
Beberapa waktu yang lalu saya sempat terpaku menyaksikan sebuah film dokumenter berjudul THE TINDER SWINDLER yang ditayangkan oleh NETFLIX pada 2 Februari 2022. Film ini ternyata menyita banyak perhatian para penonton setia NETFLIX di Indonesia, hingga menempati ranking trending ke-2 setelah sebuah drama korea. Saya cukup terhenyak saat mengetahui bahwa film ini dibuat berdasarkan sebuah kisah nyata yang belum lama terjadi.
Setelah menyusur filmnya dengan atensi yang lebih, saya angkat topi pada “kehebatan” seorang Simon Yehuda Hayut saat memperdaya para korbannya dengan dalih cinta. Ada 3 perempuan yang ditampilkan di film ini yaitu Cecilie Fjellhoy asal Norwegia yang tinggal di London, Pernila Sjoholm asal Swedia yang tinggal di Stockholm dan Ayleen Charlotte asal Belanda yang tinggal di Amsterdam. Mereka ini cantik-cantik, berusia 30an, sukses dalam karir, body nya jahara (baca: bikin sirik kaum perempuan) dan adalah pengguna aktif aplikasi Tinder.
Format filmnya adalah wawancara intensif dengan ketiga perempuan ini. Setiap dari mereka mengurai kisah yang mereka alami, mulai dari awal bertemu Simon, berhubungan dekat, kemudian merasakan sakitnya ditipu oleh lelaki 31 tahun asal Israel tersebut. Mereka juga menunjukkan bukti otentik seperti transaksi bank, rekaman percakapan lewat Whatsapp dan beberapa foto yang memperlihatkan keberadaan mereka dengan Simon.
Mereka terlibat dalam jebakan cinta palsu lewat aplikasi Tinder. Aplikasi perjodohan on-line yang banyak digemari oleh para lajang di seluruh dunia yang sedang mencari pasangan seumur hidup. Menurut ceritanya sih banyak yang berhasil menjalin hubungan serius atau hingga ke jenjang pernikahan setelah bertemu dan berkencan lewat Tinder.

Bagaimana Para Perempuan Ini Bisa Terlibat Cinta Palsu dan Penipuan yang Dilakukan oleh Simon

Cinta dimulai dari visual alias tampilan fisik.
Kebiasaan dominan yang dilakukan oleh para lajang saat ingin membuka hubungan dengan lawan jenis. Entah itu perempuan atau lelaki. Hati langsung setrom lihat yang ganteng-ganteng atau yang cantik-cantik. Apalagi terus terlihat kaya dan sejahtera. Lengkap sudah.
Para perempuan di dalam film dokumenter ini pun mengalami hal itu. Melihat foto seorang lelaki berwajah tampan bernama Simon Leviev (Simon) yang fisiknya dapat nilai 9, mereka pun langsung klepek-klepek. Apalagi kemudian ditambah dengan banyak foto tentang kemewahan, hidup foya-foya, menikmati fasililtas VIP, yang menyertai kegiatan-kegiatan yang katanya adalah business traveling. Makjleb. Siapa sih cewek yang gak termehek-mehek? Apalagi gaya hidup penuh kebebasan sudah biasa dinikmati di belahan dunia barat sana.
Lewat aplikasi Tinder lah mereka menghubungi Simon dan dibalas dengan ajakan temu kencan di tempat mewah. Sebagian besar di hotel di resto berkelas yang berada di hotel tersebut atau resto fine dining di tengah kota. Yang diajak kencan pun langsung terpesona. Apalagi ternyata Simon pun tampil chic, good looking, gagah, dengan semua produk bermerk mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki. Wajah dan badannya pun gagah sesuai dengan foto yang ada di media sosial. Berkelaslah pokoknya.
Melihat cewek yang diajak kencan mulai jatuh cinta padanya, Simon pun grecep mendekati. Hanya dalam beberapa kali bertemu, kata sayang, cinta, langsung bertebaran. Love Bombing istilahnya. Apalagi kemudian Simon sempat beberapa kali mengajak si cewek untuk tinggal bareng dan meminta mereka (ketiga perempuan itu) untuk segera mencarikan tempat tinggal/apartemen dengan budget yang luar biasa, USD 15.000,- /bulan atau setara dengan sekitar IDR 225.000.000,-. Sedap betul itu.
Setelah yakin si cewek sudah terpikat, rangkaian penipuan pun mulai dilancarkan.
Tiba-tiba, di satu waktu, Simon menelepon dan berbicara dalam kondisi panik. Dia mengatakan bahwa dia dikejar-kejar oleh pesaing bisnisnya sembari menunjukkan tindakan kekerasan yang dilakukan orang tersebut kepada pengawal pribadinya. Karena dalam pengejaran orang jahat dan tidak ingin terdeteksi keberadaannya oleh mereka, Simon memutuskan untuk tidak mengaktifkan kartu kredit dan kartu debitnya. Dia pun dengan gaya tragisnya meminta agar si cewek mengirimkan dan meminjamkannya uang untuk keperluan operasional hidupnya. Simon juga berjanji akan mengembalikan semua uang yang diberikan/dipinjamkan segera setelah transaksi bisnisnya selesai.
Si cewek, yang percaya begitu saja dengan apa yang disampaikan Simon, langsung bertindak. Didasari oleh rasa sayang, para perempuan ini mau saja mentransfer sejumlah uang yang diminta Simon. Padahal mereka sendiri tidak memiliki dana sebanyak yang diminta Simon. Jumlahnya juga gak main-main. Ada yang USD 25.000, ada yang USD 30.000.
Mintanya itu berulang kali loh. Pokoknya sampe si cewek sendiri gak sadar sudah menghabiskan sekian banyak uang. Ataupun mereka sadar tapi terjebak oleh “rasa kasihan karena alasan sayang”. Cecilie yang parah sekali kondisinya. Perempuan asal Norwegia ini harus membuka credit card dengan beberapa bank ternama (4 bank) dan 8 kreditur lain yang memberikannya pinjaman dalam angka yang (sangat) fantastis.
Untuk mengakali bahwa Cecilie punya penghasilan yang pantas dan bisa membuat sekian banyak kartu kredit, Simon mengatur kondisi sedemikian rupa agar perusahaan yang dia tebengi, LDL DIAMONDS, bisa mengeluarkan surat keterangan tentang status dan gaji Cecilie di perusahaan tersebut. Simon pun mengaku sebagai pewaris bisnis atau anak dari pemilik LDL DIAMONDS, Lev Leviev. Dan semua cewek itu loh langsung percaya begitu saja.
Habis gimana ya? Kalo bukan sultan atau anak konglomerat kan gak mungkin dia punya pesawat jet pribadi atau menyewa, apalagi sampai tinggal di hotel mewah atau nongkrong-nongkrong di tempat bergengsi.

