Main ke Cirebon selama libur Lebaran 2018 sudah saya rencanakan jauh-jauh hari. Bahkan sebelum Ramadhan 1439H berlangsung. Kenapa milih ke Cirebon? Pertama, karena tidak begitu jauh dari Cikarang (rumah kami). Kedua, udah bosen ngiderin Bandung dari tahun ke tahun. Ketiga, ini kesempatan terbaik untuk jalan bareng ber-empat sebelum Fauzi (anakku yang sulung) masuk ke entry level pendidikan tinggi, punya jadwal sendiri dan (bakal) susah di mix and match dengan jadwal adiknya (Fiona) yang tahun ini baru kelas 3 SMP.
The power of emak-emak pun langsung merajai berhari-hari sebelum keberangkatan. Semua diatur secermat mungkin. Maklum. Mantan mandor.
Tidak melupakan kewajiban silaturahim dengan keluarga di Bandung, lebaran hari ke-2 (kenapa ya kita membiasakan diri menyebut lebaran ke-2? hahaha) harus sudah di Bandung pagi-pagi supaya jadwal ngider beres dan ringkes. Yang pasti, ziarah dulu ke makam kedua orang tua suami di Sirnaraga (selalu tumplek pengunjung kalo ramadhan atau lebaran tiba), makan siang di salah satu restoran favorit kami berempat, dilanjutkan dengan mengunjungi satu-satunya Bibi dari pihak almarhum ayah nya suami yang sudah berumur, setelah itu ngendon ke Cimahi berkumpul dengan 3 saudara perempuan suami. Besoknya, sesuai rencana, akan disambung dengan perjalanan darat menuju Cirebon yang skenarionya akan memakan waktu sekitar 3 jam dari arah Cimahi.
Melihat kondisi traffic yang cukup kondusif dan waktu check in jam 2siang, suami memutuskan untuk tidak melewati jalan tol dan lebih memilih jalur Lembang, Subang, baru kemudian masuk tol Cipali menuju Cirebon. Saya yang tadinya adem ayem di bangku depan, akhirnya bolak balik gelisah karena macet parah (sudah) menggila hanya 30menit dari titik awal keberangkatan. Melirik GPS yang full jalur merah semakin menggodok emosi. Dan tambah emosi ketika tau jalur tol berwarna biru, lancar jaya. Alasan nyetir di jalur wisata bikin acara liburan menyenangkan dibandingkan melewati tol yang bikin ngantuk, nyatanya cuma teori. So next time, better to follow emak-emak instruction. Daripada jengkel selama perjalanan. Catet!!
Melipur lara dalam kemacetan yang heboh sedunia, saya memutuskan untuk melihat kembali jadwal liburan kami di Cirebon selama 3hari 2malam yang sudah saya buat. Nama BATIK TRUSMI ada di daftar teratas. Kalau melongok peta, tak jauh dari jalur keluar tol, kami akan melewati toko batik yang fenomenal ini, sebelum akhirnya tiba di Hotel Luxton yang berjarak 4km setelahnya. Harusnya, kalau menggunakan jalur tol, kami bisa langsung mampir ke sini, makan siang, baru setelah itu menuju hotel. Tapi karena saat itu sudah pkl. 16:00wib dan raga yang sudah remuk redam, kami memutuskan untuk langsung istirahat di hotel dulu.
Pagi keesokan harinya, rasa penasaran akan kepopuleran nama Batik Trusmi pun terjawab sudah. Tanpa melewati kemacetan yang berarti, sebuah gerbang bata merah gagah menyambut di sebuah perempatan besar. Terpampang nama Batik Trusmi yang menjadi tanda bahwa rute yang kami tempuh sudah benar. Dari gerbang ini, melewati deretan panjang ruko-ruko dan beberapa toko-toko yang (juga) menjual batik, sekitar 1km kemudian, billboard besar Batik Trusmi terlihat dari kejauhan. Masih pagi. Tapi antrian kendaraan menuju parkiran sudah mulai mengular.
Sepagi itu, dalam kondisi baru buka, pengunjung tampak mulai berjejal. Banyaknya produk batik mulai dari kain, pakaian jadi, dan semua pernak pernik berbahan dasar kain khas Indonesia yang sudah diakui UNESCO ini tampak diserbu ratusan orang di sana sini. Saking penuhnya pebelanja, saya sudah tidak bisa menemukan keberadaan petugas untuk tempat bertanya. Ampun dije. Keistimewaan batik dan minat masyarakat akan kain ini khususnya berbagai motif khas Cirebon, masih menjadi idola bagi sebagian besar pengunjung atau lebih tepatnya para wisatawan.
