Beberapa hari sebelum berangkat ke Bali, saya mengontak Dwi Widodo, salah seorang teman penulis, untuk menemani saya berkunjung ke Karangasem Bali. Bertahun-tahun merantau dan hidup di Bali, Dwi seringkali jadi sumber referensi saya. Dia pun sigap membuat daftar kunjungan dan memasukkan Desa Adat Tenganan Pegringsingan di dalam rincian itinerary. Saya pun bersemangat apalagi sempat sekilas membaca tentang desa adat ini lewat berbagai tautan. Terpampang banyak foto mewakili rangkaian harmoni kehidupan yang tidak beranjak dari kesederhanaan.
Saya baru saja selesai berkunjung ke Desa Kusamba di Klungkung saat mulai terkantuk-kantuk duduk di kursi tengah mobil yang saya sewa. Panasnya udara membuat saya berkeringat deras dan berulangkali minum untuk melegakan tenggorokan yang terus terasa kering. Sebotol teh tawar dingin langsung habis saya telan tadi di Desa Kusamba, sebelum berangkat ke Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem dimana Desa Adat Tenganan berada.
Sekitar satu jam kemudian, melewati jalan menembus beberapa desa dan banyak lahan hijau yang bertebaran, sebuah lahan berbukit menyambut kedatangan saya. Langkah-langkah penuh rasa penasaran pun mengiringi. Di area penyambutan tamu ini ada sebuah tanah lapang kecil yang dikelilingi oleh pepohonan dan dua bangunan berderet di sisi kanan. Keduanya terbuat dari kayu. Bangunan di bagian depan berbentuk memanjang, berisikan puluhan foto yang luar biasa indahnya. Jepretan professional yang saya yakin diambil oleh para photographer yang taste of capture nya ciamik tak terkira. Semua menyajikan sisi humanis dan derap kehidupan masyarakat di Desa Adat Tenganan yang terekam dengan sentuhan hitam putih dan berwarna.
Saya tergugu dan terdiam dalam rangkaian kekaguman. Sebagai seorang pembelajar dan penyuka photography, menyimak sajian yang ada di rumah kayu ini, saya melihat banyak sudut foto yang begitu lihai tertangkap lensa. Cerita tentang Desa Adat Tenganan banyak terwakili oleh foto-foto human interest yang tampak begitu natural. Mulai dari kain tenun double ikat Gringsing lengkap dengan baju adat Bali. Sebuah upacara yang melibatkan para lelaki seperti tradisi Perang Pandan (Mekere-kere) yang rutin diadakan sekali dalam setahun, yaitu saat sasih kelima dalam kalender Bali. Kebersamaan dan ritme hidup para warga desa. Keindahan bangunan-bangunan yang ada di dalam desa. Dan masih banyak lagi. Semua seakan menjadi jejak berharga bagi para pewisata untuk lebih dulu mengenal Desa Adat Tenganan lewat rangkaian photography sebelum masuk ke keseluruhan kawasan desa yang luasnya ratusan hektar.
Dari foto-foto ini saja, kesempurnaan harmoni penduduk desa sudah terasa merasuk jiwa. Semesta nyatanya mengizinkan saya menginjakkan kaki di Desa Adat Tenganan yang dijuluki sebagai Desa Bali Aga atau Bali Mulia (zaman Pra Hindu), satu dari ribuan desa kuno yang ada di Bali yang juga berstatus Bali Aga/Bali Mulia seperti Trunyan dan Sembiran. Desa yang masih mempertahankan pola hidup yang tata masyarakatnya mengacu pada aturan tradisional adat desa yang diwariskan oleh nenek monyang mereka. Bentuk dan besar bangunan serta pekarangan, pengaturan letak bangunan, hingga letak pura dibuat dengan mengikuti aturan adat yang secara turun temurun dipertahankan dan dilestarikan dengan sebaik-baiknya.
