Buku dan Membaca Adalah Tentang Belajar
Sebelum memutuskan untuk mendulang ilmu dari mengulas buku secara periodik dan berkala, saya kembali mengingat pesan almarhum Ayah tentang pentingnya membaca. Hal ini selalu beliau sampaikan, ingatkan sedari saya kecil dan sudah mulai bisa membaca di usia enam tahun. Pesan ini diiringi dengan memberikan contoh atau tindakan nyata. Beliau rutin membeli buku dan mengisi banyak waktu dengan membaca sembari memutar berbagai DVD yang memainkan lagu-lagu daerah, lagu-lagu pop yang populer di jaman 70an hingga 80an, dan berbagai kompilasi lagu yang dijual bebas di pasar.
Aktivitas membeli buku menjadi semakin rutin dan sering dilakukan saat saya sudah bekerja dan beliau benar-benar pensiun total. Khususnya saat saya sudah bisa membantu keuangan keluarga dengan penghasilan yang lumayan. Setidaknya dengan begitulah saya bisa “memanjakan” orang tua khususnya ayah saya, dengan cara berbeda.
Untuk memuaskan hobi membaca ini, Ayah saya punya budget dan waktu sendiri untuk membeli buku. Dananya – sebagian kecil – dari uang pensiun dan uang jajan yang rutin saya berikan. Tempat tongkrongannya adalah toko buku Gunung Agung (semoga masih ada yang ingat) dan area seputaran terminal bis Senen yang menjual buku-buku second hand. Aktivitias inilah yang kemudian semakin mendekatkan saya akan buku. Bahkan jika Ayah malas pergi, saya sering menyusur tempat penjualan buku bekas di daerah Senen itu seorang diri atau bersama teman yang juga memiliki minat yang sama atau yang penasaran pengen tahu. Opsi terakhir adalah yang paling sering.
Di kios-kios yang menempel satu sama lain dengan tumpukan buku yang padat itu, saya punya kenalan beberapa penjual yang asik banget untuk diajak ngobrol. Meskipun buku-buku itu sebagian besar tidak ditaruh di rak, sang penjual hafal loh dengan koleksi yang mereka miliki. Kita tinggal sebutkan aja judul dan penulisnya, mereka akan sregep ngambil. Jika pun harus mengingat lebih dulu, biasanya tidak akan memakan waktu lama. Diantara mereka pun tidak ada persaingan. Semua saling mendukung. Jika di kios A bukunya tidak ada, kios B pasti akan membantu mencarikan. Asik banget lah judulnya.
Para penjual ini, yang ngakunya cuma lulusan SD atau maksimum SMP, dan datang dari berbagai daerah di Indonesia, ternyata mampu menjadi “perpustakaan berjalan” buat saya. Saya sering terlibat diskusi berkepanjangan untuk mendengarkan pendapat mereka tentang isu yang sedang ramai dibicarakan atau tentang buku-buku lama yang ever green, abadi untuk kapanpun dan dimanapun. Buku tentang psikologi biasanya. Kecuali buku tentang ilmu pasti yang bukan saya banget, saya pun banyak belajar tentang peta politik serta program repelita yang dijalankan oleh Orde Baru saat itu dari para penjual ini. Termasuk diantaranya “rasa lelah” mereka atas ketimpangan ekonomi yang semakin tumbuh dari hari ke hari. Kalau diskusi sudah sampai setahap ini, saya lebih memilih untuk menjadi pendengar saja.
Kedatangan saya biasanya gak cuma mendengarkan “ilmu yang tersimpan rapi” di dalam pengalaman mereka dan kebiasaan mereka membaca, tapi juga jadi ajang makan nasi padang beramai-ramai. Peserta makan-makan ini rame luar biasa. Terkadang melibatkan kenek, tukang sampah, atau mereka yang tak sengaja bergabung. Minumnya teh tawar yang dibungkus plastik yang kalau akan diminum digigit salah satu ujungnya lalu langsung dihirup dari lubang gigitan yang bentuknya tak jelas itu. Kuantitas nasi padangnya jumbo tak terkira. Bungkusannya gemuk dengan dua lauk, sayur nangka, sayur daun singkong, kemudian dibanjiri oleh kuah kuning yang nauzubillah lezatnya. Herannya ukuran segitu kok tandas juga di mulut saya. Mungkin karena sembari ngobrolin soal buku kali ya. Saling bersahutan. Bahkan terkadang saling mengkritik satu sama lain. Tak pernah ada kata bosan. Buku, buku, dan buku.
