
Saya menemukan nama Soto Bangkong saat berselancar di dunia maya dan mencari referensi makanan populer di kota Semarang. Dari beberapa foto yang dihadirkan di gawai saya, terlihat banyak sekali pilihan asupan pelengkap soto (dalam bentuk sate) berikut ayam kampung yang tergoreng dengan efek marbeling yang sangat menggoda rasa. Rasa penasaran ingin menjajal pun langsung bangkit
Disambut Hujan Deras
Saya dan rombongan tiba di Semarang setelah sekitar 5-6 jam perjalanan darat dari Bandung. Sempat sekali berhenti untuk ke toilet, ngemil, dan menyesap kopi di salah satu rest area tol Cipali sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan. Karena berangkat sebelum subuh berkumandang, sebagian besar dari anggota rombongan sempat terlelap berjam-jam di sepanjang jalan, menyambung tidur yang sempat terenggut dari nyawa.
Demi menghemat waktu, salah seorang anggota rombongan menyediakan sarapan nasi uduk untuk dinikmati di dalam mobil sebelum pada tepar kekenyangan. Saya sendiri cukup kerepotan untuk makan karena kondisinya duduk di bangku belakang yang sering mental-mental karena aspal tol yang tidak mulus dan merata. Jadi nasi saya sempat ikutan berhamburan saat mobil melalui gundukan tanah yang mirip seperti polisi tidur tapi dalam ukuran besar.
Alamak.
Tak ingin cegukan atau kelolodan (ini bahasa Indonesia apa ya?), saya akhirnya tidak menghabiskan nasi uduk ini dan memutuskan untuk membeli roti di mini market yang ada di rest area serta mengunyah beberapa bungkus lemper kedoyanan yang disediakan salah seorang sepupu.
Gini nih enaknya jalan-jalan sama emak-emak jago masak atau sigap dengan urusan memamah biak. Urusan “kampung tengah” langsung aman, khususnya bagi saya yang kurang bersahabat dengan dapur.
Setelah kenyang perut, waktu kemudian saya habiskan dengan mendengarkan musik dan merajut mata. Tidur sebisa mungkin supaya saat tiba di tujuan mata dan tubuh kembali segar. Pe-er istimewanya adalah menikmati laju mobil yang heboh menghadapi sekian banyak kerusakan jalan dan menantang nafsu tidur agar tidak terganggu.
Keluar di Jatingaleh – Krapyak (exit tol Krapyak), hujan deras dan rem mendadaklah yang kemudian membuat saya terbangun. Saking derasnya hujan yang menyambut, saya dan rombongan sempat beberapa waktu terperangkap di dalam mobil sebelum akhirnya salat dzuhur di Masjid Agung Jawa Tengah yang berada di pusat kota.
Sembari keliling kota dan sempat melihat beberapa pilihan restoran plus berdiskusi seru di dalam mobil akhirnya semua sepakat untuk makan siang di Soto Bangkong yang ada di Ruko Bangkong Plaza, Jl. Brigjen Katamso, Peterongan. Santapan berkuah yang tentunya segar dan pas untuk dinikmati selagi hujan.
Hujan deras tampaknya tetap enggan berhenti dan kami terpaksa harus sedikit menunggu karena parkiran yang mendekat ke pintu masuk saat itu sudah penuh. Kami terpaksa berlari-lari kecil agar tiba di sisi depan ruko di mana pintu masuk Soto Bangkong berada.
Tentang Semarang : Sam Poo Kong. Klenteng Sarat Cerita di Semarang

padat.
Soto Bangkong yang Kaya Rasa
Karena memang masih dalam jam makan siang dan menilik parkiran yang sangat padat dengan kemacetan di jalan depan ruko, saya sudah menduga suasana di dalam resto pastilah sangat padat.
Mendadak saya khawatir. Ada gak yak meja panjang dan tempat duduk untuk rombongan kami yang berjumlah 14 orang?
Dan ternyata kami beruntung. Menggabungkan 3 meja panjang, kami duduk di salah satu sudut area makan yang gak jauh dari pusat pelayanan yang penuh dengan kesibukan. Terpisah dari satu area makan yang padat dan tampak riuh rendah seperti saat kita berada di food court.