Selain foto-foto human interest tadi, ada juga beberapa informasi lengkap tentang Desa Adat Tenganan. Bentuknya seperti denah atau layout bangunan dari keseluruhan desa seluas 917.2 hektar. Denah ini berisikan tata letak atau aturan pembangunan rumah penduduk yang berada di balik dinding tinggi dan tidak bisa kita lihat langsung dari luar, serta informasi singkat tentang desa secara umum. Sebagian besar data-data tersebut bisa juga kita dapatkan di Wikipedia, liputan para journalist dari berbagai media on-line dan website resmi Pemerintah Kabupaten Karangasem.
Dari layout keseluruhan desa yang tertera di pusat informasi ini, saya menghitung ada sekitar 56 (lima puluh enam) jenis bangunan dan fasilitas yang sudah berdiri puluhan bahkan mungkin ratusan tahun yang lalu. Diantaranya adalah pura, bale, sanggah uduan, wantilan (bale masyarakat), ayung (bali jineng), paon, kayehan, peken, patus, perimpenan, lpan, kantor pebekel, museum, rumah panitia, Sekolah Dasar, rumah guru, WC umum, karana nini mangku, Taman Kanak-kanak, pasar desa, kios/artshop, parkir umum, kiran umum dan lawangan.
Di samping gallery photo ini, ada sebuah rumah karcis yang dijaga seorang petugas. Jika di tempat wisata lain ada angka tertentu sebagai HTM, di Desa Adat Tenganan sifatnya donasi seikhlasnya. Kita tinggal mengisi data pribadi di sebuah buku tamu dan menuliskan nilai donasi kita. Donasi tersebut bisa kita masukkan ke dalam sebuah kotak layaknya celengan yang berada persis di sebelah buku tamu.
Boleh juga idenya ya. Siapa tahu ada wisatawan yang berkenan memberikan dana lebih untuk menjaga kebersihan dan kelestarian desa. Ah dugaan saya tidak meleset. Saya sempat melihat nama-nama asing yang memberikan donasi lebih dari Rp500.000,00 bahkan ada yang mencapai jutaan rupiah di list pengunjung yang datang sebelum saya.
Mengesankan.
Menjejak Kenangan Sepanjang Perjalanan
Melewati sebuah taman kecil dengan patung tiga ekor kerbau, pepohonan rindang, dan tempat mencuci tangan, saya dan Dwi melangkah pelan memasuki kawasan desa. Saya berdiri di tengah titik terujung desa dan menghamburkan pandangan. Di depan mata terlhat sebuah desa wisata yang terhampar memanjang dengan sederetan rumah hunian di sisi kanan dan kiri dengan serangkaian bale-bale yang berada di tengah. Pijakan jalan dilengkapi dengan bebatuan dan rerumputan yang tampak menipis karena diterpa panasnya sinar mentari. Terlihat jalur menanjak yang berundak di setiap sekitar 100 hingga 200an meter.
Saya sempat gentar karena pastinya butuh perjuangan untuk berjalan mendaki, melewati sekian panjang jejak langkah yang tidak terlihat ujungnya. Sementara udara panas semakin menjadi-jadi. Saya meyakinkan diri. Setidaknya mencoba hingga di titik mana saya bisa bertahan.
Beberapa langkah dari tempat saya berdiri barusan, sebuah kesibukan sedang terjadi. Saya melihat beberapa meja diletakkan di bawah pepohonan besar. Di sana terlihat beberapa wisatawan asing yang mengerumuni beberapa orang pekerja seni yang membuat lukisan dan tulisan di atas daun lontar. Mereka duduk rapi dan menampilkan beragam hasil karya dalam beberapa media. Ada yang berbentuk kipas, hiasan dinding yang bisa dilipat, dan masih banyak lagi.
