
Pagi ini Jogjakarta membuat saya kangen dan teringat akan sebuah perjalanan dengan Ipeh, seorang sahabat penggiat ilmu komunikasi dan literasi. Salah satunya adalah saat terhanyut keteduhan di Tugu Lor Cokrodiningratan Jogjakarta. Sebuah convenient cafe yang berada tak jauh dari Tugu dengan mengusung slogan coffee & comfort kitchen
Waktu menunjukkan pkl. 15:25 wib saat kereta yang kami tumpangi dari Gambir mencapai Stasiun Tugu di pusat kota Jogjakarta. Saya berjalan terkantuk-kantuk di sepanjang peron dengan perut yang mulai bernyanyi. Koper yang saya seret tidaklah berat tapi ringannya tujuan untuk menghabiskan quality times dengan Ipeh, memicu semangat saya untuk ligat bergerak di antara ratusan penumpang lainnya.
“Masih ngantuk Mbak?” Sapa Ipeh di samping saya.
Tampaknya karena saya berjalan terhuyung-huyung, dia jadi khawatir. Saya mengangguk sembari menutup mulut yang menguap lebar dengan genangan air di pelupuk mata yang tak tertahankan.
Butuh sekitar 15 menit untuk mendapatkan Gocar saat sudah keluar stasiun. Kami tidak langsung menuju hotel karena – sesuai janji sehari sebelumnya – kami akan bertemu seorang teman lama terlebih dahulu. Teman kuliah saat S2 yang belum lama ini meraih level doktoral dan kini mengabdikan dirinya pada dunia pendidikan.

Perjumpaan Penuh Nostalgia
Mobil yang kami pesan berjalan santai menuju Tugu Lor yang berada di Cokrodiningratan. Cafe istimewa yang sesungguhnya tidak begitu jauh dari stasiun. Tapi kalau jalan kaki ya lumayan makan tenaga. Apalagi jika sambil geret-geret koper. Jadi tak lebih dari 10-15 menit kemudian, sambutan sang sahabat menghiasi keseruan kami di petang nan cerah itu. Kantuk dan lelah saya pun mendadak lenyap entah kemana.
Bertemu teman lama memang terkadang bisa jadi “obat ampuh” ya. Ada girah yang meletup-letup dan memberi warna cerah pada lingkup persahabatan kita.
Sang sahabat pun tertawa renyah sembari membantu menurunkan koper kami dan mengajak untuk melangkah ke dalam Tugu Lor. Kami bersalaman erat dan saling menyapa dalam kerinduan setelah bertahun-tahun hanya bertegur sapa lewat WAG yang memang kami buat untuk bersilaturahim di antara teman sekelas dulu.
“Alhamdulillah. Sehat Mi? Ya ampun dan berapa lama ya kita gak ketemu langsung?”
Senyum manis saya pun langsung mengembang. Apalagi mengingat sebagian besar teman-teman kuliah dulu tampak begitu excited setiap sebutan “Mami” itu keluar dari mulut mereka. Usia saya yang sepantaran dengan Tante mereka sepertinya jadi salah satu pendorong agar julukan itu jadi “gelar abadi” buat saya.
Sekian menit setelah turun dari mobil, saya membaca sebuah tulisan yang begitu mengesankan, “a cup of TUGU LOR Java” Kalimat yang membangkitkan rasa penasaran. Apalagi di titik saya turun dari mobil hanya terlihat sebuah coffee shop kecil dengan beberapa dudukan saja. So what’s actually inside?
Pertanyaan ini disambut oleh sebuah kejutan lain yang kemudian membuat saya cukup terpana.
Tugu Lor ternyata bukan tempat nongkrong biasa.
Tak terlihat begitu luas dari sisi depan di mana mobil tadi berhenti dengan lahan parkir yang sungguh terbatas, ternyata tempat ini punya lahan yang luas di bagian dalam. Melewati sebuah pintu kayu yang diserbu oleh banyak dedaunan, saya harus menuruni sebuah tangga bebatuan yang lumayan tinggi untuk mencapai area utama. Sebuah kebun yang rindang, dikelilingi oleh hutan mini dengan banyak dudukan kombinasi besi dan kayu untuk menyambut para tamu.