Pernah di satu waktu, Ayah saya meminta dicarikan buku yang ditulis oleh salah seorang sastrawan yang diduga memiliki paham kiri. Status beliau saat itu masih dianggap “membahayakan” dan bisa merasuki cara berpikir publik, buku-buku beliau pun dilarang beredar. Karena jelas di toko buku resmi, karya beliau tidak mungkin ada, sayapun menyusur kios buku bekas tersebut. Request saya itu tak tulis dalam sebuah coretan kecil lalu dibaca oleh si bapak pedagang. Saya diminta menunggu hingga akhirnya buku itu dikasih dalam keadaan terbungkus dan dimasukkan ke dalam kantong kresek hitam. Berasa lagi berperan sebagai penyeludup di film-film gak sih?
Setelah puluhan kali, bertahun-tahun, melakukan kegiatan ini, saya mendapatkan banyak pelajaran hidup dari para penjual buku bekas ini. Buku telah mengantarkan mereka memiliki ilmu pengetahuan di luar pendidikan formal yang hanya sempat mereka nikmati dalam waktu dan jenjang yang (sangat) terbatas. Bahwa membaca selain meningkatkan fungsi otak, melatih kemampuan mengingat/daya ingat dan konsentrasi, mengurangi stres dan gejala depresi, ternyata juga bisa mengumpulkan, melibatkan banyak orang dalam sebuah obrolan yang melahirkan banyak ilmu bagi semuanya.
Sejak saat itu saya jadi semakin yakin bahwa buku dan kegemaran membaca mampu membawa saya banyak berpikir. Makin banyak belajar saya makin sadar bahwa diri ini sejatinya tak mengetahui apapun. Merekalah, para penjual buku itu, yang memberikan asupan berbagai ilmu yang sebagian besar tidak saya dapatkan dari bangku sekolah formal.
Review Buku : Mengulik Lembar Pengetahuan Dunia Pendidikan Bahasa Lewat Buku “Anakku Bingung Bahasa?”
By the way, saat saya ngobrol dengan para penjual buku ini dan mengingat kesempatan kerja mereka ini sangat terbatas, saya kemudian terpikir seandainya saat itu saya sudah mengenal Shinbi House dimana di salah satu tulisannya ada tentang tips melamar kerja yang mungkin bermanfaat untuk mereka ini. Bisa jadikan dengan membaca tulisan Mbak Silviana ini melahirkan banyak semangat untuk yang berminat untuk kerja kantoran.
Membaca Lalu Menulislah
Selain mengoleksi buku dan membaca, almarhum ayah saya juga suka menulis. Tulisan tangannya readable dengan hukum huruf bersambung tebal tipis yang sempurna. Meski lahir sepuluh tahun lebih dulu dari ibu saya, ayah sudah menggunakan ejaan baru, tidak seperti ibu yang masih merangkai kata dengan ejaan republik. Beliau menulis di sebuah buku bergaris yang saya beli langsung lusinan. Pesannya cuma satu “jangan yang bergambar lucu-lucu seperti anak SD. Dan harus sudah disampul plastik.”
Bosan dengan menulis tangan, alatnya kemudian berganti ke mesin ketik manual dengan jenama Brother. Mesin ketik yang sudah berjasa mengantarkan saya menulis skripsi dan menjadi sarjana. Mesin ini sempat nganggur bertahun-tahun karena kemudian saya beralih menggunakan PC. Dari membeli buku tulis, kebiasaan berubah menjadi beli kertas putih A4, pita mesin tik, tip-ex dan folder berlubang dua di sisi kiri plus tentu saja pembolongnya. Saat masih serumah, saya sering mendengar suara tak tik tuk, sreeet, tuing tuing, hingga malam hari. Persis seperti saat saya lagi mengerjakan skripsi dan baru dapat ide serta tenaga lebih menjelang tengah malam atau mulai pkl. 03:00 wib.
Saya tak ingat sudah berapa folder hard cover yang dibuat almarhum, tapi yang pasti di setiap folder tersebut – di sudut kanan atas lebih tepatnya – tertempel stiker putih yang bertuliskan judul dari isi folder tersebut. Saya sempat membaca isinya berulangkali. Semua tentang sejarah hidup almarhum, mulai dari lahir hingga pensiun. Termasuk tentang anak-anaknya yang masing-masing memiliki karakter yang sangat berbeda.