Saya mendekat dan sempat menguping pembicaraan mereka. Terbiasa ngobrol dengan turis yang berasal dari berbagai negara membuat para pelukis ini tampak terlatih berbicara dalam bahasa tertentu, meski hanya berupa potongan-potongan kata. Tapi tetap semuanya berakhir dalam bahasa Inggris. Ada yang berusaha menjelaskan tentang proses pengerjaan tapi ada juga yang mengurai tentang penanggalan dalam budaya Bali serta beberapa karakter manusia yang ditampilkan di setiap media, khususnya di hiasan dinding tersebut. Ada tamu yang kemudian membeli tapi ada juga yang kok kedengarannya curcol. Saya dan Dwi tersenyum simpul. Mendengar keluwesan para Bli bercerita, bertukar pikiran, dan bernegosiasi dalam bahasa asing, saya turut berbangga. Setidaknya penyampaian pesan lewat komunikasi yang efektif menjadikan Desa Adat Tenganan di Karangasem Bali ini akan memberikan kenyamanan bagi banyak wisatawan.
Tak jauh dari meja-meja yang baru saja saya lewati ini, saya tergelitik untuk memperhatikan banyak kandang ayam tutup yang terbuat dari bambu. Tingginya mungkin sekitar 90cm dan hanya ditaruh di atas tanah dengan satu ayam jago per kandang. Kandang-kandang tersebut berjejer, diletakkan berdampingan satu sama lain, dan terdengar berisik. Ayam-ayam yang terkurung di dalamnya terlihat besar-besar dengan fisik tubuh yang kokoh dan suara yang nyaring. Jenggernya pun melambai tebal, bulu yang terlihat bersih, buntut yang panjang, dan tentu saja taji di kaki yang mencorong ke atas. Visualnya tampak seperti ayam petarung.
Saya mendadak teringat dulu saat masih SMP. Saya pernah diberikan seorang paman (adik ibu) dua ekor ayam petarung yang nauzubillah pemberaninya. Bahkan ayam-ayam sering menyerang saya dan semua orang rumah saat akan keluar kamar mandi. Patokannya lumayan menyakitkan. Jadi saya sering harus ngitip dulu saat akan keluar kamar mandi dan berlari terbirit-birit menuju kamar tidur.
Di belakang meja-meja yang berjarak satu sama lain tersebut, saya bisa melihat rumah yang tersusun sesuai dengan aturan adat yang berlaku turun temurun. Polanya sudah ditentukan dan tidak boleh dirubah hingga kini. Di dalamnya terdapat bale, jelanan awang, paon/pawon (dapur), jelanan teba, lesung, jalikan, sanggah, natah, dan delod paon (kamar mandi). Di bagian depan rumah ada tangga masuk yang menyatu dengan atap. Pola tentang rumah di Desa Adat Tenganan ini saya baca saat berada di pondokan yang menghadirkan banyak karya foto tadi.
Rumah yang ada di bagian depan ini bisa terlihat dari jalanan luar. Tapi setelah itu rangkaian rumah ini sudah dibatasi oleh tembok. Keadaan dan suasana yang mirip dengan apa yang bisa kita lihat saat berada di Desa Penglipuran. Jadi sepanjang melangkah menelusur jalan menanjak yang ada, rumah-rumah penduduk ini tidak terlihat dari luar. Di setiap pintu rumah hanya terlihat tangga yang langsung terhubung dengan pintu masuk.
Tentang Bali : Desa Penglipuran. Satu dari Sepuluh Desa Terbersih di Dunia
Tentang Bali : Saat Desa Penglipuran Mengizinkan Saya Kembali
Beberapa rumah yang saya lewati tampak juga difungsikan sebagai toko kecil (artshop) yang menawarkan berbagai produk kreatif dan kain Gringsing. Tapi kita perlu mengintip sedikit atau masuk ke dalam rumah sekalian untuk melihat materi jualan tersebut. Di beberapa tempat saya juga melihat meja-meja lain yang menghadirkan ukiran lewat media kayu dalam bentuk telur, topeng, karakter berbagai jenis hewan, dan hiasan dinding yang saya lihat di awal tadi. Salah satu diantara tempat tersebut malah menawarkan pengunjung untuk menyaksikan proses pembuatan kain Gringsing.
