Rasa otentik tidak mudah untuk ditemukan. Tapi saya dan si bungsu berhasil menyesap rasa otentik Italia di resto Pizza Aroma Italia. Bukan di Jakarta tapi di Yogyakarta. Sebuah kota destinasi wisata andalan tanah air yang punya reputasi mendunia.
Saya baru saja menyelesaikan administrasi check-in di Yats Colony Hotel saat si bungsu meminta saya bersegera melangkah ke kamar kami. Hari itu sudah sekitar pkl. 16:00 wib dan kami berdua terjebak pada rasa lapar yang sudah tak tertahankan sejak turun dari kereta api Argo Dwipangga yang kami naiki dari Jakarta. Kami berdua bersegera menaruh semua koper di dalam kamar, ke toilet sebentar, lalu segera memesan mobil di aplikasi on-line.
Pesanan ini ternyata langsung mendapatkan response. Mobil pesanan tersebut ternyata bakal sampe sekitar hanya dalam hitungan empat menit ke depan. Saya pun langsung tergopoh-gopoh sembari berkicau memprotes kelakukan si bungsu yang terlalu cepat memesan kendaraan.
Lah emaknya masih rempong, si bocah sudah mesen aja. Alamak.
Yang diomelin malah pasang muka lempeng seperti tutup salep belum sempat dibuka. Dia malah dengan sigap membuka pintu kamar, sementara saya masih belum mengenakan celana panjang. Bener aja, hanya sekian detik sampe di halaman hotel dengan nafas terengah-engah, mobil pesanan maknyos terlihat nangkring di depan muka. Just in time.
“Kita mau ke mana ini dek?” tanya saya sambil mengatur nafas dan posisi duduk terbaik. Maklum. Memiliki bokong yang minim daging (baca: tepos) tuh kudu pinter ngatur posisi saat duduk. Tetiba teringat pada perjanjian bahwa rute dan jadwal selama kami berdua liburan di Yogyakarta, akan dipegang olehnya. Tentu saja dengan beberapa referensi yang sudah saya berikan sebelumnya.
“Ke Pizza Aroma Italia dulu. Makan. Laper banget. Takut mati adeknya.”
Saya ngikik kompak dengan si bapak supir. Sementara yang ngomong tetap pasang muka lurus tanpa dosa. Yah begitulah si bungsu. Anak generasi Z yang sering memuntahkan diksi tanpa tedeng aling-aling. Suka susah diajak tertawa. Etapi, keknya nurun dari saya itu. Yang dulu sering dipanggil sebagai si mulut tajam. Bedanya cuma diurusan tertawa. Kalau saya mudah diajak bercanda. Bahkan kadang-kadang ngakaknya suka kelepasan dan bikin heboh sejagad raya, meski yang diobrolin adalah hal receh sekalipun.
Bertamu ke Aroma Italia
Hanya butuh sekitar 15-20 menit untuk sampai di resto yang kami tuju. Itu pun karena jalanan rada macet akibat saingan jejak sama orang-orang pulang kantor. Hari Senin pulak.
Karena datang di jam tanggung, resto Pizza Aroma Italia terlihat sedang sepi. Ada sepasang tamu yang baru selesai makan dan menunggu bungkusan di dalam serta bersiap pulang. Berada di sebuah pertigaan lampu merah yang cukup sibuk, mobil bisa merapat ke area parkir untuk menurunkan kami. Di depan hanya terlihat sederetan sepeda motor terparkir rapi dan beberapa orang lelaki yang bergiat membersihkan dan merapihkan dapur yang ada di sisi depan bangunan. Aroma keju dan bakaran roti dengan ligatnya menohok hidung dan bikin naga-naga di lambung saya semakin berdansa riang.
Anyway busway, motor itu kenapa sih ditambahin dengan kata “sepeda”? kan gak ada sepedanya bukan?
