Salah satu sumber kesenangan di dunia traveling – menurut saya pribadi – adalah tentang photography. Berburu foto-foto ciamik di berbagai tempat yang kita tuju, sesungguhnya adalah salah satu dari makna perjalanan tersebut. Setelah bulanan melihat potret ciamik dari beberapa rekan pejalan, saya sudah berjanji pada diri sendiri, harus mengunjungi Gamplong Studio Alam yang berada di Sleman saat saya punya kesempatan mengunjungi Yogyakarta. Sebuah janji yang kemudian saya tepati di awal Agustus 2024.
Saya memasukkan jadwal kunjungan ke Gamplong Studio Alam di Sleman jauh-jauh hari sebelum berangkat ke Yogyakarta bersama si bungsu. Jadi prioritas lah pokoknya ya. Hal sama yang kemudian saya sampaikan kepada penyewaan mobil di salah satu travel yang juga sudah saya pesan jauh-jauh hari. Setidaknya pihak travel bisa memperhitungkan waktu yang tepat untuk menjemput saya di hotel dan memberikan referensi untuk destinasi lain yang berada tak jauh dari Gamplong Studio Alam supaya agenda kunjungan lebih efisien dan efektif.
“Keputusan tepat Bu. Baiknya memang ke sana dulu. Mumpung kalo pagi-pagi langitnya cerah. Biar hasil motretnya okeh,” ujarnya sembari banyak bercerita tentang Gamplong Studio Alam selama dalam perjalanan dari hotel Yats Colony tempat saya menginap.
Tentang Yats Colony : Saat Estetika dan Kenyamanan Menyatu di Yats Colony Yogyakarta
Selama sekitar satu jam perjalanan, Mas Yudi, yang mengantarkan kami ini, bercerita panjang lebar tentang Gamplong Studio Alam. Dia bahkan sempat menyaksikan proses shooting film “Bumi Manusia” bareng dengan penduduk setempat yang sama penasarannya. Dia juga menjadi saksi hidup betapa antusiasnya warga Desa Gamplong, menyambut kehadiran setiap shooting film yang menggunakan salah satu kawasan tempat tinggal mereka.
“Segala macam jualan mendadak muncul Bu. Terutama makanan-makanan lokal. Mulai dari camilan sampe menu makan besar. Alhamdulillah jadi rezeki buat masyarakat setempat,” ujarnya lagi.
Wah, saya langsung tersenyum semringah. Seneng banget dengar berita seperti ini. Membayangkan bagaimana sederetan kebahagiaan menghinggapi wajah para warga desa Gamplong, yang kemudian dijadikan nama dari destinasi wisata edukasi dan photography ini. Kecripatan rezeki karena berada di dekat sebuah kesibukan hingga menjadi memori sepanjang masa, bahkan jadi ide untuk salah satu sumber penghasilan serta pergerakan ekonomi bagi masyarakat sekitar.
Tempatnya pun akhirnya dipertahankan dan dijadikan salah satu destinasi wisata popular yang terkenal dengan sebutan sebagai Desa Wisata Gamplong. Salah satu wisata unggulan Daerah Istimewa Yogyakarta ini bahkan berkali-kali tampil di lini beragam media sosial, khususnya Instagram. Saya bahkan sempat melihat Gamplong Studio Alam menjadi salah satu program wajib kunjung yang tertera di daftar paket wisata beberapa tour agent yang berlokasi di Yogyakarta. Ini menjadi bukti bahwa Gamplong Studio Alam menjadi salah satu andalan wisata yang (sangat) direkomendasikan. Khususnya wisata edukasi perfilman dan produksi film agar publik lebih memahami proses setting film dan bagaimana menyuguhkan tontotan yang berkualitas dari segi visual. Hingga akhirnya banyak orang menyebutkan Gamplong Studio Alam sebagai Mini Hollywood Indonesia.
Ah. Jadi tambah semangat.
