Tersengat Kekaguman di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau

Tersengat Kekaguman di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau

Semalam, sebelum saya dan Bams mengakhiri perjalanan di Batam pada hari pertama, kami sempat berdiskusi dan merencanakan jadwal dan rute untuk hari berikutnya. Percakapan seru yang menambah rasa penasaran saya atas banyak destinasi wisata yang dimiliki oleh provinsi Kepulauan Riau. Yang, terus terang, belum banyak saya ketahui sebelumnya.

Setelah setengah hari saya habiskan untuk menyusur Pulau Belakang Padang lalu setelah itu mengitari kota Batam dan berkunjung ke amusement park, Puncak Beliung yang berada di Sekupang, saya pun menyampaikan keinginan untuk menjelajah Pulau Penyengat dan mampir mengunjungi satu tempat unik di Tanjung Pinang, ibukota provinsi Kepulauan Riau. Provinsi ke-32 di Indonesia yang mencakup Kota Tanjung Pinang, Kota Batam, Kabupaten Bintan, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kepulauan Anambas dan Kabupaten Lingga.

Dua tujuan tersebut di atas adalah usulan beberapa orang teman UMKM kota Batam yang sempat beberapa kali bertemu saya sebelumnya. Mereka semangat mengusulkan banyak tempat menarik yang tak boleh saya lewatkan. Dari cerita mereka inilah saya mendapatkan kesan luar biasa bagaimana provinsi Kepulauan Riau sesungguhnya menyimpan banyak kekayaan sejarah, cagar budaya, dan rentetan hal menarik yang wajib untuk dijelajahi.

Saya dan Bams pun sepakat untuk berangkat sepagi mungkin agar rute perjalanan yang lumayan memakan waktu ini dapat terjejak dalam satu hari. Semangat menjelajah pun semakin menjadi-jadi saat ijin untuk “berpindah dan menjelajah pulau” saya dapatkan dari penyokong dana jalan-jalan (baca: suami). Jadi setelah makan pagi sekenyang mungkin di Nagoya Hill Hotel Batam, tepat pkl. 08:00wib, saya pun berangkat dengan kacamata hitam andalan. Tak mau menyerah kalah dengan teriknya mentari yang garang bersinar sepagian itu.

Let’s go!!

Tentang Batam : Nagoya Hill Hotel Batam. Your Leisure is Our Pleasure

Tentang Batam : Menyusur Kehidupan Bersahaja Masyarakat Pesisir di Pulau Belakang Padang, Batam, Kepulauan Riau

Pengalaman Berlayar yang Mengesankan

Sebagai seorang yang hidup di daerah industri, melihat, menyentuh, dan berlayar di atas lautan adalah hal yang jarang sekali dapat saya nikmati dan alami. Setelah puas mendulang pengalaman ini saat enam kali menginjakkan kaki di Tidore, kemudian bersambung ke Ternate dan Morotai yang ada di Maluku Utara, saya baru merasakan serunya berlayar saat mengunjungi Pulau Belakang Padang. Jadi eksplorasi ke Pulau Penyengat serta Tanjung Pinang ini akan menjadi satu cerita baru dan pengalaman yang patut untuk diceritakan kembali.

Mari kita kemon.

Sekitar 30 hingga 45 menit menyusur kota, saya pun tiba di Pelabuhan Telaga Punggur kota Batam. Kesibukan tampak di berbagai sisi. Bahkan saat kami tiba pun parkiran mobil tampak sudah berdesak-desakan. Tapi alhamdulillah Bams menemukan satu spot yang lumayan nyempil di bagian paling ujung parkiran. Beres urusan menitipkan mobil, saya melangkah tegap menuju lantai dua yang disesaki oleh teriakan mbak-mbak yang menawarkan tiket kapal ferry. Persis seperti di terminal bis. Saya tergugu. Ternyata di pelabuhan ini ada beberapa Bianca Castafiore yang kuat “bernyanyi” dengan lantang (tau kan siapa Bianca Castafiore?). Bedanya cuma satu. Jika Bianca menyanyi di atas panggung, mbak-mbak ini “menyanyi” di hadapan para calon penumpang kapal ferry.

Saya mendekati salah seorang diantaranya. Menurut info, tak lama dari waktu ketibaan saya tersebut, tersedia MV Oceanna 10 yang siap berangkat dalam beberapa menit kemudian. Saya pun bersegera membayar tiket senilai Rp69.000,00/orang ditambah Rp10.000,00/orang untuk retribusi.

Sejenak saya menyempatkan berdiri di ujung ruang tunggu dengan dindinng kaca yang meraih tingginya ceiling. Di pinggir ruangan ini berderet toko oleh-oleh, warung makan dan minum, dan sebuah cafe. Wangi kopi pun menyeruak masuk tanpa permisi ke indera penciuman saya. Seandainya ada waktu lebih, saya tentunya berkenan nongkrong di sana, menyeruput segelas besar kopi hitam, dan membuang pandangan ke laut luas yang ada di depan pelabuhan. Tapi lambaian tangan Bams dari kejauhan yang meminta saya agar segera bergerak, membatalkan impian tersebut. Panggilan untuk segera masuk kapal pun sudah berulangkali terdengar.

Sebagai informasi tambahan, kapal ferry dari Pelabuhan Telaga Punggur kota Batam menuju Pelabuhan Sri Bintan Pura yang saya tuju dan ada di kota Tanjung Pinang ini opsinya banyak loh. Kapal pertama yang berangkat dari Batam itu pkl. 07:30wib dan yang terakhir adalah pkl. 17:30wib. Begitupun sebaliknya. Kapal berangkat setiap 30 menit. Tapi ini tentu saja dengan catatan bahwa cuaca kondusif dan aman untuk melakukan pelayaran. Saya termasuk salah satu yang (sangat) beruntung. Setelah sempat tersentuh rintik hujan, langit mendadak terang benderang saat kapal ferry yang saya tumpangi membuang sauh dan ngegas dengan full capacity di atas laut.

