Menyusur Kehidupan Bersahaja Masyarakat Pesisir di Belakang Padang, Batam, Kepulauan Riau

Menyusur Kehidupan Bersahaja Masyarakat Pesisir di Belakang Padang, Batam, Kepulauan Riau

Pagi menjelang dan matahari sudah garang menyinari kota Batam sejak sehabis subuh tadi. Saya menikmati sebotol besar air putih beroksigen di teras depan hotel Harris Batam yang berlokasi di Batam Center sembari menunggu kehadiran Bams untuk menjemput dan memulai serangkaian kegiatan eksplorasi seperti biasa.

Kedatangan saya ke Batam kali ini benar-benar mendadak. Mengikuti suami yang mendapatkan perintah untuk segera ke Batam, saya langsung mengontak Bams agar bisa menemani saya ngukur jalan dalam dua hari kedepan. Syukurnya dan pada dasarnya memang rejeki saya, dalam dua hari tersebut Bams belum ada kegiatan.

“Rezeki kita ketemu lagi Kak,” begitu jawab Bams membalas WA saya. Barisan kalimat yang disertai dengan gambar icon riang gembira.

“Besok, saya mau ajak Kakak ke Pulau Belakang Padang yang dulu pernah saya ceritakan. Waktu itu kan gak sempat. Nah sekarang, cus langsung didahulukan ya Kak. Kita sarapan di sana aja Kak. Ada kedai yang fenomenal dengan jajanan yang enak-enak.” Penjelasan Bams membuat saya makin semangat. Pengaturan yang pas banget. Kebetulan suami melakukan reservasi di Harris Batam hotel tanpa sarapan. Alasannya karena suami sudah harus di lokasi nobar sebelum subuh, sementara saya enggan menikmati sarapan sendirian.

Baca Juga : Nagoya Hill Hotel Batam. Your Leisure is Our Pleasure

Menuju Pulau Belakang Padang Sang Penawar Rindu

Pertemuan kedua saya dan Bams kala itu melahirkan cerita seru seperti biasa. Kami sempatkan ngobrol dan bertukar pikiran beberapa saat untuk mengatur jadwal kunjungan selama dua hari di Batam. Yang pasti, rute serangkaian kunjungan kali ini adalah nyebrang pulau. Diantaranya adalah Pulau Belakang Padang, Pulau Penyengat, dan ke Tanjung Pinang, ibukota provinsi Kepulauan Riau.

Saya excited tak terkira. Apalagi sempat mendengar tentang ketiga pulau ini sebelumnya lewat beberapa teman UKM yang memang tinggal di Batam. Rangkaian pulau milik provinsi Kepulauan Riau yang penuh kenangan dengan limpahan jejak sejarah, tempat-tempat memorable, serta beberapa titik wisata yang belum sempat saya sambangi sebelumnya.

Kami pun bersegera berangkat ke pelabuhan Sekupang setelah menuntaskan berfoto di beberapa area yang ada di hotel Harris Batam Centre.

Baca Juga : Menikmati Keseruan Hakiki di Puncak Beliung Batam

Menyusur Kehidupan Bersahaja Masyarakat Pesisir di Belakang Padang, Batam, Kepulauan Riau

Menyusur Kehidupan Bersahaja Masyarakat Pesisir di Belakang Padang, Batam, Kepulauan Riau

Langit cerah dengan awan putih indah menyambut kedatangan saya di Pelabuhan Sekupang. Semesta tampaknya ingin menyempurnakan cerita perjalanan saya ke Pulau Belakang Padang meski badan terasa berpeluh tanpa henti. Panasnya udara memang gak kira-kira. Kejam menghantam kulit.

Menitipkan kendaraan di Pelabuhan Sekupang, sepagian itu saya melihat kesibukan masyarakat berlalu-lalang dan bergerak cepat. Parkiran mobil dan motor penuh sesak. Sepertinya memang banyak para pekerja yang tinggal di beberapa pulau dan bekerja di kota Batam. Bisa jadi pula sebaliknya. Suasana ini sangat terlihat di beberapa titik parkiran motor dan mobil yang rapat tersusun di ujung pelabuhan. Bisa jadi pula, banyak publik yang harus nyebrang pulau atau malah berlayar ke Tanjung Pinang, ibukota provinsi Kepulauan Riau, untuk urusan pekerjaan/bisnis yang hanya bisa digapai via laut dari Batam.

