Hingga detik menuliskan artikel ini, saya masih diliputi rasa tidak percaya.
Sesuatu yang istimewa telah hadir di awal bulan 2023. Persis seperti apa yang saya harapkan. Sebuah hadiah awal tahun yang terasa sungguh luar biasa. Like a special new year and birthday gift though.
Seperti masih terbawa mimpi dan khayalan bahwa suatu saat, somehow, someday, in any specific or un-expected way, saya mampu membangun komunitas kecil di dunia literasi. Mereka yang dapat saya rengkuh, saya ajak untuk melahirkan buku antologi, buku keroyokan dengan berbagai tema yang telah dipilih dan disepakati bersama.
Alhamdulillah. Nyatanya ketika kita percaya bahwa selama kita berusaha, yakin dengan niat baik, didukung dengan doa dan permohonan setulus hati, niscaya inshaAllah akan dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa.
Bisa jadi doa itu cepat dijawab, ditunda dengan waktu menunggu yang lebih panjang untuk menguji ketaqwaan kita, atau diganti dengan sesuatu yang lebih baik.
Yang terjadi pada doa saya adalah yang pertama. Saya tak harus menunggu lama atau doa tersebut dijawab dengan sesuatu yang lebih baik. Allah berkehendak bahwa doa yang saya panjatkan langsung dikabulkan.
Tapi jalannya ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Banyak ujian yang saya rasakan. Banyak gelombang emosi yang merasuk jiwa dan harus pandai saya kelola agar tak berubah menjadi self toxic. Banyak amarah yang tertahan, harus dilumat dalam hati agar tak merusak pikiran. Banyak waktu yang sudah tercurahkan serta banyak banyak yang lainnya.
Lelah? Pasti. Kecewa? Tidak. Karena pada kenyataannya justru masalah-masalah itulah yang membesarkan hati, memberikan banyak pengetahuan, menguji mental dan niat awal, serta lebih banyak mengenal karakter-karakter orang yang berada di sekitar saya.
Jadi izinkan saya mengurai jalan yang panjang berliku tersebut di tulisan ini. Semoga teman-teman tabah membaca sampai paragraf terakhir ya.
Yuk kita lanjut.
Membidani Lahirnya Pondok Antologi Penulis Indonesia (PAPI)
Seperti yang saya sampaikan di atas, membangun sebuah komunitas kecil yang berisikan para penulis jempolan, sudah lama saya idam-idamkan. Mereka yang juga saya yakin memiliki komitmen, visi dan misi besar untuk aktif berkarya, melahirkan banyak tulisan apik, dan terus bergiat dalam dunia literasi di Indonesia.
Tampak se-idealis itu ya?
Kenapa tidak? Karena dengan adanya “wadah” berkumpulnya para penulis seperti ini, semangat kebersamaan menulis bareng tentunya akan lebih ter-organisir dengan baik. Dengan bersama, bergotong-royong, sesuatu yang tampak berat tentunya bisa terasa ringan.
Antologi juga menjadi wadah yang tepat bagi para penulis yang masih belum bisa meyakinkan diri untuk melahirkan buku solo. Tapi mudah-mudahan dengan rajin berkarya dalam antologi akan memberikan semangat tersendiri bagi sang penulis untuk, suatu saat, tak ragu untuk melahirkan buku sendiri.
Hal ini berkaca pada pengalaman pribadi saya. Setelah sekian lama, beberapa kali melahirkan antologi dengan beberapa komunitas, saya akhirnya memberanikan diri menelurkan buku solo di 2021. Saya menemukan “klik yang tepat” untuk menulis dengan lebih baik, berkaca pada tulisan-tulisan dari rekan lain. Buku yang naskahnya sudah tersimpan lama, bertahun-tahun, sampai di satu saat bisa terwujudkan menjadi sebuah karya nyata. Sebuah buku yang bisa dipegang dan dibaca oleh publik. Kompilasi dari berbagai kisah nyata yang saya kumpulkan bertahun-tahun dan saya olah kembali, yang kemudian saya beri judul TETANGGA KOK GITU.
Baca Juga : Dibalik lahirnya Buku Solo Tetangga Kok Gitu
Mengapa kemudian memilih nama PONDOK ANTOLOGI PENULIS INDONESIA?
Menemukan nama yang tepat dan menyesuaikan dengan visi dan misi yang sudah dicanangkan, tentunya bukan pekerjaan yang mudah. Niat yang tadinya hanya ingin menggunakan dua kata saja ternyata sulit untuk ditemukan. Corat coret sana sini, browsing berbagai sumber ide pun malah akhirnya berujung pada over resume. Sementara harapan penggunaan nama tersebut akan berlangsung long-lasting dengan, tentu saja, mewakili apa dan bagaimana, serta wajah dari komunitas ini.
Saya pun stuck untuk beberapa waktu. Ya ampun.
Finalisasi penentuan nama ini justru mulai menemukan titik terang saat saya membaca sebuah novel sehabis subuh. Kegiatan yang memang sedari kecil sudah menjadi kebiasaan saya. Semua berawal dari kata PONDOK yang tadinya terpikirkan setelah berulangkali saya berkutat dengan kata RUMAH.
Kenapa lebih memilih kata PONDOK ketimbang RUMAH? Menurut saya kata pondok lebih terlihat “membumi” ketimbang rumah. Lebih mencerminkan kesederhanaan tapi ada sisi kekuatan di dalamnya. Sebuah tempat yang tidak hiruk pikuk dan sesak oleh kemewahan, tapi tetap bisa menampung mereka yang mau tinggal di dalamnya meski dalam keterbatasan.
Tiga kata berikutnya lahir dan mengiringi dengan begitu mudahnya. Antologi mewakili produk komunitas. Penulis mewakili siapa saja yang ada di dalamnya. Indonesia tentu saja memperlihatkan eksistensi dimana produk itu dihasilkan termasuk identifikasi asal para penulis yang “tinggal” di dalam pondok ini. Kata INDONESIA sebagai penutup juga mencerminkan kecintaan saya pada negara. Meski tak ada kibaran bendera di halaman depan pondoknya, setidaknya kata ini menjadi satu kebanggaan yang tak bisa dibantah.