Studio Alam yang Sangat Luas
Saya terbangun dari tidur ayam, saat mobil yang saya tumpangi memasuki desa Gamplong, desa di mana Gamplong Studio Alam berlokasi. Dari jalanan aspal dengan lebar pas untuk dua mobil, saya melihat sederetan rumah bersahaja yang sebagian besar terbuat dari kayu. Di deretan awal, fasad depan rumah kayu ini terpampang plang coffee shop dan guest house dengan tampilan sederhana namun sangat unik secara visual.
Sayang banget semuanya masih dalam keadaan tutup saat saya datang bahkan hingga pulang. Duh. Padahal pengen mampir sebentar buat ngopi dan menikmati beberapa kudapan sembari memotret suasana coffee shop yang “ngampung” banget. Malah maunya bisa memotret di beberapa sudut estetik melengkapi kisah perjalanan ini.
Melewati sederetan tempat tinggal dan jalur yang lumayan naik turun, saya akhirnya melewati sebuah gerbang besar tanpa pintu yang dibangun sangat menjulang. Tak jauh dari gerbang tersebut ada sebuah lapangan luas untuk parkir yang dilengkapi dengan sederetan warung-warung makanan, minuman, dan buah tangan khas Yogyakarta. Dari lahan parkir ini saya kemudian melangkah menuju pintu masuk Gamplong Studio Alam yang terlihat begitu asri dan dijaga dengan baik oleh beberapa orang petugas.
Sembari meluruskan pinggang yang mulai terasa pegal, saya menebarkan pandangan ke arah area masuk. Lahan parkirnya luas banget. Begitu pun dengan sebuah lapangan studio yang berada di depannya. Sebuah pemikiran kemudian lewat di pikiran. Dengan luas yang begitu mengesankan ini, kemungkinan besar area lapangan ini memang dipersiapkan untuk adegan yang grande. Seperti misalnya perang badar, perkelahian dalam jumlah manusia yang banyak, atau hal lainnya yang menampilkan keramaian dan hiruk-pikuk publik.
Sejajar dengan lapangan ini, saya bisa melihat sebuah stasiun kereta kecil yang di atapnya tertulis “Depo Trem” Atapnya panjang seukuran dengan si kereta, dicat dengan warna yang sama. Belakangan saya naik kereta ini untuk mencapai spot foto yang ada di belakang lapangan luas ini.
Keretanya sendiri bentuknya unik. Persis roti tawar yang super duper grande dan terlihat setipe dengan Bis Bandros yang ada di Bandung. Dibuat tanpa pintu dengan jendela besar-besar dan tempat duduk kayu yang jumlahnya terbatas. Jalurnya menghubungi antara kawasan kiri dan kanan Gamplong Studio Alam. Jalannya juga secepat saat kita jalan kaki biasa. Jadi kalau ngantuk dan pengen tiduran tanpa diganggu, naik kereta ini bisa jadi solusi karena jendelanya yang besar-besar itu menghadirkan angin sepoi-sepoi yang membelai wajah dengan asyiknya.
Nah, di dekat stasiun mini ini, ada area khusus penerimaan pengunjung. Sebuah pondokan kayu berfungsi sebagai loket. Ada juga papan informasi atau mading (Majalah Dinding) yang menghadirkan berbagai fasilitas yang tersedia di dalam Gamplong Studio Alam berikut dengan foto-foto lawas saat tempat ini dijadikan area shooting.
Kemudian ada lembaran-lembaran tiket masuk yang dicetak dengan warna berbeda-beda dan dibuat dengan ilustrasi apik untuk beberapa spot tertentu. Khususnya untuk berapa tempat yang mewajibkan kita membeli atau membayar tiket masuk tambahan. Diantaranya adalah rumah Hasri Ainun Habibie, tiket naik kereta api St. Soerabaja (stasiun kereta api tadi), Gallery & Basement Antiques, Oemah Kiblat (konsepnya seperti rumah hantu), dan Roemah Annelis – Nyai Ontosoroh – yang digunakan untuk rekam film berjudul “Bumi Manusia.”