Berbagai kesibukan di dalam gedung pelabuhan dan area parkir tadi berbanding terbalik dengan tenangnya air laut yang merapat dan menyentuh bebatuan pinggir pantai. Hening pantai yang kemudian terisi dengan derap langkah para penumpang yang terdengar tergesa-gesa.

Saya menebarkan pandangan sembari memotret.

Deretan perahu pancung, perahu kayu bertenaga satu dan dua mesin, beratap atau berdinding terpal, tampak tenang berjejer rapi di pinggir pelabuhan. Ada juga perahu-perahu berukuran lebih besar milik PELNI, sang penguasa pelayaran di nusantara. Yacht berkelir putih juga tampak tertambat. Meski jumlahnya tidak banyak. Terlihat juga kapal-kapal besar yang terparkir agak jauh. Ada yang mengangkut batubara, ada juga yang membawa barang-barang berat. Yang pasti bukan kapal untuk penumpang manusia.

Saya dan Bams menyegerakan langkah.

Sembari menjejakkan kaki di atas barisan lempengan baja yang terpasang di dermaga dan dengan derap jejak kaki yang terdengar gagah serta semangat, kami membayar tiket kapal senilai Rp20.000,00 per orang. Tak jauh dari bapak petugas tiket ini tampak belasan orang yang sedang menunggu. Mereka menantikan tambahan penumpang lain agar perahu pancung yang sudah merapat di dermaga segera berlayar menuju Pulau Belakang Padang. Penjaga tiket langsung memastikan bahwa dengan kehadiran saya dan Bams, kapal bisa segera diberangkatkan. Teriakannya bak perintah berlayar pada seorang nahkoda yang sudah siap berdiri di anjungan dermaga.

Saya dan Bams ternyata jadi juru kunci berangkatnya sebuah kapal pancung yang terlihat membuka terpal di salah satu sisinya. Terpal yang akhirnya ditutup total agar para penumpang tidak terciprat air laut sepanjang kapal bergerak. Yaahh. Saya yang tadinya ingin merekam jejak perjalanan selama 15 menit kedepan mendadak merasa kecewa. Duduk di atas bangku kayu panjang yang berderet sekitar 7-8 baris dengan empat orang di setiap deretannya, saya mencoba membuka handphone seraya mendengarkan debur ombak yang menyentuh kapal. Tapi kegiatan ini saya hentikan karena dengan kekuatan mesin yang cukup kencang dan bernyanyi riang, badan terombang-ambing kesana kemari. Sulit untuk membaca pesan yang sudah bertumpuk minta dibaca.

Sebagian besar penumpang duduk dalam diam. Duduk merapat tanpa menyapa. Saya kok mendadak merasa jadi pengungsi yang sedang dikirim oleh pihak tertentu untuk mencapai pulau yang dapat menampung pengungsian. Lebay bener dah (ngekek).

Sekitar 15 menit kemudian, nahkoda mulai melambatkan laju kapal. Terpal mulai dibuka. Saya kemudian bisa melihat sebuah dermaga kayu yang cukup panjang. Di satu sisi pantai, di sebuah dinding batu yang terbentang panjang, tertulis kalimat “Selamat Datang di Kecamatan Belakang Padang, Pulau Penawar Rindu.” Ah betul banget, pulau ini dengan beberapa pulau lain yang ada di sekitarnya adalah satu kesatuan dari sebuah kecamatan yang membawahi sekitar enam kelurahan.

Kenapa dinamakan Belakang Padang? Dari apa yang saya baca, pulau ini terletak di belakang Pulau Sambu yang terkenal dengan sebutan Padang atau lahan yang luas.