Tersengat Kekaguman di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau
MV Oceanna 10 di Pelabuhan Telaga Punggur Batam

Ferry MV Oceanna 10 ini, menurut saya, masih masuk dalam skala kapal cepat kelas menengah. Jumlah dudukannya sekitar 100an dengan kondisi tempat duduk yang sangat padat di tiga area. Saya tadinya ingin duduk di area depan yang lebih tinggi, namun sayang di sana sudah penuh. Begitupun dengan sisi belakang. Saya harus duduk di bagian tengah, yang ternyata juga sudah sangat padat. Di tengah ini jendela kaca terletak lebih tinggi dari kursi. Jadi dengan tinggi badan yang nge-pas seperti saya, tentu saja tidak bisa menikmati pemandangan laut. Saya memutuskan untuk memejamkan mata dalam hampir satu jam kedepan dan merasakan goyangan kapal yang berlari kencang di atas ombak.

Kapal cepat yang saya naiki mulai melambat saat menyentuh perairan yang lebih dangkal di Pelabuhan Sri Bintan Pura. Kesibukan orang berlalu lalang terlihat menyemut di jalur khusus masuk dan keluar. Tampak langkah tergesa-gesa (calon) penumpang yang mungkin saja mengejar waktu. Sementara saya masih terlimbung-limbung menjejak langkah menuju pintu keluar. Bahkan limbungnya masih terasa hingga sampai di sisi terluar pelabuhan yang lagi-lagi menghadirkan coffee shop yang sedang menggiling dan menghidangkan kopi. Alamak jang. Wanginya memang tiada dua ya. Godaan maha berat yang kembali harus saya lewati.

Pengen sih nongkrong ngopi dulu. Tapi jika ini saya lakukan berarti ada sekian menit, bisa jadi hingga 30 menit terlewatkan dari rangkaian perjalanan. Sementara saya harus berpindah ke Dermaga Penyengat untuk melanjutkan perjalanan. Take-a-way a cup juga sepertinya kurang bijak karena di penggalan perjalanan berikut saya harus menaiki perahu pompong. Sebuah kapal kayu kecil bermesin tunggal untuk mencapai Pulau Penyengat. Gak banget kan jika kopi di dalam gelas tersebut ikut terombang-ambing dan tumpah selama dalam perjalanan.

Asik memikirkan kopi tadi, sepanjang berjalan kaki, berpindah dari pelabuhan Sri Bintan Pura menuju Dermaga Penyengat yang lokasinya bersisian, saya melihat banyak sekali para pedagang mamin (makanan dan minuman) yang berderet menggoda. Mulai dari nasi uduk, kue-kue, mie ayam, dan lain-lain. Tapi yang tampak sungguh menggugah selera adalah otak-otak. Sebagai penggemar olahan ikan, asap yang tiada henti mengepul dari bakaran otak-otak dan ramainya pejalan yang mampir sempat membuat saya ingin ikutan beli.

“Di Pulau Penyengat nanti banyak Kak. Kita makan di sana aja,” ujar Bams yang membuyarkan perhatian saya. Baiklah.

Tak ingin melenceng dari rencana dan perhitungan waktu yang sudah tersusun, saya berjalan tegap mengikuti langkah Bams, bapak lima anak yang memang jempolan ligatnya. Dermaga Penyengat yang harus kami raih sebenarnya tak jauh dari pelabuhan Sri Bintan Pura. Dermaga ini ukurannya cukup kecil dengan pintu masuk yang nyelip diantara rumah penduduk atau bangunan ruko yang berjejer di jalanan depan. Saya melangkah meniti jejak menuju ujung dermaga. Lantai kayu yang dominan terpasang sepanjang dermaga terlihat mulai minta direnovasi. Di salah satu sisi, terdapat parkiran motor yang berjejer rapi dan padat. Lagi-lagi, sebagai provinsi kepulauan, bisa jadi para pemilik motor ini adalah mereka yang harus bekerja di pulau lain dan transportasi laut adalah satu-satunya moda yang harus dan bisa mereka gunakan.

Hingga menggapai ujung dermaga, saya melihat bahwa tempat ini sepertinya sudah butuh banyak perbaikan. Derit sambungan kayunya mulai terasa nyaring dan sangat berdentam saat dilewati motor. Ada beberapa gubuk dan rumah yang juga tampaknya sudah ditinggalkan. Saya menemukan salah satu bangunan kecil yang tampaknya tidak terurus dengan atap seng yang sudah melonggar disana-sini. Saya mendadak merinding. Jika ada angin kencang, bukan tidak mungkin atap seng tersebut akan terbang bersama angin. Tapi setelah dipandangi, sudut yang terlihat tua ini estetik banget untuk difoto. Saya pun meminta Bams untuk memotret. Mengambil sudut terjauh sehingga beningnya air laut dan indahnya langit biru serta beberapa bangunan yang berdiri di atas air dan dikelilingi banyak perahu kayu, bisa ikut terekam dengan baik.