Tak ingin terjebak dalam timbunan kain yang bolak balik berpindah tangan dan oksigen yang mulai terasa minim, saya memutuskan untuk memindahkan minat belanja ke bagian craft/kerajinan tangan, dekorasi, makanan, dan minuman ringan. Bagian yang setidaknya memberikan keleluasaan mengamati, memotret, dan tentu saja berbelanja tanpa harus berdesakan.
Nyatanya keputusan ini tepat banget. Walaupun jargon andalan adalah produk batik, beberapa pilihan produk di luar batik, sangat menghibur, unik, dan valuable untuk kita miliki. Sebut saja aneka mainan anak-anak, sandal lukis, tas deco, mainan anak-anak tradisional, dekorasi rumah seperti yang foto-fotonya saya perlihatkan di atas, menyenangkan banget sebagai hiburan dan obyek belanja.
Saya sempat menghabiskan waktu berlama-lama di area makanan dan minuman untuk oleh-oleh. Untuk minuman, seperti yang sudah jadi khasnya Cirebon, sirup Tjampolay berbagai rasa yang fenomenal, Jeniper dan Jenisa (keduanya mengklaim sebagai sirup jeruk peras asli) wajib dicoba. Dengan ukuran 650ml dan dibandrol di harga sekitar 25rb/botol, mbawak 4 botol aja berasa banget beratnya. Sementara untuk makanan, pilihan camilan merakyat pun tumpah ruah. Yang menarik perhatian adalah rengginang yang diolah dengan berbagai rasa, kemudian Keripik Gemblong yang walaupun rada tebal tetap renyah dan gurih untuk dikunyah. Ada juga kerupuk melarat yang digoreng pake pasir panas, plus tentu saja emping yang diolah juga dalam berbagai rasa. Untuk yang terakhir ini harganya cukup menguras kantong. Di pasar tradisional pun harganya 75rb/kg.
Yang juga gak ketinggalan adalah berbotol-botol jenis minuman kesehatan siap sedu seperti Kunyit Asam, Beras Kencur, Wedang Jahe, dan banyak lagi. Pas sekali untuk mereka yang senang minuman kesehatan tapi males untuk ngolah bahan mentahnya sendiri.
Kopi juga ada. Di satu keranjang khusus tampak Kopi Djawara (Kopi asal Jawa dan Nusantara) yang dikemas dalam sebuah cangkir seng berbagai warna dengan model warung jaman bahela. Packaging yang sangat menarik dan menawan hati.
Menebar pandangan ke sekeliling lokasi, saya melihat 2 titik berkumpulnya masa dalam jumlah yang lebih banyak. Kerumunan heboh dengan suara tawa yang meramaikan tempat. Penasaran karena kepo, saya melihat 2 rak penuh tumpukan aneka coklat dalam berbagai wrapping dan tulisan-tulisan lucu. Nih…coba liat di foto-foto berikut ini ya. Tinggal dicocokin aja mana jargon yang sesuai dengan kondisi hati hahahaha.
Menyadari situasi gerombolan pengunjung yang mulai tumplek memenuhi rak coklat, saya pun mencari obyek lain yang sekiranya juga asyik buat difoto. Adalah bertumpuk-tumpuk ember hitam berukuran sedang yang tak henti diboyong pengunjung. Pelan-pelan mengamati, saya akhirnya menyadari bahwa ternyata ember itu isinya adalah Tape Ketan yang dikemas sangat rapat. Coba tak angkat. Wew berat juga ternyata. Ada kali 1/2kg an. Laris banget. Karena selama 15 menit saya berdiri di dekat sini, si Mas yang jaga bolak balik naruh tambahan ember.
“Memang salah satu yang banyak dicari pembeli Bu,” gitu katanya setelah saya tanya. “Ibu gak mau coba?” Saya menggeleng cepat. Secara tak ada seorangpun di rumah yang suka makan tape ketan. Bahkan suami yang asli Sunda pun melambaikan tangan, memberikan kode untuk tidak membeli. Seandainya ada dalam ember yang lebih timik-timik mungkin saya berkenan mencoba. Kalaupun akhirnya gak cocok, lumayan dapat ember buat sabun cuci piring. Yeeekaaan. Tapi ada 1 yang lupa saya tanyakan ke Mas nya. Kenapa packaging nya harus ember ya, item lagi.