Pulau Sambu sendiri sesak dengan perangkat dan atau properti milik Pertamina (Persero) yang dikenal sebagai Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM). Beberapa tangki-tangki besar berwarna putih tampak berdiri di pinggir pulau. Gagah tak terkira.

Saya melangkah turun dan melewati dermaga yang terbangun permanen dengan semen, pagar besi bulat yang kokoh dan atap panjang yang mulai terlihat menua di beberapa sisi. Sekali lagi saya menemukan sebuah area khusus parkiran motor yang sudah penuh sesak. Ada space khusus untuk para pedagang makanan dan minuman mendekat ke ujung dermaga. Saya sempat tergoda dengan desingan blender yang melumatkan beberapa buah untuk menjadi minuman sehat. Tapi saya menahan diri karena Bams katanya akan mengajak saya sarapan di sebuah kedai yang sudah tenar di Batam dan sekitarnya.

Baca Juga : Semalam Menikmati Kemewahan Best Western Premier Panbil Batam

Menyusur Kehidupan Bersahaja Masyarakat Pesisir di Belakang Padang, Batam, Kepulauan Riau

Baca Juga : Menyaksikan Jejak Sejarah Batam di Museum Batam Raja Ali Haji

Menyusur Kehidupan Bersahaja Masyarakat Pesisir di Belakang Padang, Batam, Kepulauan Riau

Menyusur Kehidupan Bersahaja Masyarakat Pesisir di Belakang Padang, Batam, Kepulauan Riau

Nongkrong di Kopi Ameng

Melangkah keluar dari dermaga, saya mendapati satu pemandangan khas Pulau Belakang Padang. Di sisi kiri pintu keluar dermaga langsung terlihat rangkaian ruko besar-besar di dua sisi jalan besar. Jalan di seputaran ini tampak dibangun dengan pijakan konblok kokoh dengan lebar sekitar 10-12 meter. Benar-benar terlihat luas dan lapang. Di depan deretan ruko tersebut terparkir banyak becak yang menjadi moda transportasi utama di pulau ini. Pun demikian dengan motor yang juga terparkir rapi di sisi lainnya.

Saya tergugu dengan nuansa bersahaja yang terhidang di depan mata. First impression yang sangat mencengkram visual yang kemudian menjalar ke dalam hati.

Alih-alih terpenjara dengan kekaguman, perut pun mulai bernyanyi riang. Jam sudah menggapai pukul 09:00 wib. Waktu maksimal dan tersehat untuk mengisi lambung di pagi hari.

Saya pun langsung melangkah masuk ke sebuah kedai yang cukup besar dengan tulisan yang mentereng yang mudah untuk dikenali. Tulisan Kopi Ameng dengan logo eye-catchy dan terlihat besar serta mentereng dari kejauhan. Inilah tempat makan, minum, dan nongkrong yang diceritakan Bams sebelum kami berangkat tadi. Dan yang di Pulau Belakang Padang ini adalah kedai pertama yang dibangun oleh jenama ini sebelum akhirnya menggurita di beberapa tempat.

Terus terang awalnya saya mengira warung atau kedai kopi sementereng Kopi Ameng, akan terlihat seperti cafe kekinian. Setidaknya tampil dengan interior design yang photogenic dan menjadi incaran photography layaknya banyak tempat nongkrong di berbagai belahan nusantara. Tapi ternyata Kopi Ameng di Pulau Belakang Padang ini berbeda. Tampilannya jauh lebih merakyat. Menempati sekitar dua ruko besar, Kopi Ameng menampung beragam penjualan makanan dan minuman menjadi sebuah foodcourt yang terkoordinasi satu sama lain. Masing-masing penjual memiliki counter masing-masing dengan jenis jualan makanan yang berbeda-beda. Sebagian besar counter kaca aluminium itu menghadap ke jalan untuk menarik perhatian pengunjung. Sementara layanan minuman berada di bagian dalam. Di tengah-tengah disediakan banyak meja dan kursi untuk para pengunjung menikmati hidangan. Saat saya datang, suasana di dalam kedai sudah riuh rendah. Suara obrolan dan tawa riang menghiasi setiap sudut kedai. Sebagian besar berpakaian santai. Mendadak saya merasa jadi pusat perhatian. Tampak kali kalau saya dan Bams adalah pelancong.