Saya pun kemudian meng-otak-atik aplikasi Canva untuk menciptakan sebuah logo. Image kecil bermakna besar yang mewakili komunitas dan akan disematkan di setiap buku yang terlahir dan dibidani oleh Pondok Antologi Penulis Indonesia.
Langkah berikut yang saya kerjakan adalah menemukan penghuni yang mau tinggal di dalam pondok kecil ini. Anggota keluarga yang saya kenal yang berkenan melebur menjadi satu dengan anggota keluarga lainnya. Bisa masak bareng. Minum dari galon air yang sama. Duduk bersama-sama di ruang tengah untuk ngopi, ngeteh, menikmati bermacam kudapan sembari mengobrol atau menonton TV. Semua kegiatan yang biasanya dijalankan bersama anggota keluarga lainnya. Tempat dimana kehangatan begitu terasa.
Bagaimana proses perekrutannya? Mudah karena sudah banyak kenalan blogger dan penulis di beberapa komunitas? Ternyata tidak.
Saya, dengan kerendahan hati, menghubungi para penulis satu persatu. Mengirimkan pesan secara pribadi lewat nomor yang juga pribadi sembari mengirimkan uraian singkat mengenai Pondok Antologi Penulis Indonesia. Ada yang membalas dengan penolakan tapi ada juga yang akhirnya menerima pinangan saya tanpa harus berlama-lama. Namun tidak sedikit juga yang mengacuhkan pesan tersebut.
Sakit hati? Oh tidak dong. Karena itu adalah hak pribadi dari setiap orang tanpa kecuali. Keputusan menerima atau tidak juga adalah hak dari masing-masing personal. Penolakan pun tentunya atas dasar pertimbangan atau bisa jadi beberapa isu yang hanya boleh diketahui oleh yang bersangkutan.
Hingga dinyatakan resmi berdiri pada 10 Januari 2022, Pondok Antologi Penulis Indonesia hingga saat saya menulis artikel ini, sudah berisikan anggota keluarga sebanyak 29 (dua puluh sembilan) orang, termasuk saya.
Ingin bergabung menjadi salah seorang penulis produktif di dalam Pondok Antologi Penulis Indonesia? Berikut adalah informasinya ya.
Baca Juga : TETANGGA KOK GITU. Kisah Dinamika Hidup Bertetangga yang Penuh Warna Dalam Sebuah Buku
Gawean Perdana Pondok Antologi Penulis Indonesia
Setelah melewati serangkaian perjuangan mengumpulkan penulis yang berkenan bergabung, diskusi tentang buku perdana pun mulai saya hadirkan melalui sebuah Whatsapp Group (WA) yang dibuat khusus untuk kegiatan Pondok Antologi Penulis Indonesia. Karena tak ingin melahirkan “beban menulis” di tengah kesibukan para penulis yang luar biasa, saya kemudian menawarkan beberapa tema yang sekiranya cukup seru untuk diangkat.
Dari berbagai pilihan tersebut, tema yang ditentukan untuk gawean perdana ini adalah tentang masa lalu.
Mengapa Tentang Masa Lalu?
Menurut opini dan sependek pengetahuan saya, bercerita tentang masa lalu adalah tema yang menarik untuk diangkat. Masa lalu bukan hanya membicarakan tentang kesedihan, kedukaan, kejadian yang memilukan atau menorehkan luka di hati dan jiwa. Meskipun makna dari masa lalu sering menggiring kita untuk berpikir ke arah sana. Tapi nyatanya kebahagiaan dan kegembiraan juga ada di masa lalu. Bahkan tidak sedikit apa yang kita alami di masa lalu mampu membawa banyak pelajaran hidup dan menjadi rangkaian cerita itu sebagai hikmah, baik bagi diri kita sendiri ataupun orang lain.
Menghadirkan ceritanya bisa dalam berbagai cara. Diurai sebagai memoar atau bisa juga dituliskan sebagai sebuah cerpen yang bersifat non-fiksi. Bahwa apapun yang ditulis di dalam cerpen ini adalah sebuah atau rangkaian kejadian nyata. Tentu saja dengan tidak melibatkan unsur pornografi, sensualitas dan isu SARA yang menyinggung pribadi atau sekelompok orang.
Berkompilasi dengan penulis yang lain, buku ini kemudian dihadirkan dengan judul AKU DAN MASA LALU.
Ke-aku-an yang diangkat sebagai bagian dari judul secara keseluruhan turut menguatkan makna bahwa buku antologi perdana dari Pondok Antologi Penulis Indonesia ini, adalah benar pengalaman pribadi dari setiap penulis atau yang diceritakan oleh penulis dari sebuah kisah nyata yang pernah dilihatnya sendiri. Aku bisa menunjuk pada diri sendiri atau kata ganti dari orang kedua yang diceritakan oleh penulis.
Proses Produksi Buku Antologi Aku dan Masa Lalu
Setelah melewati kesepakatan akan tema, daftar para penulis pun dibuat. Daftar yang menunjukkan siapa saja yang akan bergabung di dalam buku kemudian diikuti dengan jadwal kerja yang juga menjadi kesepakatan bersama.
Waktu menyerahkan naskah ditetapkan dalam dua bulan, diikuti dengan editing dan proof-reading di satu bulan berikutnya, dan diakhiri dengan satu bulan lagi untuk masa pra pemesanan dan produksi.
Sembari melewati masa-masa ini, saya pun mencari publisher yang tepat dan berkenan bergandengan tangan untuk melahirkan buku antologi Aku dan Masa Lalu ini. Pilihan kemudian jatuh pada Elfa Mediatama. Sebuah publisher yang sedang bergerak maju, dibawah kepemimpian Fakhriah Ilyas. Seorang guru dan sudah terbiasa terlibat dengan proyek kepenulisan dengan berbagai pihak.
Kami beberapa kali bertemu untuk menyelaraskan visi dan misi Pondok Antologi Penulis Indonesia dengan Alfa Mediatama. Tujuan khususnya adalah supaya diantara saya dan Fakhriah Ilyas memiliki cara berpikir yang sama, yang tentu saja meliputi apa yang saya inginkan dan bagaimana supaya buku antologi ini lahir dengan ciri khas tersendiri. Mulai dari penyusunan layout hingga jenis huruf apa yang akan digunakan.
