
    • Duuhh bener banget Mas Adi. Saya juga ngalamin. Bahkan di Pontianak sendiri tidak semuanya enak. Bahkan sebagian besar kulit choi pannya gampang robek dan hancur. Jadi susah buat diangkat/dipindahkan. Tapi Choi Pan Thjia yang di Singkawang ini seng ada lawan deh. The best pokoknya. Mana ukurannya jumbo pulak. Baru 3 buah aja saya langsung tewas kekenyangan.

  3. Waaa….ngecess lihat choi pan, apalagi langsung di Pontianak

    Saya penggemar berat segala macam dimsum, dan selama ini cuma nyicipin choi pan yang di Bandung

    walau banyak yang bilang mirip choi pan Pontianak, tapi tetep beda ya?

    Reply
    • Yang di Pontianak juga beda dengan yang di Singkawang ini Mbak. Di Singkawang choi pannya gede-gede dengan kulit yang lumer di lidah. Isiannya pun terolah dengan baik. Plus sambalnya juga khas. Meski bagi saya pedasnya luar binasa. The best choi pan yang pernah saya makan selama hidup saya.

  4. Pernah nulis lomba blog tentang Imlek di Singkawang. Alhamdulillah no 2, trus cita-cita saya harus ke Singkawang nih. Mosok udah nulis, belum ke sana…
    Duuh…sampai sekarang belum dong ke Singkawang. Pengen banget berkunjung ke Kawasan Tradisional Marga Thjia ini, rumah kayu yang udah ratusan tahun. Trus nyambangi objek arsitektur lainnya. Belum lagi kulinernya…
    Baca artikelnya mba Annie, jadi tambah kepingin nih. Apalagi udah ada bandara ya di Singkawang ini?

    Reply
    • Woaahhh hebat Mbak Hani. Kabarnya memang selama Imlek dan Cap Go Meh, Singkawang tuh meriah banget karena memang komunitas warga Tionghoa di Singkawang adalah yang terbesar di tanah air (hampir 50% dari total jumlah warganya). Saya juga pengen balik lagi Mbak. Yang barusan tuh hanya sempat ke beberapa tempat aja. Belum explore semuanya. Bandaranya sendiri sih masih dalam proses pembangunan. Semoga tahun depan, sebelum Imlek, sudah beroperasi dengan baik.

  5. Serunya perjalanan tuh kaya yg di ceritain mba Annie. Menelusuri berbagai sudut menjelajahi kuliner khasnya apalagi kalau harganya terjangkau.
    Jadi keingat sama temen, belum terwujud utk menjejak di Singkawang tp utk milih kuliner tetap harus pilah2 karna kadang ada yg tdk halal. Pernah denger ada ungkapan belom sah ke Singkawang sebelum mencicipi makanan khas choi pan nya

    Reply
    • Betul Mbak. Kulineran di kota yang mayoritas warga Tionghoa memang harus jeli. Kita harus meyakinkan ke-halal-annya dulu. Alhamdulillah Choi Pan Thjia ini dijamin halal. Jadi makan di sini tak ragu lagi.

  6. Baru aja kelar bikin mochi, Mba Annie. Jadi pengen coba buat choi pan. Hmm.. Enak kali yaa.. Secara utk mencoba choipan terenak sejagat raya di Medan.. Jauuuuh.. Udah lah bikin aja. Siapa tau bisa terenak kw.. Hahaha..

    Reply
    • Wah hebat Mbak Ade. Bisa bebikinan makanan. Kalo aku bisanya cuma masak air Mbak hahahahaha. Kalo bisa bikin mochi, bikin choi pan juga jago itu keknya. Meski mungkin belum menyamai Choi Pan Thjia, karena belum nyobain langsung, buatan Mbak Ade juga pasti mantab. Sayang jauh kita ya. Kalau dekat aku pengen nyobain hahahaha.

  7. Fotonya mirip banget sama Tjong A fie, kirain tadi ada kaitan atau misal saudaraan hehe.
    Btw, rumahnya unik dan instagramable ya, Bu.
    Setiap sudutnya cantik. Mana bersih pula lagi…
    selain salfok sama foto-foto rumah yang cantik2, aku paling salfok sama foto rujaknya, huhuuu
    rujak buah kesukaanku

    Reply
    • Cerita asalnya ya mirip dengan Tjong A Fie Ci. Merantau dari negeri Cina untuk mengadu nasib di Indonesia. Dan itu terjadi saat kita masih dalam masa penjajahan Belanda. Keduanya pun membentuk komunitas sendiri dan beranak-pinak kemudian meraih kekayaan dan menjadi tokoh penting di daerah tempat mereka tinggal.

  8. Yuk Annie berbagi rasa Choi Pan dan destinasi wisata Singkawang – rasanya seolah saya juga ada di sana!
    Choipan memang salah satu kuliner khas yang punya cita rasa unik, apalagi jika disantap langsung di tempat asalnya di Singkawang. Di Tangerang juga ada, jadi penasaran pengen ngicipin.

    Informasi tentang kawasan Marga Thjia ini akhirnya bikin saya google juga hehehee.. menarik ya, di jaman sekarang masih ada cagar budaya yang terpelihara di tengah gempuran isu etnis. Singkawang memang terkenal sebagai kota paling toleran, jadi ngga heran kalau Tidayu (Tionghoa – Dayak – Melayu) akhirnya hidup berdampingan dengan nyaman sentosa.

    Reply
    • Bener banget Tan. Itu sebabnya Singkawang tercatat sebagai salah satu daerah/provinsi dengan tingkat toleransi yang tinggi. Waktu ke sana, aku ngeliat banyak promosi sang petahana yang ikutan lagi pemilihan walikota. Wakil yang dia pilih adalah seorang haji demi mengakomodir persatuan dan kesatuan.