Saya awalnya tertarik untuk masuk ke salah satu rumah untuk melihat demo proses pembuatan kain Gringsing. Tapi mengingat bahwa saya harus ke dua tempat lagi yang lumayan jauh dari Tenganan, saya memutuskan untuk melanjutkan langkah saja.
Menyusur jalan setapak yang cukup lebar dan menanjak, saya sempat berhenti menatap beberapa bale besar memanjang yang berbentuk persegi panjang. Dibangun di atas tumpukan batu-batu besar, rangka kayu, dan atap yang terbuat dari rumput alang-alang yang sudah menua, bale ini tidak bisa kita akses sembarangan. Dari info yang saya dapatkan, bale besar seperti ini biasanya baru dibuka dan digunakan saat warga mengadakan hajatan tertentu saja. Dan ini terbukti saat saya berjalan pulang. Salah satu bale yang berukuran besar tadi kemudian sudah dipadati oleh warga desa laki-laki yang sepertinya sedang bersiap-siap untuk mengikuti sebuah rangkaian upacara adat.
Saat saya ngaso di salah satu bale kecil dengan dudukan yang membuat saya harus berjungkit dan dengan posisi yang lebih tinggi dari bale besar tadi, saya merasakan sebuah harmoni kehidupan bersahaja yang bakalan jarang saya nikmati. Dengan posisi duduk yang lumayan tinggi, saya bisa menebarkan pandangan ke arah saya datang tadi. Sebuah jalan panjang yang sudah saya lewati sembari mengobrol asyik dengan Dwi.
Suasana sepi bergelayut di tengah cuaca panas yang masih menguasai di kawasan Desa Adat Tenganan, saat saya melihat beberapa kejadian menarik yang cukup seru untuk dilamati. Diantaranya adalah dengan ajakan spontan seorang warga desa kepada seorang wisatawan lelaki dari luar negeri yang tampak begitu excited saat diberikan kesempatan memanggul dua kandang ayam yang terbuat dari bambu yang saya tadi lihat di awal. Dengan bilah panjang bambu untuk ditaruh di bahu, sang wisatawan tampak cerah ceria memanggul dua kandang ayam di setiap ujung bilah bambu dan sebuah kandang di tangan kiri. Seru banget keliatannya. Kesempatan yang unik pastinya. Si bule pun tampak semringah saat difoto dan divideokan.
Alih-alih melihat si lelaki bule yang good looking itu, saya malah salfok sama seekor ayam yang kandang dia panggul. Seekor ayam jantan tinggi besar dengan warna bulu yang jarang sekali bisa saya lihat. Gabungan antara kuning, merah pupus, oranye, dan putih. Sekujur tubuhnya terlihat begitu menarik dengan postur tinggi besar yang menjanjikan. Kalau saya jadi ayam betina, mungkin akan langsung naksir sama si kuning ini (ngekek).
Saya tersenyum simpul sembari minta izin untuk merekam sang bule di handphone saya.
Saya juga sempat menyaksikan empat orang wanita muda yang berdandan cantik mengenakan kain Gringsing dengan warna dan motif senada. Mereka duduk di sebuah bale-bale dan dipotret oleh satu tim media dengan peralatan canggih. Woaah saya membayangkan hasil foto dan videonya pasti keren maksimal. Tak ingin melewatkan momen, saya pun turut merekam gadis-gadis yang sudah tampil all out ini. Wajah khas perempuan asli pribumi mereka pasti bisa melahirkan rangkaian produk dokumentasi yang begitu indah dan berharga untuk dikenang.
Ah, saya jadi tersentuh. Semoga suatu saat saya mendapatkan kesempatan atau proyek photography yang sama.
Yok lah kita lanjutkan menyusur desa.
Garing dengan panasnya mentari, saya memutuskan untuk duduk di bawah pohon besar di mana ada seorang ibu lansia berjualan aneka minuman di gerobakan. Saya dan Dwi memesan teh botol dingin sembari mengobrol tentang banyak pengalaman Dwi saat dulu pernah ke Desa Adat Tenganan dan berinteraksi dengan salah seorang pelukis lontar. Perajin yang pernah diajak oleh pemerintah setempat untuk mensosialisasikan kerajinan tersebut di luar Bali.
