Menengok Rumah Pengasingan Bung Karno di Bumi Rafflesia

Menengok Rumah Pengasingan Bung Karno di Bumi Rafflesia
Rumah pengasingan Bung Karno di Bengkulu

Menengok Rumah Pengasingan Bung Karno di Bumi Rafflesia
Rumah pengasingan Bung Karno di Bengkulu

Sebelum berangkat ke Bengkulu, saya sempat menelusur info beberapa destinasi wisata yang ada di provinsi ini. Lewat beberapa pencarian, yang mendapatkan rating teratas adalah rumah pengasingan Bung Karno yang berada di Jl. Soekarno Hatta No.8, Kelurahan Ranggut Atas, Kecamatan Gading Cempaka, kota Bengkulu. Semua tautan mengungkapkan bahwa rumah pengasingan ini adalah destinasi yang tidak boleh dilewatkan alias wajib dikunjungi. Skala prioritas lah istilahnya. Salah satu dari beberapa referensi itu malah menyebutkan bahwa selain ikon bunga Rafflesia, Bengkulu juga identik dengan profil Bung Karno. Apalagi saat beliau diasingkan oleh Belanda ke Bengkulu adalah di masa-masa tanah air menyambut kemerdekaannya. Saat-saat dimana Belanda mulai mundur setelah menjajah tanah air selama 3.5 abad dan digantikan dengan kehadiran Jepang.

Saya setuju dengan pendapat ini. Saya malah merasa bahwa Bengkulu mendapatkan keuntungan dari diasingkannya sang proklamator pada periode 1938 hingga 1942 ini karena dengan demikian mereka atau tanah mereka telah dan sempat menerima salah seorang anak bangsa yang menjadi tonggak sejarah kemerdekaan Indonesia. Bengkulu secara otomatis memiliki destinasi wisata sejarah yang menjadi kekayaan negara.

Jadi ketika Daniel, tour guide yang menemani saya berkeliling Bengkulu, mengajak saya ke rumah pengasingan tersebut setelah usai menilik Benteng Marlborough, saya pun tambah semangat meski tubuh sudah dibanjiri keringat karena udara yang panas luar biasa.

Menengok Rumah Pengasingan Bung Karno di Bumi Rafflesia
Prasasti pemugaran rumah pengasingan Bung Karno yang ditandatangani oleh Prof. Dr. Fuad Hasan (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI periode 1985-1993)

Tentang Bengkulu : Menjelajah Keindahan dan Kemegahan Benteng Marlborough Bengkulu

Rumah dengan Timbunan Catatan Sejarah

Yang pernah nonton film berjudul SOEKARNO yang diedar pada 2013 dan meletakkan Ario Bayu sebagai pemeran Bung Karno, pasti menandai bahwa film ini sebagian besar menceritakan tentang keberadaan beliau saat diasingkan ke Bengkulu. Dihadirkan pula Inggit Garnasih, istri ke-2 Bung Karno, menemani pengasingan beliau bersama dengan kedua anak angkat mereka yaitu Ratna Djuami dan Hanafi.

Film ini juga menyajikan kehadiran Fatmawati, salah seorang remaja Bengkulu dan murid Bung Karno di sebuah sekolah rakyat. Seorang perempuan yang kemudian menggantikan posisi Inggit Garnasih sebagai istri Bung Karno selama 20 tahun. Pernikahan Bung Karno dan Fatmawati yang terjadi pada 1943 kemudian menggiring dan membawa Fatmawati ke Jakarta lalu mengemban status sebagai ibu negara. Istri ketiga yang pertama kali melangkah ke istana negara, menemani dan mendampingi Bung Karno sebagai Presiden pertama Republik Indonesia.

Pembicaraan di atas menemani diskusi saya dan Daniel selama dalam perjalanan menuju rumah pengasingan ini. Daniel bahkan sempat menyampaikan bahwa nanti, di rumah yang akan saya kunjungi ini, ada jejak sejarah tentang Inggit Garnasih dan Fatmawati yang mendampingi banyak cerita tentang Bung Karno selama berada di Bengkulu.

Saya memahami karena memang sejarah mencatat semua itu.