Beberapa orang staf menyambut kami dengan ramah dengan wajah semringah. Mereka berdiri di dekat area penerimaan tamu yang dilengkapi dengan banyak box dan makanan kecil yang beraneka rupa. Ruangan ini unik banget. Selain nuansa Italia begitu terasa, puluhan kombinasi warna terlihat berpadu apik dan bikin area depan ini sangat meriah.
Saya melangkah ke kiri, di tempat ruang dine-in tersedia. Ruangannya memanjang dengan jumlah meja, kursi kayu berpadu besi, dan sofa yang sangat padat. Selain dipenuhi oleh beragam gambar, foto, lukisan, dan dekorasi ala Italia, ada sekian banyak lampu-lampu yang tergantung indah. Ada sebuah print out gambar Menara Pisa yang terpasang mendominasi salah satu dinding.
Melihat ilustrasi Menara Pisa yang miring itu, saya mendadak teringat pengalaman bersama keluarga pergi ke destinasi wisata ini. Saat itu saya masih SD kalau tidak salah ingat. Ajaibnya ketika itu saya heboh ngajak pulang karena takut ketimpa menara yang miring banget itu. Kesibukan yang bikin orang-orang terpingkal-pingkal tanpa henti. Melihat saya tantrum gak tau juntrungan, Ayah saya ngomong, “Itu menara lagi lepas sekrupnya. Petugas lagi masangin tuh. Ntar malem juga dia tegak lurus lagi.” Saya mendadak diam. Memang sih ada beberapa petugas di sisi yang miring itu tapi setelah tak ingat-ingat lagi mereka itu sebetulnya petugas kebersihan. Tapi ternyata, saat itu, omongan Ayah ampuh. Sama seperti saat pertama naik kereta api, terus keretanya sempat berhenti lama, melihat saya mulai gelisah, Ayah langsung ngeluarin kalimat ampuh, “Ban kereta apinya kempes ini. Pasti sedang dipompa sama petugas.” Mengingat itu dan sadar sudah dibodohi setelah sekian tahun kemudian, saya mendadak pengen njambak rambut.
Yaaahh jadi panjang intermezzo nya. Kuy lah kita lanjut.
Saya memilih area tengah yang salah satu dudukannya adalah sofa tegak tipis dengan latar belakang deretan artificial plants. Ada dekorasi kayu dengan warna tosca yang sangat menarik perhatian. Saya duduk merapat ke dinding dalam agar lebih leluasa melihat ke segala sudut. Selain sofa panjang dengan mural yang memenuhi dinding, sisi terluar dari tempat makan bagian dalam ini dipenuhi kaca. Saya membayangkan jika datang ke Pizza Aroma Italia di malam hari, cahaya dari gantungan lampu yang ada di teras luar akan merangsek masuk dengan manisnya. Suasana di tempat duduk dalam resto ini pasti jadi romantis. Ya gak sih?
Selain sofa dan dudukan besi ringan, tempat ini juga menyediakan meja tinggi dengan bangku besi yang biasa digunakan untuk bar. Menurut saya sih furniture seperti ini kurang pas untuk tempat yang sempit. Lain hal jika resto ini memang ada bar. Nah bangku-bangku jangkung gitu cocok banget. Atau bisa juga ditaruh di teras luar. Lebih cocok di sana. Karena terus terang, untuk mereka yang duduk di dekat kursi tinggi ini, perasaannya pasti terintimidasi. Kebayang kan kita lagi nyantai di sofa eh pemandangannya bokong orang yang posisinya segaris mata kita atau membelakangi badan kita. Kalau saya sih buruan minta pindah.
Petugas yang menyapa saya di depan pintu masuk tadi kemudian berjalan ke arah saya sembari menyerahkan bendera pusaka, eehh bukan, buku menu maksudnya. Ekspresinya cerah ceria bagai baru saja dapat lotre.
“Mau pesan sekarang atau mau baca-baca dulu?” ujarnya sambil tersenyum manis. Semanis madu. Tangan kanannya sudah memegang pensil dengan telapak kiri memegang sebuah block note putih.