Ayah saya telah meninggalkan legacy yang sangat berharga.
Saat ayah meninggalkan kami semua dan saya membaca lagi setiap ketikan yang sudah beliau buat, saya kemudian menyadari bahwa menulis sejatinya adalah “menangkap” berbagai momen kehidupan yang telah kita alami dan lalui. Dikerjakan dengan penghayatan dan seluruh kemampuan yang bisa kita lakukan. Dengan menulis jugalah orang akan mengingat kita dan menyadari bahwa kita pernah hidup dan ada di dunia.
Inilah yang kemudian menjadi pendorong dan kekuatan akan keinginan saya untuk menjadi seorang penulis. Kebiasaan almarhum mengorganisir setiap dokumen dengan rapi pun diwariskan kepada saya.
Alfatihah. Semoga Allah Subhanallahu Wa’taala menjadikan almarhum Ayah saya sebagai penghuni surga yang indah dan damai. Duduk di rumah kami yang megah, menantikan kehadiran saya untuk menemaninya membaca, menulis dan berbagi banyak cerita.
Belajar Merangkum dan Mengulas dari Tugas Sekolah
Saya kemudian menyadari bahwa saya terlahir sebagai anak ber-aliran sosial banget setelah menjadi anak sekolah lanjutan. Tiga mata pelajaran yang menjadi favorit saya adalah Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Sejarah. Kemudian ditambah dengan Ilmu Komunikasi sembari menggapai tiga tahap jenjang sekolah berikutnya.
Diantara ketiga mata pelajaran yang paling saya sukai tersebut, dua diantaranya – Bahasa Indonesia dan Sejarah – sering banget dapat pekerjaan rumah mengarang atau membuat artikel, mengulas, dan membuat rangkuman. Jika teman-teman yang lain berjibaku sampai titik darah penghabisan untuk menyelesaikannya, saya justru riang gembira dan tak menemukan masalah yang berarti. Bahkan saat ujian akhir sekolah dan di bagian akhir lembar ujian Bahasa Indonesia ada tugas khusus untuk membuat artikel tentang sosok pahlawan – bisa siapapun – yang kita kagumi, saya meminta guru yang berjaga untuk memberikan saya dua buah kertas A4 tambahan. Tulisan panjang pun terhidang hingga mendapatkan bonus sepuluh poin atau nilai karena jumlah kata dan tulisan tangan yang rapi dan apik.
Khusus untuk mapel sejarah, kegiatan merangkum dan merangkai ulasan membutuhkan kegiatan ekstra. Saya sengaja membuat kolom-kolom yang berisikan tahun/masa atau periode, serangkaian nama musuh, lawan, kawan jika itu tentang seorang pejuang, dan kondisi penting yang dihadapi saat momen-moen bersejarah itu terjadi. Mengapa saya membuat demikian? Karena dengan begini – metode seperti ini – saya mudah menghafal dan menandai bagian atau hal mana yang mendapatkan prioritas perhatian serta pembelajaran.
Kegiatan merangkum ini kemudian menjadi pembiasaan regular dan berlangsung hingga kini. Termasuk diantaranya menandai diksi-diksi cantik, yang meaningful dan bisa diadopsi untuk tulisan-tulisan saya kedepannya. Saya rajin mengumpulkan stiker-stiker lucu yang saya tempelkan di bagian atas halaman dari kebiasaan ini.
Satu lagi hal penting yang saya pelajari. Jika kita ingin mendapatkan pemahaman terbaik dari sebuah buku ataupun ilmu, bacalah dengan teliti, konsentrasi tinggi dan lakukanlah dengan segenap jiwa. Karena lewat rangkaian aktivitas ini kita sejatinya sedang mendulang ilmu.
Adakah yang punya pengalaman dan pembiasaan yang sama dengan saya?
Review Buku : Serunya Mengulas Tentang Kuliner Nusantara Lewat Buku Antologi Jelajah Kuliner Nusantara
Mendulang Ilmu Dari Mengulas Buku
Setelah pensiun sebagai mbak-mbak kantoran di akhir 2007, saya sempat berkelana menikmati waktu-waktu tanpa tekanan pekerjaan selama kurang lebih enam bulan lamanya. Di saat itu, selain membayar quality times bersama anak-anak, saya menyibukkan diri dengan berbagai hobi lama yang sempat berhenti atau berkurang volumenya. Seperti traveling, memotret, mengerjakan beberapa craft, journaling, membaca, dan menulis. Saya pun tak bosan menyambung talil silaturahim dengan banyak teman yang sempat terputus. Mengikuti berbagai workshop berbagai keahlian khusus yang akhirnya bisa saya jadikan sebagai lahan bisnis. Diantaranya adalah travel writing dengan beberapa orang penulis hebat hingga akhirnya memutuskan untuk serius bergelut di dunia literasi.