Setiap dari kami tidak punya preferensi. Jadi kami memesan apa pun yang ada dan jadi favorit para pengunjung. Maka hadirlah bermangkok-mangkok besar Soto Bangkong kemudian pilihan tambahan menu yang sebagian besar ditata dalam bentuk sate. Ada sate kulit ayam, sate perkedel, dan sate tempe/tahu (ini yang saya gak yakin karena tidak sempat bertanya).
Sembari menunggu Soto Bangkong datang, berpiring-piring otak-otak ikan disajikan dan itu amblas dengan suksesnya dalam sekian menit saja. Jika tak salah ingat ada juga pilihan telur. Cuma tidak sempat saya foto karena wadahnya tidak sempat mampir di depan saya.
Soto Bangkongnya sungguh nikmat. Meskipun kuota dagingnya tidak penuh dengan kuah yang segar memanjakan lidah, bagi saya sih kondisi tersebut sudah oke apalagi kemudian saya menambahkan sate kulit yang sudah dimarinasi dan kaya akan bumbu. Jadi saat saya tambahkan potongan kulit ayam ini ke dalam mangkok, kuah yang tadinya berada di nilai tengah menjadi satu hidangan yang istimewa. Mungkin bumbu yang melekat dalam potongan kulit tersebut menjadikan rasa soto jadi lebih terangkat ya.
Saya tidak menambahkan sambal seperti para sepupu yang memang punya selera dan lidah pedas. Biasalah kan urang Sunda. Kalo gak bersambal dan pedas tuh rasanya belum sempurna hidup.
Hening mendadak tercipta saat bermangkok-mangkok Soto Bangkong ludes tanpa sisa. Semua tampak puas dan berkeringat. Apalagi beberapa dari anggota rombongan yang tak kira-kira menuangkan sambal dan meneteskan jeruk nipis sebagai penyempurna.
Dan eh saya jadi lupa cerita.
Sedihnya adalah kami kehabisan Ayam Goreng Bangkong. Menu yang katanya paling disukai pengunjung. Dan itu benar-benar kehabisan. Amblas tak bersisa. Jika pun akan ada yang baru mungkin baru akan tersedia saat waktunya makan malam.
Tapi meskipun sempat kecewa berat, nyata Soto Bangkong benar-benar bisa menjadi penyelamat dan memuaskan selera semua anggota rombongan. Saya sendiri bahkan hanya mampu menghabiskan 1/3 nasi supaya lambung kisut ini bisa menikmati soto beserta bertusuk-tusuk sate kulit ayam semaksimal mungkin.
Saya pun mendadak gerah karena keringat yang tak henti bercucuran. Nikmatnya makan siang kali ini.
Ah, saya kemudian teringat dengan suami. Lelaki tercinta yang hobi dan sangat menyukai soto serta segala hidangan berkuah lainnya. Saya yakin dia bahkan mungkin bisa menghabiskan 2 mangkok Soto Bangkong dengan tambahan potongan ayam serta beragam rempah-rempah yang tampak begitu membangkitkan selera.
Tentang Semarang : Bertamu ke D’Kambodja Heritage Dapur Ndeso Anne Avantie Semarang

Pengalaman Berkuliner yang Mengesankan
Karena memang tak ahli dalam soal masak-memasak, kamus kuliner saya adalah enak dan sangat enak. Jika pun bertemu dengan masakan yang tak memenuhi selera atau setidaknya standarisasi rasa enak ala saya, saya biasanya tetap semangat untuk menghabisinya. Tapi jika pun tak sanggup menghabiskan biasanya suami dan anak-anak dengan senang hati melahap habis sisa makanan saya.
Jadi biasanya saat jajan di luaran bersama keluarga dan sebelum memesan makanan, saya biasanya bertanya, “Nanti kalau makanan Bunda gak habis, tolong dituntaskan ya?” Biasanya permintaan ini tak pernah ada tolakan.
Herannya peristiwa “tidak habis” ini tak terjadi saat makan di Soto Bangkong. Mangkok soto saya ludes dan bersih hingga tetes kuah terakhir. Kecuali jatah nasi yang terpaksa tidak amblas bersamaan dengan sotonya. Karena ternyata meskipun sudah meminta 1/2 porsi, jumlahnya masih terlalu banyak untuk saya. Maapken.