Tentang Bengkulu : Berbelanja Oleh Oleh di Cita Rasa Bengkulu

Di area parkir yang berada di bagian terdepan dari rumah pengasingan ini, saya menemukan sudah banyak mobil yang sibuk ditata posisinya oleh petugas. Mobil yang mengantri menandakan bahwa rumah pengasingan Bung Karno ini memang benar menjadi tujuan utama orang datang ke Bengkulu. Plat mobil yang terlihat juga beragam dengan sebagian besar datang dari beberapa bagian Sumatera.

Dari gerbang depan, terlihat sebuah halaman luas dan sebuah prasasti besar dengan marmer hitam. Hampir sebagian lahan terdiri dari halaman berumput gajah dengan tanaman-tanaman yang rapi mengelilingi sebuah lingkaran kecil yang membungkus sebuah tiang tinggi yang mengibarkan bendera merah putih. Tanah 4.813 meter ini menyanggah sebuah rumah beratap limas tidak berkaki seluas 168m2. Rumah penggabungan antara arsitektur Eropa dan Cina yang tampak mulai menua ini dulunya adalah milik Tan Eng Cian. Seorang warga keturunan dan pedagang yang mensuplai kebutuhan pokok warga Belanda yang bertugas di Bengkulu. Rumah ini sangat berbeda dengan milik penduduk setempat yang rata-rata adalah rumah panggung berbahan dasar kayu.

Saat saya menyusur keseluruhan tanah dan rumah, dominasi tanah terbuka tetap menjadi perhatian. Rumahnya sendiri dibangun oleh kombinasi dinding semen, kayu, dan besi yang plesternya terlihat masih kokoh. Dari segi ukuran tentunya sangat luas dan lega di jaman itu. Layout dalam ruangnya cukup efisien. Bagian depan ada teras. Di dalam rumah ada sekitar tiga ruang tidur dan satu ruang kerja. Di bagian belakang ada dapur dan teras yang menghadap ke halaman belakang. Sementara di halaman belakang tersebut ada paviliun yang memiliki tiga ruangan. Saat saya berkunjung satu ruangan di paviliun ini berfungsi sebagai kantin yang menjual makanan serta minuman bagi para pengunjung. Sementara ruang lainnya digunakan sebagai gudang.

Yok, kita menyusur mulai dari teras depan.

Melewati sebuah tangga, ada meja khusus yang menarik HTM senilai Rp5.000,00 yang dijaga oleh seorang petugas. Meja ini berada di sisi kanan saat kedatangan dan berada di teras depan.

Begitu masuk, jejak-jejak sejarah itu sangat terasa. Di satu kondisi, persis saat melamati lantai yang akan diinjak, saya mendadak teringat akan rumah dinas Ayah saya di Medan. Lantai semen tanpa plester yang digunakan persis seperti rumah dinas itu. Dan ingatan saya kembali mengingatkan bahwa rumah lama di Medan tersebut memang adalah salah satu bangunan Belanda dengan konsep rancang bangun yang hampir sama.

Di ruang tamu terdapat sebuah sepeda ontel yang dulu digunakan oleh Bung Karno untuk beraktivitas. Kemudian ada satu set meja dan kursi tamu yang terbuat dari kayu dengan sandaran dan dudukan rotan. Rotannya sendiri sudah terikat dengan rangka kayu agar tidak rontok. Jelas lah ya. Dengan usia yang lebih dari 80 tahun, perlengkapan rumah seperti kursi rotan ini sudah mengalami penyusutan kekuatan.

Saya menyebarkan pandangan pada dekorasi di ruang tamu ini begitu menyulut rasa nasionalisme kita karena menghadirkan tulisan tentang pemikiran Bung Karno akan arti kebebasan, perjuangan, dan makna kemerdekaan itu sendiri. Di sini juga ditampilkan banyak foto dan para pejuang kemerdekaan yang mengalami persekusi oleh Belanda karena peran aktif mereka dalam merumuskan kemerdekaan. Seperti dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, Dr. Drs. Mohammad Hatta, dan Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudi.