Sembari ngobrol panjang kali lebar, saya menyaksikan segerombolan anak-anak muda berseragam (sepertinya anak sekolahan) yang sepertinya sedang melakukan tugas sekolah. Kegembiraan yang diungkapkan lewat obrolan mengajak saya untuk menyadari betapa jarak generasi sudah melalui hidup saya. Tapi tetiba saya mengingat bahwa saat seumuran mereka saya juga riang gembira berkegiatan seperti ini. Apalagi datang ke tempat yang sarat dengan catatan sejarah dan memiliki cerita yang akan lestari sepanjang masa.
Melangkah Pulang dengan Sukacita
Saya meninggalkan Desa Adat Tenganan Pegringsingan, Karangasem, Bali, dengan langkah pelan. Meski belum seluruh kawasan desa saya telusuri karena memang terlalu luas, sementara saya hanya punya waktu terbatas, pengalaman barusan sungguh berkesan di hati. Kedamaian dan harmoni yang terbangun di desa Tenganan sudah memberikan torehan memori yang istimewa di hati.
Sungguh tak mudah mempertahankan adat istiadat warisan leluhur sementara modernisasi dan perkembangan zaman berjalan berdampingan dengan kita. Tapi begitu melihat para lelaki bertelanjang dada, mengenakan udeng, berkain Gringsing, berkumpul bersama, dan bersiap-siap untuk menghadiri sebuah atau mungkin serangkaian upacara, saya mendadak ikut merasakan bahagia. Rasa dan suasana kebersamaan yang diisi dengan gelak tawa, seakan membuktikan bahwa para lelaki warga desa tersebut, menikmati waktu-waktu bernilai yang saat itu mereka miliki.
Lewat sebuah tautan, saya bahkan sempat membaca bahwa, pernikahan yang diizinkan oleh hukum adat (awig-awig) di desa Tenganan adalah perkawinan Endogami. Sebuah perkawinan antar anak keturunan warga desa yang tujuannya adalah melestarikan budaya leluhur agar keterikatan dalam perkawinan bisa mempertahankan status sosial tinggi para warga, berhak terus menempati tanah desa serta kekayaan yang dimiliki di dalam desa tersebut. Dengan perkawinan Endogami, seorang lelaki dan perempuan di desa ini bebas dari sanksi adat yang sudah berlaku berabad-abad lamanya. Kelahiran, hidup, dan kematian mereka adalah untuk kemuliaan desa mereka.
Layaknya sebuah desa wisata, di sisi luar kawasan, bersamaan dengan area parkir kendaraan, ada banyak kios yang menawarkan banyak buah tangan. Tempatnya lapang banget. Seandainya dilengkapi dengan cafe atau warung kopi, keknya bakal betah nongkrong di situ sembari mengistirahatkan kaki sejenak sebelum melangkah ke beberapa tempat lain.
Next visit sepertinya saya pengen tuh berfoto mengenakan baju adat Bali atau dengan lilitan kain Gringsing yang warnanya saya suka banget. Dan semoga juga bisa punya waktu khusus ke sini sehingga bisa menelusur, setidaknya 1/3 kawasan sembari menyaksikan demo proses pembuat kain tenun Gringsing yang adalah salah satu warisan wastra nusantara yang sangat bernilai.
Perjalanan yang menyenangkan bu Annie bisa melihat pembuatan kain Gringsing, dan menjelajah ke hal lainnya. Dan apiknya pula, dengan informasi donasi untuk kebersihan di sana yang menurut saya bagus sih itu, para donaturnya keren dalam berdonasi ya, jadi bisa sekalian mendukung juga petugas di sana untuk semangat melestarikan lingkungan, serta pengunjung juga pastinya jangan lupa menjaga kebersihan
Sayangnya karena keterbatasan waktu saya belum sempat menyaksiksan demo pembuatan kain Gringsing. Semoga bisa melakukan hal ini di kunjungan berikutnya.