Atas beberapa pertimbangan, akhirnya saya membeli tiket terusan. Buat saya sih lebih efektif beli tiket dengan pengaturan di awal seperti ini ketimbang harus bayar lagi di setiap spot. Oia, untuk tiket masuknya sendiri ditetapkan sesuai keikhlasan pengunjung aja. Jadi saya menambahkan angka tertentu setelah lembaran tiket masuk khusus di beberapa wahana tersebut di atas.
Proporsional dan sepantasnya aja. Pantas untuk membantu pengelola dalam melakukan perawatan dan pemeliharan Gamplong Studio Alam agar tetap lestari serta layak untuk dikunjungi.
Tentang Bali : Menyesap Harmoni di Desa Adat Tenganan Pegringsingan Karangasem Bali
Menuntaskan urusan tiket, langkah saya langsung disambut dengan hadirnya sebuah jembatan semen berbentuk melengkung dengan pagar yang terbuat dari kayu natural yang ukurannya nyaris seukuran ranting pohon dengan bentuk sesuai aslinya. Unik deh. Masing-masing ranting diikat dengan tali dan disambung-sambungkan ala teknik ikat anak pramuka. Kokoh dan menyatu dengan baik.
Netra kita langsung disambut dengan pemandangan bernuansa pedesaan yang sebagian besar dibangun dengan kayu. Nuansa rustik begitu hidup di sini. Dibuat bersahaja, sederhana, layaknya saat kita berada di sebuah kampung yang jauh dari modernitas. Baru di titik ini saja, saya langsung heboh berkali-kali tanpa menurunkan kamera dari tangan. Berhenti di sini saya langsung merasakan aura saat para pekerja sinema ingin menghadirkan konsep jaman jadoel yang visualnya sudah terlewatkan puluhan tahun yang lalu. Set-up suasana yang benar-benar pas untuk film kolosal atau tanah air di satu masa penjajahan.
Selain bangunan rumah kayu yang rustik itu, saya kemudian jatuh kagum pada banyak ornamen yang melengkapi konsep rancangan rumah. Mungkin tidak selengkap saat digunakan untuk shooting tapi di saat kedatangan saya, banyak elemen keindahan yang sangat memanjakan indera penglihatan. Seperti misalnya meja dan kursi kayu. Bale-bale di depan rumah yang dilengkapi dengan peralatan untuk ngarit sawah. Peralatan masak yang terbuat dari tanah liat. Tempayan, tumpukan gerabah dan masih banyak lagi. Semua tampak terlihat usang tapi justru membangkitkan imajinasi kita akan situasi masa lampau.
Eh btw, kenapa saya tetiba ingat dengan film G30S PKI ya? Duh jadi merinding.
Melanjutkan langkah, saya kemudian menemukan sebuah rumah panggung yang juga terbuat dari kayu. Lalu ada rumah ala pejabat lokal di zaman republik dengan beberapa anak tangga di bagian tengah depan rumah. Kemudian ada juga rumah juragan beras dengan atap rendah dan tumpukan karung-karung beras di teras depan rumah. Saya tidak memeriksa apakah keduanya beneran rumah dengan ruangan-ruangan di dalam apa tidak. Tapi jika melihat sekilas sih sepertinya hanya fasadnya saja yang dibutuhkan untuk adegan.
Perhatian saya malah terfokus pada Rumah Annelis – Nyi Ontosoroh yang terlihat megah berlantai dua dengan halaman luas dan sebuah kereta kuda yang terpakir di halaman depan. Rumah yang menjadi bagian penting dari shooting film “Bumi Manusia” dan tampak didominasi oleh warna merah dan hijau lalu kemudian diberi nama Museum Bumi Manusia.
Yuk. Mari kita masuk dulu ke sini.