Saya menyempatkan diri melihat-lihat sebentar hingga akhirnya memutuskan untuk mencoba nasi goreng kampung. Opsi hidangan yang selalu maknyus saat yang membuat adalah mereka yang beneran tinggal di kampung-kampung atau setidaknya jauh dari perkotaan. Mungkin ini asumsi pribadi saya setelah berulangkali menelusur pelosok negeri. Bams memutuskan untuk menikmati sepiring mie lendir. Mie yang katanya wajib dicoba saat berkunjung ke Kepulauan Riau. Batam khususnya.

Nasi goreng kampung seharga Rp20.000,00 per porsi ini wanginya tampak begitu menggoda meski tampilannya biasa saja. Wadah plastik seperti jalinan lidi, diberi alas kertas makan coklat. Topping nya cuma telor ceplok ditambahi potongan cabe rawit. Berwarna agak gelap, asumsi saya nasi goreng ini tumpah ruah dengan kecap manis yang tentunya sudah dicampur dengan bumbu-bumbu rahasia mereka. Asap panas masih menari-nari saat sesendok nasi goreng masuk ke dalam mulut. MashaAllah enaknya kebangetan. Nasinya pera dan dimasak dalam kondisi cukup, tidak lembek tapi juga tidak keras. Nyaman untuk dikunyah. Porsinya juga tidak berlebihan dan tidak sedikit. Meski sejujurnya cukup banyak untuk standard lambung saya. Tapi entah kenapa saya begitu semangat untuk mentandaskan semua tanpa sisa sedikitpun. Nikmat hidangan yang kemudian saya tutup dengan segelas besar teh tawar dingin.

Bagaimana mie lendir pesanannya Bams? Karena pernah melihat mie jenis ini sebelumnya, saya sungguh tergoda dengan apa yang dihidangkan di kedai Kopi Ameng. Wanginya juga nonjok banget. Porsinya cukup banyak dengan mie kuning yang terlihat matang, disiram kuah kental, diberi potongan daun bawang dan daun seledri, kemudian disempurnakan dengan telur rebus yang telah dibelah dua. Mie seharga Rp25.000,00/porsi ini, jika saya yang makan, dipastikan gak bakalan habis. Tetiba saya teringat dengan Mie Aceh. Tampilannya mirip tapi Mie Aceh hadir dengan kandungan rempah-rempah yang lebih kental. Biasanya juga ditawarkan dengan menghadirkan beberapa lauk tambahan sebagai opsi.

Sungguh satu pengalaman sarapan yang memorable. Apalagi kemudian sembari menentramkam lambung yang baru saja diisi penuh, saya dan Bams berbincang banyak hal tentang Pulau Belakang Padang dan semua isu yang sedang ramai dibicarakan. Bonusnya lagi, saya ikut mendengarkan banyak candaan dari para pengunjung. Suara riuh rendah, tawa riang, bergema dari segala sudut. Keakraban dan suasana yang biasa terbangun di sebuah kedai kopi. Setiap orang seperti saling kenal bahkan mungkin sudah jadi saudara tanpa pertalian darah. Bisa jadi tempat janjian dan wadah curcol yang asik sembari makanan dan minuman, bahkan untuk sekedar menyesap secangkir besar kopi hitam.

Baca Juga : Dekranasda Kota Batam. Mendukung Perekonomian Lewat Lewat Karya dan Produk Lokal Berkualitas

Menyusur Kehidupan Bersahaja Masyarakat Pesisir di Belakang Padang, Batam, Kepulauan Riau

Menyusur Kehidupan Bersahaja Masyarakat Pesisir di Belakang Padang, Batam, Kepulauan Riau

Menjelajah Pulau Belakang Padang

Saya dan Bams keluar dari kedai Kopi Ameng dengan perut yang full capacity. Bahkan saya merasakan tingkat kekenyangan yang tak seperti biasanya. Bams mendekati tukang becak yang duduk rapi di pinggiran jalan. Di salah satu dinding tempat mereka beristirahat tertera sebuah plakat atau tulisan tentang tarif jasa becak yang beroperasi di pulau kecil ini. Untuk keliling pulau dikenakan tarif sebesar Rp75.000,00/becak.