Mendadak saya merasakan sebuah ambience yang (sangat) berbeda dari biasanya. Sembari melangkah pelan, menginjak satu demi satu anak tangga, saya terpaku dengan sebuah lahan yang penuh dengan pepohonan.
“Mami kan suka motret tempat-tempat estetik. Seneng nulisnya juga. Jadi saya sengaja milih tempat ini.” Saya kembali tersenyum semringah. Kagum dengan betapa teman-teman saya selalu paham apa yang saya suka. “Bagus kan?” Ada nada bangga yang muncul di sana. Saya kembali mengangguk dengan ekspresi bahagia yang tak mampu saya sembunyikan.
I’m – indeed – suddenly in love with the convenient vibes.
Saya melamati kondisi sekitar dengan lebih rinci lagi.
Langit sesorean itu tampak cerah. Seakan paham bahwa saya butuh cahaya natural untuk merekam setiap sudut Tugu Lor dengan kondisi terbaik. Jadi sedetik setelah memilih tempat duduk, saya langsung beringsut, berdiri, sembari menatap sekeliling Tugu Lor. Mengajak mata untuk menandai sudut-sudut estetik yang jelita untuk difoto. Mumpung masih terang, saya tak ingin menyia-nyiakan waktu. Setidaknya sebelum senja berakhir, saya sudah mendapatkan beberapa foto apik yang bisa dibagikan di blog ini.
“Eh tunggu. Jangan pergi dulu. Coba mau makan apa?” Ipeh dengan sigap menggamit tangan saya.
“Nasi goreng spesial aja,” jawab saya tergesa sembari berlalu, tanpa melihat buku menu. Asupan teraman untuk orang lapar dan gak ingin ribet dengan berbagai pilihan yang mungkin saja butuh waktu ekstra untuk menyiapkannya.
Entah berapa menit kemudian saya “terjebak” dalam ke-asikan memotret. Setiap sudut tampak begitu menantang untuk direkam lewat lensa kamera. Sebuah hutan kecil beralaskan tanah dan ribuan batu koral, menghadirkan vibes dan atmosphere yang jarang bisa saya nikmati. Keindahan paripurna yang sekali lagi meninggalkan kesan yang tak biasa.
Saya kemudian melihat Ipeh melambaikan tangannya. Ah, pesanan kami pasti sudah datang.
Perjumpaan penuh nostalgia dan obrolan panjang kali lebar pun menghambur di setiap detik pertemuan yang bakal jarang bisa kami lakukan. Makan – minum – ngobrol – makan – minum – bercanda. Begitu terus sepanjang waktu. Banyak betul obyek pembicaraan yang kemudian membuat kami tertawa lebar pun mengernyitkan kening. Saat-saat kuliah di setiap weekend yang sarat dengan perjuangan. Waktu seharian penuh – dari pagi hingga sore – yang mengingatkan kami tentang betapa pentingnya kebersamaan yang terjalin sejak tahunan lalu agar kami semua bisa lulus tepat waktu. Termasuk waktu-waktu ujian lisan dan tulisan yang memang butuh effort tidak sedikit.
Keteduhan yang muncul dari lingkungan hijau milik Tugu Lor di sekeliling kami seakan paham bahwa nuansa seperti inilah yang membuat semua memori tersebut bisa terangkat dengan banyak sudut kegembiraan. Tawa lepas kami bahkan sering membuat tamu lain menoleh. Asupan yang enak dan memanjakan lidah pun turut menyempurnakan kesenangan dan keriuhan percakapan kami.
Apalagi saat tiba-tiba teringat akan banyak kejadian lucu selama masa perkuliahan berlangsung. Plus dosen-dosen yang hadir dengan keunikan masing-masing. Lengkap dengan keseriusan dan kelucuan yang terkadang muncul tanpa sengaja.