Untuk ukuran properti di masa-masa kolonial, Museum Bumi Manusia ini tentu saja terlihat luas dan megah. Apalagi dibuat dua lantai dengan pembagian ruangan yang begitu presisi. Nyi Ontosoroh, seorang perempuan pribumi, ibu kandung Annelis, adalah istri simpanan/istri kedua dari Herman Mellema. Seorang pria Belanda yang bertugas di Indonesia. Annelis adalah anak kedua dari pasangan ini setelah Robert Mellema, si lelaki anak sulung.
Masuk ke dalam rumah, saya melihat banyak sekali peralatan rumah tangga yang sekarang sudah menjadi barang antik. Banyak diantaranya saya lihat di pasar-pasar barang bekas yang ada di Jl. Surabaya, Menteng, Jakarta, Kota Tua Semarang, atau di beberapa cafe and resto yang menggunakan bangunan-bangunan Belanda seperti Tugu Kawisari Cafe & Eatery yang berada di Kebon Sirih, Jakarta Pusat.
Suasananya benar-benar estetik dan sangat terjaga kebersihannya. Ada seorang petugas yang berjaga dan mengingatkan bahwa untuk naik ke lantai dua hanya boleh maksimum sepuluh orang saja. Karena memang setting pembangunan rumah ini hanya untuk keperluan pengambilan gambar saja. Tidak dibuat di atas rangka rumah yang kokoh selayaknya rumah tinggal.
Saya kagum dengan semua details dan dekorasi yang dihadirkan di rumah ini. Terutama di sebuah kamar tidur utama dan ruang kerja yang ada di lantai dua. Terus terang saya lumayan merinding saat memasuki kamar tidur utama tersebut. Dengan ranjang berkelambu, ada suasana dan nuansa magis yang terbangun.
Begitu pun saat saya melangkah ke dalam ruang kerja. Ada dua rak buku yang terbuat dari kayu dan menempel penuh pada dinding. Di sana ditaruh banyak dummy buku. Lalu ada meja kayu kerja yang tinggi dan sangat kokoh kemudian diletakkan di tengah-tengah ruangan. Semua peralatan kerja lengkap ada di sini. Termasuk mesin ketik yang berat banget dan globe meja yang juga besar. Dalam imajinasi saya, ruangan ini adalah ruang kerja sekaligus perpustakaan mini. Di salah satu sudut meja diletakkan juga sebuah telepon analog dengan sistem angka putar.
Saya sempat punya telepon seperti ini saat menempati rumah dinas alm. Ayah saya saat bertugas di Medan dan di Palembang. Keduanya pun menempati rumah warisan pejabat Belanda.
Yang saya perhatikan dari pengaturan ruang di rumah ini adalah banyaknya ruang-ruang pertemuan dan bersantai baik di lantai bawah maupun atas. Ada juga ruang makan keluarga yang apik banget. Meja makannya tersusun rapi lengkap dengan peralatan makan. Lalu tersedia sofa dan meja yang banyak banget. Ramai tempat untuk bercengkrama. Sungguh menyenangkan. Tampaknya si pemilik rumah memang sering menerima tamu.
Saya mendapatkan banyak foto ciamik di Museum Bumi Manusia ini. Setiap sudut sangat photogenic dan instagrammable. No wonder jika banyak sekali hasil foto di Rumah Annelis dan bertebaran di banyak lini informasi.
Tentang Tugu Kawisari Cafe & Eatery : Agustus Memerah Bersama Komunitas Food Blogger Indonesia di Tugu Kawisari Cafe & Eatery Jakarta
Menyelesaikan rangkaian acara mampir di area yang sejajar dengan pintu masuk ini, saya kembali ke sisi depan dan langsung berjalan menuju trem yang saya lihat di awal tadi. Kebetulan ada beberapa rombongan yang juga berjalan ke arah stasiun mini ini. Setelah si bapak penjaga memeriksa karcis dan melihat sudah ada sekitar sepuluh tamu yang naik, mesin pun dinyalakan. Kereta bergerak perlahan menuju kawasan spot foto lainnya. Tempat yang sebelumnya sering saya lihat di banyak akun media sosial.