  9. Belum pernah ngerasain Choi Pan ini. Jadi penasaran sama citarasanya..
    Di daerahku belum ada juga sih menu ini, baru ada siomay sama dinsum aja, smoga bs icip si choi pan ini

    Reply
  10. Choi pan memang mirip kayak somay dan sejenisnya. Sepertinya memang makanan chiness memang banyak seperti ini modelnya. Btw, Choi pan di Singkawang sudah sejak 1979 ya kak, sudah lama juga ya makanan ini melegenda? semoga tetap terwarisi sebagai salah satu kuliner yang bisa dicoba semua orang.

    Reply
    • Sesama sejenis dimsum Mas Wahid. Tapi sejatinya bentuk, bahan, dan pengemasannya berbeda. Saya sudah mencoba beberapa choi pan yang ada di beberapa daerah di Indonesia, termasuk yang di Pontianak, tapi tidak ada yang seenak dan sefenomenal Choi Pan Thjia ini. Top banget lah pokoknya.

  11. Aduh menikmati choi pan langsung di tempatnya

    Bikin ngeces berat

    Walau choi pan sudah dijual di banyak kota besar, namun pastinya udah dimodifikasi sesuai dengan bahan baku yang ada disekitar mereka

    kapan ya saya bisa ke sini ^^

    Reply
    • Yang pasti di sini rasanya original ya Mbak. Choi Pan Thjia ini punya kelebihan yang luar biasa. Selain bumbu isiannya yang leko, ukurannya pun jumbo. Sekitar dua kali dibandingkan dengan ukuran biasa. Bahkan saat saya makan choi pan di Pontianak, rasa dan ukurannya juga beda bangets. Semoga suatu saat bisa menginjakkan kaki di Singkawang ya Mbak. Merasakan langsung lezatnya Choi Pan Thjia.

  12. Wow, Kawasan Tradisional Marga Thjia dibangun pada 1901. Tapi bangunannya walau terbuat dari kayu, masih kokoh dan terawat sekali ya. Emang layak jadi bangunan cagar budaya dan dikunjungi kalau bepergian ke Singkawang.

    Dan choi pan nya nampak menggoda, walau ternyata lapar mata tak diiringi kemampuan lambung untuk menampungnya ya mbak. Kirain tuh isiannya daging atau ikan, ternyata bengkuang

    Reply
    • Bangunan lama memang kokoh ya Mbak Nanik. Kayu-kayunya berkualitas tahan bertahun-tahun (bahkan sampe ratusan tahun). Kalau Mbak Nanik pernah ke Medan, coba lihat deh rumahnya Tjong A Fie yang sekarang sudah ditetapkan sebagai museum. Itu lebih keren lagi Mbak Nanik.

      Choi Pan Thjia ini memang gede-gede Mbak, ukurannya dua kali lebih besar dari choi pan biasa. Saya makan tiga aja udah ngos-ngosan hahahaha.

  13. Sambi jalan-jalan di Singkawang, menikmati juga Choi Pan yang lezat. Apalagi gak disangka ukurannya gemoy pula ya Bu Annie. Hemm, bisa bolak-balik dah tuh makannya eh wkwkwk

    Reply
  14. Kayanya si Choi Pan ini mungil-mungil yaa..
    Gak nyangka juga kalau sampai termekeh-mekeh, hehehhe.. tapi langsung penuh energi untuk melanjutkan petualangan ke Kawasan Tradisional Marga Thji.
    Kalau melihat rumah kayu gini, aku jadi ga inget ini budaya China sii.. lebih akulturasi budaya Pontianak, bukan.. ka Annie?

    Reply
    • Beeehhh justru ukurannya jumbo Len. Dua kali lipat dari choi pan biasa. Bahkan saat di Pontianak pun, saya nyoba choi pan di sana, woah kalah jauh baik dari kualitas maupun kuantitasnya. Bumbunya juga enak banget.

      Bangunan kayu, di area-area di mana komunitas tionghoanya banyak, nuansa arsitektur courtyard memang yang sering mereka gunakan. Saya banyak lihat rumah2 kayu seperti ini di china town di berbagai negara. Paling banyak saya lihat sih di Singapore. Dan itu cantik2 banget dan sangat terpelihara. Mungkin karena kualitas kayunya juga jempolan ya. Berkualitas tinggi.

  15. Saya punya sahabat yang masa kecilnya pernah tinggal di Priok. Kata dia, di sana ada choi pan yang enak. Bikin saya penasaran aja. Saya belum pernah cobain choi pan.

    Terkesima dengan rumah kayunya. Kalau zamna dulu tuh kayunya bener-bener bagus dan kuat ya, Mbak. Kalau dirawat jadi bisa bertahan lama. Dan, model rumahnya cantik banget.

    Reply
    • Hayuk cobain Myr. Menurutku sih enak banget. Choi pan salah satu kudapan asli Tionghoa yang enak selain tentu saja aneka jenis dimsum lainnya.

      Betul banget. Kayunya terlhat masih kokoh karena masih aktif digunakan sebagai tempat tinggal. Rumah jangkung2 begini mungkin juga dengan alasan keamanan ya karena di zaman dulu Kalimantan masih dikelilingi hutan lebat dan masih banyak binatang buasnya.

  16. apa cuma aku disini yang baru tahu sama makanan choi pan ini? kalau siomay, lumpia, bakpao, cakwe mah sudah banyak dimana-mana ya kayaknya, kalau choi pan kok aku baru tahu sih, penasaran sama rasanya sepertinya enak dan nagih ya…

    Reply

Leave a Comment