Proses Balas Dendam dan Penangkapan Simon Leviev

Cewek-cewek korban ini mulai tersadar sudah tertipu setelah Simon memberi mereka cek kosong sebagai pengembalian uang yang dipinjam. Saat dikonfrontasi bahwa cek itu tidak bisa diuangkan, Simon mendadak meledak, mengamuk dan mengatakan bahwa dia sudah melunasi kewajibannya. Bahkan nilai dana yang diberikan lebih besar daripada dana yang dia pinjam.
Simon pun play victim. Dia menekan semua cewek tersebut sebagai penipu dengan berpura-pura bahwa cek tersebut kosong. Bahasa yang dilontarkan sangat kasar, sarat dengan ancaman hingga membuat ketiga perempuan ini takut luar biasa. Kalimat-kalimat tak beradab pun meluncur dari mulut Simon yang disampaikan lewat voice messages Whatsapp. Semua bukti perilaku ini disimpan dengan baik oleh cewek-cewek tersebut dan diputar saat pembuatan film berlangsung.
Dari sinilah kemudian mereka tersadar. Merekapun menelusuri siapa Simon sesungguhnya. Mulai dari penelusuran pribadi hingga melibatkan beberapa pihak yang bekerja di dunia media. Beberapa orang jurnalis yang akhirnya ditampilkan di film dokumenter ini.
Simon Leviev sesungguhnya bernama asli Simon Yehuda Hayut. Rumahnya berada di satu kawasan kumuh Tel Aviv. Dia meninggalkan rumahnya untuk pergi berkelana dengan nama baru tersebut. Ibunya, yang sempat ditemui awak media, gak mau menanggapi lebih jauh, malah terkesan kesal saat ditanya oleh para jurnalis yang berada di depan rumahnya. Si ibu cuci tangan. Gak mau ada urusan.
Simon pun berlagak hidup seperti sultan dengan menipu disana-sini. Uang dari si A untuk berkencan dengan si B. Sementara uang si B digunakan untuk mentraktir si C dan banyak perempuan yang diajak clubbing, mabok-mabokan di night club. Terbang kesana kemari, antar kota, antar negara, semata-mata untuk menunjukkan kekayaan palsu termasuk identitas palsu sebagai pewaris bisnis berlian, LDL DIAMONDS.
Cecilie dan Pernila mengumpulkan bukti-bukti, mereka bertemu muka dan menghubungi banyak media untuk mengangkat fakta penipuan Simon. Hingga akhirnya berita itu sampai ke telinga Ayleen. Salah seorang korban Simon yang tinggal di Amsterdam. Ayleen pun menghubungi Cecilie dan Pernila dan sepakat akan memenjarakan Simon.
Tapi Ayleen ini smart, beda dengan Cecilie dan Pernila. Alih-alih membombardir dan memusuhi Simon, dia mengambil strategi sweet revenge. Sebagai seorang yang bekerja di bisnis fashion industry, Ayleen mengerti banget kalau Simon selalu pakai outfit dari beberapa jenama ternama dunia, seperti LV, Versace, Gucci dan lain-lain. Saat Simon terdesak dengan kondisi ekonominya, Ayleen mengusulkan untuk menjual semua outfit tersebut di media sosial. Dimana nanti uang hasil penjualan itu akan dibagi 2. Intinya Ayleen tetap mendukung Simon bagaimanapun keadaannya. Padahal dalam hati dia benci dan gemas luar biasa.
Ayleen benar-benar melaksanakan apa yang dia bicarakan dengan Cecilie dan Pernila. Dia berhasil menjual habis semua baju, celana, jam, sepatu Simon yang bermerk itu. Tapi uang penjualan dia tahan dan dinikmati oleh dirinya sendiri. Hitung-hitung ngembaliin hutang Simon kepadanya. Meski Simonnya ngamuk-ngamuk, Ayleen gak peduli. Saya salut deh lihat Ayleen. Dia menceritakan semua yang dilakukannya dengan intonasi suara yang tenang dan tampak kalau dia sudah move-on dari lelaki penipu ulung itu.
Balas dendam Ayleen kemudian dilengkapi dengan sebuah peristiwa yang mengakibatkan Simon ditangkap oleh interpol. Saat Simon terbang menuju Yunani, Ayleen dengan pintarnya melacak flight yang dinaiki Simon, waktu yang kira-kira tepat saat Simon tidak bisa dihubungi. Tapi penangkapan ini terjadi dengan alasan/kasus pemalsuan identitas bukan karena penipuan. Dimana Simon menggunakan passport atas nama David Sharon.
Cecilie, Pernila dan Ayleen bersorak gembira. Setidaknya misi pertama mereka berhasil.