Saya pun kembali membeli banyak buku. Jika perempuan lain banyak mengalokasikan dana yang dimiliki untuk skincare, facecare, urusan dapur, anak-anak, rumah beserta tetek bengeknya, saya malah mempersiapkan ruang kerja, perangkat elektronik, rak buku, meja dan kursi kerja yang nyaman, lalu belakangan setelah itu ditambah dengan banyak pernak-pernik yang berhubungan dengan dunia photography dan wire jewelry.
Review Buku : Cerita di Balik Lahirnya Buku Antologi Ngelencer Yuk!!
Tahunan kemudian sayapun tak beranjak dari “mengumpulkan buku” dan terus menulis. Termasuk diantaranya mulai membuka kesempatan bagi banyak pihak yang menginginkan saya membuat ulasan atas beberapa buku teman-teman sesama penulis yang berada di berbagai komunitas. Beberapa pilot projects pun saya kerjakan dengan harapan untuk lebih bisa melatih membuat ulasan atas buku-buku tersebut. Kegiatan ini mendorong saya untuk lebih fokus membaca buku dengan berbagai poin penting yang sekiranya menjadi guidelines agar ulasan tersebut lebih “berisi” dan bermakna.
Diantara perkara penting yang kemudian hadir di important reminder saya adalah : fokus pada materi bacaan, membuat catatan-catatan penting, menyiapkan infografis yang menunjang bagian-bagian penting yang diambil pada buku, disertai dengan berbagai kedisiplinan untuk diri sendiri seperti membagi waktu dengan baik, mengerjakan dengan tidak terburu-buru, dan menikmati prosesnya. Saya bahkan tidak segan untuk berdiskusi pada sang penulis buku untuk mendapatkan gambaran yang jelas untuk beberapa hal yang tidak/belum saya mengerti.
Semua saya siapkan dalam sebuah draft besar untuk kemudian saya baca ulang dan koreksi kembali. Dan satu hal penting yang terus saya pegang adalah menyusun ulasan tersebut dengan gaya penulisan milik saya pribadi. Tidak mencontoh style atau gaya menulis orang lain yang sudah melakukan hal yang sama. By the time, setelah beberapa kali membuat ulasan dan yakin pada kekuatan hasilnya, saya mulai memberanikan diri menawarkan kerjasama dengan berbagai pihak.
Satu hal yang selalu saya garis bawahi dan selalu saya tekankan pada diri sendiri adalah saat mendapatkan kerjasama adalah fokus pada amanah, menjunjung tinggi kepercayaan dan meninggikan ilmu pengetahuan yang saya dapatkan saat membaca dan menuliskan ulasan tersebut.
Perihal apa saja yang saya tampilkan dalam ulasan?
Diantaranya adalah tentang isi buku, latar belakang penulisan dan intisari yang terkandung di dalam buku. Ketiga hal ini kemudian ditunjang oleh struktur penyajian yang menarik, tertata, dan dibantu dengan infografis yang menampilan beberapa poin penting yang juga berfungsi sebagai rangkuman dari hal tersebut.
Ulasan atau review buku itu subyektif atau obyektif?
Ulasan sejatinya adalah opini. Dan opini hukumnya adalah subyektif. Sisi sudut pandang personal akan sesuatu yang muncul dari pendapat dan atau pemikiran pribadi. Bisakah menjadi obyektif? Tentu tidaklah obyektif seutuhnya meskipun saat membuat ulasan tersebut kita menyingkirkan sudut pandang yang mengarah pada pribadi penulisnya saja.
Buat saya pribadi, seperti halnya membaca buku, saya berusaha “mengosongkan” kepala dan siap menerima banyak hal baru yang bisa saya dapatkan dari buku tersebut.
Lalu apa tujuan dari menuliskan ulasan atau review buku?
Tujuan utama pastinya adalah memberikan sekilas info kepada publik tentang buku yang diulas. Membuat publik membeli buku tersebut adalah harapan yang mengiringinya.