Ditampilkan juga foto hitam putih saat Bung Karno saat berbaur dengan masyarakat Bengkulu dan kegiatan kebudayaan yang dilakukan olehnya. Salah satu yang sering dibicarakan adalah tonil Monte Carlo. Lewat sandiwara panggung inilah Bung Karno menyampaikan banyak ide serta semangat kemerdekaan kepada masyarakat lokal. Beliau berperan sebagai sutradara, penulis naskah, manajer, dan sekaligus produser. Ada juga beberapa pakaian pentas yang dulu digunakan untuk pertunjukan tonil ini. Beberapa kostum yang ditampilkan di dalam rumah pengasingan ini adalah saksi bisu bagaimana Bung Karno memindahkan semua pemikiran dan perlawanannya atas tindakan Belanda yang membuang dirinya jauh dari pusat pergerakan kemerdekaan. Jadi saat kebebasan berbicara dan berkelompok (sangat) dibatasi, Bung Karno memindahkan semua pemikiran tersebut lewat kesenian.

Menengok Rumah Pengasingan Bung Karno di Bumi Rafflesia
Salah satu kostum panggung tonil Monte Carlo

Menengok Rumah Pengasingan Bung Karno di Bumi Rafflesia
Ruang tamu di rumah pengasingan Bung Karno, Bengkulu

Menengok Rumah Pengasingan Bung Karno di Bumi Rafflesia
Tiga pejuang kemerdekaan yang juga mengalami persekusi oleh Belanda

Saya kemudian berdiri di bagian tengah rumah. Terlihat sebuah lorong kecil yang memisahkan antara sisi kanan dan kiri. Saya mulai berkeliling dengan sisi kanan. Di bagian depan sisi kanan terdapat sebuah ruangan bulat dengan dinding patah-patah yang dikenali sebagai ruang kerja. Dindingnya terbuat dari rangkaian jendela kayu yang menguasai hampir semua sisi yang menghadap ke taman yang ada di depan rumah. Jendela itu semua tertutup oleh serangkaian poster dengan frame akrilik.

Semua poster menceritakan tentang keberadaan Bung Karno di Bengkulu termasuk salah satu foto close-up Bung Karno yang sedang berorasi dengan ekspresi yang menggetarkan hati. Beliau terlihat mengenakan baju formal model safari (atasan dan celana panjang) serba putih dengan kancing-kancing berwarna emas dan kopiah hitam. Outfit yang menjadi ciri khas beliau. Dari poster paling kiri ini saya membaca sebuah kutipan yang sangat heroik berjudul Ujian Bagi Seorang Pemimpin Bangsa“Saya tidak perlu membuktikan pada setiap pemuda yang datang padaku atau kepada dunia apa yang telah saya kerjakan. Halaman-halaman dari revolusi Indonesia akan ditulis dengan darah Soekarno. Sejarahlah yang akan membersihkan namaku.”

Sejajar dengan poster yang heroik ini, kita diajak untuk ikut menelusur sejarah panjang Bung Karno yang dibuang dan atau dipenjarakan ke beberapa daerah di Indonesia. Seperti dipenjarakan di Banceuy, Braga, Kecamatan Sumur Bandung, kota Bandung pada 1929 kemudian dipindahkan ke Lapas Sukamiskin pada 1930-1931. Bung Karno kemudian diasingkan ke Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur pada 1934-1938. Dari Ende, beliau dipindahkan ke Bengkulu pada 1938-1942. Kemudian ke Berastagi, Sumatera Utara pada 1949 dan Pulau Bangka, Pesanggrahan, Menumbing pada 1948 hingga 1949. Jadi sebelum benar-benar menjejak tinggal di istana negara setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Bung Karno masih dipersekusi dengan mengasingkan beliau ke Sumatera Utara dan Pulau Bangka.

Berpindah ke ruangan lain yang berada berdampingan dengan ruang kerja Bung Karno tadi, saya menemukan sebuah ranjang besi yang sangat besar. Ranjang ini dilengkapi dengan tiang penyanggah di setiap sudutnya dan di bagian atas yang biasanya digunakan untuk meletakkan kelambu. Kasur tebal yang telihat adalah kasur kapuk. Tapi saya yakin kasur yang saya lihat tersebut adalah replika dari versi aslinya. Di dalam kamar ini ada lemari kaca besar yang menyimpan beberapa pakaian. Diantaranya adalah pakaian-pakaian pentas untuk tonil Monte Carlo. Terlihat juga lukisan besar Fatmawati yang berkerudung dan mengenakan kebaya. Terlihat cantik dengan guratan wajah khas ayunya perempuan Indonesia.