Tersengat Kekaguman di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau
Gapura Dermaga Penyengat di Tanjung Pinang

Tersengat Kekaguman di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau
Salah satu sisi bangunan tua yang ada di Dermaga Penyengat

Tersengat Kekaguman di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau
Barisan perahu pompong di Dermaga Penyengat

Tersengat Kekaguman di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau
Gapura megah dan gagah di Pulau Penyengat

Tentang Batam : Menyesap Kelezatan Hidangan Laut di Kelong Baba Batam

Damainya Bersujud di Masjid Raya Sultan Riau, Pulau Penyengat

Tak lama menunggu, perahu pompong berbodi kayu dan bermesin tunggal membawa saya menyeberang. Butuh hanya 15 menit berlayar antara Tanjung Pinang dan Pulau Penyengat. Jaraknya sekitar 1.8km saja. Bahkan dari titik berangkat tadipun dan beberapa menit berlayar, saya sudah bisa melihat kubah besar sebuah masjid berwarna perpaduan antara kuning dan hijau yang menjadi ikon Pulau Penyengat. Masjid Raya Sultan Riau atau Masjid Sultan Riau namanya.

Saya turun dari perahu dengan semangat menjelajah yang prima. Tak terperi bahagianya karena akhirnya saya bisa menginjakkan kaki di sebuah pulau kecil dengan jumlah penghuni hanya/sekitar 2.500 jiwa tapi punya segudang destinasi wisata yang berharga. Pijakan semen mengiringi ketibaan saya berikut dengan sebuah gerbang berwarna sama dengan Masjid Raya Sultan Riau. Di gerbang ini terpampang tulisan “Selamat Datang di Pulau Penyengat.”

Seperti info yang Bams sampaikan, di pinggir dermaga banyak sekali warung yang menjajakan masakan serba ikan, termasuk otak-otak ikan dan sotong. Terbungkus oleh pelepah nipah, isinya tampak padat dan pipih dengan warna kemerahan. Sangat berbeda dengan otak-otak yang biasa saya makan. Saya sempat mencoba tapi tak kuat dengan kepedasannya. Takut lambung memberontak dan bikin acara ngelencer berantakan. Di sepanjang jalan tadi, selain otak-otak, setiap warung juga menawarkan beragam ikan bakar. Asap yang kerap dan tanpa henti melambung menandakan bahwa menu yang satu ini jadi favorit atau setidaknya paling sering dipesan oleh pengunjung.

Bams mengajak saya masuk ke sebuah kedai yang persis berada di dekat kaki masjid. Kami punya 30 menit waktu kosong menuju salat Dzuhur. Saya memutuskan untuk makan siang terlebih dahulu sebelum akhirnya menyentuhkan kepala di atas sajadah dan menikmati empat rakaat yang diwajibkan sesiangan itu di masjid yang sangat bersejarah dan telah menjadi satu dari sekian banyak cagar budaya yang dilindungi oleh negara.

Salah satu nikmat sebuah perjalanan yang tak terbantahkan. Bahkan sembari menikmati sepiring nasi goreng kampung untuk saya dan nasi ayam goreng untuk Bams, saya mengisi relung kalbu dengan mendengarkan lantunan ayat suci Qur’an yang terdengar dari arah masjid. Masakan yang dipesan pun terasa nikmat meski disajikan dengan cara sederhana. Tapi semua terkalahkan oleh kelezatan rasa dan keramahan para ibu yang menyambut saya dengan wajah semringah dan melayani dengan sepenuh hati. Luar biasa baiknya. Saya mendadak langsung tersengat dengan apa yang dihidangkan oleh Pulau Penyengat.

Tadi sembari makan siang, saya dan Bams sempat berbincang tentang profesi blogger yang sedang saya tekuni. Bagaimana jejak perjalanan menjadi seorang penulis lepas lika liku selama menjajaki profesi ini. Bams pun sebenarnya adalah seorang blogger, penulis kisah perjalanan yang bergabung dengan komunitas blogger batam dan kepri. Saya antusias mendengarkan apa yang Bams sampaikan. Khususnya tentang bagaimana melebur dalam komunitas menulis dan bekerjasama dengan semua anggota. Bahkan saya pun kenal dengan Bams lewat komunitas blogger batam. Sebaliknya, saya pun bercerita tentang minat saya untuk menjadi penulis professional dan berharap dapat melahirkan buku tentang perempuan seperti yang dikerjakan oleh Dhenok Hastuti. Salah seorang rekan blogger yang saat ini bermukim di Bandung.

Tersengat Kekaguman di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau
Masjid Raya Sultan Riau, Pulau Penyengat, Kepulauan Riau

Tersengat Kekaguman di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau
Tangga dan pintu masuk Masjid Raya Sultan Riau, Pulau Penyengat, Kepulauan Riau

Adzan dzuhur pun terdengar indah di telinga persis saat saya menghabiskan butir terakhir nasi goreng. Saya bergegas melangkahkan kaki ke sebuah tangga menuju sisi dalam masjid. Tangga semen itu tampak cukup terjal, tinggi, dan lebar dengan dua pegangan tangga yang sangat kokoh. Sebuah gerbang besi tampak terbuka lebar di bagian tertinggi tangga. Dari gerbang ini ada penanda “Batas Suci” yang berarti bahwa setiap pengunjung wajib melepas alas kaki. Ada beberapa rak sepatu yang disediakan di sana dan itu sudah terlihat penuh. Tampaknya banyak wisatawan yang memang bersengaja memulai kunjungan di Pulau Penyengat dengan menjalankan salat di masjid Raya Sultan Riau ini.

Sayang pengunjung tidak diperkenankan berfoto di dalam masjid. Padahal banyak sekali sisi kuno dan legenda yang bisa menambah pengetahuan kita tentang sejarah bangunan ibadah di jaman kesultanan pada tahun 17an hingga 18an. Salah satunya yang sempat saya intip adalah sebuah mimbar kayu yang tampak sekali sudah sangat tua. Kabarnya mimbar ini adalah warisan sejak Masjid Raya Sultan Riau ini berdiri.

