Saya mendapatkan informasi tentang Pasar Cihapit dari media sosial. Banyak sliweran postingan tentang pasar tradisional yang tetap eksis di tengah kota Bandung ini. Baik tulisan dari blogger, video dari para youtuber serta food videographer, dan masih banyak lain. Dari situ saya langsung penasaran. Apalagi banyak diantara mereka melukiskan bahwa banyak sekali surga kuliner tersembunyi yang ada di Pasar Cihapit ini.
Rasa Penasaran yang Terbayarkan
“Bentar. Aku pasang Google Maps dulu,” begitu kata suami saat kami baru akan memulai perjalanan menuju Pasar Cihapit di kota Bandung dari arah Pasteur. Suami, meskipun masa sekolahnya (mulai dari SMA hingga lulus S1) berada di Bandung, ternyata seringkali harus menggunakan aplikasi petunjuk arah untuk mencapai beberapa titik yang kami cari.
“Sekarang sudah banyak jalur yang dirubah searah sih. Daripada keder, nyasar, mending pakai GMaps kan?”
Bener juga sih. Daripada nyasar dan muternya jauh, mending aman dengan GMaps. Saya pun herannya gak berhasil “memetakan” banyak jalur di kota Bandung meski termasuk sering mengunjungi kota Paris Van Java ini. Yang saya ingat hanyalah beberapa jalan besar menuju rumah keluarga suami. Itu pun lokasinya bukan yang blusukan atau yang jauh-jauh. Padahal saya – si orang visual berkaki panjang – gampang hafal jalan meski di tempat yang baru sekali saya injak sekalipun. Setidaknya saat berada di satu tempat asing dan tinggal di sana tiga hingga empat hari dan sering menyusur kesana kemari, biasanya saya langsung hafal.
Jadi saat suami memasang GMaps dengan suara si mbak-mbak yang standard mode itu, saya memutuskan untuk tidak “berkicau” selama dalam perjalanan. Takut suara saya yang serba rame itu bisa memecah konsentrasi suami atau menutup suara si penunjuk arah.
Setelah sempat melambatkan kendaraan, Pasar Cihapit yang riuh rendah mulai tampak dari kejauhan. Pasar tradisional yang berada di kawasan Cihapit dan sudah berdiri sejak 1940 terlihat dikerumuni oleh banyak manusia, mobil, serta motor. Suami segera membuka jendela mobil dan ngobrol dengan salah seorang tukang parkir. Hasilnya sungguh melegakan karena salah satu mobil yang terparkir di pinggir jalan depan baru saja keluar. Wah rezeki banget deh. Kami mendapatkan space yang cukup lega di depan warung makan dan tidak jauh dari pintu masuk utama menuju pasar tradisional yang ada di dalam.
Sejenak, setelah keluar dari mobil, saya menebarkan pandangan ke setiap sisi. Memahami bahwa pasar ini sudah ada sejak sebelum Indonesia merdeka, saya melihat banyak sisi bangunan yang sudah berumur. Bahkan banyak beberapa toko di barisan depan, di pinggir jalan, tetap bertahan dengan kondisi fisik baheula tersebut. Teras di depan tokonya juga jauh dari sentuhan modernitas. Situasinya juga hiruk-pikuk karena di sepanjang trotoar diisi oleh para pedagang gerobak. Karena masih belum terlalu siang, gerobakan sarapan masih banyak terlihat dan dikerubungi oleh banyak masyarakat yang menikmati sarapan dengan nikmatnya. Ada bubur, serba gorengan (tahu, tempe, risol, batagor), mie kocok, lontong sayur, dan masih banyak lagi.
Pengen sih nyobain. Tapi masalahnya nawaitu awal saya adalah menelusur dalam pasar dan membuktikan berbagai informasi yang mengatakan bahwa nanti saya akan menemukan surga kuliner tersembunyi yang diluar dugaan. Aaahh Pasar Cihapit. Sungguh bikin penasaran.