Siapa saja yang bisa dan boleh membuat ulasan buku?
Siapa saja. Pekerjaan ini terbuka lebar untuk siapapun yang mencintai kegiatan membaca dan menulis. Dan yang penting iyalah bahwa dia sanggup mengerjakannya secara profesional, menyampaikan kejujuran pada tulisan. Medianya pun bisa bermacam-macam. Ulasan kecil lewat caption atau status di media sosial ataupun lewat berbagai “rumah penulisan” seperti blog atau media lain yang menampung tulisan karya publik seperti Kompasiana, IDN Times, dan lain-lain.
Review Buku : Journey to the Greatest Ottoman Jelajah Turki Negeri Daulah Utsmani
Manfaat apa saja yang telah saya dapatkan dari membuat ulasan buku?
Wooaahh banyak banget pokoknya. Bahkan belakangan, pekerjaan ini jadi candu buat saya. Diantara banyak manfaat tersebut, ada tiga hal yang begitu terasa yaitu mengasah penalaran agar terus berkembang, belajar terus untuk bisa memahami isi dari setiap buku yang diulas, dan yang paling penting dan begitu saya rasakan adalah mendapatkan mitra kerja di dunia buku dan penulisan.
Mengulas Buku adalah Sebuah Legacy
Jika menulis dan menerbitkan adalah satu pertinggal penting bagi jejak diri, mengulasnya menjadikan buku tersebut mengukir sejarah yang menguatkan kehadirannya dalam dunia literasi. Yang pasti, saya ingin mengajak sang penulis untuk mengenalkan sekaligus mensosialisasikan bukunya ke publik lewat sudut pandang orang lain atas karya tersebut. Tentu saja dengan ulasan kuat agar banyak orang kemudian tertarik untuk memiliki buku tersebut.
Kemudian menjadi satu kebahagiaan untuk saya pribadi, saat sang penulis puas dengan apa yang sudah saya kerjakan. Di titik inilah semua lelah yang sudah dan sempat terjejak, mendadak hilang digantikan dengan rasa bangga yang tak bisa terwakilkan dengan kata-kata. Tapi yang pasti dengan membaca, menulis, dan mendulang ilmu dari mengulas buku, semua kerja keras itu terbayarkan dengan sempurna. Sekali lagi, last but not least, legacy yang saya tata jejak dan tangga dari waktu ke waktu semakin lengkap teurai di dalam blog ini.
Dukungan orangtua ternyata sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak ya?
Dalam hal apa pun
Saya inget dulu ayah saya juga maksain beli buku untuk anak-anaknya
Dampaknya, ketika budget habis dan buku yang tersedia udah habis dilahap
Saya membaca buku yang ada, termasuk majalah sastra Horison yang berat banget untuk anak SD
Walau untuk baca satu paragraf harus mengulang-ulang D D
Yang terlebih dahulu membentuk kita adalah lingkup terkecil yaitu keluarga. Dari merekalah diri dan karakter kita terbangun. Seperti halnya sebuah kertas putih. Yang memegang pertama kertas itulah yang lebih dahulu memiliki hak untuk menggoreskan apapun di sana.
Wah hebat Mbak. Saya juga sempat baca Horison. Sayangnya kualitas sastranya di level yang berat untuk dicerna. Butuh waktu khusus dan lebih untuk memahaminya.
Review buku merupakan pekerjaan buat yang mencintai kegiatan membaca dan menulis. Aku suka nulis, tapi kadang-kadang aja baca buku yang serius. Kalah sama anakku, ada target baca buku per minggu. Melalui baca buku, terutama dari berbagai genre, bikin otak kita selalu aktif, memahami isi cerita. Kalau novel atau kisah perjalanan, jadi turut membayangkan setting bentang alamnya yah…
Saya setuju Mbak Hani. Kalau orang bilang “Membaca Itu Jendela Dunia” saya malah berpendapat lebih dari itu. Manfaatnya lebih banyak dari yang kita duga. Sama efeknya dengan menulis. Membaca dan menulis jadi satu paket yang kebiasaan baik yang sepatutnya sudah dirancang sedari usia dini.