Sengatan sinar matahari tampak garang menyentuh lantai teras Masjid Raya Sultan Riau. Pantulan cahayanya cukup menyilaukan mata. Tapi saya menikmatinya karena pertolongan kacamata hitam yang saya kenakan. Berkat kacamata ini juga, saya bisa mendangak menyaksikan 13 kubah dan empat menara runcing yang tegak dengan gagahnya. Tarikan garis hijau tampak begitu menyempurnakan warna kuning yang membuat masjid ini mudah dilhat dari kejauhan. Jika saya tidak salah mengamati, ada sepuluh kubah yang berbentuk bulat di bagian tengah, tiga berbentuk persegi dan empat kubah menara. Semuanya saya yakin ada hubungannya dengan berbagai aturan dan pakem yang mengikat dalam agama Islam.

Masjid peninggalan Riau-Lingga ini, menurut kisahnya, dibangun oleh Sultan Mahmud pada 1803 sebagai bentuk cinta dan hadiah istimewa untuk istrinya. Saat itu masjid dibangun dengan bahan dasar kayu. Peletakan batu pertama terjadi di 1761. Seiring dengan berjalannya waktu, masjid dengan keseluruhan kompleks berukuran 54.4×32.2m ini direnovasi dan diperluas oleh Sultan Abdurrahman pada 1831 hingga 1844. Lantai bangunan kemudian dibuat dari batu bata berbahan tanah liat. Dinding diperkuat dengan semen yang salah satu kandungan plesternya adalah putih telur. Di jaman itu, putih telur memang dijadikan bahan perekat yang menyatu dengan pasir dan kapur. Karena keunikan ini Masjid Raya Sultan Riau ini sering juga disebut dengan nama Masjid Putih Telur.

Masih di teras masjid. Diantara kerumunan wisatawan yang menyemut, mata saya terpaku pada dua bangunan kecil yang berbentuk persegi yang terlihat nyaman untuk berkumpul. Rumah Sotoh namanya. Rumah yang berfungsi sebagai tempat istirahat para musafir atau sebagai tempat pertemuan dan musyawarah. Di area lainnya juga terlihat dua Balai yang kabarnya biasa digunakan untuk menaruh makanan saat ada kenduri atau berbuka puasa saat Ramadan. Saya membayangkan Rumah Sotoh ini tentunya juga damai untuk dijadikan tempat itikaf atau mengadakan pengajian rutin bagi masyarakat setempat.

Saya masih terpaku dengan hidangan keindahan Masjid Raya Sultan Riau saat Bams mengingatkan saya untuk segera turun dan melanjutkan perjalanan. Sebuah bentor dengan dudukan beratap dengan bagian pengendara yang berada di sisi kanan. Kondisi ini memungkingkan penumpang untuk bisa melihat pemandangan yang terbentang selama dalam perjalanan. Visual bentor ini sungguh unik dan menarik. Tempat duduk kayu dan jok bantalan itu cukup lebar untuk diduduki oleh dua orang dewasa berbodi sedang. Luas pandangnya juga cukup dan melegakan. Berbeda dengan becak yang saya naiki di Pulau Belakang Padang, becak di Pulau Penyengat ini adalah becak motor. Jadi pengendara tak lelah untuk menganyuh. Apalagi rute yang dilewati sering berkelok-kelok dan menanjak. Beberapa jalur jalannya juga sudah tidak rata. Ada sebagian besar yang sudah rusak karena pecahnya semen pijakan atau lubang yang lumayan lebar.

Tersengat Kekaguman di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau

Tersengat Kekaguman di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau

Tersengat Kekaguman di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau
Pemandangan yang terekam dari Masjid Raya Sultan Riau

Tersengat Kekaguman di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau
Bentor yang mengantarkan saya keliling Pulau Penyengat

Menari dan Berpakaian Adat Melayu di Balai Adat Melayu Kepulauan Riau

Tujuan saya berikutnya adalah Balai Adat Melayu Riau atau yang juga disebut Balai Adat Indera Perkasa. Sembari naik bentor tadi, saya sempat melewati beberapa bangunan kuno seperti gedung Engku Bilik, gedung Mesiu, gedung Tabib, Istana Kantor, dan beberapa makam bersejarah. Letaknya berdekatan. Ada yang dipagari dinding tinggi tapi ada pula yang bisa kita lihat sembari berlalu. Saya tidak mampir ke gedung-gedung tua ini tapi langsung tancap gas berhenti di Balai Adat Melayu Riau.

Saya tiba disertai deburan ombak laut yang berada persis di depan balai. Sudah terparkir beberapa bentor yang membawa wisatawan yang tadi bertemu di Masjid Raya Melayu Riau. Suasana jadi ramai dan riuh rendah saat anak-anak berlarian ke pinggir pantai yang saat itu tampak tenang dan damai. Sebagian pengujung tampak sibuk memotret bangunan bersejarah dan tradisional, yang membawa pakem adat Melayu Selasa Jatuh Kembar ini. Terlihat empat bangunan lain yang berada di dekat balai dan sebuah kios kecil yang menjual souvenir.

Bams bersegera mengajak saya ke salah satu sisi bangunan balai dan masuk melewati beberapa tangga kecil. Di teras samping yang semi tertutup ini, Bang Mustafa sudah menunggu. Beliau dan istrinya menyewakan pakaian adat Melayu, untuk lelaki dan perempuan, dalam berbagai ukuran dan warna. Stoknya banyak berikut dengan pernak-pernik yang tak terhitung lagi jumlahnya. Saya memilih warna merah. Salah satu warna kesukaan saya yang gemerlap dan menjadi ciri khas Sumatera Selatan. Warna yang begitu pas jika dipadupadankan dengan perlengkapan berwarna emas seperti baju adat Palembang yang saya kenakan saat pernikahan 25 tahun yang lalu.