“Ntar aja menyusur bagian luar. Yok kita ke dalam dulu aja. Makan di dalam,” ajak suami melihat saya beberapa kali menghentikan langkah karena tergoda tawaran beberapa pedagang.
Saya tersenyum sendiri. Berasa banget gampang tergoda. Baiklah. Saya mengikuti langkah suami.
Atas petunjuk tukang parkir, kami masuk pasar lewat sebuah lorong yang cukup panjang. Di sepanjang lorong ini banyak pedagang yang menggelar meja. Ada yang menawarkan sayuran mentah, masakan jadi, buah-buahan, dan lain-lain. Suami sempat tergoda untuk membeli kacang tanah yang katanya bagus-bagus, besar-besar, dan tampak sudah bersih. Tapi karena takut repot dibawa mondar-mandir cari makan, rencana itu diputuskan nanti pas jalan pulang aja.
Selesai melewati lorong, saya langsung bertemu banyak kios yang menjajakan kebutuhan dapur. Yah standardnya pasar tradisional, Pasar Cihapit ini, tampak mulai rapuh seiring dengan usianya yang sudah menginjak 84 tahun di 2024 (saat saya kunjungi). Kios-kios sudah tampak ikut menua. Termasuk keramik lantai yang tak lagi bersih atau sudah susah untuk bersihkan.
Saya langsung menutup hidung dan bergerak gelisah dengan berjalan cepat karena memang tak kuat dengan aroma pasar tradisional. Berbeda terbalik dengan suami yang justru suka (baca: doyan) ke pasar tradisional. Bahkan betah berlama-lama memilih belanjaan lalu melakukan tawar-menawar. Untuk urusan terakhir ini saya suka protes karena bikin lama (ngakak). Tergemas sekaligus.
Tapi sepertinya, suami paham akan kondisi saya. Sama seperti waktu saya menceritakan ingin mengeksplorasi Pasar Cihapit berminggu-minggu sebelumnya yang bikin suami kaget luar binasa.
“Yakin mau ke pasar tradisional?” ujarnya dengan rasa heran yang tak bisa disembunyikan. Saya mengangguk pasti sembari menunjukkan beberapa postingan seru tentang Pasar Cihapit.
Menemukan Beberapa Tempat Jajan yang Menggoda Rasa di bagian dalam Pasar
Saya melangkah cepat. Dalam beberapa langkah kemudian mata saya langsung bersirobok dengan kerumunan orang yang duduk berjejer di beberapa bangku-bangku kayu panjang. Suara riuh rendah pelayan terdengar cukup kencang. Ternyata orang-orang ini sedang menikmati beragam masakan rumahan dari Warung Nasi Bu Eha.
Dari berbagai referensi, saya membaca bahwa Warung Nasi Bu Eha adalah salah satu warung yang legendaris karena usianya hampir setara dengan Pasar Cihapit ini sendiri. Dulu sekali, Bung Karno – presiden pertama RI – sering makan di warung ini saat berada atau berkunjung ke Bandung.
Saya dan suami sempat berhenti sebentar lalu menilik berbagai sisi dari Warung Nasi Bu Eha. Sesiangan itu tempat duduknya penuh dengan kesibukan pelayanan yang sangat repot luar biasa. Penerangannya minim tapi saya sempat membuat video saat salah seorang petugas yang sedang ngulek sambal di atas sebuah cobek batu yang lumayan besar. Langsung ngilu saya lihatnya karena jumlah cabenya gak kira-kira. Woaahh kebayang gimana rasa pedas yang akan hinggap di bibir dan lidah para penikmatnya.
Karena melihat gak bakalan dapat tempat duduk dalam waktu dekat, saya memutuskan untuk berkeliling dahulu sebelum memutuskan akan makan dimana.
