Pagi mulai merangsek naik menuju tengah hari, saat saya dan Ipeh melangkah gagah menuju Malioboro di minggu pertama November 2024. Perjalanan ini menjadi satu agenda dari empat hari tiga malam kunjungan santai-santai kami ke Yogyakarta yang sejatinya sudah direncanakan jauh-jauh hari.
Sebuah kesepakatan dari jalinan kebersamaan atas nama persahabatan yang sudah terjalin tahunan lamanya. Tepatnya sejak kami berdua mengenyam tingkat pendidikan tinggi yang sama. Ketika itu anak-anak saya masih kecil-kecil (SMP dan SD) dan Ipeh sendiri masih menjomlo. Saya masih berukuran jumbo sementara Ipeh masih langsing dan langsung. Yang tragisnya, sekarang, kondisi itu tertukar (ngekek). Begitu kira-kira (sambil ngeberesin kertas takut digaplok Ipeh)
OK. Kita balik dulu ke urusan Malioboro.
Tak afdolf rasanya jika ke Malioboro lalu tak mampir ke Pasar Beringharjo.
Kawasan yang berada di lini teratas saat kita mencari referensi destinasi wisata di Yogyakarta ini sejatinya adalah area perbelanjaan, pusat perdagangan tradisional, yang dulu sekali terkenal dengan penjualan aneka batik, baik berupa gulungan kain atau yang sudah dijahit menjadi produk fashion, dibentuk menjadi handmade craft, aneka buah tangan, dan beragam jenis penganan.
Ada juga segala rupa keperluan dapur, perlengkapan rumah tangga, dan printilan yang kadang susah ditemukan di pasar-pasar lain. Pokoknya segala ada lah ya. Namanya juga pasar.
Mendadak saya ingat. Dulu di 1999 saat saya honeymoon ke Yogyakarta, saya memutuskan untuk beli oleh-oleh untuk para panitia nikahan di Pasar Beringharjo. Awalnya cuma pengen beli kaos aja. Etapi ternyata pasarnya lengkap banget. Jadilah saya konsen belanja di Pasar Beringharjo saja dan tidak kemana-mana lagi. Usai semua urusan buah tangan di satu tempat.
Saya dan Ipeh naik becak menuju Beringharjo setelah blusukan tipis-tipis ke Pasar Ngasem. Penasaran dengan beberapa kudapan yang sempat viral di dunia maya sekaligus menikmati semangkok soto yang bikin pagi itu kemringet deras. Saya sempat menyaksikan keriuhan Pasar Ngasem yang berada tak jauh dari hotel tempat kami menginap sebelum akhirnya bersegera menuju Pasar Beringharjo sesuai rencana.
Saya lupa berapa ongkos yang harus kami bayar ke si abang becak. Tapi yang pasti di pagi menjelang siang itu hati saya riang gembira. Maklum. Dah lama gak naik becak. Di Kabupaten Bekasi, kawasan tempat perumahan saya, becak tak beroperasi. Tampilan fisiknya pun tak pernah saya lihat karena sepertinya becak bukanlah moda transportasi yang proporsional untuk sebuah kawasan industri. Terakhir mungkin saat becak dilarang beroperasi di Jakarta. Berarti itu sudah puluhan tahun yang lalu.
Jadi, meskipun harus menata “boncengan” agar jok tempat duduk di dalam becak tetap terasa nyaman, saya menikmati waktu nge-becak dengan ngobrol beragam topik dengan Ipeh. Khususnya tentang banyak kejadian lucu dan beberapa teman yang suka bertingkah konyol saat kami kuliah dulu. Topik yang tak pernah lekang oleh waktu.
Bonus asyiknya naik kendaraan roda tiga berpenutup terpal ini adalah merasakan angin semilir menampar-nampar wajah dan melewati tempat-tempat yang kadang tidak keburu terlihat saat kita menaiki mobil. Hembusan angin berhembus kencang yang tampak berlomba-lomba dengan kepotan sepeda motor yang terlihat buru-buru melintas, melaju kencang mendahului kami. Mungkin sudah kebelet mau ke toilet barangkali.