Cakeeepp ceritanya!
Aku pengen balik lagi Dwi. Datang lebih pagian supaya bisa menyusur 1/3 kawasan desa dan menyempatkan diri melihat demo pembuatan kain Gringsing. Kudu diulang nih.
Yuk Annie! Seger ya liat pemandangan plus bule bule berparas elok qiqiqii…
Wah, baca artikel ini rasanya seperti diajak jalan-jalan langsung ke Desa Adat Tenganan Pegringsingan. Harmoni antara budaya, alam, dan kehidupan masyarakatnya benar-benar terasa, ya. Kagum banget sama cara mereka menjaga tradisi sambil tetap selaras dengan lingkungan.
Foto-fotonya juga cantik banget, as always yuk! Jadi makin penasaran pengen merasakan langsung suasananya. Terima kasih sudah berbagi cerita indah ini, benar-benar inspiratif. 🌺✨
Dirimu pasti betah kalau diajak ke sini Tan. Bisa menikmati setiap sudut desa sambil motret dan dipotret. Kudu datang pagi-pagi banget supaya bisa menjelajah 1/3 kawasan desa. Aaahhh next time kudu mempersiapkan waktu yang lebih lowong.
Bali memang selalu punya sejuta cerita. Seru banget pengalamannya mbak, ditunggu ya cerita berikutnya yg pake baju adat ☺
Betul banget Mbak Diah. Gak habis-habis rasanya menyusur setiap sudut Bali. Perlu, mungkin, bertahun-tahun untuk benar-benar merasakan indah dan uniknya Bali dari jarak dekat.
Perjalanan keren yang banyak memberi informasi serta wawasan nih…
Tradisi Bali itu sangat indah, gak membosankan ya…
Btw, melihat ciri-cirinya kemungkinan itu ayam pelung. Saya juga punya, gitu deh sering dijemur, dikandang sendiri, dan penampakannya emang gagah
Bener Teh Okti. Menyaksikan satu tempat yang langka kita nikmati juga adalah sebuah berkah. Kita gak cuma mengisi hati tapi juga mengenal sekian banyak cerita kehidupan yang dimiliki orang lain.
Aahh iyaaa. Ayam Pelung ya. Kalau saya jalan dari Cipanas ke Cianjur tuh ada beberapa tempat yang menjual Ayam Pelung.
Wah, unik sekali arsitekturnya ya ternyata. Saya terbiasa dengan bagan rumah Jawa sehingga setelah baca malah terbetot ke sana tuk mempelajarinya. Sangat menyenangkan jika ada desa adat begini. Bisa membawa anak (dan diri sendiri) untuk membayangkan kehidupan di masa kakek-nenek. Saya suka belajar tentang itu.
Sama Mbak Susi. Saya pun suka dengan jejak-jejak sejarah yang hingga kini aturan adatnya masih dilakukan oleh warga yang berada di tempat yang bersangkutan. Hal ini tentunya tidak mudah ya. Apalagi menyeimbangkan diri dengan kondisi kekinian.
Saya paling suka kalau mampir ke blog, Mbak Annie. Ceritanya seru-seru dan sangat bercerita. Saya seakan diajak untuk menikmati perjalanan, termasuk jalan-jalan ke Desa Adat Tenganan ini.
Suasananya memang sangat memanjakan mata ya, Mbak. Terus saya langsung suka melihat foto dan tulisan di daun lontar itu. Kurungan ayamnya unik dengan ayam petarung. Mungkin biar puas eksplornya harus nginap di sana ya, Mbak.
MashaAllah. Makasih banyak untuk complimentnya Mas Bambang. Semoga apa yang saya tuliskan menjadi manfaat bagi banyak orang.
Iya Mas. Mengingat luasnya ratusan hektar dengan banyak obyek yang menarik untuk dibahas, enaknya memang menginap. Bisa puas eksplorasinya.