Sayangnya saat saya masuk ke dalam pasar, banyak warung yang tidak beroperasi. Rolling door nya tertutup rapat dan terlihat masih terkunci. Jadi dari sekian banyak referensi yang saya baca, saya hanya bertemu beberapa saja diantaranya. Warung Nasi Bu Eha, Mister Pho, Konklusi Kitchen, Seroja Bakery, Toko Kue Bien, dan Rama Ramen. Lalu diantara kedai-kedai tersebut, saya sempat mampir ke sebuah warung yang menyajikan beraneka ragam kopi (suami sempat lama di sini), warung batagor, warung yang penuh dengan jajan pasar, kedai es krim Singapore, dan sebuah sudut baca seperti sebuah perpustakaan kecil.
Setelah mondar-mandir dalam sekitar dua kali putaran, saya dan suami akhirnya memutuskan untuk mencoba sajian ramen dari Rama Ramen. Tadi sempat lewat saat tempat duduk penuh tapi ketika kami kembali ada meja kecil milik Rama Ramen yang kosong. Saya pun meminta suami duduk terlebih dahulu dan memesan dua mangkok Shoyu Ramen. Lalu saya kemudian memesan sepiring batagor yang kedainya berada tak jauh dari Rama Ramen. Alhamdulillah pihak Rama Ramen mengizinkan saya memesan di tempat lain meski makan di meja mereka.
Sembari menunggu pesanan diproses, saya memperhatikan bahwa Rama Ramen hadir cukup unik dengan dekorasi yang menyenangkan netra. Meski terlihat sempit dengan struktur bangunan yang tua, ada beberapa dekorasi yang menunjukkan kesan ala Jepang. Setidaknya jika kita datang dari kejauhan, kios yang ada di sudut ini mudah untuk dikenali. Apalagi beberapa kios di dekatnya juga menyajikan pemandangan yang dilengkapi dengan lampu-lampu (lampion) yang asik untuk dilihat.
Meski berada di meja kecil yang ditaruh di lorong jalan sempit, saya dan suami menikmati Shoyu Ramen milik Rama Ramen. Duh enak banget. Kuah kaldunya segar dengan kekentalan yang pas. Rasanya juga bikin saya gak berhenti nyendok, nyeruput pelan-pelan karena masih dalam kondisi panas. Kematangan mie nya juga pas dengan aneka isian yang dicampurkan di dalamnya. Saya mendadak teringat dengan anak-anak yang suka banget dengan ramen. Aahh kapan ya bisa ngajak anak-anak makan di sini.
Batagor yang saya beli juga jempolan rasanya. Campuran dagingnya empuk dan si abang menggoreng batagor ini dengan tingkat kematangan yang pas. Bumbu kacangnya juga oke banget. Gak bikin neg. Ini kondisi yang saya suka banget. Karena tahu bakalan tak mampu nambah padahal kepengen banget, akhirnya saya beli dua bungkus batagor yang dijual frozen untuk dibawa pulang. Saat beberapa hari kemudian saya goreng di rumah rasanya tetap seenak dengan apa yang saya makan langsung di Pasar Cihapit. Fix bakalan balik lagi ke sana.
Usai menghabiskan semuanya, saya sempat termangu dan duduk menyandar di rolling door dari sebuah kios yang berada di seberang Rama Ramen. Memperhatikan tamu yang tak kunjung berhenti dan kesibukan para petugas di dapur yang sekecil itu. Pemandangan unik yang jarang bisa dinikmati. Salut untuk ketiga petugas yang meski sibuk tetap ramah melayani keinginan tamu mereka. Bekerja cepat dengan ritme kerja yang sibuk bukan kepalang. Sistem pembayaran juga asik karena sudah memasang sistem digital. Cashless dan paperless yang kekinian dan tentu sangat memudahkan.