Satu poster hitam putih yang membuat saya tertegun adalah potret Inggit Garnasih yang sudah terlihat tua. Judul di poster itu adalah “Inggit Garnasih: Baik Hati dan Tabah Tapi Juga Keras Hati.” Narasi yang menggetarkan itu saya coba uraikan disini.

“For everyman’s success, there must be a great woman behind. Ungkapan ini sangat mengena pada sosok Inggit Garnasih. Saat Bung Karno menggebu-gebu mengobarkan semangat melawan penjajah, Inggit lah yang dengan setia mendampingi Bung Karno di penajara dan di pengasingan. Inggit selalu membangkitkan semangat suaminya, menghibur, dan menemani dalam susah dan senang. Inggit hampir tak pernah mengeluh dan bercerita kesulitan dan kesususahan yang dialami selama mendampingi Putra Sang Fajar ini berjuang demi kemerdekaan rakyat Indonesia.”

“Bung Karno sangat menyayangi istrinya yang lembut ini. 20 tahun mengarungi rumah tangga, Bu Inggit memiliki peran yang sangat besar dalam episode perjuangan Bung Karno. Memang Bu Inggit tidak berada di samping Bung Karno saat kemerdekaan diproklamasikan. Namun kehadirannya dalam kehidupan dan perjuangan Bung Karno sangat luar biasa. Ketika Bung Karno menyatakan keinginan menikah lagi agar mempunyai keturunan, Inggit tetap tegar dan tabah, dan memilih untuk dikembalikan ke keluarganya di Bandung.”

Lewat beberapa buku yang saya baca, Inggit memang sejatinya mendapatkan tempat yang istimewa di hati Bung Karno. Usai menikah dua kali (pertama dengan Nata Atmaja dan kedua dengan H. Sanusi), Inggit yang saat itu berusia 34 tahun menerima pinangan Bung Karno yang sudah beristrikan Oetari dan masih berusia 21 tahun. Saat mereka akhirnya menikah, masing-masing sudah bercerai. Inggit merangkai jalinan rumah tangga dengan Bung Karno selama 20 tahun dan satu-satunya istri yang menemani Sang Proklamator mulai dari nol hingga 1943, menjelang kemerdekaan Republik Indonesia. Sejarah juga mencatat bahwa Inggit lah wanita yang menyaksikan pasang surut kehidupan Soekarno bahkan hingga Bung Karno diasingkan serta dipenjarakan di banyak tempat/daerah. Perceraian antara mereka pun harus terjadi karena Bung Karno ingin berpoligami dan memiliki keturunan dari perempuan lain (sementara Inggit tidak bisa memberikan anak).

Saya tertegun saat menuliskan ini. Membayangkan bagaimana lelah hayati dan fisik yang telah dialami Inggit saat berada di samping Bung Karno. Tapi takdir berbicara berbeda.

Menengok Rumah Pengasingan Bung Karno di Bumi Rafflesia

Berpindah ke ruang lain di sisi kiri, ada beberapa kamar yang dilengkapi oleh poster-poster berbalut akrilik. Seperti di ruang kerja tadi, di dalam kamar berisikan banyak informasi tentang kegiatan Bung Karno selama dalam pengasingan di Bengkulu, Bumi Rafflesia.

Saat pengunjung semakin memadat dan mulai membatasi ruang gerak, saya melangkah menuju teras belakang rumah. Di teras ini tersedia meja dan kursi kayu yang dicat hitam. Jika dilihat dari ukurannya, sepertinya furniture yang satu ini berfungsi sebagai meja dan kursi makan. Saya menyempatkan diri agak lama berdiri di teras belakang ini. Kemudian membayangkan duduk-duduk di sore hari di teras ini sembari menikmati pemandangan halaman belakang yang luas dan hijau.