Kebetulan pula Elfa Mediatama berpusat di Cikarang. Lokasi yang sama dengan tempat tinggal saya. Jadi diskusi langsung antara kami berduapun bisa teorganisir dan diadakan sesering yang kami bisa. Ini yang menjadikan proses kelahiran buku antologi Aku dan Masa Lalu terjalani dengan begitu melekat. Karena, disadari atau tidak, diskusi secara langsung, bisa memberikan dan menciptakan ruang tukar pendapat yang lebih terarah dan melegakan.
Baca Juga : Menyusur Plot Twist di Antologi Hujan dan Air Mata
Pada tahap awal ada sekitar 15 penulis yang menyatakan ingin bergabung menulis untuk antologi Aku dan Masa Lalu, tetapi seiring dengan berjalannya waktu, buku antologi ini akhirnya diisi oleh tujuh orang penulis saja. Mereka yang menyatakan positif berkontribusi adalah Ida Tahmidah, Mutia Ramadhani, Nanik Nara, Susi Ernawati Susindra, saya lalu ditutup dengan kehadiran Mina Megawati dan Maria Tanjung Sari (Sari Eko Budi).
Waktu dua bulan yang dialokasikan untuk menulis pun beberapa kali harus diperpanjang, seiring dengan mundurnya beberapa orang partisipan. Yang tadinya naskah direncanakan rampung dalam dua bulan, hingga akhirnya berlabuh di masa lima bulan. Bonus tiga bulan yang sungguh di luar pemikiran saya.
Untuk gawean perdana, kejadian di atas tentunya cukup menggoyahkan semangat saya. Bisa gak ya buku ini benar-benar bisa hadir?
Saya berada di ujung kegamangan yang nyaris tak terjawabkan. Segala rasa mampir bertindihan tanpa bisa saya tolak.
Saya yang biasanya menjadi anggota penulis buku antologi di bawah koordinasi sebuah komunitas, sekarang harus menjadi penanggungjawab (PIC) dari karya literasi tersebut. Ketika masa “penagihan tulisan” akhirnya berada di titik nadir, saya pun memutuskan untuk tetap berjalan dengan enam penulis lainnya dan melanjutkan misi ke tahap berikutnya.
Sembari menunggu naskah masuk satu persatu, saya pun mengadakan sebuah challenge di komunitas designer Canva untuk menciptakan cover bukunya. Pilihan pun akhirnya jatuh pada sebuah rancangan front and back cover yang dikerjakan oleh Yuan Astika Milafanti.
Yuan membuat rancangan sampul dalam nuansa pekat dengan bunga Dandelion yang perlahan-lahan melepaskan sepucuk demi sepucuk tangkai bunganya. Seperti halnya analogi masa lalu yang satu demi satu kita lepaskan. Penambahan font dan rangkaian tulisan untuk kedua sisi kemudian saya kerjakan dengan hati-hati. Wadah dimana saya bisa menampilkan semua nama penulis, logo Pondok Antologi Penulis Indonesia dan Blurb yang bisa menjadi pintu pembuka bagi para (calon) pembaca untuk mengetahui summary dari keseluruhan isi buku.
Melengkapi visual keindahan buku, saya pun mengerjakan ilustrasi sebagai pembuka dari setiap cerpen yang ada. Ilustrasi yang sekiranya mampu menjadi wajah utama isi cerpen sekaligus menjadi jeda yang apik saat pembaca berpindah dari satu cerpen ke cerpen berikutnya. Semuanya saya kerjakan lewat aplikasi Canva.
Semesta ternyata sangat mendukung usaha saya, meski harus tertatih-tatih.
Dari program tiga bulan menjadi lima bulan. Dari 15 menjadi 7. Dari 100 halaman hingga 254 halaman. Jumlah lembaran yang pas untuk dipegang dan dibaca. Tidak terlalu sedikit pun tidak terlalu berpanjang-panjang hingga bisa mungkin saja menimbulkan kebosanan. Ukuran 13x19cm pun diputuskan. Ukuran buku yang handy, muatable di tas (ini saya banget) dan tidak melelahkan saat dipegang.
Perhitungan nilai produksi pun kemudian berujung pada angka Rp 99.000,-/eksemplar (belum termasuk ongkir). Dan sayapun menghadiahkan sebuah bros wire jewelry dari jenama perhiasan saya FIBI Jewelry. Saya bersengaja membuat sendiri bros tersebut untuk 20 orang pembeli pertama dan 6 buah lainnya untuk setiap penulis. Bukan hanya sebagai daya tarik agar publik mau membeli bukunya tapi juga sebagai ungkapan syukur saya bahwa akhirnya buku antologi Aku dan Masa Lalu, gawean perdana dari Pondok Antologi Penulis Indonesia, akhirnya sudah tertata, siap menyambut dan disambut publik.
Berita ini pun kemudian disebarkan lewat akun Instagram @pondok_antologi sebagai media resmi promosi dari setiap aktivitas dari Pondok Antologi Penulis Indonesia.
It’s wrap up then!!
Baca Juga : Menjadi Bagian dari Sejarah Lahirnya Antologi Beri Aku Cerita yang Tak Biasa
Beragam Tulisan di Dalam Buku Antologi Aku dan Masa Lalu
Saya memberikan kebebasan seluas-luasnya pada semua penulis untuk bereksplorasi dengan pengalaman dan writing skills masing-masing. Karena Pondok Antologi Penulis Indonesia bukanlah tempat belajar menulis tapi adalah rumah untuk melahirkan buku antologi. Jadi saya, sebagai pribadi pun sedang, tetap sinau, berusaha terus menerus menaiki tangga, menjejak tapak satu persatu dalam mengolah diksi untuk menjadi penulis yang lebih baik dari waktu ke waktu.
Tidak ada superior atau mentor di komunitas ini pun tidak ada subordinate dalam hirarki. Tidak ada guru pun tidak ada murid. Semua anggota komunitas berada dalam kedudukan yang sama.