Banyak spot foto yang estetik untuk mematut diri dengan menggunakan baju adat Melayu. Hanya dengan biaya sewa Rp50.000,00/pakaian/orang selama maksimum dua jam, saya puas berpose di setiap sudut balai. Di dalam dan luar ruangan, di dekat jendela dengan ukiran indah, dan juga di tangga depan, pintu masuk utama balai. Saya bahkan sempat berfoto bersama seorang ibu yang berasal dari Malaysia yang menggunakan baju adat Melayu berwarna kuning. Kontrasnya kuning dan merah tentunya cantik untuk diabadikan. Saya sempat ngobrol sebentar dan berkenalan. Ternyata beliau datang dari Melaka bersama keluarga besar.

Ibu Nila, nama ibu ini, menuturkan bahwa mereka bersengaja datang ke Pulau Penyengat untuk menyusur kisah sejarah dan keterikatan masa lampau antara tanah kelahirannya dengan bumi Kepulauan Riau. Saya hanya bisa mengangguk karena belum pernah sekalipun menyusur referensi tentang hal ini. Tapi yang pasti konsep “serumpun” yang telah disosialisasikan sejak puluhan tahun yang lalu. Indonesia dan Malaysia sebenarnya sudah menjejak konsep ini lewat media TV (dulu lewat TVRI) dengan menghadirkan sebuah acara TV berjudul “Serumpun” yang juga bekerjsama dengan negara Brunai Darussalam. Yang masa remajanya seangkatan saya dan Bu Nila ini pasti paham.

Tersengat Kekaguman di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau

Sembari mengenakan baju adat Melayu berwarna merah, Bams mengajak saya ke teras depan balai untuk berfoto. Dengan sudut foto 45′, Bams memotret dari halaman bawah sementara saya berdiri di dekat pagar teras depan balai yang setengah terbuka dan sesak oleh ukiran berwarna kekuningan. Banyak sekali hasil jepretan yang ciamik dari bermenit-menit sesi foto di sini. Senangnya bukan kepalang.

Saat melangkah tadi, saya melihat banyak sekali ukiran-ukiran di tangga, pintu, dan dinding balai. Dari beberapa artikel yang saya baca, ukiran ini adalah ukiran khas Melayu yang sering disebut Sembelayung, Lebah Bergayut, dan Pucuk Rebung. Di satu sisi teras depan saya membaca rangkaian diksi indah yang dikenal sebagai Gurindam Dua Belas. Puisi lama (old poetry) atau puisi Melayu Klasik yang ditulis oleh Raja Ali Haji. Seorang sastrawan, pahlawan nasional, dan bangsawan dari Kesultanan Lingga, cikal bakal dari berdirinya provinsi Kepulauan Riau. Gurindam Dua Belas sendiri menjadi salah satu karya agung di dunia sastra Indonesia. Sementara nama Raja Ali Haji sendiri menjadi nama museum yang sekarang berlokasi di Batam Centre. Alhamdulillah saya sudah mengunjungi museum ini beberapa bulan sebelum kunjungan ke Pulau Penyengat ini.

Bangunan atau rumah panggung tradisional Melayu yang dibangun pada 1985 dan berada di Kampung Ladi ini ikut meramaikan berhasilnya Pulau Penyengat dalam meraih peringkat pertama sebagai Desa Wisata Rintisan pada event Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) 2023 yang diselenggarakan oleh Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf). Penyerahan penghargaan langsung dilakukan oleh Mentri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno, kepada Walikota Tanjug Pinang, Rahma, di Teater Tanah Airku, Taman Mini Indonesia Indah.

Tersengat Kekaguman di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau

Tersengat Kekaguman di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau

Tersengat Kekaguman di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau

Lalu apa cerita tentang menari di balai ini? Ini tuh benar-benar tak diduga dan direncanakan. Sementara berada di antrian untuk berfoto di replika singgasana yang ada di tengah balai. Bams tiba-tiba mengajukan ide agar saya menari.

“Eeehh, nari apa Bams? Tak pun ada alat musik di dalam sini?” jawab saya sembari senyum dikulum.

“Lenggak lenggok aja lah Kak. Macam tari khas Melayu tuh. Kakak bisa kan menari?” tantang Bams penuh semangat.

Saya tak menjawab tapi sibuk berpikir. Dulu sekali, puluhan tahun yang lalu, saat masih SD, saya memang sering didapuk mengerjakan banyak hal oleh guru. Mulai dari jadi komandan upacara, petugas penaikan bendera, pelempar bola kasti, dirigen dan anggota paduan suara, termasuk menari. Alasan para guru waktu itu adalah agar energi aktif saya yang berlebihan itu bisa tersalurkan. Sering dipaksa untuk ikut aneka lomba mewakili sekolah. Kadang menang tapi sering juga kalah. Tapi saya dikenal guru sebagai anak yang bermental baja. Cuek dengan hasil. Yang penting kan prosesnya. Pengalaman berlaga, menurut alm Ayah saya, adalah satu dari sekian banyak cara untuk mencabar mental. Dan itu saya ingat terus hingga sudah setua ini.

OK. Back to urusan menari tadi. Saya tetiba teringat waktu resepsi pernikahan saya. Sebelum naik ke atas pelaminan, ada prosesi adat Palembang yang harus saya lakukan. Diantaranya adalah menari di atas wadah besar yang terbuat dari logam berwarna keemasan. Saya dipasangkan Tanggai (hiasan jari yang melentik) lalu menari di atas wadah tersebut. Jadilah saya menari sebisa dan seingat yang pernah saya lakukan dulu. Gak ribet dan susah sih. Tinggal bergoyang kanan kiri sembari melentikkan jari dan menselaraskan posisi lengan dan pinggang dengan tangan yang bergerak bebas. Persis seperti tari Langgam Dua Belas, tari tepopuler dari suku Melayu.