Sebagian besar dari kami sebenarnya kecewa banget tidak bisa merasakan ayam goreng yang katanya highly recommended itu. Tapi meski begitu tak satu pun dari kami yang mau kembali ke Soto Bangkong karena ingin mencoba opsi kuliner khas Semarang lainnya. Sayang dong. Semarang kan pasti punya banyak referensi bersantap yang lebih dari layak untuk dicoba.
Hujan ternyata masih betah menghujan bumi saat kami beranjak pergi. Mata saya mendadak kriyep-kriyep. Kantuk parah benar-benar sudah tak tertahankan. Untungnya setelah bersantap di Soto Bangkong ini dilanjutkan dengan check-in di hotel dan semua anggota rombongan diperkenankan untuk istirahat sebentar, tidur siang sejenak, sebelum akhirnya melanjutkan program jalan-jalan dengan menikmati sunset dan ditutup dengan makan malam.
Tentang Semarang : Menyesap Syahdunya Senja di Kusuma Kopi, Pantai Marina, Semarang





Soto Bangkong tuh enak banget menurutku. Dulu di Bandung juga ada, malah deket banget sama rumah, tinggal nyebrang jalan besar. Lumayan sering mampir.
Nah, karena bangkong tuh bhs Sunda artinya kodok, jadi ganti nama, jadi Soto Bangkok Semarang. Hehe…
Setuju! Semarang tuh kulinernya macem-macem, dari legend sampai Western…
Hahahaha iya Mbak. Ada beberapa teman yang juga menduga bahwa Soto Bangkong Semarang ini sebagai soto kodok. Karena dalam bahasa Sunda bangkong memang berarti kodok. Jadi saya gak kaget kalau akhirnya mereka ganti nama di Bandung.
Saya belum pernah makan Soto Bangkong, Mbak. Makanya,pas saya ke semarang, saya tidak sempatg mencari hehehe.
Dan dari tampilan foro Mbak Annie yang memang selalu menggugah selera, Soto bangkong ini memang langsung ngiler. Apalagi tambah aneka sate dan perkedel. Sambal dan jeruk nipis sudah makin juara ini.
Wajar sih, kalau sampai berkeringat Mbak, sotonya mantul dinikmati pas makan siang. Mantap…
Semoga nanti, pas datang kembali ke Semarang, bisa mampir ke sini ya Mas. Gak bakalan kecewa pokoknya.
Wah langganan keluarga saya nih kalo lewat Semarang (dari Bandung menuju Surakarta)
karena selain rasanya enak, juga aman untuk orang dewasa maupun anak-anak
Saking seringnya, anak saya ke-3 pernah ketinggalan kaca mata di sini :D
Oiya dulu di Soto Bangkong ini ada space untuk produk kerajinan. Bagus-bagus. Saya inget karena pernah kepincut tas dari Bali yang sayangnya gak saya beli dan malamnya termimpi-mimpi :D
Wah saya gak perhatikan jika ada ruang khusus untuk produk kerajinan. Suasananya rame banget waktu itu. Saya jadi tidak sempat memperhatikan sekitar. Semoga masih ada yang Mbak. Bukti nyata dukungan Soto Bangkong ke UMKM perajin barang-barang craft di Semarang.
Saya makan Soto Bangkong malah di Jakarta, belum pernah mencicipi di tempat aslinya di Semarang.
Soto legend ini dan sebagai penggemar soto saya yakin saya pun bakal ludes makannya sama seperti Mbak Annie hihihi
Saya baru sekali itu di daerah asalnya. Kuahnya yang makjleb menurut saya. Kaya rasa dan banyak banget rempah-rempahnya. Tambahan condimentnya/satenya juga jempolan deh. Mantab betul.
Senengnya kalau makan soto di Semarang tuh, banyak banget pelengkapnya. Cuma, aku pernah tinggal di Semarang. Sayangnya belum pernah nyobain Soto Bangkong ini dah.
Betul Mbak Yuni. Sama seperti dengan soto-soto ayam lainnya yang ada di berbagai daerah di nusantara. Pelengkap yang (sangat) membangkitkan selera.
Aku yang tinggal di Semarang malah belum pernah coba. Enggak tahan antrenya. Suatu saat harus icip sih ini biar aku enggak krisis identitas dan penasaran
Emang luar biasa antrenya ya Mbak. Kami juga waktu itu gak yakin bakal dapat meja panjang supaya bisa duduk bareng. Tapi alhamdulillah dapat juga. Riuh dan rame betul memang.