Ah asik ngegibahin dosen. Padahal kami bertiga pun punya profesi yang sama. Kecuali saya yang sudah pensiun dari dunia mengajar dua tahun belakangan. Dengkul sudah gak kuat berdiri lama-lama.
Yah begitulah.
Sebuah long lasting memories pun kemudian tercatat dengan manisnya saat saya berada di sebuah lingkungan yang hijau dan teduh dengan tanaman yang pepohonan yang rimbun serta tumbuh subur di Tugu Lor Jogjakarta. Tempatnya memang seasik itu untuk ngobrol hangat sembari membangkitkan kembali kenangan seru di masa lalu.




Sembari ngobrol, saya kemudian menandai bahwa ada sebuah bangunan heritage yang berada persis di samping lahan berbatu yang saya pijak. Belakangan saya tahu bahwa bangunan bercat putih ini dulunya adalah Mustokoweni the Heritage Hotel sementara di lantai terbawahnya – sejajar dengan tempat kami berkumpul – ada sebuah gallery batik dan souvenir shop yang menggunakan nama yang sama, Mustokoweni Souvenir Shop.
Dari beberapa cuplikan tulisan, saya mengetahui bahwa Mustokoweni the Heritage Hotel sudah tidak beroperasi sejak 2024 karena tidak memperpanjang sewa bangunan. Sekarang – tempat itu – diambil alih oleh Rasamadu Heritage Hotel. Tapi setelah saya mencoba mendekat, bangunan putih bergaya kolonial ini terlihat sepi dari tanda-tanda kehidupan. Lampu bagian atasnya pun tidak menyala.
A cup of Tugu Lor Java, Tempat Istimewa Seperti Halnya Jogjakarta
Perbincangan kami malam itu menjadi semakin panjang. Usai melahap menu utama, obrolan seru berlanjut ditemani oleh kopi dan sepiring besar tempe goreng dan satu piring besar lagi berisikan pisang goreng. Saya candu sama pisang gorengnya deh. Takaran kematangan pisangnya pas. Gorengannya juga tak berlebihan tepung dengan minyak yang tidak menempel di lidah.
Dessert yang apik dan sempurna.
Membayar rasa penasaran, saya kemudian mengajak Ipeh untuk menyusur Mustokoweni Souvenir Shop yang berada di dua titik. Pertama adalah persis di bawah bangunan putih heritage, sementara yang satu lagi berada di satu rumah kaca yang berada di sisi belakang taman.
Saya memutuskan untuk menyusur lahan di bawah bangunan itu. Di area ini bertebaran banyak koleksi Batik Indigo (berupa kain maupun barang jadi) dan berbagai kerajinan tangan berbahan dasar batik serta pernak-pernik lucu lainnya. Disediakan juga banyak tempat duduk kayu lawasan yang tentunya bertujuan agar para tetamu souvenir shop ini nyaman untuk menyusur setiap sudut.
Di beberapa tempat juga terlihat lemari-lemari kayu berkaca yang menyimpan sekian banyak koleksi Batik Indigo. Cantik luar biasa. Warnanya yang khas dan mewakili nilai kehangatan dan harapan, batik Indigo, menurut saya memiliki “kekuatannya” sendiri. Karena biasanya jenis batik ini dijamah hanya oleh tangan-tangan para pembatik wanita dari rangkaian pewarna alam yang diolah secara eksklusif. Motif yang dihadirkan pun biasanya tidak njlimet atau terlihat sulit dibandingkan dengan banyak goresan batik kolosal yang butuh tarikan satu persatu.
Saya terjebak dalam bongkahan kekaguman. Apalagi Batik Indigo yang dihadirkan tidaklah satu dua. Tapi banyak banget. Bertumpuk rapi di dalam lemari, digantung sedemikian rupa di berbagai jenis gawangan kayu, bahkan ada yang sengaja di tumpuk di sebuah meja terbuka. Sungguh begitu menarik untuk ditelusuri dan dicermati satu persatu.