Saya suka arrangement begini. Satu pengaturan yang meng-aman-kan para wisatawan pastinya. Jadi tidak ada harga tembak yang seenaknya bisa ditentukan oleh para tukang becak. Tentu saja pengaturan ini akan menjadi salah satu penunjang lancarnya transaksi pariwisata di dalam pulau. Saya kemudian memesan dua buah becak karena ukuran bangkunya serba nanggung. Besar untuk sendirian tapi terlalu sempit untuk dua orang dewasa seukuran saya dan Bams. Tapi dengan duduk sendirian kami tak perlu berhimpit-himpitan dan memiliki sudut memotret yang cukup luas.

Menyusur Kehidupan Bersahaja Masyarakat Pesisir di Belakang Padang, Batam, Kepulauan Riau

Setelah melewati jalan utama tadi, kang becak mengajak saya menelusur jalanan kampung selebar tak lebih dari 3 meter. Di tahap awal terlihat rumah-rumah berdinding semen dan terbangun berhimpit-himpitan. Suasana sepi terasa begitu merasuk. Diantara bangunan-bangunan itu saya bertemu dengan beberapa musala dan masjid. Kemudian ada sekolah dan warung-warung sederhana.

Di setengah perjalanan, saya mulai melihat rumah-rumah kayu yang berdiri atau dibangun di atas air. Setelah tadi menyaksikan rumah-rumah dengan lingkungan yang padat, di area ini saya melihat rumah-rumah kayu yang tampak kokoh terbangun dari kayu ulin. Menyusur pinggir laut ini, jalan terasa lebih lapang, luas dengan hembusan angin laut yang menampar-nampar wajah. Abang becak perlahan mengayuh atas permintaan saya. Tujuannya agar saya bisa memotret dengan kondisi minim goncangan, minim distorsi dan tentu saja dengan sudut foto yang lebih fokus.

Getaran dan bantingan selama di dalam becak cukup menegangkan buat saya. Lebar jalan yang tidak begitu besar, sering banget mencabar mental. Apalagi tidak semua jalan mulus. Ada yang berlubang, ada yang berbenturan dengan kayu, dan banyak juga yang berkelok-kelok sempit hingga membuat saya berdebar-debar saat harus berjalan berlawanan arah dengan becak atau motor lain. Becak pun melewati sekian banyak jembatan. Ada yang terbuat dari kayu, ada juga yang beraspal dengan pagar pembatas besi yang terlihat kokoh. Semuanya melewati aliran air laut dengan sebagian bersentuhan dengan hutan bakau dan tanaman atau pohon yang cukup besar di daratan. Yang pasti hawa laut begitu terasa dan terhampar di depan mata. Nuansa pesisir begitu terasa saat melihat banyak perahu kayu kecil yang tertambat berikut dengan berbagai peralatan memancing dan melaut yang sedang dihamparkan di seputaran rumah.

Selama sekitar satu setengah jam perjalanan, saya hanya bertemu dengan sebagian kecil penduduk. Saat rezeki bertemu, banyak dari mereka menyapa ramah. Setidaknya ada yang mengenal kedua abang becak yang mengantarkan saya dan Bams berkeliling di pagi itu. Selama menjelajah, tak ada sentra kegiatan dengan kerumunan orang di titik tertentu. Semua terlihat sepi, damai, dan tenang banget. Keriuhan hanya saya lihat dan rasakan saat berada di pelabuhan tadi.

Pengalaman menyusur kehidupan bersahaja masyarakat pesisir pulau Belakang Padang yang melengkapi satu dari sekian banyak kegiatan penjelajahan yang saya alami sejauh ini.