Perburuan pun berlanjut. Ada yang ingat dan suka dengan Dodol Picnic? Memasang rak khusus dekat mainan anak-anak, saya bertemu lagi dengan dodol legendaris di Indonesia ini. Saking lamanya tidak ketemu, saya sempat berdecak kagum dengan langkah inovasi produk yang sudah dilakukan brand ini. Dulu judulnya cuma dodol Garut aja. Satu jenis. Hanya dibedakan berdasarkan besarnya kotak. Tapi kali ini saya melihat varian rasa yang sangat beragam. Ada rasa durian, susu, coklat, wijen, dan lain lain. Harganya gak mahal. 25rb/kotak rasanya cukup murah menurut saya. Bungkusnya pun berwarna warni disesuaikan dengan jenis rasa yang ditawarkan. Pengen beli. Tapi lagi-lagi inget di rumah gak bakalan ada yang menyentuh. Apalagi saya? Orang semanis ini manalah mau makan yang manis-manis. Kesian entar semut tetangga. Main terus ke rumah saya kan?
Lelah setelah ngantri mengular di bagian kasir dan rindu udara segar, kami menuntaskan belanja segala macem, dan menghabiskan sisa waktu di sebuah aula tanpa dinding yang berada di dekat parkir kendaraan. Ternyata ruangan ini adalah sebuah Sanggar Eduwisata yang memang disediakan untuk para pengunjung menikmati berbagai kesenian sambil melegakan dahaga dengan aneka minuman dingin (yang terakhir ini kebiasaan saya banget).
Mendengar alunan gamelan Sunda yang pelan-pelan dinyalakan, saya melihat seorang penari topeng dengan kain batik sangat cantik motif Mega Mendung yang memang pakem khas Cirebon dan baju beludru merah. Dalam hitungan detik setelah saya duduk, penari cantik ini mulai bergerak kesana kemari dengan luwesnya. Panggung model mangkok dengan jejeran tempat duduk bertangga ini (Amphitheater) memungkinkan semua yang hadir dapat meilhat si penari dari arah yang lebih tinggi dan memotret dengan lebih leluasa.
Di sisi yang berbeda, sambil menyeruput minuman dingin 2 botol (haus Mak), saya memperhatikan 2 ibu-ibu yang khusyuk membatik, mengerjakan batik tulis dengan konsentrasi tinggi. Sementara tak jauh dari tempat mereka duduk, ada sebuah meja panjang lengkap dengan pernak pernik art lainnya. Ternyata di meja yang belepotan cat ini kita bisa belajar melukis dalam beberapa media, seperti Celengan, Topeng, dan Kaca.
Berbagai paket edukasi yang disediakan diantaranya adalah:
Paket Batik Tulis | Membatik saputangan 40x40cm | Mewarnai 1x pencelupan | Biaya 40rb/orang
Paket Lukis Celengan (dengan berbagai bentuk binatang) | Melukis 1 celengan full color | Biaya 50rb/orang
Paket Lukis Topeng | Topeng berukuran kecil khas Cirebon full color | Biaya 45rb/orang
Paket Lukis Kaca | Kaca berukuran 15x20cm | Full color dengan background | Biaya 45rb/orang
Paket Belajar Batik Expert | Membatik tulis ukuran 1×0.35m dengan 3x proses pewarnaan dan durasi pengerjaan sekitar kurang lebih 2 jam | Biaya 145rb/orang
Semua paket di atas berdurasi rata-rata 60 menit (kecuali melukis expert), sudah termasuk bahan dan alat eduwisata, dan hasil pengerjaan yang bisa di bawa pulang. Melihat aula yang cukup besar, sepertinya tempat ini bisa menampung ratusan orang dalam posisi duduk melantai. Bagus banget nih untuk wisata edukasi bagi anak-anak sekolah. Biar anak-anak lebih mengenal budaya asli nasional (khususnya Cirebon) sambil belajar dan bersosialisasi.
Pengen rasanya menjajal lukis topeng tapi melihat suami dan anak-anak yang mulai rewel kelaparan, perut saya pun jadi ikut berteriak (padahal ya laper juga). Kapan aaahh main ke sini lagi. Saya masih penasaran dengan koleksi batiknya yang bener-bener belum sempat saya explore. Aneka sirup rasa buah yang terlewat dibeli. Plus mencoba lukis topeng yang sunggu menarik hati.
Batik Trusmi | Jl. Syekh Datul Kahfi No. 148 – Plered – Cirebon | (0231) 321416 | www.btbatiktrusmi.com | IG @btbatiktrusmi | FP Batik Trusmi | Kontak: Yasi (0811-2439-386, Hasannudin (0896-1762-8957), dan Fahmi (0896-0612-9103)
Baca juga tulisan berkualitas berikut ini : Sejarah Batik Trusmi Cirebon