Yah jadi panjang bener preambule nya.
Obrolan dan tertawaan saya dan Ipeh kemudian berhenti saat si abang becak memarkirkan kendaraannya persis di depan pelataran depan Pasar Beringharjo.
Saya terpesona. Setelah sekian tahun tak berkunjung ke sini, saya menandai bahwa fasad Pasar Beringharjo sudah berubah banyak. Warna bangunannya pun sudah berubah. Teras depan atau pintu masuknya pun clear dan clean. Bebas dari para pelapak yang biasa nangkring di sana.
Beda sekali dengan terakhir saya ke sini tahunan dulu. Saat itu ada beberapa penjaja makanan dengan pilihan lauk-pauk yang sangat lengkap. Bentuknya hanya emperan berpayung dengan banyak dudukan plastik bagi para tetamu. Laris dan rame banget pokoknya.
Sekarang, di November 2024, saya sudah tidak menemukan mereka lagi. Ketatnya penataan pelapak di selasar sepanjang Malioboro sepertinya sudah ditertibkan dan bubar jalan. Satu hal yang menurut saya menjadikan Malioboro jauh lebih cantik, lebih bersih, lebih tertata, dan tentu saja lebih nyaman untuk para pewisata.
Saya memutuskan untuk berpose sejenak di fasad ini sembari memperhatikan aktivitas publik yang terlihat keluar masuk pasar dan orang yang mondar-mandir di sepanjang Malioboro. Suasananya tidak padat karena memang bukan di musim liburan. Tampak beberapa bangku besi dan bulatan-bulatan semen menjadi tempat nongkrong pengunjung. Ada yang sudah membawa banyak kantong plastik di tangan. Tapi ada juga yang sekedar duduk-duduk sembari menikmati aneka minuman dingin yang ditawarkan oleh para penjaja keliling.
Saya merasakan suasana yang benar-benar nyaman di Malioboro ini. Beda sangat dengan apa yang saya alami puluhan tahun yang lalu. Menjadi lebih baik pastinya.
Lalu ke mana para pedagang yang dulu berdesakan di teras-teras toko di sepanjang jalan ini? Tampaknya pemerintah kota sudah menyiapkan area khusus dengan jejeran lapak yang rapi dan tertata dengan baik di salah satu sudut kawasan ini.
Saya malah kepikiran bagaimana jika pemda konsisten melakukan aturan car free di sepanjang jalan Malioboro ini dan menambah penanaman pohon-pohon tinggi serta memperbanyak dudukan yang dilengkapi dengan taman-taman kecil penuh bunga.
Menambah gerobakan-gerobakan dengan menyajikan produk UKM di sepanjang jalan setapak yang lebar ini juga menarik tuh. Kalau bisa jangan makanan atau minuman karena bisa mengundang sampah. Jadi sebaiknya diisi dengan booth aneka kriya saja.
Ah jadi kebanyakan ide dan khayalan.
Yok sekarang masuk ke dalam Pasar Beringharjo.
Impian saya bahwa bagian dalam pasar akan beriringan berubah seperti bagian depannya ternyata keliru. Di dalamnya tetap sama dari kunjungan saya terakhir. Toko-toko di los yang berada di sudut itu sebagian besar tutup diganti dengan para pedagang yang menyusun jualannya tidak di dalam kios. Dan posisi ini sebagian besar diisi dan didominasi oleh para pedagang batik stempel. Mereka tampak semangat mengajak kita mampir sembari mengizinkan kita untuk melihat-lihat ke seluruh koleksi terlebih dahulu.