Apalah susahnya. Mumpung juga kan sudah berbusana adat yang pas banget dengan konsep tari Melayu. Menari tanpa iringan lagu tapi hitungannya sudah saya kenali. Jadi ketika lenggak-lenggok ini di upload di IG saya (@annie_nugraha), iringan lagu Melayunya sudah pas saat dipadupadankan.

Ketika hasil rekamannya sudah dipoles Bams dengan lagu yang pas, saya mendadak gembira tak terkira. Lumayan banget buat kenang-kenangan pernah berkunjung ke Balai Adat Melayu Riau di Pulau Penyengat.

Etapi saya ada masukan nih, untuk semua stakesholders yang terlibat dalam pengurusan dan pemeliharaan balai ini. Setelah puluhan tahun eksis sepertinya balai ini butuh direvitalisasi. Banyak sekali kayu-kayu yang mulai melapuk, cat yang memudar, dan kain-kain yang sepertinya sudah lama tidak terbasuh. Pencahayaan di dalam balai juga butuh lebih terang lagi agar keindahan balai bisa dinikmati dengan sempurna. Ada baiknya juga disediakan tour guide yang siap sepanjang balai dibuka untuk umum. Lalu juga sediakan area khusus untuk menampilkan keindahan koleksi wastra Melayu dan buku-buku tentang sejarah Kesultanan Lingga atau banyak hal yang berhubungan dengan lahirnya provinsi Kepulauan Riau serta obyek-obyek wisata yang tersedia. Hal ini tentunya bisa menjadi bagian penting dari jejak sejarah, budaya, dan pengembangan dunai pariwisata itu sendiri.

Makam Raja Haji Fisabililah (Raja Ali Haji)

Tersengat Kekaguman di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau

Saya mengenal nama besar Raja Haji Fisabililah saat mengunjungi Museum Raja Ali Haji yang berlokasi di Batam Centre. Destinasi wisata sejarah pertama yang saya kunjungi setelah belasan tahun tidak kembali ke Batam. Museum ini sendiri memiliki bangunan yang unik karena bentuknya 1/3 bulat dengan beberapa kubah dan tiang yang serupa dipakai oleh banyak masjid. Saat pertama tiba pun saya tidak menyangka bahwa tempat yang saya kunjungi itu adalah museum.

Penggunaan nama Raja Haji Ali sebagai identitas museum tentunya atas banyak pertimbangan. Tapi menurut saya alasan terkuat adalah karena Raja Haji Fisabililah adalah pahlawan nasional yang menjadi kebanggaan masyarakat Melayu Riau. Dikenal dengan sebutan Pangeran Sutawijaya (Panembahan Senopati) dan Bapak Bahasa Melayu Indonesia, lelaki yang lahir pada 1808 ini telah berkontribusi besar melahirkan pedoman tata bahasa Melayu standard. Hal ini lah yang kemudian, pada Sumpah Pemuda 1928, dijadikan pedoman dan asal muasal lahirnya bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.

Pengukuhan gelar pahlawan nasional yang diberikan kepada Raja Haji Fisabililah adalah berlandaskan oleh alasan di atas. Gelar ini diberikan pada 10 November 2004 oleh Presiden ke-6 Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono. Bertepatan dengan perayaan hari Pahlawan yang tertuang pada Surat Keputusan Presiden No. 072/TK/1887. Nama beliau kemudian juga tersematkan untuk bandar udara di Tanjung Pinang, ibukota provinsi Kepulauan Riau. Jika teman-teman berkesempatan terbang ke Tanjung Pinang, maka akan membaca Bandara Internasional Raja Haji Fisabililah di sana.

Beberapa referensi menyebutkan bahwa Raji Haji Fisabililah lahir di Selangor, Malaysia. Tapi ada juga yang menuliskan bahwa beliau lahir di Pulau Penyengat. Karena itu, saat wafat jenazah beliau dibawa dan dimakamkan di tempat kelahirannya. Tapi apapun dan dimanapun beliau lahir, makam beliau yang saya kunjungi terlihat tertata, terawat, dan terurus dengan baik. Di bawah lindungan banyak pohon yang besar, tinggi, dan rindang, kompleks pemakaman ini mengingatkan saya akan Masjid Raya Sultan Riau yang didominasi oleh warna hijau dan kuning. Semua nisan yang terpasang dan terbungkus kain kuning. Letak antara makam pun cukup lega agar pengunjung dapat melangkah dengan aman tanpa harus bersentuhan dengan pinggiran makam yang lain.

Makam Raja Haji Fisabililah terletak di sudut terujung dengan satu petak khusus di sekelilingnya lalu dilindungi oleh atap yang memanjang. Beginilah sepantasnya orang semashur beliau diperlakukan. Apalagi mengingat bahwa jasa beliau pada dunia sastra dan literasi tanah air sudah tidak diragukan lagi. Karya fenomenalnya, Gurindam Dua Belas, yang saya baca di Balai Adat Melayu Riau tadi, adalah salah satu bukti identitas sastrawan yang melekat pada diri beliau.

Di dalam kompleks pemakaman ini juga terdapat makam para raja, seperti Raja Kesultanan Riau Lingga, Raja Ahmad Syah, Raja Abdullah dan banyak kerabat yang memiliki hubungan darah dengan lingkungan istana.