Saya dan suami segera beranjak saat area duduk kami sudah ditunggu oleh tamu yang lain. Saya kemudian memutuskan untuk berkeliling sekali lagi sampai akhirnya menemukan kios yang menjual ice cream Singapore. Sesungguhnya saya bukan penggemar asupan dingin ini, tapi melihat potongan-potongan besar konsumen yang memesan, saya pun akhirnya tergoda. Membeli sepotong ice cream kotak yang kemudian dibungkus oleh roti tawar yang menjadi ciri khas ice cream yang dijual di pinggiran jalan Orchard Singapore. Asupan yang akhirnya bikin saya teler kekenyangan dan gak bisa lagi mencoba jajanan lain yang tadinya sudah saya incar di sisi luar Pasar Cihapit.
Sembari duduk di kios ice cream ini, saya sempat ngobrol singkat dengan si penjual. Dari beliau saya mendapatkan info bahwa untuk menyewa kios kosong dia dikenakan biaya Rp700.000,00/bulan belum termasuk listrik dan ongkos kebersihan. Ukuran kios yang dia tempati itu sekitar 3x3m. Mirip seperti stand pameran yang biasa saya tempati. Bapak ini menyewa dua kios. Satu untuk menaruh pendingin dan barang-barang operasional, sementara satu lagi khusus untuk area makan dengan bangku-bangku yang tersusun rapi. Beliau juga meyakinkan saya bahwa hasil penjualan per bulan nyatanya bisa menutupi semua biaya operasional yang ada.
Usai menandaskan ice cream yang jadi dessert sesiangan itu, saya mengiringi langkah suami untuk keluar pasar sembari mampir dan berbelanja disana-sini. Termasuk ke sebuah kios kopi yang punya berbagai koleksi yang berasal dari berbagai daerah. Kios ini juga menawarkan bergelas-gelas kopi dingin yang terlihat berjejer di sebuah kulkas kecil. Ada juga berbagai peralatan untuk menyeduh kopi jika konsumen ingin mencoba langsung. Wanginyaaaa mashaAllah. Sungguh menyenangkan dan merabuk jiwa.
Suami sempat lama ngobrol di sini karena memang (belakangan tahun) suka dengan dunia kopi. Dulu dia hanya mengenal teh sebagai minuman tambahan. Tapi akhirnya terbawa pengaruh saya – si anak Sumatera – yang lebih menyukai kopi. Bahkan dalam sebuah rutinitas yang terbangun, suami selalu menyempatkan diri, setidaknya sekali dalam dua minggu, mengunjungi kios kopi di sebuah pasar tradisional yang tak jauh dari rumah. Mencoba hampir semua kopi hitam asli tanah air, satu persatu. Rasa dari setiap kopi tersebut menggitu membekas di hati sekaligus bangga bahwa sejatinya kopi asli tanah air punya greget dan profil/karakter yang kuat.
Dan kita patut bangga akan hal ini.
Menyusur Sisi Luar Pasar Cihapit
Usai menghabiskan waktu di bagian dalam Pasar Cihapit, saya dan suami menyusur sisi luarnya. Parkiran motor dan mobil semakin memenuhi bahu jalan selain tentu saja pedagang gerobakan yang tadi saya lihat sebelumnya. Suasana di luar pun makin hiruk-pikuk penuh dengan jumlah masa yang semakin membludak.
Saya menjejak langkah lebih jauh hingga akhirnya menemukan beberapa jenama kuliner yang cukup populer di Bandung. Seperti Bakmi Tjo Kin, Kopitiam 198, Kopi Toko Djawa, dan masih banyak lagi. Saya dan suami akhirnya merangsek ke dalam Kopi Toko Djawa. Sebuah cafe kopi dan kudapan yang cukup populer yang pernah saya kunjungi outletnya di Braga, Bandung.
Tentang Kopi Toko Djawa : Sesaat Menyesap Wanginya Kopi di Kopi Toko Djawa Braga Bandung
Layaknya berada di pasar tradisional yang umurnya sudah puluhan tahun, bangunan yang ditempati oleh Kopi Toko Djawa terlihat usang. Tapi dengan kemampuan menata yang mumpuni, saya melihat rancang dalam ruangnya begitu antik dan cantik. Pengaturan dan pembagian ruangnya juga tetap menghadirkan rasa lega karena tidak ada sekat sama sekali. Di lahan yang serba terbatas ini disediakan bangku di sisi depan dan open space di lahan atau teras belakang. Di teras depan pun ada bangku panjang untuk tamu.