Aku ko terharu ya mbak, baca ini. Sedikit tahu cerita kecilnya mbak annie yang sduah berdekatan sama buku, hingga sekarang menjadikan mbak annie tetap menjadi kutu buku. Saya punya mimpi anakku nanti demikian, cuma tantangannya kok luar biasanya mendidik anak Gen Alpha itu….hmmm
Didik dengan contoh Mbak. Anak-anak sekarang gak bisa sekedar dinasehati atau diceramahi. InshaAllah dengan memberikan contoh, kita pun melakukan apa yang kita suruhkan, inshaAllah anak-anak akan mengikuti. Seperti apa yang saya alami dengan almarhum ayah saya.
Walau sudah tidak lagi sekolah tapi kalau soal cerita sejarah sulit banget di ingat. Baca ini jadi tahu belajar sejarah cepat dan praktis.
Daku juga seperti itu Bu dalam pelajaran sejarah, bikin kolom tahun, ada kejadian apa, siapa tokohnya. Kalau gak dibuat seperti itu yang ada kewalahan menghapalnya, karena sejarah kudu lengkap tahun – kejadian – tokohnya siapa ya hehe
Lebih ngampang nyantol di otak ya Fen
Semakin ketampar nih klo ada aja yg gak suka buku kalau baca ini, aku juga termasuk sih kadang baca cuma di sela2 waktu bukan suatu yg dirutinkan
Semakin banyak baca semakin kita tidak tahu apa2🫶
Asik loh Mbak kalau dirutinkan. Apalagi kalau genre membacanya luas. Banyak pengalaman yang bisa kita dapatkan dari kegiatan ini. Termasuk menabung banyak diksi yang bisa kita gunakan di blog.
Ka Anniee, maaf interrupt.
Apakah tulisan ini bertemakan Legacy?
Karena aku baruu aja baca artikel temen di share link twitter mengenai keyword ini.
Rasanya menarik mengenang pengasuhan zaman dulu yang keseruannya melalui menjelajah dunia dengan BUKU.
Bayanganku terlempar kembali ke lemari buku di rumah yang berisi ensiklopedia langit, bumi, dan antariksa.
Semua itu Bapak rahimahullah beli agar anak-anaknya membaca buku yang berkualitas, bukan hanya “Katanya…”
Semoga literasi anak genzi pun meningkat karena buku kini semakin mudah diperoleh dalam bentuk digital.
Legacy adalah salah satu bagian penting dari artikel yang saya bagikan ini. Karena dengan membaca, menulis dan membuat ulasan atas buku, kita telah membuat “pertinggal” yang bisa dibaca sepanjang masa. Dan saya berharap agar aktivitas baik di dunia literasi ini terus bisa dilestarikan dan lebih banyak diikuti oleh orang banyak.
Oh iyayaa..ka Annie.
Karena di pertengahan artikel ada frasa tersebut, aku jadi penasaran. Apakah ini memang tema menulis sebuah komunitas?
Hehhe, maaf jadi kepo kan yaa..
Membaca dan menulis memang sebuah rangkaian dan bisa jadi jejak yang akan aku ingat lagi ketika sudah lama waktu berlalu.
Jadi pingin konsisten menulis buku yang selesai dibaca tanpa alasan.
Teliti dan konsentrasi untuk bisa memahami isi buku yang dibaca. Hal ini yang membuat saya biasanya nggak mau diganggu kalau sedang asyik membaca buku mbak.
Dulu saat kuliah di Jogja, setiap kali jalan-jalan ke shoping (pusat penjualan buku bekas di Jogja), saya cuma lihat-lihat dan baca baca sekilas buku yang menarik. Walau buku bekas dan harganya murah, tetap saja kantong mahasiswa saya nggak mampu beli. Setelah bekerja, kalau ada tugas ke Jakarta, saya selalu mampir ke Kawasan Kwitang. Borong buku.
Bener banget Mbak Nanik. Saya juga begitu, baca jenis buku apapun, tak pernah ingin terburu-buru. Menikmati setiap paragraf satu demi satu. Terus mencatat banyak diksi yang apik, menarik, dan meaningful.
Saya udah lama gak buat ulasan tentang buku yg Saya baca, kdng sudah dibaca pengen diulas kayak ada aja gitu yg bikin gak jadi2, padahal setelah membaca buku lalu mengulasnya itu hal yg menyenangkan
Yuk aktifkan lagi mengulas bukunya Mbak. Asik loh. Kalo saya sih nagih
mashaAllah mbak, aku jadi ingat masa kecilku dulu suka banget baca buku. Sampai bacanya di kamar remang. Meski itu juga hasil buku pinjam tetangga atau dari bungkus koran. Tapi entahlah, ada semacam ‘dunia lain’ ketika membaca buku. Dan sudah menulis diary sejak SD. Tapi entahlah semenjak menjadi ibu rumahan, saya jadi terjebak rutinitas, waktu membaca menjadi kurang. Semoga tulisan-tulisan mba Annie bisa bermanfaat dunia akherat. Ulasan yang diberikan di blog ini juga bermanfaat tidak hanya untuk penulisnya, tapi juga orang yang membutuhkan informasinya.