Yang membedakan adalah fungsi saya di dalam komunitas yang bertindak sebagai Penanggung Jawab (PJ) atau istilah kerennya Person In Charge (PIC) yang bertugas mengkoordinir dan memastikan bahwa proses pembuatan dan jadwal kerja komunitas berjalan dengan sebaik-baiknya. Saya juga berfungsi sebagai pemilik serta pengagas tunggal komunitas yang memastikan bahwa setiap anggota yang berada di pondok, mengikuti semua aturan yang telah disepakati sebelum para anggota keluarga menyatakan kesiapan diri sebagai bagian dari Pondok Antologi Penulis Indonesia.
Jadi ketika tema utama cerita adalah membahas dan mengolah cerita non-fiksi masa lalu, beragam naskah pun sampai di email saya. Keragaman inilah yang membuat buku antologi Aku dan Masa Lalu ini indah bak pelangi. Apalagi kemampuan dari masing-masing penulis mengolah diksi begitu terjejak halaman demi halaman.
Jalan Hijrahku – Ida Tahmidah
Ibu lima orang anak dan tinggal di Cimahi ini, menyajikan sebuah pengalaman hidup dengan judul Jalan Hijrahku.
Saya tergugu membuka lembar demi lembar tulisan Ida. Usapan stabilo pun menguning disana-sini karena begitu banyak kalimat yang sangat penting untuk saya resapi. Sebuah kesaksian tentang bagaimana peristiwa kesetrum saat masih SMA telah membangkitkan kesadaran Ida bahwa kematian itu bisa datang kapan saja. Tak terduga dan tak menunggu siap atau tidak. Jadi hendaknya kitalah yang terus berusaha menyiapkan diri untuk saat terakhir dalam hidup.
Dari peristiwa kesetrum dan selamat dari hilangnya nyawa itu jugalah, Ida merubah jati dirinya menjadi muslimah yang lebih tawadhu. Mulai mengenakan hijab meski saat itu ada larangan di sekolah untuk mengenakan hijab, bahkan Ida sendiri pun sempat menjadi salah seorang yang menentang hijab di sekolah. Mulai menyadari dan memahami arti salat dan berkegiatan yang memupuk makna ke-Islam-an dengan kadar yang lebih dalam lagi.
Begitupun saat anak-anak mewarnai kehidupan rumah tangga Ida. Dikarunia lima orang anak yang salih dan salihah, tulisan Ida banyak mengajak kita lebih mengingat Allah SWT dalam setiap hembusan napas. Memanfaatkan masa hidup dengan ibadah, melaksanakan kewajiban salat lima waktu dan mengisi hidup dengan rangkaian manfaat.
Ada beberapa cuplikan dan rangkaian kalimat dari tulisan Ida Tahmidah yang ingin saya bagikan di sini:
Seorang ulama besar dari Mesir, Profesor Muhammad Mutawalli Asy Sya’rawi pernah berkata, yang artinya : “Harta adalah rezeki yang paling rendah. Kesehatan adalah rezeki yang paling tinggi. Anak shalih adalah rezeki yang paling utama. Sedangkan rida Allah adalah rezeki yang sempurna.”
“Ternyata orang yang paling cerdas itu bukan para profesor atau orang dengan gelar berjejer. Tapi orang yang paling cerdas itu adalah orang yang paling banyak mengingat kematian dan paling siap untuk menghadapinya.”
“Terus perbaiki salat sampai titik dimana kita menikmati salat itu. Salat bukan sebagai beban tetapi malah menjadi sebuah kebutuhan.”
Ngayahin – Mina Megawati
Lewat tulisan berjudul Ngayahin ini, Mina Megawati (Mega) menceritakan tentang seorang anak perempuan, Luh Sekar, yang karena keadaan dan kondisi hidup terpaksa menjadi tulang punggung keluarga, tanpa pernah ditanyakan apakah dia sanggup memanggul tanggung jawab tersebut atau tidak. Yang dalam istilah kekinian sering disebut sebagai generasi sandwich. Atas bawah tertekan dan terhimpit oleh beban.
Setelah Ayahnya terkena gelombang PHK saat Luh Sekar masih SMP, berbagai tanggung jawab sebagai anak tertua pun mendadak tersemat di atas pundaknya. Bahkan hingga bisa melewati SMA dan bekerja pun, Luh Sekar, masih harus tetap memikul semua kebutuhan Ayah, Ibu dan adik-adiknya. Impian untuk terbebas dan menata hidup diri sendiri untuk masa depan pun seperti impian yang jauh untuk direngkuh.
“Meme, Bapa, Iraga sampun ngayahin. Jani, lugrayang titiang negenehang masa depan Titiang pedidi” (Ibu, Bapak. Saya sudah membantu mengurus kalian. Sekarang izinkan saya menata masa depan saya sendiri). Sederet kata yang masih terkulum di lidah Luh Sekar. Entah kapan berani diutarakan kepada Bapak Ibu nya.
Menjadi Wanita Nan Abhipraya – Mutia Ramadhani
Blog Mutia adalah salah satu portal tulisan yang termasuk sering saya baca. Bahkan ketika pertama kali saya bergabung pada komunitas Happy Blogger, saya langsung terkesan dengan bagaimana cara Mutia merangkai kata serta kalimat yang sarat pengetahuan. Setiap saya selesai membaca tulisannya, terutama yang membahas tentang alam dan lingkungan atau review sebuah program, saya seperti baru kelar menghadiri kelas/sesi kuliah untuk 2SKS.
Jadi ketika Mutia, tanpa banyak waktu meng-iya-kan undangan saya untuk menjadi salah seorang penulis di Pondok Antologi Penulis Indonesia, saya merasakan girah dan semangat yang tak terbendung.
Saat itu saya langsung menduga bahwa Mutia setidaknya pernah terlibat pada dunia kepenulisan. Dan ternyata benar adanya. Meski Jaka Sembung Main Kelereng dari dunia akademik yang meluluskannya sebagai Sarjana Kehutanan, bergabung Mutia di Republika, telah menggiring kemampuan menulisnya menjadi matang dan berbobot.