Area kerja staff juga terlihat nyaman. Visual ruang kerja pun estetik dengan kehadiran box kaca yang berisikan berbagai pilihan kudapan (khususnya roti) yang memang ditawarkan untuk tamu. Di salah satu sudut dekat kasir, ada dekorasi lucu. Gelas plastik dengan tumpahan kopi susu. Saya sempat kaget kok dibiarkan mengotori taplak tapi setelah dilamati saya kemudian tertawa. Ya ampun. Ternyata dekorasi artificial. Tapi sungguh lucu sih. Cocok banget dipasang di sebuah coffee shop.
Sembari istirahat dan numpang ngadem di Kopi Toko Djawa, suami memesan kopi dingin dan saya pure orang juice yang asem-asem manis. Saya yang tadinya sempat byar pet ngantuk karena kekenyangan, malah akhirnya jadi terjaga dan bikin video di sini.
Oia, karena tak ada meja yang luas untuk berlama-lama, kios Kopi Toko Djawa di Pasar Cihapit ini kurang cocok untuk nugas (minjem istilah anakku yang masih kuliah). Kegiatan di atas laptop untuk bekerja atau ngumpul berlama-lama sembari mengerjakan paper works. Jadi kalau mau ke sini, nyamannya cuma duduk-duduk sembari menikmati aneka minuman dan kudapan. Ngobrol santai lah intinya.
Kunjungan ke Kopi Toko Djawa ini menjadi penutup kunjungan saya ke Pasar Cihapit. Saya pengen banget kembali lagi. Ngajak anak-anak untuk menjelajah berbagai kuliner yang ada di sini. Khususnya ke Bakmi Tjo Kin yang katanya umami bukan kepalang. Satu pilihan kuliner ala negeri tirai bambu yang pasti sangat menyenangkan anak-anak, pecinta mi sedari kecil.
Sampai ketemu lagi Pasar Cihapit.
Beneran sesuai judul ya 😍 pasar Cihapit surga kuliner. Serasa lagi keliling dengan nuansa jadul tapi cakep dan lebih tertata.
Ada Kopitiam 🤩 Area depannya saja sangat menarik.
Nah kalau ke kopi toko Djawa cocoknya buat ngupi dan ngemil aja jangan sambil nugas. Estetik dan vintage banget tempatnya.
Next semoga aku pun bisa liburan ke sini, jelajah sambil kulineran 🤩
Yang pasti jelajah kuliner di pasar tradisional itu seru banget La. Meski semriwing, ternyata tetap asik-asik aja. Semoga nanti bisa ke Pasar Cihapit ya.
Aku tuh juga maleeees sebenernya kalo ke pasar tradisional mba, Krn ga kuat kotor dan baunya 🤣. Ada tuh bakso enak di pasar Grogol, memang enaaak bangeeet, tapiiii ya Allah aku geliiii liat lantainya yg hitam 🤣🤣🤣. Jadi tiap mama ke sana aku minta takeaway aja, ga sanggub makan sambil lirik lantai 😄
Tp pas lihat Cihapit ini, aku liat lantai bersih sih. Jadi kalo yg begini aku sukaaaa. Bisa nyaman makannya.
Enak2 banget yg mba pesan 🤤. Ngiler aku. Apalagi penasaran Ama ramennyaaa.
Kalo batagor , punya bandung udh pasti enaaak sih 👍. Jarang banget yg failed kalo batagor bandung
Sama banget. Mangkanya waktu ngasih tahu ke suami pengen ke pasar Cihapit, dia sempat kaget dan ketawa. Karena selama ini aku gak pernah mau diajak blusukan ke pasar tradisional. Seperti Fany aku juga gak kuat sama kotor dan baunya. Pening banget kepala hahahaha.