Berjalan di atas rel dengan kecepatan rendah, saya juga melihat beberapa rumah besar yang terlihat dibangun dan tertata mewah pada zamannya. Masa di mana banyak “orang kaya lokal atau raja-raja kecil” dan rumah para juragan etnis Tionghoa yang menguasai pemerintahan daerah dan sebagian besar bekerja sama dengan penjajah Belanda dan VOC. Saya mendadak dejavu dengan Rumah Tjong A Fie yang ada di kota Medan. Seorang perantau etnis Cina yang pindah ke Sumatera Utara, sukses dalam bisnis, disegani oleh penjajah dan masyarakat setempat, hingga memiliki rumah serta harta kekayaan berlimpah ruah. Rumahnya memiliki konsep yang sama dengan Rumah Keluarga Thjia yang ada di Singkawang. Tapi jika berbicara tentang kemegahan, Rumah Tjong A Fie yang sekarang dijadikan cagar budaya dengan nama Museum Tjong A Fie (Tjong A Fie Mansion) tetaplah di deretan teratas.
Tentang Museum Tjong A Fie Medan : Sepenggal Peninggalan Sejarah Kejayaan Imigran Tionghoa di Tjong A Fie Mansion Medan
Setelah melewati sebuah jembatan besi berjarak sekitar 100 meter, kereta api ini membawa para pengunjung mencapai sebuah kawasan luas yang terlihat elok, memesona, dan menawan. Berdiri banyak tipe bangunan lawas yang mengingatkan kita saat tanah air sedang berjuang mencapai kemerdekaan atau sudah merdeka tapi masih berproses untuk menjadi negara yang lebih mapan. Saya seperti masuk ke dalam sebuah kota lama, serangkaian bangunan tua, dengan berbagai fasilitas yang menaunginya. Seperti bioskop, hotel, kantor polisi, warung kopi, bengkel, toko buku, tempat tinggal dua lantai, dan lain-lain).
Trem pun berhenti di tengah-tengah kota kemudian mondar-mandir dalam setiap 15 menit. Kehadirannya memunculkan nuansa berbeda sekaligus jadi spot foto yang sangat menyenangkan. Selangkah turun saya meminta si bungsu untuk bersiap (kembali) berburu foto ciamik, sementara saya bersiaga dengan satu lagi alat untuk merekam video.
Saya kemudian diajak masuk ke salah satu bangunan yang ditata seperti sebuah cafe. Ada mini bar lengkap dengan berbotol-botol minuman keras yang sepertinya dipersiapkan untuk adegan entertainment environment. Settingnya tidak updated seperti night club terbarukan tapi nuansa yang dibangun mengingatkan saya bahwa dunia malam yang sudah ada dan terbangun di masa lampau. Khususnya bagi para inlander yang ingin merasakan suasana kegiatan malam yang sama di negaranya. Adegan ini sering banget jadi bagian di setiap film-film klasik yang mengulas tentang masa kolonial.
Saya melanjutkan penyusuran.
Setelah rampung berburu foto di ruangan ini, saya melanjutkan langkah ke Rumah Hasri Ainun Habibie. Bangunannya dibuat lega dan ceiling yang tinggi banget. Saya sempat berfoto di area ruang makan dengan segala kelengkapannya (kulkas, meja makan, piring, mangkok, sendok garpu, serbet, dan lain-lain). Lalu ada satu tempat khusus untuk menerima tamu dan bermain catur.