Karya luar biasa indah yang lebih dari pantas untuk mendapatkan pujian.
Perhatian saya kemudian beralih pada meja, kursi, lemari, aneka hiasan, dan peralatan lain yang terbuat dari kayu. Ada beberapa sentuhan lawas yang membuat saya terjebak dalam kekaguman serta rangkaian memori.
Melihat kursi-kursi dan meja serta beberapa lemari kayu ini saya mendadak teringat dengan rumah Eyang Kakung dan Eyang Putri saya di Lampung. Rumah lawas yang sudah puluhan tahun dijual kepada pihak lain. Furniture elegan zaman republik tersebut ditaruh berjejer di sebuah pendopo yang biasanya digunakan untuk menerima tamu. Belakangan saya juga menemukannya di beberapa resto atau hotel yang mengusung tema lawasan. Semoga ya peninggalan-peninggalan seperti ini tuh tetap terjaga.
Ada satu foto besar dalam sebuah frame yang terpasang di sudut ruangan di souvenir shop ini. Seorang lelaki di usia matang, good looking dengan kacamata yang bertengger di hidung. Menelusur IG @tugulorjogja saya menemukan informasi bahwa lelaki di foto tersebut bernama AF Thesan Kenzo Wienand. Seorang seniman tulen yang menggeluti dunia arsitek, seorang interior designer dan juga batik artisan. Beliau wafat tahun lalu (2024) dan tampaknya memiliki banyak pengaruh di hati Tugu Lor Jogja. Semoga kedamaian sudah menyertai beliau.

Saya berpindah ke sebuah outlet kecil berdinding kaca yang ada di bagian belakang taman. Pintunya tidak terkunci dan tidak terlihat satu orang penjaga pun di sana. Hembusan dingin AC pelan-pelan menyentuh kulit. Di sini kekaguman yang lain memenuhi indera penglihatan saya.
Saya dan Ipeh kembali bertemu dengan serangkaian koleksi Batik Indigo. Di ruangan yang tak begitu besar ini koleksi batiknya jauh lebih banyak. Tersusun sangat rapi meski area pajangnya tidaklah seluas tempat yang tadi. Saya ingin beli satu baju atasan yang sepertinya terlihat pas di badan. Tapi tak bisa menemukan dengan siapa saya harus bertransaksi. Ya sudahlah. Belum rezeki.
Suasana temaram dengan sumber cahaya yang lumayan minim, saya mencoba memotret beberapa sudut yang terlihat syahdu. Saat kembali ke meja tempat kami makan tadi kemudian memandang ke arah jalan masuk. Saya cukup tertegun dengan betapa tingginya tangga yang tadi sore saya lewati. Di sebelah persis ternyata ada rumah kaca dua lantai yang terbangun oleh rangka baja hitam.
Di lantai bawahnya yang tetap terlihat tinggi dari tempat kami bersantai tadi, saya menemukan dapur dan counter khusus pelayanan pesanan makan minum dan pembuatan kopi. Ada beberapa tempat duduk persis di depannya. Tapi di malam itu, yang terlihat ramai adalah tempat duduk di lantai atas, yang sejajar dengan ruang depan saat saya datang petang tadi. Gak nyangka saat saya menoleh, teras atas tersebut sudah penuh dengan pengunjung.
Terlihat seru berdiri di teras atas itu karena dengan berada di sana kita bisa melihat taman tempat duduk-duduk dengan lingkungan hijau dan teduh dari sebuah ketinggian. Suasana asri penuh dengan pepohonan besar yang terasa hadir bagai sebuah oase di tengah kota. Tenang, tidak bising, meski berada di tengah kota Jogjakarta.
Buka mulai pkl. 08:00 wib, saya yakin Tugu Lor Jogja pasti sering menerima tamu di pagi hari. Tamu untuk berbincang hangat sembari menikmati sarapan lalu diiringi dengan segelas kopi hangat untuk menyempurnakan pagi.
A cup of Tugu Loro Java, tempat istimewa seperti halnya Jogjakarta.