Cihapit, pasar tradisional yang di dalamnya juga kelihatan menua. Banyak kios yang bentuknya dah tua banget karena memang pasar ini sudah ada sejak 1940-an. Pedagang sayur mayur dan lauk bercampur juga dengan kios makanan.
wkwkwkwkkwkw, samaaaaa Mbaaa :D
Saya bukan cuman minta take away kalau gitu, tapi nitip aja belinya, biar ga liat pas dibungkus, wakakakakak.
Kalau saya tuh sering ngiler sama bubur madura di pasar, tapi kalau beli sendiri kadang ogah, nggak kuat liat kalau banyak yang nggak ditutup.
Tapi, kalau pasarnya model begini, super bersih dan jadinya cantik, saya mah mau aja.
Kayaknya di Surabaya ada nih yang model gini, di jalan Tunjungan, jadi penasaran mau explore gegara baca ini
Permasalahan pasar tradisional tuh ya gitu, Kak. Lantai yang sulit dibersihkan. Kalau lantainya sudah dikeramik mah mungkin nggak terlalu merepotkan. Kalau pasar tradisional di sekitar rumahku kok ya masih berlantai tanah gitu. Jadi, kalau habis hujan ya weslah. Malas ke pasar.
Wih. Jajanan batagor kan favorit akuh.
Bener Mbak. Entah pernah direnovasi atau enggak yang pasti pasar ini umurnya sudah puluhan tahun karena sudah beroperasi sejak 1940-an. Sebelum kita merdeka.
Biarpun pasar tradisional tapi disana penataannya aesthetic banget ya kak. Mana surganya kulineran enak … Aku langsung tergoda pengen wiskulan juga
Wiskul di sini tuh seru Mbak Dian. Dan saya alhamdulillah ketemu Rama Ramen yang punya ramen super lezat.
Akhirnyaaaaa jadi juga 😁
Lotek belum sempet nyobain, ya? Suka, gak?
Di Cihapit ada lotek jadul.
Katanya ada rumah makan baru juga yang lagi viral di seberang pasar. Cuma saiyah mah kalau viral dan antre panjang, mending mlipir. Cari yang lain aja hehe….
Jadi dong. Aku gak ketemu lotek. Sempet nyari muter-muter ternyata gak jodoh ketemuan. Padahal suami pengen banget nyobain karena jarang banget bisa ngerasain Lotek.
Emang kudu balik lagi ya Mbak. Nyobain yang lain termasuk rumah makan baru yang ada di seberang pasar.
Waduh, aku kalau pakai GMaps malah kesasar. Gitu itu Bandung, banyak jalan searah.
Padahal tinggal turun Paspati, belok Gedung Sate, jl. Riau, ke kanan, jl. Cihapit deh…
Aku waktu ke Pasar Cihapit, nyobain Bakmie Feng. Enak sih, Walaupun di dalem pasar, pas area kuliner, engga bau pasar sih…
Mungkin karena sirkulasi udaranya pas bagus, banyak angin…
Los peminjaman buku tuh punya temen suami. Suka dipakai komunitas seniman diskusi gitu…
Belum nyobain semua kuliner di situ sih…Mungkin karena merasa, di Bandung ini…hehe…pan kapan mampir. Padahal belum juga…
Nah itu dia Mbak Hani. Waktu jalan pulang, saya langsung ngeh hanya beberapa ratus meter setelah itu adalah kawasan Riau. Saya jadi senyum-senyum sendiri. Paham karena suami bukan pembaca peta yang baik dan tidak memilik daya visual yang mumpuni.
Waaahh. Saya sempat duduk-duduk lama di kios buku itu. Banyak banget pilihan bacaannya. Kapan-kapan saya minta nomor kontaknya ya Mbak. Saya mau menghibahkan beberapa buku lama saya yang masih layak dibaca dengan kondisi fisik yang masih baik. Bahkan kalau bisa mau ngasih buku2 yang saya tulis sendiri.