Lengkap banget ceritanya. Kebayang waktu datang Yuk Annie berusaha cari info sebanyak-banyaknya dan kemudian dituliskan ulang. Beruntung banget pembaca blog bisa dapetin infonya sembari berharap nanti bisa berkunjung langsung ke desa adat ini. Kangen juga sama Mas Dwi, dan pasti beda kalau jalan ditemenin sama orang yang pengetahuannya banyak. Sayang belum kesampaian lagi jumpa dan main ke rumahnya padahal udah ditawarin terus.
Liat bentuk rumahnya yang memanjang gitu, aku keinget rumah orang Dayak, bedanya mereka lebih tinggi dan tangganya lebih banyak ya yuk. Atapnya mirip rumah di desa-desa yang ada di Sasak, Lombok. Kocak juga melihat aksi bule yang mau foto. Sebenernya buat aku yang orang lokal aja seneng bisa foto kayak gitu, apalagi orang yang datang dari tempat jauh dan beda banget budayanya kayak dia.
Salut dengan orang lokal yang berusaha mengenal banyak bahasa biar bisa komunikasi dengan wisatawan. Hasil kerajinannya pun cakep. Kalau yang telur gitu gede banget kalau mau dibawa pulang (walau ada juga yang kecil), tapi aku malah tertarik dengan topeng dan hiasan dinding dari kayu tipis yang bisa dilipat itu. Sempat tanya-tanya harganya gak Yuk?
Keberadaan rumah yang berfungsi sebagai pusat informasi dan foto-foto yang cakep maksimal itu, membuat para pengunjung, setidaknya, tahu sedikit banyak tentang desa di awal-awal waktu kunjungan. Aku dan Dwi sempat lama di rumah foto itu Yan. Kami membahas hampir setiap foto. Dan karena Dwi memang paham tentang banyak destinasi wisata di Bali, kami jadi sering duduk-duduk, ngaso-ngaso sebentar, minum, sambil ngobrol tentang tempat yang sedang kami jelajahi. Beruntung nian pacak kenal baik dengan Dwi. Ayok Yan, mainlah ke Bali. Mun idak kito janjian. Menyusur timurnyo Bali tuh keceh maksimal. Banyak tempat yang belum begitu disentuh destinasi wisatanyo.
Kerajinan tangan itu antara 50-250rb. Yang topeng itu cukup mahal jugo. Mun dak salah sekitar 150rb-an. Tapi memang gaweannyo halus nian. Cocoklah dengan hargo yang ditawarkan.
seindah dan setenang itu desa adat tenganan Bali.. liat foto-fotonya saja sudah bikin damai apalagi berjalan menyusuri desanya terbayang pasti betah dan rileks hehe.. tempatnya cocok buat healing sambil meresapi bagaimana alam dan manusia saling bertautan. wisata desa adat di Bali emang gak pernah gagal.
Bali selalu punya banyak hal yang istimewa ya Za. Gak pernah bosan untuk selalu ke Bali.
Wow catat ah
saya paling suka datang ke desa adat, kalo di Jawa Barat sih ada Cireundeu , Cipta Gelar
karena mereka tuh “kaya” banget, sehingga sepulang dari sana kita bawa banyak “oleh-oleh” seperti Desa Tenganan ini
apalagi kalo datang bersamaan dengan upacara yang sedang mereka selenggarakan
Nah bener banget Mbak. Emang bakal lebih seru saat kita datang para warga desa sedang melakukan upacara adat. Selain memotret kita juga bisa larut mengamati kegiatan tersebut.
Ke Desa Adat seperti Tenganan ini memang enggak bisa hanya 1-2 jam ya Mba Annie…Jadi kurang eksplor, dan nyoba itu ini.