Tentang Batam : Menyaksikan Jejak Sejarah Batam di Museum Raja Ali Haji

Perjalanan Budaya yang Akan Selalu Dikenang

Sebagai seorang pejalan dan penulis yang sangat menyukai jejak sejarah, kunjungan ke Pulau Penyengat ini menjadi satu bagian perjalanan budaya yang akan selalu dikenang. Apa yang pernah diceritakan oleh beberapa teman nyatanya bisa saya buktikan langsung. Bahkan melebihi ekspektasi yang hinggap di kepala sebelum berangkat. Banyak hal bisa saya rasakan, catatkan, fotokan, dan tuliskan dengan hati yang tercerahkan dan tergembirakan. Semesta pun, dengan kebijakannya, menjadikan perjalanan saya ini tersusun dan terlaksana dengan baik tanpa satupun hambatan berarti.

Sesi perjalanan lautpun lancar dan selamat. Langit cerah dengan warna biru dan putih sempurnanya awan. Makan juga enak. Badan dalam kondisi fit sehingga saya tegap melangkah. Dan tentu saja seorang teman perjalanan yang sangat informatif dan sangat mendukung serta memahami apa yang saya inginkan.

Saya bahkan menyempatkan diri menoleh kembali saat sudah berada di Dermaga Pulau Penyengat. Air laut tenang dan damai saat perahu pompong membawa saya kembali ke Tanjung Pinang. Masih ada beberapa titik wisata yang sempat saya lewatkan. Karena jika ingin semuanya dilamati, saya harus menghabiskan satu hari penuh di Pulau Penyengat. Bahkan akan semakin santai menjelajah saat bisa bolak-balik dengan menginap di Tanjung Pinang.

Kembali lagi? Kenapa enggak. Untuk Pulau Penyengat yang sarat dengan cerita, saya tidak akan ragu sedikitpun. Apalagi tanpa saya sadari saya melewatkan satu sisi penting dari perjalanan yaitu sisi kuliner. Di saat datang menjelang dzuhur tadi, saya hanya sempat makan siang dengan menu biasa. Menu yang sejatinya bukan “wajah asli” dari Pulau Penyengat. Dan ini jadi janji buat saya untuk kembali menyapa Pulau Penyengat.

Tersengat Kekaguman di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau
Salah satu sisi dermaga di Pulau Penyengat

Tersengat Kekaguman di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau
Barisan perahu pompong dan rumah-rumah di pinggir laut yang terlihat dari dermaga di Pulau Penyengat

Blogger, Author, Crafter and Photography Enthusiast

annie.nugraha@gmail.com | +62-811-108-582

26 thoughts on “Tersengat Kekaguman di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau”

  1. Masyaallah kalau sudah dpt ACC dr penyokong dana, mah.. bahagia banget pasti mbak.. hahaha..
    Km cantik banget saat pakai pakaian adat mbak. Ngomong-ngomong Mbak Annie kalau foto, pakai HP apa kamera, mbak? Karena hasilnya bagus banget.

    Reply
    • Alhamdulillah. Suami sih orangnya gampang memberi ijin sepanjang apa yang dilakukan tak melanggar tata kesopanan, agama dan memberi manfaat.

      MashaAllah makasih untuk complimentnya Laela. Semenjak kena saraf kejepit, saya sudah gak motret pakai kamera analog lagi. Sekarang pakai iphone seri promax. Lebih ringan, gampang dibawa, dengan resolusi yang jempolan. Gak repot lagi saat masih bawa2 kamera.

  2. Masjid Putih Telur itu sepertinya memang salah satu destinasi wisata andalan Pulau Penyengat. Dari beberapa tahun lalu ketika ada kawan blogger membagikan perjalanannya di Pulau Penyengat, masjid ini tak absen dari agenda.

    Kayaknya mbak Annie sepanjang jalan terngiang-ngiang sama kopi terus nih haha. Semoga setelah membaca tulisan ini, pemerintah setempat segera memperbaiki Dermaga Penyengat.

    Reply
    • Betul banget Gi. Masjid Raya Sultan Riau ini memang sudah jadi ikon dari Pulau Penyengat. Sebagai salah satu cagar budaya nasional, masjid ini juga punya sejarah yang panjang dan patut untuk disimak. Semoga tetap terus terpelihara keindahan dan kelestariannya. Bisa terus menjadi destinasi wisata budaya dan religi saat kita berada di provinsi Kepulauan Riau.

  3. Mba, aku malah salfok bentornya. Cantik dan meriah sekali ya warnanya. Di Pulau Penyengat memang kebanyakan warna dominan hijau kuning ya mba?
    Viewnya cantik sekali, langitnya cerah dipadu biru pantai Pulau Penyengat. Menenangkan sekali duduk menikmati pemandangan di sana ya mba

    Reply
    • Bentornya jadi salah satu daya tarik pariwisata di Pulau Penyengat ya. Ada sentuhan budaya Melayu juga di bentornya. Konsep yang mengagumkan. Menjadikan wisata sangat menyatu dengan wisata edukasi.

  4. Kedepannya Dermaga itu semoga mendapatkan perhatian yang lebih dari instansi terkait ya. Supaya makin bagus dan maksimal.

    Takjub dengan Masjid Putih Telur yang jadi bahan perekatnya untuk menyatukan pasir dan kapur. Semoga suatu saat saya bisa berkesempatan mengunjungi Masjid Putih Telur itu…
    Aamiin…

    Reply
    • Aamiin YRA. Semoga suatu saat Teh Okti bisa berada di sini. Menyaksikan rangkaian budaya Melayu yang legendaris dan terekam begitu indah lewat beberapa bangunan yang indah dan bersejarah.

  5. Perjalanan panjang yg pasti melelahkan, tapi ga akan terasa karena suguhan pemandangan yg indah sangat. Berasa ikut dalam perjalanan meski hanga membaca tulisan bu annie. Semoga bisa juga menginjakkan kaki ke pulau ini.