Tulisan yang berjudul Menjadi Wanita Nan Abhipraya ini mengurai tentang perjalanan karir Mutia. Dari sembilan tahun berteduh dan sekolah di Republika hingga akhirnya menjadi seorang penulis yang sarat dengan prestasi. Menjadi penulis dengan semangat dan niat serius dan sekarang selalu meningkatkan kemampuan diri untuk menjadi seorang penulis yang kaya diksi.
“Hidup itu selalu dimulai dari frasa ‘tidak tahu’. Karena kita tidak mengetahui sesuatu, barulah kita berani melakukan sesuatu. Tidak ada yang bisa menjamin hidup kita ke depan lebih mudah, lebih asyik, hanya karena kita diterima pada bidang pekerjaan yang sesuai jurusan kita, atau kita mendapat pekerjaan yang kita inginkan”
“Siapa bilang kita hanya boleh mendapat penghasilan dari pekerjaan yang kita dambakan? Sejak kapan semua orang pasti menyukai setiap detik pekerjaannya? Ada masa dimana pekerjaan yang paling kita cintai sekali pun bisa berubah menjadi pekerjaan yang paling membosankan di dunia. Begitulah hidup, selalu memiliki dua sisi untuk menemukan keseimbangan.”
Satu lagi cuplikan yang maha penting dari tulisan yang dibuat oleh Mutia adalah :
“Hal yang tak boleh hilang dari seorang wanita adalah HARAPAN pada apa pun jalan hidup yang dia pilih. Jadilah WANITA NAN ABHIPRAYA, yang selalu memiliki harapan. Sebab harapan itulah yang menghidupkan dan yang sejatinya meletupkan semangat hidup kita.”
Si Kuper dan Minder Berubah Menjadi Super – Nanik Nara
Saat membaca naskah Nanik yang berjudul Si Kuper dan Minder Berubah Menjadi Super, saya sempat senyum-senyum sendiri.
Bagi sebagian orang, berbicara di depan umum memang sering menjadi masalah. Terutama untuk mereka yang rendah diri, memiliki ketakutan dan tekanan tertentu yang terjadi di masa lampau. Inilah yang membuat yang bersangkutan sulit untuk menegakkan kepala, percaya dan meyakinkan diri bahwa dia bisa menguasai audience di hadapannya.
“Saya ingin pergi jauh dari orang-orang yang tahu saya, bertemu dengan orang-orang baru yang tak pernah kenal saya sebelumnya. Saya berharap dengan ketemu orang-orang baru, di daerah terpencil pula, rasa minder saya akan pelan-pelan hilang.”
Begitulah kira-kira cita-cita dari seorang yang minder. Padahal ya, kalau mau memandang dari sisi obyektif, menghindar dari masalah biasanya justru melahirkan masalah baru. Tak akan pernah menemukan jalan untuk memecahkan masalah itu sendiri.
Nasib ternyata berkata lain. Alih-alilh menghindar dari pekerjaan yang menuntut Nanik untuk berhadapan langsung dengan orang banyak, Ibu tiga orang anak ini malah bekerja di satu tempat yang menuntutnya untuk mengajar. Cocok sudah. Akhirnya toh, dia harus menghadapi ketakutannya sendiri.
Meski sempat berkeringat dingin yang berlebihan hingga akhirnya pingsan, seiring dengan fase “memaksakan diri” untuk berlatih langsung, rasa minder itu pun perlahan surut dan berganti dengan hasil yang diharapkan. Nanik jadi lebih percaya diri dan sudah terbiasa bebicara di depan publik sesuai dengan tuntutan pekerjaan yang diembannya.
Practice makes perfect. Mungkin ini istilah yang tepat untuk cerita di atas ya. Segala sesuatu itu akan menjadi lebih baik jika kita terus berlatih. Semakin sering kita berlatih, mengasah kemampuan kita, niscaya hasilnya akan jauh lebih baik. Karena lewat proses berlatih itulah, kita menemukan banyak trik, tambahan pengetahuan yang sekiranya bermanfaat untuk mendukung skill yang sudah kita miliki.
Masa Lalu dan Kekuatan Untuk Move-On – Sari Eko Budi
“Dalam hidup jangan pernah merasa terlambat sama sekali ketika baru menemukan versi kita yang terbaik bahkan ketika berusia tak muda lagi. Hidup it tentang belajar, hidup itu tentang berproses. Jangan bertumpu pada hasil saja sebab hasil bisa saja didapat dari proses yang instan.”
Couldn’t agree more indeed.
Lewat tulisan Masa Lalu dan Kekuatan Untuk Move-on, Sari menceritakan tentang sosok Rana. Seorang anak perempuan yang sempat mengalami lakalantas semasa SD. Kejadian yang cukup parah sehingga fisik Rana mengalami banyak penurunan. Kondisinya yang lemah secara fisik, kemudian membawa Rana menjadi orang yang peragu dan mudah merasa tak nyaman berada di antara banyak orang. Dia akhirnya menjadi penyendiri dan hanya berkutat pada kegiatan mandiri saja.
Masa-masa remaja menuju dewasa kemudian diisi dengan cerita jatuh bangun dalam kehidupan. Banyak kegagalan dan juga kekecewaan. Satu sisi kehidupan yang begitu menguasai caranya berpikir. Tapi semua kemudian berubah seiring dengan pertambahan usia dan berjalannya waktu. Satu demi satu babak perjalanan hidupnya akhirnya bisa mengajaknya untuk berpikir lebih matang bagi masa depannya.
Saat kita menatap masa depan dan ingin menjadi lebih baik, teruslah berpikir dan bertindak layaknya ingin meraih semua yang terbaik. Kita akan sulit berkembang apalagi hanya meratapi masa lalu terus menerus. Ibarat mobil, kita harus terus menatap ke depan agar tidak menabrak orang atau kendaraan lain. Namun jangan lupa, agar kita menggunakan spion untuk melihat ke belakang agar di saat belok tidak berbenturan dengan kendaraan lainnya. Inti dari semua itu adalah, kita boleh mengenang masa lalu hanya sebagai motivasi agar ke depannya tidak melakukan kesalahan yang sama.
Mengorek Masa Lalu Untuk Masa Depan – Susi Ernawati Susindra
Saya tak tahan untuk membaca tulisan Susi berulangkali. Dari saat menerima materi mentah hingga akhirnya memutuskan untuk tidak melakukan editing apapun terhadap tulisan super berkualitas ini.