Diantara teras belakang dan paviliun, ada sebuah sumur yang masih sarat dengan air. Tersedia sebuah katrol besi dan sebuah ember kecil serta tali karet untuk mengambil air. Kabarnya, dari cerita ibu yang menjaga kantin paviliun, jika meraup muka dengan air sumur ini, kita akan selalu tampak muda. Walahuallam. Meskipun banyak pengunjung yang melakukannya, saya tidak tertarik sama sekali. Tapi saya sempat berfoto di pinggir sumur ini sebagai kenang-kenangan.

Saya mengakhiri rangkaian penelusuran dengan duduk-duduk di paviliun sembari ngobrol dengan ibu penjaga kantin. Banyak sekali dagangan yang dihidangkan. Ada kue-kue khas Bengkulu seperti kue Baytat, kerupuk, dodol, sirup kalamansi dan masih banyak lainnya. Kantin ini juga menawarkan beberapa suvenir yang bisa dibawa sebagai buah tangan. Sembari menikmati sebotol kecil sirup kalamansi, saya melepaskan pandang ke taman hijau yang luas disertai dengan pepohonan yang tumbuh tinggi menjulang. Saya juga menyaksikan kegembiraan pengunjung yang ramai berfoto di salah satu sisi teras belakang rumah.

Saya menghabiskan sisa waktu dengan duduk di paviliun belakang dan mengamati rumah pengasingan yang berjarak sekitar 1.6km dari Benteng Marlborough. Rumah bersejarah yang sekarang difungsikan sebagai museum dan ditetapkan sebagai cagar budaya sejak 2004. Penetapan ini ditandatangani oleh Menteri Pendidikan & Kebudayaan No. SKM.10/PW007/MKP/2004.

Menengok Rumah Pengasingan Bung Karno di Bumi Rafflesia

Menengok Rumah Pengasingan Bung Karno di Bumi Rafflesia

Menengok Rumah Pengasingan Bung Karno di Bumi Rafflesia

Tentang Bengkulu : Menyesap Merdunya Deburan Ombak di Pantai Sungai Suci Bengkulu

Tentang Bengkulu : Dua Malam Bertandang di Hotel Mercure Bengkulu

Jejak Sejarah yang Akan Dikenang Sepanjang Masa

Sedari kecil, almarhum Ayah sudah mengenalkan tokoh Bung Karno kepada saya. Koleksi buku tentang Bung Karno memenuhi etalase rak yang ada di rumah. Beberapa yang paling berkesan dan pernah berulang kali saya baca adalah buku berjudul “Bung Karno. Penjambung Lidah Rakjat Indonesia” yang ditulis oleh Cindy Adams. Diksi yang digunakan masih menggunakan ejaan republik. Ejaan yang digunakan oleh ibu saya hingga kini.

Ada yang belum tahu apa itu ejaan republik? Saya kasih contoh ya. Contoh: CABE ditulis TJABE, SUKARNO ditulis SOEKARNO, KAYA ditulis KAJA, MENJAGA ditulis MENDJAGA. Bahkan nama asli saya SYAFARIANI dalam Akte Kelahiran aslinya ditulis SJAFARIANI. Kebayang kan di masa dan jaman mana saya lahir. Akta Kelahiran saya ini akhirnya harus dirubah saat saya lulus SD. Digantilah menjadi Akta Kenal Lahir dengan nama yang sudah berubah menggunakan ejaan baru (EYD yang berlaku saat itu).

Buku kedua adalah “Di Bawah Bendera Revolusi” yang berupa kumpulan pidato Bung Karno pada setiap peringatan kemerdekaan Indonesia (17 Agustus) selama 20 tahun. Dari 1946 hingga 1964. Saya ingat sekali di setiap pidato yang beliau susun, banyak sekali kosa kata yang sangat menggugah jiwa. Kita diingatkan untuk selalu teguh pada pendirian, menjunjung tinggi kebebasan dan kemerdekaan, menghargai jasa para pahlawan, proses hingga kita merdeka, dan masih banyak lainnya. Sayangnya saya belum pernah sama sekali mendengarkan orasi beliau secara langsung. Dari kesaksian dan cerita almarhum Ayah saya, yang pernah menyaksikan langsung pidato Bung Karno di lapangan Banteng, Jakarta, pulang dari event itu, rasa nasionalisme langsung menggelegak. Setiap yang hadir tekun mendengarkan dengan berkali-kali mengucapkan kata MERDEKA dan HIDUP BUNG KARNO sembari mengepalkan tangan setinggi mungkin.