Keluar dari rumah ini, saya menemukan spot foto yang tematik dan asyik banget. Jika melihat apa yang terhidang, pengunjung bisa langsung berasumsi bahwa tempat ini adalah sebuah bengkel dengan barang-barang rongsokan di sana-sini. Tapi meskipun temanya “rongsokan” nyatanya pengaturan peletakan materi gak ngasal, asal taruh. Justru saya menemukan spot foto ciamik yang unik di setiap sudut. Apalagi di salah satu dinding yang menjulang, terpasang jendela-jendela kayu yang dibuat dengan sentuhan klasik dan cat yang tidak mencolok. Di bawahnya ada gentong-gentong dan tumpukan besi yang sudah berkarat, serta sisa-sisa ban yang menyempurnakan keunikan spot foto ini. Menilik IG @gamplongstudio, tempat ini diberi nama Tukang Rongsokan Antik Cak Bogor. Lucu juga ya. Apalagi di sisi depan itu terpasang sebuah gerbang yang terbangun dari besi-besi berkarat. Dan karena tidak beratap, mudah sekali mendapatkan foto ciamik saat langit cerah.
Mari kita lanjutkan.
Tak jauh dari tukang rongsokan ini, terdapat banyak lagi sudut foto yang memanjakan mata. Banyak bangunan-bangunan lain yang mewujudkan bahwa di sini lah studio outdoor yang begitu unik tersebut dibangun. Semua tulisan menggunakan ejaan-ejaan lama dan sentuhan seni yang tampil di era Hindia Belanda menduduki tanah air.
Selain trem yang mondar-mandir tadi, ada juga beberapa kendaraan lawas yang bodinya sudah berkarat di sana-sini. Ada taxi berwarna kuning yang nangkring di dekat sebuah warung kecil, sedan petugas polisi dan mobil dengan besi kerangkeng untuk menangkap atau menahan penjahat, dan mobil antik yang dulunya berseliweran di masa penjajahan.
Saya mendadak teringat dengan rekaman atau foto hitam putih yang ada di Youtube. Rekaman ini menghadirkan beberapa sudut foto Batavia saat beberapa waktu sebelum dan setelah merdeka. Mobil-mobil klasik berbagai jenama ini masih tampak mondar-mandir bahkan beberapa diantaranya digunakan sebagai mobil kepresidenan Soekarno.
Entah di mana sekarang mobil-mobil ini ya? Yang saya tahu sih beberapa diantaranya ditampilkan di Museum Angkut yang ada di Batu, Jawa Timur. Saya sempat menyaksikan betapa cantik dan gagahnya beberapa mobil klasik. Struktur bodinya terlihat kokoh dan kuat dengan transmisi yang jauh berbeda dengan mobil-mobil edisi abad ke-20. Khususnya jenama Ford yang sudah menjadi legenda dunia. Ya iyalah ya. Sudah ratusan tahun jaraknya. Teknologi otomotif tentunya sudah jauh (lebih) berkembang.
Wisata Transportasi : Museum Angkut. Menilik Keseruan Wisata Otomotif dan Edukasi Transportasi di Batu, Jawa Timur
Pengalaman Tak Terlupakan
Panasnya sinar matahari semakin garang menghempas bumi. Setelah hampir dua jam bereksplorasi, berburu foto ciamik di berbagai sudut fasilitas yang disediakan oleh Gamplong Studio Alam, saya memutuskan untuk ngaso, mampir di sebuah warung kecil untuk menikmati segelas penuh air tebu dingin. MashaAllah. Terasa banget leganya di tenggorokan.
Beberapa pengunjung tampak memadati warung. Hampir semuanya duduk berkeringat sembari menuntaskan beberapa minuman dingin tanpa jeda. Ibu penjaga warung tampak tersenyum hangat ke arah saya. Apalagi saat saya tak henti mengipas-ngipaskan topi lebar yang saya kenakan.
“Panas sekali ya Bu. Tapi justru dengan cuaca seperti ini, terlihat langit yang biru dan awan yang putih untuk menyempurnakan fotografi,” ujarnya dengan ramah.
Saya, tentu saja, mengangguk setuju. Saya beruntung datang di masa dan musim yang tepat. Karena memang untuk mendapatkan dan berburu foto ciamik akan lebih sempurna saat musim panas. Apalagi jika tempat yang kita tuju adalah wisata out door dengan target utama adalah rangkaian spot yang menyatu sempurna dengan birunya langit.