Saat anak-anak masih butuh perhatian secara personal, melakukan hobi memang harus curi-curi waktu. Bahkan mungkin akan semakin jarang kita lakukan karena terbatasnya waktu dan tenaga yang ada. Kalau sudah di tahap saya, anak-anak sudah dewasa, hobi justru menjadi rutinitas agar banyak waktu kosong bisa diisi dengan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat. Mbak Septi akan sampai di waktu seperti saya kedepannya.
Aamiin Yaa Rabbal alaamiin. Makasih untuk doa baik nya Mbak Septi.
Saya senang banget misal ada blogger yang menulis ulasan tentang sebuah buku, sehingga saya bisa memutuskan apakah buku tersebut akan saya beli atau pending dulu misalnya. Semangat terus Bu Annie dalam menulis dari mengulas buku.
Saya juga suka gitu Sar. Kalo ada buku yang katanya apik, biasanya saya cari dulu ulasannya. Membantu banget ulasan itu untuk promosi loh.
masyaa Allah, gak heran kalau bahasa kak annie kaya banget. dan bahasa tulisan yang mengalir enak dibaca. melalui tulisan ini saja saya menemukan beberapa kosakata baru yang saya sudah saya tulis dalam kamus kecil saya (kebetulan saya sedang mulai menuliskan kosakata dalam kamus kecil). quality time bersama ayah yang membentuk karakter kak annie saat ini ya
MashaAllah. Terimakasih untuk complimentnya. Alhamdulillah almarhum Ayah saya telah meninggalkan banyak legacy baik yang hingga saat ini saya jadikan panutan. Dan semoga tulisan ini pun menjadi bagian dari itu. InshaAllah.
Terus terang aku agak melow baca tulisan ayuk ini :) banyak kenangan memori masa kecil yang langsung mencelat. Dari Gunung Agung (dulu sampe belain ke sini naik bus dan angkot, dan takjub ada toko buku gede, walau udahnya langsung pindah ke Gramedia ^^). Trus juga sering nyari buku (hmm komik sih di usia itu) di bawah proyek alias bawah Jembatan Ampera.
Dan benar, karena udah rajin baca sejak kecil, dulu kalau pelajaran mengarang paling seneng. Orang kesel disuruh nulis 1 lembar kertas, eh aku selalu ngerasa kurang haha. Hingga kemudian sering baca dan ulas buku. Walau, semangat ngulas ini tergantung banget dari seberapa berkesan (atau kesal haha) ketika baca satu buku. Ya emang jadinya subjektif, tapi selama kelemahan dan kelebihan buku dijelaskan apa adanya dan rinci, yang baca ulasan juga bisa nilai kan yak.
Aku pas nulis beberapo paragraf tentang almarhum Ayah jugo berlinangan air mata Yan. Dari beliau lah aku dapatkan panutan tentang kebiasaan membaca dan menulis. Termasuk soal kerapihan menyusun data, files dan memories. Almarhum sudah banyak mengajarkan tentang itu. Kenangan ke beberapa tempat buku bekas itu juga fenomenal. Sekarang sudah idak aku lakukan lagi karena lokasinyo sudah terlalu jauh dari rumah. Dan kalo gak salah, banyak dari mereka juga sudah idak jualan lagi di tempat itu. Sudah digusur.
Dari kecil saya hobby banget membaca buku… Buku apa saja bakal saya lahap. Tapi karena keterbatasan ekonomi, saya gak punya koleksi buku, semuanya pinjam!
Anak saya sejak balita saya didik untuk mencintai buku, gemar membaca. Aturannya, tiap ke mall gak boleh beli mainan tapi sebagai gantinya beli buku. Alhamdulillah hingga kini. Mereka doyan baca buku…..
Setuju banget mbak, mendidik dengan memberikan tauladan itu cara terbaik.
Dan saya selalu memegang teguh konsep mengajarkan lewat panutan hingga saat ini. Termasuk soal ibadah serta akhlak.