Saya dan Ipeh sempat berhenti beberapa kali. Mencoba mencari yang motifnya sreg di hati dengan harga yang affordable karena saya berencana mengunjungi beberapa outlet batik yang produknya biasa saya beli saat pameran wastra di Jakarta. Dan akhirnya tujuan ini tercapai. Kami mendapatkan baju atasan dengan tangan menggelembung. Pintarnya Ipeh menawar. Jadi kami mendapatkan harga terbaik untuk sepasang baju batik dengan warna sama tapi dengan tarikan motif yang berbeda.
Ih seneng banget.
Lanjut ah menelusurnya.
Saya dan Ipeh melangkah ke dalam pasar. Mencoba untuk tidak hanya terfokus pada para penjual fashion di deretan depan. Saya mencoba masuk ke setiap los yang ternyata bertaburan dengan aneka macam produk. Peletakan barangnya juga padat luar biasa. Bahkan banyak yang diletakkan di lantai depan kios sehingga para pengunjung harus lebih hati-hati dalam melangkah.
Sapaan-sapaan ramah pun berhamburan. Saya hanya bisa tersenyum dengan menjawab “Ya Pak/Bu. Saya mau lihat-lihat dulu ya.” Kalimat yang kemudian dijawab “Nyari apa Bu? Nanti saya bantu.” Waduh. Lah terus njawabnya apa itu? (ngekek) Tapi akhirnya saya hanya menjawab dengan kata “Ya” kemudian mengangguk dan berlalu.
Honestly saya bingung mau belanja apa. Pilihannya super duper banyak. Semua rasanya pengen dibeli. Salah satunya adalah produk fashion berbahan dasar kulit. Saya sempat megang beberapa. Terasa dan terlihat jahitannya rapi, kulitnya asli, dengan harga yang gak berlebihan. Tapi saat mengingat lemari tas saya sudah berhimpitan isinya persis seperti KRL yang padat dengan penumpang saat jam-jam datang dan pulang kantor, saya memutuskan untuk menahan hawa nafsu.
Bahkan saat tiba di rumah dan suami bertanya dengan rasa heran, “Tumben gak beli tas?” Saya mendadak heran pada diri sendiri. Iya ya. Padahal suami tidak pernah membatasi belanjaan. Like what he always says, “As long as it makes you happy then do it.” Tentu saja dengan ketetapan ada izin terlebih dahulu dan apa yang dilakukan adalah hal yang membawa manfaat dan tidak bertentangan dengan adab serta aturan agama.
Lanjut jalan lagi ya.
Saya sesungguhnya masih penasaran. Kemana ya para penjual jajanan khas yang sering diliput oleh para pemburu kuliner itu? Apa mereka juga direlokasi ke satu tempat dan tidak di area pasar?
Tak sampai lima menit kemudian, pertanyaan ini terjawab dengan sendirinya saat saya melihat kerumunan orang di teras pinggir Pasar Beringharjo. Sekian banyak orang mengantri mengelilingi seorang penjual pecel dan goreng burung dara lengkap dengan telur uritannya. Jenis telur yang selalu saya cari setiap menyantap sate ayam.
Saya sesungguhnya tergoda. Pengen ngajakin Ipeh melipir sebentar dan memesan satu porsi buat berdua. Tapi tampaknya kawan saya itu tidak tertarik apalagi saat mengingat bahwa kami bersepakat makan siang di resto dengan menu tengkleng. Salah satu santapan favorit saya dengan porsi yang cenderung penuh perjuangan untuk dihabiskan.
Jadi saat ketemu dua mbok-mbok ini saya hanya numpang motret dan memperhatikan betapa cekatannya mereka saat melayani setiap pembeli. Lain waktu ya Bu. Semoga saya bisa nangkring dengan santai di sini sembari menyantap hidangan yang menggairahkan tersebut.
Saya melirik jam di gawai yang saya pegang. Tampaknya memang sudah harus berpindah ke tempat lain. Saya dan Ipeh telah sepakat untuk menyusur setengah bagian Malioboro kemudian mampir ke beberapa toko yang sudah kami incar sebelumnya. Sebuah butik khusus batik dan outlet besar serba ada yang menyajikan banyak produk pilihan di dalamnya.