Topik tentang perempuan terentang dari awal hingga akhir. Rangkaian guratan dan pemahaman apik yang, menurut saya, bisa menjadi ensiklopedia buah pemikiran dari seorang Susi, seorang peneliti sejarah tentang perempuan dari kalangan non-kesejarahan. Dan gawean ini ternyata gak main-main loh. Karena pada 2017, Susi mendapatkan dana hibah senilai puluhan juta untuk melakukan penelitian, menghadapi uji petik, hingga akhirnya mampu melunasi tanggungjawab tersebut dengan menghadirkan sebuah buku di 2018. Saat dimana, usia kehamilan mencapai minggu ke-41 dan anak tercinta lahir.
Lewat tulisannya juga, Susi mengurai tentang ghost parenting, quarter life crisis yang pernah menimpa dan bersarang pada dirinya. Untungnya kesadaran akan pewarisan cara mendidik dan pola asuh orang tua yang cenderung membahayakan dan menurun pada dirinya akhirnya berbuah banyak perubahan.
Bergabung dengan komunitas yang memiliki misi mendidik perempuan yaitu Ibu Profesional dan bergerak geliat menjadi perempuan pendobrak mindset tentang keberadaan makhluk strata ke-2 setelah lelaki, membuat Susi, lagi-lagi menurut saya pribadi, mampu mempersembahkan diri sebagai orang yang kaya manfaat. Setidaknya bagi kaum perempuan.
Bacaan sarat nilai ini kemudian berujung pada sosok Kartini. Pendobrak pemikiran bahwa perempuan juga wajib mendapatkan pendidikan yang layak meski dalam keterbatasan. Kartini kemudian jadi role-model disamping tentu saja serangkaian perempuan-perempuan Indonesia lainnya yang berjuang dengan cara mereka sendiri.
Antologi Aku dan Masa Lalu dari Pondok Antologi Penulis Indonesia berhutang banyak pada Susi. Tulisannya bukan hanya berbobot tapi juga menyadarkan saya dan tentu saja pembaca buku ini, untuk menjadi saksi bagaimana seorang perempuan yang sidang uji etik di serambi belakang Pendopo Kabupaten Jepara ini, bergeliat membuktikan bahwa dirinya mampu menjadi seorang perempuan yang kaya kepribadian dan ilmu pengetahuan.
Ada beberapa kalimat dan paragraf makjleb yang sekiranya patut saya bagikan. Semoga bisa menjadi tambahan ilmu bagi siapapun.
“Krisis-krisis seperempat abad memang nyata adanya. Biasa terjadi pada usia 20-35 tahun. Beberapa orang akan kepayahan menyelesaikannya, dan jika tetap menjadi hantu yang membayangi keseharian, bahkan bisa menjadi rabun yang maha dahsyat, yang menjadi penyebab beberapa kejadian fatal seperti bunuh diri, atau bahkan membunuh anaknya sendiri sebelum bunuh diri.”
Tanpa sadar saya menelan ludah dan mengangguk dalam kesendirian. Ini nyata adanya. Bahkan peristiwa seperti ini sering kita baca di beberapa media. Betapa sebuah tekanan (fisik dan batin) pada perempuan, bisa menimbulkan efek yang sangat membahayakan.
“Sudah sejak ribuan tahun lalu patriarki memasuki setiap sendir kehidupan. Bersama modernisasi yang terjadi, penguasaan laki-laki atas perempuan lebih tersamar, namun tetap mendominasi. Meski ada sejuta perempuan berprestasi, namun ada puluhan laki-laki yang masih lebih diunggulkan di kesempatan pertama karena ada satu pemakluman berjamaah, bahwa jika memilih antara pekerjaan dan rumah, seorang perempuan akan selalu memprioritaskan yang kedua terlebih dahulu.”
Ada yang menyanggah atau ingin menyanggah? Kalau saya sih tidak.
“Saya mempunyai kesimpulan garis besar sejarah perempuan adalah : menjadi partner pada masa berburu dan meramu, diberi kesempatan memimpin pada masa kerajaan Majaphati sampai era kejayaan Islam pertama, tak banyak berperan di masa VOC, dipingit setelah Perang Diponegoro, dibebaskan sejak ada Politik Etis, dijadikan partner saat perjuangan kemerdekaan, di-kuntilanakwangi-kan pada masa awal Orba, dan akhirnya di-ibuisme-kan dan akhirnya kembali bebas pada tahun 1970-an sampai sekarang.”
Untuk “paragraft berat” yang satu ini, sepertinya mendorong saya untuk berdikusi secara langsung dengan Susi. Sungguh suatu kesimpulan yang menantang saya untuk lebih menggali makna dari setiap kata. Ke-ingintahu-an saya bergeliat dan meminta untuk dituntaskan.
Kapan kita bisa ketemu langsung Susi?
Baca Juga : Memahami Anggi Lewat Bersemi di Mentari
Terpahat Luka – Annie Nugraha
“Cinta adalah misteri. Betapapun engkau jatuh bangun mencintai seseorang, teramat sangat ingin merengkuhnya, dia tak akan pernah menjadi milikmu ketika takdir menghendaki sebaliknya.”
Misteri inilah yang saya coba hadirkan dalam tulisan Terpahat Luka untuk antologi Aku dan Masa Lalu yang menjadi gawean perdana dari Pondok Antologi Penulis Indonesia.
Jatuh bangun membangun asa, Sasha justru terjerembab dua kali dalam impian membangun sebuah rumah tangga. Keduanya berakhir dengan tragis. Pertama tersandung karena perbedaan agama, suku dan adat. Kedua kembali gagal karena perselingkuhan. Klise. Tapi pada kenyataannya hal seperti ini terjadi pada Sasha. Seorang perempuan karir yang sukses dan sesungguhnya tidak memiliki mimpi yang neko-neko tentang sebuah hubungan.