Semoga lain kali bisa berkunjung lagi. Biar bisa belajar menenun juga pepotoan pakai kain Gringsing yang unik dan cantik
Btw, ngekek saya lihat bule yang happy banget wajahnya saat mikul kurungan ayam hihi
Bener banget Mbak Dian. Untuk Desa Adat Tenganan yang luasnya ratusan hektar begini, setidaknya kita butuh waktu hampir setengah harian hanya untuk eksplorasi 1/3 dari keseluruhan kawasan yang ada. Saya malah pengen balik dengan waktu yang menyesuaikan saat mereka sedang mengadakan upacara adat. Supaya bisa motret dengan materi yang spesifik dan jarang bisa dinikmati oleh orang banyak.
Saya dan suami bercita-cita mau sering liburan ke Bali, karena wisata di sana menyenangkan, banyak tempat menarik. Tapi selama ini masih sebatas pantai dan gunung saja, kepengen juga mampir ke desa adat hehe!
Semoga segera diijabah Sang Pencipta ya Mbak. Kalau sudah sekali menginjak Bali, pasti pengen balik terus deh.
Mas Bule menikmati sekali budaya Bali beserta pemandangan Desa Adat Tenganan Pegringsingan, Karangasem, Bali.
Meski ceritanya panas dan bikin kering, tapi nyatanya Bali selalu dirindukan dengan berjuta pesonanya.
Aku belum pernah ke desa adat begini, ka Annie..
Gak punya trauma sama ayam juga sii.. hihihi.. agak geli waktu ka Annie bercerita mengenai ayam di Bali. Mengingat kuliner ayam betutunya nikmatt betuull..
Salut loh sama wisatawan2 bule itu. Pada kuat udara panas dan jalan jauh. Santai aja mereka sambil ngobrol dan motret.
Wooaahhh. Ayam yang di Desa Adat Tenganan ini sepertinya lebih ke ayam petarung Len. Biasanya dagingnya lumayan alot kalo buat dikonsumsi.
wah aku belum pernah ini tau Desa Adat Tenganan Pegringsingan Karangasem Bali. kalo ke Bali cuma ke pantai xD harusnya bisa berwisata budaya seperti ini ya, anak2 juga bisa bertambah wawasannya. terimakasih atas ceritanya
Kuy. Berarti kudu cobain Mbak Fera.
Rapi dan bersih banget ya Desa Adat Tenganan ini. Teman saya ada yg mengambil desa ini untuk riset disertasinya. Ada teman lagi yang ambil risetnya di Desa Adat Pengotan. Bagus-bagus desa adat yang beberapa sudah jadi Desa Wisata. Selalu ada kegiatan dan upacara, jadi pasti beda-beda ritualnya setiap berkunjung.
Dulu pernah belajar tentang denah rumah tradisional di Bali, kurang lebihnya terbagi menjadi 9 kotak imajiner. Bener ya masih memertahankan layout seperti itu. Ada sudut sakral dan profane.
Pengen juga menyambangi Desa Adat Tenganan ini. Suka ke tempat-tempat yang engga ramai dan engga viral. Jadi bisa khusu gitu mengamati dan observasi dengan tenang. Foto-fotonya yuk Annie selalu cakep dan lengkap.
Wah pasti keren banget itu desertasinya Mbak Hani. Saya suka banget penelitian yang menyangkut soal budaya dan bisa disosialisasikan ke publik. Saya pernah menghadiri sidang promosi salah seorang teman yang membahas soal tempat wisata unik di NTT. MashaAllah berbobot banget. Banyak ilmu pengetahuan dan insight baru yang saya dapat dari desertasi mereka.
Saya juga sejatinya begitu Mbak Hani. Mengunjungi tempat2 yg gak awam dikunjungi tuh rasanya excited betul. Apalagi jika ditemani oleh teman yang paham akan tempat yang bersangkutan.
Seru banget mbak jalan-jalan ke Desa Adat Tenganan ini, bisa melihat banyak hal yang gak akan kita temukan di tempat lain. Aku tuh selalu suka sama arsitektur dan denah rumah tradisional di Bali, soalnya terasa sakral banget bagi penghuninya, penuh makna.