Mari kita kemon.
aku belum sempat ke Pasar Beringharjo, kemarin kaki udah pegel. hahaha.. pengen sih bisa balik lagi ke Jogja buat trip kuliner.
Nah samo Ded. Pengen nian menyusur khusus kuliner Yogyakarta. Tigo sampe empat hari jadilah. Yang penting fokus dan konsisten. Kapan yok kito pergi samo-samo biar pacak saling motretke.
Kalau ke Pasar Beringharjo memang suka bingung mau beli apa. Banyak daster, tapi aku engga dasteran. Akhirnya beli baju anak aja buat oleh-oleh.
BTW…itu tas kulitnya memang terlihat bagus dan modis ya. Pengen punya yg tas canklong aja gitu, cukup dompet dan HP aja…
Kulinet Yogya emang engga pernah gagal ya. Burung daranya terlihat yummy, pake pecel…yumyum…
Judulnya segala ada di Pasar Beringharjo ya Mbak. Pasar tradisional yang cocok banget untuk para wisatawan.
Saya belum pernah ke Pasar Beringharjo. Pernah ada niatan ke sana. eh, gak cukup waktunya. Mengenai Malioboro, sempat terjadi pro kontra. Ada yang suka suasana lama, ada juga yang sekarang.
Saya pribadi kayaknya bakal suka yang sudah ditata. Karena dulu, kurang suka ke Malioboro. Kayaknya kalau udah lebih rapi, saya malah jaid pengen ke sana.
Sama. Dengan kondisi yang baru keindahan Malioboro itu lebih kelihatan. Deretan ruko yang dulu ditutupi oleh pelapak, sekarang kelihatan keindahannya. Selasar juga dilebarkan, jadi wisatawan nyaman buat jalan dan menikmati keindahan Malioboro. Cakep banget.
Wah saya kalau ke Yogya bisa dari pagi sarapan, makan siang ampe jajan2 cemilan muter2 ampe mau tutup tuh seharian di pasar Beringharjo , seneng banget rasanya lihat situsi pasar nya terus barang yang dijual jg unik unik hehehe, jadi pengen ke Yogya nih
Nah aku pengennya gitu. Destinasi lawas yang legendaris ya Yu. Apalagi sekarang sudah dirapihkan dan lebih nyaman untuk didatangi.
Sejak kawasan Malioboro ditata belum ke sana lagi saya…penasaran banget. Setuju kalau jalanannya jadi car free pasti bakal tourist friendly. Seperti beberapa jalanan di luar negeri yang jadi pusat wisatawan, yang dibebaskan dari kendaraan, tentu makin nyaman. Senyaman saat ke Pasar Beringharjo yang saking banyaknya pilihan akhirnya cuma makan (itu saya hahaha)
Iya Mbak Dian. Lingkungannya jadi lebih bersih dan nyaman buat dinikmati. Banyak bangunan indah yang dulunya tertutup sama pedagang asongan dan pelapak sepanjang selaras, sekarang tampak banget keindahannya.
Satu lagi yang perlu didisiplinkan pada publik adalah soal sampah. Masih ada beberapa yang masih buang sampah sembarangan.
Otomatis kalap ingin beli semua ini mah, lucu-lucu gitu barang-barangnya ..tas kulitnya pengen
Bisa mborong banyak oleh2 di sini pastinya.
Beberapa kali beli daster, dan kecewa….
Setiap ke Beringharjo saya hanya kulineran
Karena khas banget nasi urap dan cap jae nya (pelesetan dari cap chai nya chinese food)
Yang unik dari cap jae, ada potongan tepung hasil modifikasi dari kekian
Emang tricky kalau belanja di sini ya Mbak. Untungnya Ipeh, temanku nemenin ke sana, teliti banget orangnya. Jadi alhamdulillah dapat baju yang apik dengan harga menengah.