Satu lagi yang jadi kenangan tak terlupakan adalah bahwa di saat menelusur Gamplong Studio Alam, saya berkenalan dengan Ibu Martha Sihombing. Beliau adalah seorang guru seni dan produksi film di SMK Negeri 13 Medan. Saat itu Ibu Martha sedang mengikuti program upskilling dan reskilling guru produksi film di BBPPMVP (Balai Besar Pengembangan Penjaminan Mutu Pendidikan Vokasi) Seni Budaya di Yogyakarta. Jadi mengunjungi Gamplong Studio Alam adalah salah satu jembatan bagi Ibu Martha untuk mendapatkan visual sempurna yang akan dibawa untuk murid-murid tercinta.
Sejatinya saya ingin banget bertukar pikiran dan ngobrol panjang lebar tentang pekerjaan dan pengalaman beliau di dunia seni dan budaya, tapi saya harus bersegera bergerak ke beberapa destinasi lain. Tapi yang pasti, Ibu Martha telah menjadi pasangan foto model amatir yang (sangat) asyik saat saya menyusur beberapa tempat. Kami mengisi waktu dengan mengurai kekaguman akan bagaimana hebatnya para pekerja seni yang sudah menghadirkan Gamplong Studio Alam sebagai wisata unik dengan sentuhan vintage yang menjadi opsi pengambilan gambar dengan premis jaman doeloe. Rangkaian ilmu, pengetahuan, dan informasi bermanfaat yang bisa disampaikan ke anak-anak yang mendalami tentang seni dan produksi film.
Saya meninggalkan Gamplong Studio Alam dengan hati riang gembira. Nawaitu dan niat utama untuk berburu foto ciamik sudah tercapai. Meski tidak semua sudut/tempat saya datangi, tapi yang sudah ada di kamera saya menjadi kenang-kenangan dan jejak perjalanan yang akan terus terukir dengan indahnya.
Semoga kota buatan yang terbangun di Gamplong Studio Alam bisa terus terjaga dan terpelihara dengan baik. Tak hanya sebagai studio foto terbuka tapi juga menjadi ranah mengumpulkan pengetahuan seperti yang diharapkan oleh Ibu Martha Sihombing.
Oia, kalau boleh usul, rasanya akan lebih seru jika Gamplong Studio Alam juga menyediakan penyewaan busana klasik bagi pengunjung. Lengkap dengan layanan berdandan dan properti pelengkap fotografi yang sesuai dengan tema dan waktu jaman doeloe. Sama tujuan dan aktivitasnya saat saya berfoto di Malioboro dengan mengenakan kebaya.
Asyiknya bisa berkunjung ke Gamplong Studio Alam di Yogya. Baru tahu nih, ada studio alam seperti ini yang memang menyiapkan property untuk keperluan shooting film yah. Rumah-rumahnya dibikin persis banget sama aslinya.
Mirip Universal Studio banget. Apakah memang ada paket wisata ke sana? Jadi pengen juga deh main ke sana… Sambil membayangkan kejadian di filmnya…
Iya Mbak Hani. No wonder kalau Gamplong Studio Alam ini dijuluki Hollywood Mini nya Indonesia. Surganya penggemar fotografi ini Mbak.
Aku pernah nyoba jalan-jalan gak bawa kamera. Kata orang-orang: biar menikmati perjalanan. Yang ada aku stres hahaha karena sama kayak Ayuk, aku menikmati perjalanan itu ya dengan ambil foto sebab dari dulu emang suka fotografi.
Gamplong ini udah menarik perhatian sesaat setelah nonton Bumi Manusia. Senang juga pasca produksi studionya dipertahankan. Bahkan dari tulisan ini aku ngeh interiornya juga masih dipertahankan kayak gitu, Alhamdulillah. Rumah Annelis pun masih keliatan cakeeep, padahal proses syuting udah lama. Ini menandakan perawatan mereka bagus.