Mbaaa, baca artikel ini mengingatkan aku pada awal berdirinya blogku yaitu untuk mereview buku yang sudah aku baca. Tapi sayangnya, makin keisni, blogku uda rasa gado-gado.. Dan rutinitas nacaku nggak sesering dulu yang kadang aku bisa buku sampe 10 buku dalam 1 bulan. Sekarang boro 10 buku, 1 buku aja uda syukur banget :(
Tetap semangat mba dengan kegiatan mengulas bukunya
Semoga dengan membaca ulasan ku ini semangat Mbak Pida untuk kembali membaca dan mengulas buku terbangkitkan kembali ya Mbak.
Terasa betul ya mbak annie, perjuangan sang ayah yang menitikkan bekas mendalam pada perjalanan mengenal literasi. Hingga sekarang melekat menjadi sebuah hobi dan profesi, membaca lalu menulis. Dua aktivitas yang terkadang masih satu saja butuh perjuangan.
Betul banget Mbak Windi. Saya mendahulukan profil beliau sebagai salah satu legacy dalam sejarah profesi saya sebagai penulis. Karena beliaulah, semangat saya untuk rajin membaca dan menulis tetap menyala hingga kini.
Terharu banget baca tulisan mba Annie, sebagai pecinta buku saya seperti relate dengan kata2 mba Annie kalau semakin banyak membaca kita merasa malah gak tau apa2. Sedikit cerita saya juga pernah punya blog khusus buku dan sering review buku di sana jadi kangen :( dulu suka sekali dapet kontrak dari penerbit dan ikut giveaway2 buku memang menjadi reviewer buku banyak senangnya karena selain bisa bermanfaat untuk diri sendiri juga bisa bermanfaat bagi orang lain karena membuat orang lain membaca buku yang kita rekomendasikan. Berkat artikel mba ini saya jadi pengen coba review buku lagi jadinya makasih mba sudah mengingatkan.
Hayuk Mbak Lila, semangat lagi untuk membuat ulasan buku.
Menulis gak hanya sebagai lahan untuk curcol alias healing ya Bu, tetapi juga sebagai jejak kehidupan yang telah dilalui, ya seperti yang kita lakukan semisal dari satu tempat terus diceritakan melalui tulisan dan dipublikasikan di blog. Lanjutkan terus Bu Annie perjuangan ayahanda dan dilanjutkan pada generasi selanjutnya
Aamiin Yaa Rabbalalaamiin. Semoga semangat untuk terus membaca, menulis, dan mengulas buku akan terus menyala sepanjang hidup.
Mbak Annie, kalo sedang senggang di Bandung, bisa banget ke pasar buku Palasari
Letaknya di sekitar jalan gunung-gunungan seperti jalan Guntur, jalan Haliman, jalan Patuha dst
Di sana penjualnya seperti yang Mbak Annie ceritakan
mirip kamus berjalan, lancar banget membahas buku
dan kayanya hampir semua judul buku ada di sini
Apalagi buku2 beken seperti bukunya Bung Karno: Di Bawah Bendera Revolusi
Aaahh terimakasih untuk referensinya Mbak Maria. Barusan saya sampaikan ke suami. Alhamdulillah dia tahu tempat2 ini.
Kata orang bijak, buku adalah sumber dunia. Dari buku bisa belajar pebgetahuan apa saja tanpa batas. Keren ya Bu Annie
Mbak Annie sangat suka membaca buku dan punya kejelian menangkap ide terbaik yang disampaikan dalam buku. Apalagi kemampuan mengolah gambarnya keren banget. Deadly combination untuk skill mengulas buku. Keren… keren… keren…
MashaAllah. Makasih banyak untuk complimentnya Mbak Susi.
Mbak Annie keren. Saluuut dengan mereka yang konsisten membaca dan mereview buku. Aku sendiri masih moody dan picky bukunya. Kalo lagi kepengen banget baca, aku baru baca. Seringnya males. Huhu. Mana jarang banget aku tuliskan review-nya. Kudu belajar nih dari Mbak Annie :D
Saya juga masih dalam proses belajar Mbak Nia. Mengukuhkan niat untuk tetap rajin menimba ilmu dari membaca dan menulis.
Masya Allah jadi terbantu kembali untuk bisa konsisten menulis ulang bacaan kita. Thank u, Mba Annie ilmunya
Semangat untuk terus melahirkan tulisan-tulisan yang berkualitas Aya. Meninggalkan legacy untuk anak cucu kita.