Cerita tentang hubungan kedua diwarnai dengan banyak kejutan. Meski pada awalnya Sasha sempat menolak usaha Daniel untuk bersemayam di hatinya, tapi akhirnya kesan mendalam lah yang mendorong gadis duapuluh-an itu untuk menerima kehangatan hati Daniel. Tapi ternyata, dibalik keindahan romansa yang terbangun, Daniel justru menyembunyikan sesuatu yang tidak terduga. Dia menghilang seiring dengan lunturnya cinta diantara mereka.
Kemudian hadir juga seorang tokoh lelaki bernama Jessy yang membuat Sasha terpana. Akankah lelaki ini menjadi pelabuhan terakhir cinta seorang Sasha?
Perjuangan Terakhir – Annie Nugraha
Perjuangan terakhir adalah tulisan ke-2 saya dan tulisan penutup untuk buku antologi Aku dan Masa Lalu.
Sebuah cerpen yang diangkat dari kisah pribadi seorang Ibu muda bernama Dessy yang terjadi pada pertengahan Juli 2000. Saat dimana dia sedang menikmati masa cuti melahirkan anak sulungnya.
Tanpa disangka dan diduga, sebuah kejadian di luar nalar pun tak pernah terduga terjadi di waktu itu. Yazeed, sang adik, yang selama ini bekerja di Sampit, Kalimantan Tengah, mendadak berkabar bahwa dia akan segera menikah dengan seorang perempuan asli sana dalam rentang waktu dekat. Berita yang membuat shock orang tua yang sudah lama tidak mendengar kabar berita dari si bungsu ini. Apalagi mengetahui bahwa Yazeed sudah memiliki kasih dan berhubungan serius.
Keanehan demi keanehan pun menyeruak. Begitupun serangkaian kejadian yang tak masuk akal. Mulai dari kehadiran sesosok wajah dengan tampilan menyeramkan hingga tak satupun makanan yang dimasak di dalam rumah bisa dikonsumsi. Basi tanpa sebab. Ada sebuah kekuatan diluar nalar yang bermain di sana.
Keluarga menjadi gelisah hingga akhirnya terpaksa mengambil langkah-langkah yang tak pernah terpikirkan bakal dilakukan. Berkat bantuan seseorang yang disegani, Uda Amin, satu persatu teluh yang mengikat Yazeed pun dilepaskan dan dihempaskan.
“Serangkaian pengalaman ini saja sudah membukakan mata saya tentang makna hidup. Nyatanya, ibadah dan kebaikan kita bisa kok mengalahkan kemungkaran. Meski saya orang biasa, tak punya kemampuan seperti Uda, saya yakin Allah akan melindungi saya”
Saya, Antologi Aku dan Masa Lalu, dan Pondok Antologi Penulis Indonesia
Kelahiran buku antologi Aku dan Masa Lalu dari sebuah komunitas menulis yang belum lama berusia satu tahun ini, sudah mengajarkan banyak hal yang berarti dalam hidup saya. Pelajaran berharga yang tak dapat dinilai dengan uang baik bagi sisi pribadi maupun karir saya sebagai penulis.
Semua yang terjadi selama proses kelahirannya sendiri, bagi saya, telah menghadirkan sejarah istimewa dengan berbagai noktah yang menguji mental dan kualitas diri sendiri. Alhamdulillah atas seijin Yang Maha Kuasa dan semesta, jejak-jejak itu tersusun satu persatu hingga akhirnya menemukan titik akhir dan muaranya.
Saya ingin mengucapkan terimakasih yang mendalam kepada semua penulis, Mutia Ramadhani, Ida Tahmidah, Mina Megawati, Nanik Nara, Sari Eko Budi dan Susi Ernawati Susindra yang sudah mempercayakan naskah-naskahnya untuk menjadi bagian dari karya perdana, si anak sulung dari Pondok Antologi Penulis Indonesia.
Terimakasih juga untuk Fakhriah Ilyas dari Elfa Mediatama yang sudah berusaha dengan sekuat tenaga membantu saya mewujudkan buku ini, menemani saya membidani kelahiran “anak pertama” yang sudah ditunggu lebih dari enam bulan lamanya.
Semoga buku antologi ini menjadi langkah awal yang baik dari sekian banyak langkah-langkah kedepan yang akan dijejak oleh Pondok Antologi Penulis Indonesia. Mari kita terus bergandengan tangan menjadi penulis yang semakin bermanfaat dan bersumbangsih pada perkembangan dunia literasi di Indonesia.
Tak ada yang tak mungkin jika kita sungguh-sungguh berusaha.
Berbicara tentang masa lalu, khususnya tentang hal yang meninggalkan mimpi yang mengganggu hidup seseorang, seringkali kita butuh konsultasi psikiater untuk memecahkan masalah. Karena dengan ditangani oleh seorang professional dalam bidangnya, kita juga dapat cek kesehatan mental sembari melepaskan semua beban pikiran tersebut. Dengan cara ini apa yang menjadi ganjalan hidup bisa tertangani dengan baik tanpa harus memunculkan luka yang lain.
Selamat ya, yuk.. Membindani lahirnya sebuah antologi itu rasanya emang nano-nano banget yaa.. 😊
Sukses untuk antologi barunya. Dan sukses untuk Pondok Antologi Penulis Indonesia.
Pengalaman nano-nano yang luar biasa pokoknya. Tapi alhamdulillah telah terlewati. Lega saat buku antologi AKU DAN MASA LALU akhirnya benar-benar bisa lahir sebagai anak sulung Pondok Antologi Penulis Indonesia. Terimakasih untuk support dan doanya ya Di.
Keren nih udah bisa mengurus komunitas penulis. Memang mengurus banyak orang itu sebuah tantangan tersendiri, ya. Syukurlah bayarannya berupa lahirnya banyak karya keren seperti ini.