Mungkin inilah yang menyebabkan Megawati Soekarno, salah seorang putri beliau, terus mendengungkan kata MERDEKA di setiap pidato atau menjadi sapaan penyemangat dan identitas dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang berganti menjadi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Buku ketiga yang saya baca berikutnya berjudul “Indonesia Menggugat” yang adalah sebuah pidato pembelaan yang dibacakan oleh Bung Karno pada persidangan di Landraad, Bandung, pada 1930. Garis besar dari isi buku ini adalah tentang kapitalisme, imperialisme dan pergerakan yang ada di Indonesia, tentang Partai Nasional Indonesia, dan keadaan politik internasional dan kerusakan yang dirasakan oleh masyarakat Indonesia di bawah penjajah. Pidato ini tersusun sangat rapi sebagai penolakan atas tuduhan hendak menggulingkan kekuasaan Hindia Belanda. Semua ditulis oleh Bung Karno di balik jeruji penjara. Pidato pembelaan ini menjadi satu dokumen politik yang menentang kolonialisme dan imperialisme.

Dari serangkaian naskah dan tulisan yang saya baca, jika beliau masih sehat setelah mundur dari kursi presiden, pastilah akan lahir belasan bahkan mungkin puluhan buku lainnya yang patut dicatat sebagai sejarah dan diletakkan di rumah pengasingan ini agar menjadi bubuk mesiu kecintaan kita akan tanah air. Sekaligus membentengi kekuatan dan kesadaran kita akan betapa besarnya jasa para pahlawan dalam merintis jalan menuju Indonesia merdeka.

Dalam banyak langkah kaki menuju area parkir, saya menyempatkan diri menoleh dan menatap rumah pengasingan Bung Karno di Bumi Rafflesia ini kembali. Saya menggantungkan harapan besar agar rumah bersejarah dan cagar budaya nasional ini bisa terus terpelihara dengan baik. Dilestarikan, dijaga, dan dimaksimalkan keberadaannya sebagai wujud penghargaan kita kepada sang proklamator, pahlawan bangsa. Sebuah jejak sejarah yang akan dikenang sepanjang masa dan diwariskan kepada generasi penerus bangsa.

Menengok Rumah Pengasingan Bung Karno di Bumi Rafflesia
Teras belakang rumah pengasingan Bung Karno di Bengkulu

Menengok Rumah Pengasingan Bung Karno di Bumi Rafflesia
Sumur yang berada diantara rumah inti dan paviliun yang berada di halaman belakang

Menengok Rumah Pengasingan Bung Karno di Bumi Rafflesia
Sirup Kalamansi yang siap minum. Segarnya memecah udara panas hari itu

Menengok Rumah Pengasingan Bung Karno di Bumi Rafflesia
Pemandangan bagian belakang rumah pengasingan Bung Karno di Bengkulu.

Menengok Rumah Pengasingan Bung Karno di Bumi Rafflesia
Kamar tidur utama di rumah pengasingan Bung Karno di Bengkulu.
Tampak poster hitam putih Inggit Garnasih yang narasinya sangat menyentuh hati

Menengok Rumah Pengasingan Bung Karno di Bumi Rafflesia
Rangkaian jendela patah-patah yang melindungi ruang kerja Bung Karno

Menengok Rumah Pengasingan Bung Karno di Bumi Rafflesia
Jalan setapak di sisi kiri rumah pengasingan Bung Karno di Bengkulu.
Area ini terlihat sangat bersih, tertata, dan nyaman.
Jalan ini menghubungkan bagian terdepan rumah dengan bagian paling belakang.

Menengok Rumah Pengasingan Bung Karno di Bumi Rafflesia
Prasasti besar yang ada di halaman depan

Blogger, Author, Crafter and Photography Enthusiast

annie.nugraha@gmail.com | +62-811-108-582

25 thoughts on “Menengok Rumah Pengasingan Bung Karno di Bumi Rafflesia”

    • Luas banget Mbak. Kebayang kondisi begini kita alami di tahun 1940-an ya. Rumah ini pastilah terhitung rumah yang megah dan menarik perhatian karena rumah asli orang Bengkulu kebanyakan adalah rumah kayu panggung.