Nah sayangnya saya gak sempat menikmati kuliner di sana karena belum lama sarapan soto daging di Ngasem. Kapan2 ah mampir lagi khusus untuk jajan aneka kudapan tradisional di sana.
Emang ya Malioboro dan Beringharjo itu ga lekang oleh waktu. Terakhir ke sana sebelum Covid dan lihat dari cerita Mbak Annie tetap indah penuh daya tarik yang khas.
Betul Mas Adi. Lawas nan legendaris dan alhamdulillah tetap dipertahankan hingga kini.
Mbak, jepretannya cakep-cakep banget.. Pasarnya terlihat bersih. Memang sih, kalau sudah masuk pasar, terkadang sulit mengerem yang akan dibeli
Semoga sewaktu ke Jogja, saya bisa mampir Pasar Beringharjo dan cari oleh-oleh khas sana
Makasih untuk complimentnya April. Setiap sudut Malioboro dan Beringharjo memang se-istagenic itu. Cakep banget bangunannya. Apalagi sekarang Malioboro sudah dirapihkan dan nyaman untuk para pewisata untuk menelusur.
Daku baru sampe Malioboro, Bu Annie, itu pun juga jaman SMU karena pas study tour hehe.
Kalo pasar Beringharjo ini hanya sering mendengar, belum ke sana.
Apik juga ya pasarnya, bikin happy tangan karena jadi banyak tentengan hehe.
Wooaahh udah lama banget itu ya. Semoga kapan2 bisa balik ke Yogya dan mampir ke Beringharjo.
Ibuku kalo ke Jogja juga selaluuu.. ke Pasar Beringharjo.
Sebagai pengawal pribadi yang baik, aku pun nurut. Tapi gak lupa minta bayaran yang pantas, yakni jajan ama daster.
Hahaha.. pengawal opo iki minta bayaran??
Seneng jalan-jalan sama sahabat lamaa..
Aku ngerasain ka Annie bisa menulis tentang sahabat yang begitu dekat dengan luwesnya.
Ka Ipeh juga senyumannya maniisss bangeett..
Kalo ke Jogja tuh kayanya gabole lupa beli celana batik.
Hhehee, buat jogging atau sepedaan. Cakep dan syari karena lebaarrr..
Hahahahaha. Emang kalo sudah ke pasar Beringharjo godaan belanja buat emak2 tuh tinggi banget. Segala ada. Ngabisin waktu di sini rasanya menemukan banyak hal yang menarik untuk dilihat dan dibeli.
Baru aja anak lanangku pulang study tour ke Jogja. Katanya sih ke Malioboro juga. Ke Pasar Bringharjo juga. Tapi pasti detail yang diamati, dirasakan, dan diceritakan dia beda jauh dengan Mbak Anni ini ya. Yang dibeli cuma baju buat adiknya yang masih balita. Ternyata selengkap itu pasarnya. Kalo tau ada toko yang jual sanggul, aku bisa nitip.
Beda sudut pandang ya Mbak. Ketertarikan anak2 dan orang dewasa pastinya berbeda. Tapi yang pasti kalau sudah ke Yogya, main ke Malioboro dan belanja di Beringharjo jadi satu kegiatan yang menyenangkan.
Wah, jadi bersih sekali dan serasa berwisata juga kalau di Pasar Bringharjo.
Pantas saja kalau sebut pasar ini selalu ada yang komentar, ah sekarang seperti pasar wisata.
Kebetulan tahun ini saya ke Malioboro dan memang bersih plus menyenangkan. Hanya duduknya saja yang masih kelewat minim.
Bener Mbak Susi. Di sepanjang selasar Malioboro itu, menurut saya, mending diperbanyak bangku2 panjang. Jadi pengunjung bisa istirahat sembari menikmati pemandangan sekeliling.