Bener banget Mbak Farida. Emosi naik turun tapi harus tetap dijaga. Tantangan tersendiri itu. Alhamdulillah akhirnya semua rampung dengan baik
Aku sudah baca bukunya…. Kelihatan banget ya kalau Mbak Annie ini perfeksionis, hehehe…. Salut deh buat Mbak Annie dan tim. Aku bacanya sampe merinding… Aku nyesel kenapa dulu gak ikut, padahal sudah punya konsep mau nulis apa. Tapi ya itu… waktunya yang gak ada…. Semangat ya Mbak…. Next, kalau pas rejeki, aku ikut
Iya Mas Taufiq. Banyak juga yang ngomong gitu. Sampai titik koma pun saya urusin hahahaha. Itu aja masih ada yang kelewat. Tetap ada typo hahahaha. Yok Mas, ikutan project buku berikutnya ya. Ditunggu partisipasinya
Jujur saya pribadi sangat suka buku Antologi, mulai dari cerita jenaka, sampai cerita yang penuh makna. Hehehe
Selamat ya kak Buku Antologi Aku dan Masa Lalu nya launching. Jadi pengen baca juga…
Kapan-kapan boleh deh sharing soal buku antologi. BTW aku juga punya satu buku antologi judulnya: “Merajut Hikmah”. Buku ini berisi 30 cerita inspiratif yang ditulis oleh 30 mahasiswa muslim di Taiwan.
Itulah uniknya buku antologi Mbak Ida. Dalam satu buku kita bisa menikmati gaya cerita yang beragam meski memiliki satu teman yang bersamaan.
Yuk Mbak, sini saya review bukunya. Jasanya gak mahal kok. 250K/buku sudah termasuk tulisan di blog saya ini plus promo di IG saya @annie_nugraha
Membidani sebuah buku antologi tentu tidak mudah ya mbak
Pasti banyak pengalaman berharga yang didapatkan
Semoga proyek antologi ini sukses mbak, dan menebar banyak manfaat bagi sesama
Aamiin YRA. Terimakasih untuk doa baiknya Mbak Dian. That means a lot indeed
Kalau gak salah ingat, nama “rumah antologi” udah ada. Jadi dengan menggunakan nama Pondok Antologi adalah pilihan wokeh sih menurut daku.
Semoga antologi tentang masa lalu ini jadi pelecut buat siapa saja, agar bisa move on menatap masa depan dan memberikan khasanah baru
Aamiin YRA. Terimakasih untuk doanya ya Fen. Menjadi manfaat adalah sebaik-baiknya seseorang/sesuatu.
Alhamdulilah
Selamat ya Mbak Annie, sukses meluncurkan buku antologi :Aku dan Masa Lalu
sayang gak bisa ikut gabung, semoga bisa ikutan sukses dengan teman-teman yang lain
Terimakasih Mbak Maria. Semoga bisa ikut project berikutnya ya
Selamat akhirnya setelah melalui proses panjang kelar juga buku antologi mengenai aku dan masa lalu. Belajar dari masa lalu buat move on
Masa lalu tidak semuanya indah tapi nano nano. buku ini jadi pelajaran buat move on masa lalu
Selamat atas kelahiran karya terbaru, Mba ^^
Sukses untuk buku antologi ‘aku dan masa lalu’ bersama teman-teman pondok antologi penulis Indonesia, semoga bisa menebar kebaikan dan semangat berkarya…
benar-benar menginspirasi, Mba :-)
Aamiin YRA. Terimakasih untuk doa baiknya Mbak Cindi
Masyaallah Mb Annie, lahirnya PAPI bukti bahwa doa terjawab cepat tapi penuh lika-liku ya mb. Aku salut bisa mewadahi penulis2 jempolan, beberapa teman blogger tsb ada yg aku kenal, keren2 semuanya. Dengan kisah masa lalu yg beda2 tapi punya arti masing2. Sungguh membuat pembaca penasaran di tiap lembar kisah penulisnya. Good luck ya mb dan tim PAPI :)
Makasih untuk complimentnya Mbak Mei. Semoga buku Aku dan Masa Lalu ini membawa manfaat dan Pondok Antologi Penulis Indonesia selalu bisa berkarya dan melahirkan banyak buku kedepannya.
Selamat dan sukses untuk lahirnya “Pondok Antologi Penulis Indonesia”.
Aku selalu yakin, kak Annie dengan komitmen dan kecintaannya di dunia literasi pasti bisa menghasilkan dan menyebarkan virus literasi dengan bahagia.
Rasanya seperti mimpi yaa, kak Annie.
Barakallahu fiikunna.
Semua penulis yang masuk dalam antologi Aku dan Masa Lalu pastinya sangat menginspirasi dan menjadi jalan pembuka untuk pembaca agar lebih memahami dirinya sendiri dan bisa mengambil hikmah terbaik dari kisah-kisah yang disajikan penulis.
Terimakasih untuk complimentnya Lendy. Semoga Pondok Antologi Penulis Indonesia bisa terus berkarya, melahirkan banyak buku antologi yang berkualitas dan bermanfaat bagi dunia literasi di Indonesia.
Jujurly ya, aku itu bener2 gak meragukan tulisan kak Annie Nugraha ya, dari dulu heran kalo bikin tulisan selalu nampak totalitas, segi kebermanfaatannya muncul dan saat kubaca tulisannya bikin ketagihan. Ini beneran lho.
Apalagi buku Antalogi ini dibuat oleh banyak penulis dan blogger yang sudah pengalaman di atas, pastinya nyawa bukunya akan makin terasa, pasti berbobot ya…
Ditunggu karya2 lainnya kak, sukses untuk buku besutan yang dibidaninya ya…aamiin.
MashaAllah terimakasih untuk complimentnya. Begitu pun dengan tulisan Mas Wahid. Selalu berbobot dan melahirkan banyak insight baru untuk para pembaca. Keep writing Mas Wahid. Terimakasih juga untuk doa-doa baiknya untuk saya dan Pondok Antologi Penulis Indonesia.
wah selamat atas kelahiran bukunya… masa lalu memang cukup seru untuk dibicarakan dan dibahas karena mengandung banyak pelajaran hidup yang bisa dipetik dan dibagikan.
Bener banget Mbak. Berbagai cerita bisa diangkat dari masa lalu
Alhamdulillah, walau jalannya berliku, sampai juga ditujuan ya mbak. Buku antologi pertama sudah terbit, semoga membawa manfaat untuk para pembaca.
Semoga segera di susul lahirnya buku-buku dengan tema lain
Aamiin YRA. Terimakasih untuk supportnya Mbak Nanik. Semoga kemudahan melahirkan buku-buku berikutnya menjadi milik Pondok Antologi Penulis Indonesia.