Saya malah belum pernah kulineran di pasar Cihapit hahaha
terakhir ada pertemuan aktivis lingkungan hidup di sini, saya malah berhalangan datang
Pasar Cihapit ini direnovasi jadi tempat yang enakeun di eranya Kang Emil jadi walikota
Banyak yang concern mendukung perbaikan sarana publik, dan Pasar Cihapit jadi salah satu objeknya
Seneng ya Mbak jika ada yang concern dengan sarana publik. Apalagi jika kondisinya dibuat semakin baik dan bisa menjadi destinasi wisata yang berharga. Saya berharap Pasar Cihapit tetap ada dengan segala keunikan khas pasar tradisional. Terawat dengan baik dengan eksistensi berkelanjutan.
wah seru banget ya mba hunting kuliner ke pasar cihapit, otentik pasti nih rasanya, terus kayanya sih enakeun juga tempat makannya cukup bersih dan estetik vintage ya, tar kalo ke bandung mau coba ke situ ah
Seru Mbak Shinta. Dengan berbagai pilihan kuliner yang ada, pasar Cihapit jadi destinasi wiskul yang patut direferensikan pada khalayak. Khususnya bagi mereka yang ingin berlibur ke Bandung.
Kalo es krim nya di bawa pulang alias gak langsung disantap di situ, bisa dah tuh icip-icip kuliner lainnya ya Bu, hehe.
Terbilang ramai juga ya Pasar Cihapit ini, banyak menawarkan banyak keindahan mata memandang, salah satunya adalah spot toko buku nih
Pegennya bisa makan banyak Fen. Tapi apa daya lambung saya luasnya cuma sejengkal hahahaha. Ngabisin es krim ini aja sudah perjuangan.
Oh Cihapit tuh segitu sulitnya kah ka Annie?
Hehhee, aku belum pernah kulineran ke Pasar Cihapit. Biasanya ke deket rumah temenku di daerah Gempol.
Di sini kayak perumahan yang melingkar, tapi isinya kulineraaaann tok!
Dan legend.
Hehehe.. aku promosiin roti legend-nya Bandung, namanya roti Gempol.
Kemarin ke Cihapit cuma ambil stoberi di cafe-nya Zia, ka Annie..
Gak explore beginii.. menyenangkan yaa.. kaya lagi syuting film AADC pas Cinta ke pasar cari buku puisi “Aku” Chairil Anwar ama Rangga.
Hahahaha suamiku tuh Len. Bukan orang visual. Jadi untuk urusan pemetaan tempat seringkali mengalami kesulitan dan dia pun sering gak pe-de kalau jalan tanpa petunjuk arah. Padahal Pasar Cihapit itu di tengah kota ya hahahaha.
Wah kapan2 pengen main ke kawasan Gempol. Nanti tak cari referensi dan foto2nya.
Bandung itu udah indah, ditulis oleh Mbak Annie makin indah lagi. Foto-fotonya bikin pengen banget ke Pasar Cihapit. Emang beneran surga kuliner ya Mbak.
Kuy Mas Adi kapan2 main ke Pasar Cihapit. Asik tempatnya Mas. Apalagi kalau nongkrong bareng temen2 sambil ngopi2. Seru sih.
Pas banget ni ma judulnya, emang pasar Cihapit ini surga kuliner banget. Aku jadi tergiur ma batagornya. Sepertinya enak banget. Apalagi tempat ngopinya disediakan buku juga. Ah.. jadi pengen berlama-lama disana.
Enaknya memang menyusur tempat ini satu persatu. Kalau punya lambung yang luas, seru nikmatin setiap sajian yang ada.
Batagornya sungguh menggoda. Batagor Bandung memang nggak ada duanya ya mba. Ah jadi kangen makan batagor depan Batan.
Dan memang seenak itu Mbak. Sukak banget dah judulnya.
Bandung emang istimewa, di dalam pasar tradisional begini aja byk spot foto cakep ya. Makanan nya jga ga kalah estetik dan juga menggoda lidah