“Saya hafalin dulu ya Mas. Siapa tahu nanti ditanyakan pas ulangan besok,” jawab saya enteng.
Si Mas terkekeh-kekeh. Padahal saya dan si bungsu masang muka lempeng. Dia beringsut tapi matanya tetap “menjagai” kami dan berdiri tak jauh dari tempat saya duduk. Siapa tahu kan ada tugas mendadak. Seperti misalnya mengambil dan menyimpan kembali bendera merah putih itu (ngaco).
Tapi beneran. Ternyata opsi sajian aneka pizza dan pastanya panjang banget. Foto-fotonya kecil-kecil dengan uraian tulisan yang juga sama langsingnya. Jadi saya dan si bungsu butuh waktu lebih untuk menyelesaikan pe-er. Ada beberapa ingredients yang tidak saya pahami dan harus saya googling. Alih-alih merasa riweh, saya malah suka dengan penambahan vocabularies itu. Meski bukan tukang masak atau orang yang hobi masak, setidaknya buku menu ini bisa nambahi perbendaharaan kata sebagai seorang food blogger.
Saya gemas dengan buku menu dengan foto dan tulisan timik-timik itu. Bukunya sampe harus didekatkan ke wajah supaya bisa melihat fotonya dengan lebih jelas. Fix. Buku menu tuh kudu jembar, menarik fotonya dan terang ya biar konsumen ngiler. Fotonya harus ditangani professional. Food photographer. Konsumen bisa mendapatkan gambaran lebih jelas untuk apa yang akan dipesan. Bisa juga jadi materi promosi yang tepat kan? Sekalian foto-fotonya ditampilkan di media sosial. Sekali dayung dua tiga pulau terlampaui.
Pesanan yang Meng-Italia Banget
Saya membuka lembaran menu pelan-pelan, satu persatu. Takjub dengan betapa luasnya rentang pilihan sajian yang dikuasai oleh Aroma Italia. Saya sempat berdiskusi agak lama dengan si bungsu karena untuk makan bersama pilihan menu harus memenuhi kesukaan berdua. Dan itu ternyata agak sulit karena kami berdua tak pernah betul-betul makan di resto dengan menu yang pure meng-Italia. Jika pun ingin, palingan ke resto ala Italia. Atau dengan menu Italia tapi rasanya sudah disesuaikan dengan lidah orang Indonesia.
Setelah semedi sekian menit, saya akhirnya memesan Pizza Burrata yang isinya saus tomat, tomat ceri rocket, salad burrata, cheese extra dan virgen olive oil. Harganya 117K dengan isi delapan potong. Lalu si bungsu memesan Ravioli Pumpkin Sage Sauce seharga 65K. Sementara untuk minuman kami memesan Orange Juice dan Watermelon Juice yang masing-masing harganya 30K.
Kesan saya?
Yang pasti saya suka dengan Pizza Burratanya. Sesuai dengan apa yang dijelaskan di menu. Pizza dengan bagian tengah tipis dan tebal tapi crispy di pinggirannya, plus berlimpah saus tomat. Saya mengakali efek manis dari saus tersebut dengan memanfaatkan sambal botol bertumpuk-tumpuk agar taste pedas manisnya seimbang. Dan itu ternyata sukses. Apalagi kemudian hamparan sayur dan potongan tomatnya terasa fresh dan terlihat bersih. Bulatan yang ada di tengah pizza itu ternyata cheese extra yang dibikin menggumpal seperti bola-bola. Tumpukan keju yang berhasil bikin lembaran pizzanya terpadu apik antara asin, manis, dan pedas tadi.
Saya sih doyan meski hanya mampu makan tiga slices. Tapi si bungsu sepertinya lebih memilih pizza dengan sentuhan lokal yang banyak potongan dagingnya.