    Reply
    • Bener Mbak Sendy. Tak sia-sia melewati rangkaian perjalanan jauh via laut setelah melihat keindahan wisata di Pulau Penyengat. Salah satu destinasi wisata yang sangat berharga dan yang dimiliki oleh Kepulauan Riau. Semoga bisa terus terjaga dan lestari.

  6. Asiknya menikmati pemandangan alam sekitar, bisa banyak menangkap dan mengabadikan momen, dan memori bakal full dah haha.
    Yang penting sih jam kapal pertama dan yang terakhir diketahui sih ya, biar gak kebablasan sangking asiknya healing eh kelupaan jam terakhir kapal berlayar

    Reply
    • Betul banget Fen. Karena memang masih mengandalkan transportasi laut, jadwal pulang dan pergi kapal laut memang harus diperhatikan dengan teliti.

  7. jepretan dan reportase Mbak Annie selalu emejing

    serasa ikutan jalan-jalan bareng Mbak Annie

    beda dengan Mbak Annie yang hidup di kawasan industri, saya lahir dan besar di kawasan pegunungan

    jadi ketika harus memilih piknik lautan/pantai atau pegunungan, saya pasti pilih pantai

    apalagi bintang saya cancer, yang konon merupakan hewan laut :D

    Reply
    • Memotret jejak perjalanan gak cuma sekedar hobi Mbak Maria. Saya ingin banget bisa merekam setiap langkah yang saya ambil sebagai kenang-kenangan yang tak terlupakan. Karena itu, saya terus belajar memotret yang apik dari masa ke masa, dengan beberapa orang professional di bidang ini. Alhamdulillah semoga ilmunya semakin baik dari hari ke hari sehingga bisa dinikmati oleh orang banyak.

  8. Pulau penyengat sarat akan unsur budaya, sejarah melayu yg masih terjaga sampai saat ini. Jika pengembangannya terus dilakukan bukan tidak mungkin kawasan ini akan menjadi sektor wisata budaya yg begitu potensial terlebih jika dikombinasikan dengan kreativitas yang dapat menarik perhatian wisatawan

    Reply
    • Setuju banget Mbak Siti. Saya pun berharap agar semua jejak budaya Melayu yang ada di sini bisa terus terjaga kualitasnya. Saat kedatangan, saya concern banget dengan Rumah Adat Melayu nya. Sudah mulai terlihat lapuk dan butuh renovasi dan atau revitalisasi. Semoga Dinas Pariwisata setempat bisa melakukan hal ini dalam waktu dekat. Setidaknya sebelum rumah adat tersebut rusak atau rontok dimakan usia.

  9. Aih gak nahan kacamatany Mba Annie, seneng banget liatnya, kali ini aku abis jalan2 virtual lagi ke pulau penyengat. Btw, Kepri masih asri sekali tampaknya dengan kearifan lokalnya. menenangkan berada di kepulauan anggun ini. ditunggu cerita perjalanan seru lainnya Mba Annie :)

    Reply
    • Hahahahaha. Bener-bener kacamata penolong di tengah terik matahari yang luar biasa garangnya. Kepri memang sangat berusaha agar budaya Melayu yang menjadi unggulan wisatanya, bisa tetap bertahan dari masa ke masa.

  10. hahaha kok bisa-bisanya Mbak Annie inget Bianca Castafiore

    saya pun pengagum komiknya Hergé, sampai bolak balik baca, tapi gak ke-ide-an tentang Bianca Castafiore

    Semula saya mau nanya kain kuning Museum Raja Ali Haji dll, gimana caranya tetap bagus

    ternyata aktualnya sudah lama tidak dibasuh ya?

    Reply
    • Hahahaha iya Mbak. Saya penggemar Tintin dan beberapa tokoh yang selalu muncul di setiap cerita. Bianca Castafiore menurut saya adalah tokoh yang bikin alur cerita Tintin selalu menarik untuk disimak. Apalagi kalau sudah ketemu sama Kapten Haddock. Selalu ada keseruan diantara keduanya.

  11. Walaupun jumlah penduduknya terbilang sedikit gak sampai 5K, tetapi lihat apiknya sekitar patut diacungi jempol. Terlihat dari fotonya Bu Annie yang sekitarnya itu terbilang bersih, apik menjaga keseltarian sekitarnya. Sehingga siapapun yang berkunjung kudu wajib banget menjaga kebersihan nih di sana, ya gak Bu?

    Reply
    • Bener banget Fen. Pulaunya bersih banget. Lingkungannya juga benar-benar terjaga. Wisatawan jadi betah menyusur pulau berlama-lama. Restonya juga jempolan loh. Meski menghidangkan makanan sederhana, rasanya tak kalah dengan tempat-tempat kuliner populer lainnya. Masyarakat di sana juga ramah.

    • Semoga pas ke Batam disempatkan berwisata ke Pulau Penyengat ya Mas. Gak bakalan nyesel kalo ke sini. Wisata yang luar biasa.

  12. Aku langsung penasaran tarian yang ka Annie lakukan.
    Baju adatnya indaaah sekali.
    Apakah saat sewa ada yang bantu mengenakannya, ka Annie?
    Ka Annie sama mas Bams idenya suka nongol di saat yang tepat yaah.. Jadi punya cerita kalau berani mengingat tarian khas Kepulauan Riau.
    Apakah versi Tari Langgam Padang sama dengan Riau?

    Reply
    • Betul Len. Yang menyewakan juga membantu kita memakaian busananya. Tapi karena gak ada ruang ganti, ditimpa aja dengan pakaian yang sedang kita kenakan. Demi kebersihan juga sih karena kan yang nyewa banyak.

      Saya kurang paham tentang Langgam Padang tapi yang pasti saya bisa menarikan Serampang Dua Belas. Tarian khas Melayu Riau. Dulu waktu SD pernah pentas menarikan langgam Melayu ini.

Leave a Comment