Hahahaha. Ah kalo cak kito-kito ini memang “gatel tangan” kalo idak motret Yan. Mangkonyo aku sekarang lah gantung kamera DSLR. Pake kamera HP bae. Mangko idak riweh kalo pegi-pegi.
Iyo Yan. Rumahnyo masih bagus nian. Bersih cak rumah dihuni sehari-hari. Cuma karena memang bukan dibangun dengan struktur rangka yang kokoh, pengunjung jugo dibatasi. Dak boleh langsung banyak. Terutama untuk dilantai duonyo.
Melengos sedikit, Mbak Annie udah muncul di Jogja. Muantab deh, tetap banget kagum sama foto-foto yang keren abis.
Wah, ini sih seru sekali, Mbak Annie. Dan memang Mbak Annie beruntung datang di waktu ynag tepat. cuacanya sangat mendukung. Kalau ini sih puas benar foto-fotonya karena lokasi sangat mendukung. Saya jadi mupeng ingin ke sana Mbak. Ingin tahu seperti apa kalau studio alam itu.
Main ke sini Mas. Pasti lupa waktu deh karena asyik motret dan dipotret sepanjang waktu. Seru bangets.
Keren banget!
saya jadi inget kampung wisata di kawasan Ungaran yang sayangnya sekarang gak kedengeran. Kayanya kurang promosi.
Gak sebagus Gamplong studio alam sih tapi sama-sama menggunakan rumah penduduk dan budaya setempat sebagai daya tarik
Nah saya sempat baca tentang studio foto alam yang ada di Ungaran itu Mbak. Kalo gak salah ada sederetan patung yang dalam posisi menari gitu ya. Duh, sayang banget jika benar kurang terurus. Padahal bisa jadi destinasi wisata foto yang menjanjikan.
Wooow bagus banget ya Gamplong Studio Alam ini, nanti kalo saya ke Jogja lagi pengen juga main ke sini. Banyak sekali spot foto yang bagus-bagus ternyata di sini ya, hampir setiap sudut tampak estetik sehingga bagus untuk bikin konten nih. :)
Mampir ke sini pas liburan ke Yogyakarta Mas.
Ah, betul Bu idenya sangat cemerlang itu
Jadi seperti di lokasi wisata Jepang, disediakan kostum jepang. Lokasi wisata ala Korea, disediakan sewaan baju Korea, seperti itu juga di wisata Gampong ini ya? Jadi bisa foto dengan kostum andalan dan ciri khas wisata ini…
Saya tuh selalu kagum dengan hasil jepretan ibu. Padahal objek bisa aja sama biasanya, tapi selalu lain baik dari warna, atau angelnya sehingga fotonya selalu bagus gitu .. gak bosen melihatnya
Makasih untuk complimentnya Teh Okti. Alhamdulillah jika bisa memenuhi unsur estetika photography supaya bisa menghibur mata setiap orang yang mampir ke tulisan-tulisan saya.
Semoga usulan kostum-kostum unik dan tematik bisa tersampaikan ke manajemen Gamplong Studio Alam. Biar berfoto di sana lebih seru dengan hasil jepretan yang lebih baik.
Bagus bagus banget hasil fotonya, suka deh liatnya. Btw, jadi kangen ke Jogja liat ini, terakhir ke Jogja itu setahun yang lalu deh.
Kuy balik lagi Mbak. Yogya memang bikin kangen deh.
Aku belum nonton Bumi Manusiaa.. ka Annie.
Tapi kebayang itu kalau masuk set film lawas.. waah, cakep bangeettzz siih..
Hunting foto ke Gamplong Studio Alam di Sleman lokasinya cukup luas yaa..
Aku pikir hanya se-uplik..
Senangnyaa..
Harga tiketnya menyesuaikan keridloan pengunjung.
Berkaaah selaluu..
Luasnya sekitar 2.5ha. Dan sebagian besar memang digunakan untuk setting film. Bener-bener studio outdoor yang bikin kita olga dengan ribuan langkah hahahahaha.