Kebalikan dengan Raviolinya. Si bungsu tampaknya enjoy menghabiskan sepiring penuh tanpa keterlibatan saya. Dia terlihat marem, adem, ayem karena sering melihat Ravioli jadi materi utama lomba-lomba memasak di luar negeri. Sementara saya hanya sempat nyicip sedikit dan menyerah karena ketebalan tepung yang meliputi isinya. Jadi akhirnya masing-masing dari kami bergulat dengan pilihan masing-masing.
Untuk juice nya ok juga meski tidak terlalu istimewa. Tapi keduanya mampu mendinginkan tenggorokan dengan rasa original yang pas di lidah. Buat saya asem manis dari jeruknya bisa mengimbangi rasa campuran dari pizza yang saya pesan. Seharusnya sih apik juga jika menutup rangkaian makan ini dengan secangkir kopi hitam hangat. Tapi lambung saya terlalu penuh untuk sekedar diisi dengan minuman favorit saya ini.
Apalagi kemudian si bungsu mengingatkan saya untuk bersegera beberes dan menyiapkan diri menuju ke tempat ke-2. Tempo Gelato. Jajanan dingin yang sudah bulanan diimpikan olehnya. Saya mengangguk setuju. Dengan harapan bahwa setelah dari Tempo Gelato kami bisa berancus kembali ke hotel. Badan pensiun saya sudah minta mandi dan selonjoran di kasur.
Yang ingin menjajal rasa meng-Italia bisa deh mampir ke Pizza Aroma Italia ini. Setidaknya jika penasaran ingin menyesap rasa otentik Italia, banyak menu yang bisa jajal. Selebihnya kembali ke selera. Untuk harga relatif sama dengan beberapa resto ala Italia yang ada di Jakarta. Jika pun di sini lebih mahalan sedikit, garapan orang-orang Yogya gak kalah asiknya.
Langit mulai menggelap saat saya melanjutkan perjalanan menuju kawasan Prawirotaman. Tadi sepanjang saya stay di dalam, pesanan on-line datang silih berganti. Abang-abang grab tampak bergantian datang. Bahkan ada yang menunggu cukup lama kemudian pergi dengan banyak loyang pizza di tangan. Laris juga ternyata.
Sukses terus untuk Pizza Aroma Italia. Semoga kualitas sajiannya semakin baik dengan value keramahan serta pelayanan yang apik betul. Kalau dua yang terakhir ini rasanya sudah mendarah daging bagi orang Yogyakarta. Ya gak sih?
Sebagai food photografer pasti gatel ya Mba Annie..itu buku menu sudah pasti harus direvisi .
Kalau jelas gambarannya pembeli bakal mudah untuk menentukan pilihan mereka.
Untuk pizza saya pikir di tengah itu apaan…
Ternyata bola-bola cheese extra..wah sepertinya mantap dan unik nih rasanya
Hahahaha iya Mbak Dian. Tergemas banget deh lihat buku menunya. Beneran seadanya gitu dan kecil-kecil banget, baik tulisan maupun fotonya.
aduh pas pingin banget pizza, baca tulisannya Mbak Annie
entar kalo ke Yogyakarta mau nyoba ke sini ah
sekarang sih di lingkungan rumah saya minim kuliner enak, yang paling dekat Pizza Hut sekitar 5 km dari rumah
jadi kepaksa bikin sendiri.
Tapi kala sedang mager ini cuma ngelihatin mozarella di lemari es , gak tau kapan mulai megang dan mengolahnya :D
Woaaah hebat Mbak Maria, bisa bikin sendiri. Tapi memang kudu gak mager biar bisa tereksekusi dengan baik. Bisa sih dengan yang sudah jadi terus diangetin ya.
Kalo tulisan di menu kecil² gitu ya bikin sesuatu wkwkwk. Jadi agak malas baca, kecuali diterangin menuny ada apa aja, hehe.