      Ketakutan akan peran Bung Karno sangat dirasakan oleh penjajah. Apalagi di saat itu nafas kemerdekaan sudah menggema di seluruh bumi nusantara dan keberadaan Bung Karno adalah tumpuan dari titik awal kemerdekaan tersebut. Tapi nyatanya dengan mengirim Bung Karno ke pengasingan hanya bisa memenjarakan fisik beliau saja.

    • Ya allah seru banget mbak bisa berkunjung ke rumah pengasingan Bung Karno. Renda di costum tersebut terasa sekali vintagenya ya mbak. Rumahnya luas sekali ya Mbak. Masuk ke rumah pengasingan bung karbo ini, bayar nggak mbak?

    • Iya Mas. Ada di satu waktu, berbulan-bulan, saya menjelajah beberapa bagian Sumatera. Kebetulan mengikuti suami yang dinas di beberapa kota.

  1. Januari 2022 lalu saya juga mampir ke sini bareng Ara saat berkunjung ke Bengkulu. Rumahnya memang cantik dan terawat! Saya nggak terlalu suka mengulik sejarah, jadi ulasan tentang tempat ini pun saya gabungkan dengan destinasi lainnya hahaha. Nggak kayak mbak Annie, bisa membuat tulisan serinci dan selengkap ini.

    Bengkulu memang terik di siang hari. Sebotol minuman dingin akan sangat menyegarkan!

    Reply
    • Berbeda minat kita ya Gi. Kalau aku pecinta sejarah akut. Seneng bisa ke museum atau ke berbagai tempat yang memiliki banyak catatan di masa lampau.

  2. rumahnya mirip rumah-rumah peninggalan Belanda di Sukabumi, Malang dan Ponorogo

    seperti rumah yang saya huni juga di Sukabumi

    lahannya luas, dan rumahnya tahan gempa (terbuat dari kayu dan bambu)

    senang banget bisa ke rumah Bung Karno Mbak

    ke tempat Bung Karno merumuskan kemerdekaan Indonesia

    Reply
    • Iya Mbak. Kekuasaan Belanda yang berabad-abad meninggalkan banyak bangunan dengan kualitas plester yang sangat baik. Bangunannya tetap kokoh hingga kini. Di Jawa Barat saya yakin banyak sekali karena dengan besarnya kuasa mereka, banyak lahan perkebunan yang mereka buat.

  3. Dari kunjungan tersebut, daku adabtarik kesimpulan bahwa Semua orang pasti ada sejarahnya. Bisa sukses di satu bidang belum tentu di bidang lain.
    Belajar dari sejarah seseorang, bisa menjadi pembelajaran buat kitanya ya

    Reply
  4. Duh…pengen deeh jalan-jalan bareng mbak Annie. Punya perhatian sama ke bangunan bersejarah. Bisa explore dan berlama-lama.
    Waktu ke Flores bareng temen kuliah, mampir juga ke Rumah Pengasingan Bung Karno, di Ende. Mirip juga lay-outnya. Tempat tidur bertiang empat juga ada. Bahkan sumur belakang rumah pun ada. Saya cuci muka sih, bukan apa-apa…adeemm aja. Siang-siang di Flores panasnya menyengat. Hehe…
    Kalau di Bengkulu, Bung Karno berkreasi melalui sandiwara panggung. Di Ende, beliau melukis.
    Lalu ada pantai di bawah pohon gitu, spot beliau merenung.
    Sayang cuma sebentar. Ya gitu, kalau sama teman rame-rame pada engga sabaran.
    Mana kalau rame-rame, sulit banget dapet sudut foto yang OK. Selalu bocor, ada orang. Nunggu sepi, temen-temen udah mau cabut aja pindah ke objek wisata lain. Hiks…

    Reply
    • Nah, saya pengen banget lihat langsung rumah pengasingan Bung Karno di Flores. Kalau dari foto sih ada kemiripan struktur rumahnya ya. Karena memang secara fisik, bangunan2 ini dibuat oleh penjajah Belanda. Saya juga membaca, saat Bung Karno di Ende, dia lebih banyak menikmati alam yang masih natural, melukis, menulis, dan duduk merenung di satu taman. Sampai di taman itu akhirnya dibuatkan patung beliau yang sedang duduk di sebuah bangku panjang.