Simon Hayut dan Kondisinya Kini
Penangkapan Simon di Yunani ternyata tidak membuahkan hasil maksimal. Lelaki Israel ini HANYA diputus hukuman selama 15bulan. Karena berkelakuan baik dan alasan pandemi, Simon bisa menghirup udara bebas dalam 5 bulan masa penjara saja.
Astaga!!
Sotoy nya lagi. Setelah itu, Simon kembali tebar pesona kesana-kemari. Dia sempat kembali ke Tinder, meski akhirnya baru-baru ini dia kena black list. Dengan tampang tanpa dosa, dia mengiklankan dirinya, menawarkan jasa sebagai konsultan bisnis dan keuangan serta tampil dengan segala kemewahan seperti dulu.
Sakit hatinya lagi, ketiga perempuan ini tidak dapat memperkarakan Simon ke meja hijau karena tidak adanya bukti kriminal saat pemindahan uang dari para korban ke rekening Simon. Semua nyatanya memberikan uang tersebut secara sukarela dan dalam keadaan sadar. Jadi secara hukum, perkara emosional tidak atau belum dilindungi oleh Undang-Undang dari negara manapun.
Saya mencoba membaca setiap artikel yang membahas hal tersebut diatas, tapi sampai detik mengetik artikel ini, saya belum paham sama sekali. Kok gak bisa ya? Padahal bukti-bukti pemindahan uang, dokumentasi palsu, dan pesan-pesan suara yang terekam sudah begitu banyak. Gak bisakah semua itu dijadikan bukti otentik?
Padahal, di akhir film ini, banyak sekali korban Simon yang memberikan kesaksian. Salah satunya adalah sebuah keluarga yang ceknya dicuri Simon dimana saat itu Simon menjadi babysitter anak mereka yang masih balita. Saat kejadian itu berlangsung, Simon masih berusia 20 tahun.
Jadi memang judulnya si Simon ini hobi menipu. Sudah mendarah daging.
Simon, seperti yang dia sampaikan tidak mengaku sebagai seorang penipu (ya iyalah, masak maling ngaku maling). Dia mengatakan bahwa semua perempuan yang ada di film dokumenter tersebut adalah mantan-mantannya yang sakit hati. Dan dengan santainya dia bilang bahwa dia tidak pernah mengaku sebagai milyader karena kata ini dihidupkan sendiri oleh para korban menjadi sebuah asumsi. Ajiiiibbbb.
Simon, meski sudah tidak di Tinder, tetap aja meng-upload gaya hidup mewahnya di IG. Saat ini dia sedang berkencan dengan Kate Konlin. Seorang model cantik kelahiran Israel. Yang katanya sudah dia lamar dan bakal menjadi pasangan hidupnya.
Yang pasti Simon merasakan hidupnya saat ini nyantai serasa di pantai. Bahkan saat dihubungi oleh pihak pembuat film The Tinder Swindler untuk membela diri atau mengemukakan sanggahan, Simon malah ngamuk dan akan menuntut sang sutradara, Felicity Morris, jika berani mensosialisasikan film The Tinder Swindler. Bahkan di salah satu media saya sempat membaca bahwa Simon akan membuat film dokumenter tandingan yang mengungkapkan kebobrokan para perempuan yang sudah mencoreng nama baiknya.
Baiklah brother. Ditunggu filmnya ya.
Oia, hingga saat film itu ditayangkan, kabarnya Cecilie, Pernila dan Ayleen sedang berjuang membayar semua hutang-hutangnya. Entah kapan itu akan lunas ya. Secara jumlahnya mencapai puluhan ribu dolar. Kesiannya.