Wuaah rekomen ya pizza nya Bu. Penasaran sama bentuk pizza-nya kayak apa, soalnya tumben ini daku blog walking ke Bu Annie agak berat blognya, jadi tampilan foto cuman 1/10 nya aja, gak tampil full. Apa size fotonya kebesaran ya? Atau memang gak di re-size?
Apalagi buat mataku yang sudah tua ini haahahaha. Baca tulisan kecil2 dan lihat gambar timik2 tuh butuh perjuangan.
Foto2nya sudah tak resize tapi mungkin jaringan kali ya. Di aku sih uploadnya cepet.
Masakan Italia itu unik dan pastinya mengandalkan bahan yang fresh, g terlalu banyak proses. Wah jadi pingin juga nih maen ke sana Mbak.
Kudu mampir ke sini kalo sedang berkelana di Yogya Mas Adi. Recommended.
Foto pizza ne menggoda banget. Kayak beda banget sama gerai yang udah gedhe namanya itu ya. Atau apa mungkin aku yang saking jarangnya (kayaknya cuma 2 kali dah kalau nggak salah) ke gerai itu sampai nggak tahu ada menu pizza yang kayak dipesan sama kakak?
Pizza Aroma Italia ini memang unik, rasanya otentik, penggemarnya cukup terbatas. Tapi sungguh layak dicoba kalo pas di Yogya.
“Motor” itu mesinnya, mbak. Sepeda motor, sepeda bermesin. Orang kita aja yang males panjang-panjang jadi sepeda motor disebut motor aja (dibahas).
Btw kalau saya jadi adik, saya akan cari tempat makan apapun yang deket dengan hotel. Kalau perlu, makan di stasiun atau hotelnya. Aku nggak terlalu menguasai kuliner Italia, tapi tempatnya nyaman karena ada sofa-sofa.
Hahahaha iya ya. Betul juga. Gak kepikiran sama saya. Thanks pencerahannya Gi.
Naaahh tadinya saya juga ngajak makan aja di hotel. Karena banyak review yang bilang kalau di hotel itu masakannya dapat bintang 5. Tapi keknya si bungsu penasaran dengan rating tinggi dari Pizza Aroma Italia.
Aku seneng sih, ka Annie kalau ada yang satset. Hahaha, soalnya anak-anakku, terutama yang nomer 2 tuh sama aja kek aku..
Kalo lagi travelling suka mageerrr.. Apalag barruu dateng kek gini.
Yang exploring cuma suami ama anakku yang pertama. Paling ga betah kalo diem di satu tempat dalam waktu lama.
Kebalikan amat sama aku.. hahahha~
Dan sajian Resto Pizza Aroma Italia Yogyakarta ini yummiii sekalii..
Saos tomatnya bener-bener banyak sih yaa.. Kalau dikasi sambel bakaln nutup rasa aslinya ga, ka Annie?
Suka sama masakan Itali homemade beginiii.. dibandingkan sama pizza yang merk terkenal-terkenal ituu…
Hehehe, soalnya pasti adaaa aja kejutannya. Bikin happy dengan “kekayaan” rasa yang diciptakan chef-nya.
Nah itu, gak nyangka juga tomatnya “menggenang” jadi memang harus diimbangi dg sambal. Rasanya masih ok sih menurutku. Apalagi roti pizzanya terolah dan terpanggang dengan baik. Garing dan gurihnya mantab betul.
Aku setuju. Produk homemade sering banget bikin lidah bereksplorasi dengan baik. Jadi pengalaman baru.
Peluang ini mbak, mengajukan diri untuk bikin desain buku menu yang eye cathcing dan tidak merepotkan calon pembeli, terutama yang ketajaman penglihatannya sudah berkurang.
Tempatnya asyik ya, cocok buat pepotoan. Cocok buat makan juga bagi penggemar menu ala Italia
Wooaaahh good idea Mbak Nanik. Siapa tahu jadi project serius ya. Gak kepikiran saya.
Dekorasinya memang cocok banget buat photography.