Tempat ini jugalah yang kemudian membuat saya berpikir.
Alih-alih pensiun di Bali, kenapa gak pindah ke Jogja aja ya. Kota budaya, kota sekolah yang adem, aman, damai dengan sentuhan slow living yang cocok untuk dinikmati oleh para pensiunan. Biaya hidup di sini pun cocoklah dengan isi dompet para purnakaryawan.
Saya kemudian mengkhayal. Enak kali ya punya rumah satu lantai dengan 3-4 kamar di Jogjakarta. Rumah ramah lingkungan dengan rona kehidupan yang melahirkan banyak rasa bahagia. Mengerjakan banyak hal atau berbisnis berdasarkan keahlian, hobi atau kesukaan. Selebihnya adalah menikmati masa tua berkualitas bersama suami serta anak keturunan.
Aroma kopi dari dapur di atas tadi mendadak kembali menyeruak ke indera penciuman saya. Menyusup ke hati meski dalam beberapa waktu kemudian saya harus meninggalkan keteduhan yang tercipta dari Tugu Lor Jogjakarta. Yang pasti tempat dengan nuansa jawa modern dengan elemen kayunya in telah begitu berkesan di hati. Sebuah jejak kenangan akan istimewanya Jogjakarta yang mudah-mudahan – nantinya – akan jadi kota pelabuhan terakhir saya di dunia.






IG @annie_nugraha | Email : annie.nugraha@gmail.com
Loh Mbak Maria juga ke Jogja, postingan terbarunya ke Raminten. Apa janjian ini sama Kak Annie?
gak Mas Adi, saya ke Jogja untuk “pulang”
sedangkan Mbak Annie ngebolang bareng temen-temennya ^^
Tapi saya berharap suatu saat saya bisa bertemu dengan Mbak Maria. Pengen punya banyak waktu ngobrol bareng.
Warga Jogja emang kreatif ya Mbak?
Mereka memadukan kultur budaya Jawa dengan budaya luar
di sekitar rumah saya di Jogja banyak yang menyulap rumah biasa jadi cafe
dan larisss!
Keren emang, mereka gak hanya mengandalkan bakpia, gudeg dan batik, tapi juga kreativitas
Bener banget Mbak Maria. Di Jogja tuh sentuhan kreativitasnya tinggi. Taste of art nya valuable banget. Bahkan untuk kuliner dengan venue yang estetik juga banyak menyebar. Bikin orang jadi kangen untuk kembali.
Kalau dari segi menu makanan saya gak komentar deh Bu, soalnya bikin laper hahaha.
Tapi kalo urusan yang sampe Bu Annie bisa terhanyut memotret sekitar, nah ini yang bikin saya angguk kepala, karena ternyata deskripsi dan hasil fotonya ya memang se-asik itu. Kayaknya gak hanya keren buat di foto, dibuat video terus nantinya ditambahkan kata-kata motivasi, beeuhh jadi makin estetik banget hasil kontennya. Hahah, ini dalam pikiran saya sih ๐
Setuju banget. Vibes lingkungan dan tempatnya sendiri meaningful banget. Kita seakan diajak untuk merenung dalam ketenangan. Saya pengen kembali dan duduk di area atas untuk penikmat kopi itu.
Sayang yaa An, sekarang sudah ngga beroperasi lagi. Padahal nuansa heritage dan estetiknya luar biasa.
Seriously gw โterhanyut keteduhanโ di Tugu Lor Jogja ini bukan cuma soal lokasi estetik, tapi juga tentang nostalgia, persahabatan, dan bagaimana tempat bisa jadi saksi percakapan hati.
Tambah sukacita setelah liat foto-fotonya dengan detail tanaman, sudut ruangan, diselipkan dengan tulisan dan obrolan ringan yang bikin pembaca merasa diajak nongkrong bareng. Keep writing like this, you such a wonderful talent untuk merangkai kata yang bikin tempat biasa jadi magis di mata pembaca…