      Kapan2 kita traveling bareng ya Mbak Nia. Jika pergi dengan rekan sesama blogger, pasti banyak yang bisa kita tulis dan diskusikan sembari menyusur tempat bersejarah. Plus motret tentunya.

  5. Pernah menyambangi kota Bengkulu, namun melewatkan cerita sejarah yang ini. hanya ingat yang benteng bengkulu saja. suka baca cerita sejarah, tapi bingung dalam penyampaiannya agar tetap asyik dibaca. membaca cerita Mba Annie seakan ikut maju mundur dalam alur sejarah melihat cerita Indonesia dulu dan kini.

    Reply
    • Saya juga masih terus berlatih menuliskan tentang sejarah Mbak Desi. Salah satu sumber berlatih adalah dengan membaca buku-buku sejarah yang sudah digabungkan dengan penulisan perjalanan. Satu lagi adalah saya rajin mencatat dan mencari banyak sumber referensi setelah mengunjungi satu tempat. Saya buat jurnalnya, sebelum menulis tentang tempat tersebut. Dan ini sangat membantu.

  6. Memang tokoh sejarah yang tak bisa dilupakan karena banyak sekali jasa beliau terhadap kemajuan Indonesia.
    Dan aku salut dengan sejarah yang saling sambung-menyambung sehingga sebenarnya kalau ditarik benang merahnya, para pahlawan dan negarawan ini memiliki keterkaitan dan bersatu sehingga Kemerdekaan memang benar adalah milik bersama.

    Kagum banget, ka Annie..mengajak pembaca untuk mendalami sejarah Bung Karno.
    Yang menarik bagiku tentu kisah percintaan beliau dengan ke sembilan istrinya. Sampai bertanya-tanya, “Di akhir hayat beliau bersama istrinya yang mana?”

    Karena kalau membaca beberapa literatur, beliau bercerai dengan kesembilan istrinya.
    Huhuh.. asa kesepian yaa..

    Reply
    • Jika saya tidak keliru, satu-satunya istri Soekarno yang tetap bertahan menemani hingga akhir hayat dan tetap berstatus sebagai istri adalah Ibu Hartini. Kisah percintaan Bung Karno menjadi duri dalam sejarah beliau sebagai seorang personal. Terlepas dari bertumpuknya pencapaian beliau sebagai seorang proklamator dan founding father negara kita.

  7. Dulu saat sekolah, aku gak suka dengan pelajaran Sejarah. Terlalu banyak hal yang harus dihafal. Sekarang, saat udah banyak mengunjungi tempat2 bersejarah, yang menjadi saksi dari peristiwa Sejarah itu sendiri, aku jadi suka. Kepengen deh bisa eksplor banyak tempat bersejarah di negara kita. Seru, menarik, dan memberi banyak insight. Aamiin, Semoga bisa kayak Mbak Annie, bisa main ke banyak tempat bersejarah kayak rumah pengasingan Bung Karno ini. Anak-anak aku juga suka kayaknya kalo diajak. ☺️

    Reply
    • Kalau saya memang penyuka sejarah Mbak Nia. Selain pelajaran bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, pelajaran Sejarah sudah merasuk di setiap sanubari (hihihi lebay sangat). Tapi itu memang benar adanya. Pelajaran sejarah membuat saya makin mencintai betapa menarik mengetahui dan mendalami banyak hal yang menjadi titik tolak kehidupan yang kita miliki sekarang.

  8. Hebat banget ya Bung Karno
    Kualitasnya gak kaleng-kaleng, bangga banget punya founding father beliau
    Tatkala diasingkan, yang pastinya bikin tertekan karena dibatasi
    Bung Karno menyalurkan energinya melalui tonil Monte Carlo.
    Sehingga nalar dan kreativitasnya tetap terasah

    Reply
    • Pada dasarnya beliau adalah seniman ya Mbak. Jadi tak heran jika dalam keterbatasan, nalurinya sebagai seniman tetap terasah meski dalam keterbatasan.

Leave a Comment