Menyusur Kehidupan Bersahaja Masyarakat Pesisir di Belakang Padang, Batam, Kepulauan Riau

Baca Juga : Menyesap Kelezatan Hidangan Laut di Kelong Baba Batam

Menyusur Kehidupan Bersahaja Masyarakat Pesisir di Belakang Padang, Batam, Kepulauan Riau

Menyusur Kehidupan Bersahaja Masyarakat Pesisir di Belakang Padang, Batam, Kepulauan Riau

Saya sangat menikmati saat becak menyusur pinggir pantai. Area yang mendekat ke pelabuhan. Dari sisi ini saya bisa melihat beberapa nelayan yang sedang merapihkan peralatan memancing atau melaut. Badan legam yang terbakar sinar matahari pun menguatkan profesi orang tersebut. Saya terkepung oleh kekaguman. Sebagai orang yang hidup full di daratan dan jarang sekali bersentuhan dengan kehidupan orang pesisir, pemandangan ini tentulah menjadi satu pengalaman yang berbeda.

Perjalanan pun berlanjut hingga akhirnya Bams menemukan sebuah rumah panggung yang terbuat dari kayu. Rumah ini terlihat sangat unik dengan kayu yang mulai menua. Posisi agak jauh berdiri di atas air laut yang tampak tenang dengan beberapa tanaman bakau yang terayun-ayun dihembus angin laut. Ada sekitar dua hingga tiga rumah yang berada di dekatnya dan masing-masing terhubung dengan jembatan kayu yang disusun tidak beraturan. Jembatan yang juga menjejak rumah-rumah ini dengan jalanan aspal di depannya.

Mata Bams sungguh jeli. Kami bersengaja berhenti di sini untuk merekam keindahannya lewat lensa kamera. Hasilnya sungguh di luar dugaan. Apik, ciamik, dan mampu mewakili keindahan alam pesisir yang indah tak terkira walau dalam sentuhan kehidupan yang bersahaja. Meskipun terhantam oleh panasnya mentari, saya merasa sangat bersyukur karena dengan demikian foto-foto yang terekam, diliputi oleh langit biru dengan awan-awan putih yang cantik sekali.

Rangkaian perjalanan ini berakhir kembali di pelabuhan. Saya dan Bams duduk sembari mengobrol di warung makan yang ada di dekat parkiran motor yang saya lihat saat datang tadi. Juice dan minuman dinginpun mengantarkan akhir penjelajahan saya di pulau Belakang Padang. Pulau penawar rindu yang sederhana dengan wajah kehidupan yang bersahaja. Saya kembali berlayar menggunakan perahu pancung dengan ongkos yang sama saat datang tadi sembari mengantongi limpahan pengalaman yang sangat berharga.

Ngomongin tentang sebuah atau banyak kisah perjalanan dan penjelajahan, saya punya seorang teman travel blogger Medan yang aktif menulis tentang keindahan kota Medan dan beberapa tempat yang ada di Sumatera Utara. Tulisan-tulisannya inspiratif bahkan bisa menjadi referensi saat kita berada di provinsi ini. Pembahasannya juga beragam, mulai dari kuliner hingga tempat-tempat yang bernilai sejarah. Suci, teman blogger ini, juga adalah salah seorang kontributor dari buku antologi Jelajah Kuliner Nusantara yang saya gawangi lewat komunitas menulis Pondok Antologi Penulis Indonesia. Satu komunitas yang memiliki visi misi melahirkan buku-buku antologi dengan tema-tema yang menarik untuk dikulik dan diulas.

Menyusur Kehidupan Bersahaja Masyarakat Pesisir di Belakang Padang, Batam, Kepulauan Riau

Menyusur Kehidupan Bersahaja Masyarakat Pesisir di Belakang Padang, Batam, Kepulauan Riau

Menyusur Kehidupan Bersahaja Masyarakat Pesisir di Belakang Padang, Batam, Kepulauan Riau

Blogger, Author, Crafter and Photography Enthusiast

annie.nugraha@gmail.com | +62-811-108-582

32 thoughts on “Menyusur Kehidupan Bersahaja Masyarakat Pesisir di Belakang Padang, Batam, Kepulauan Riau”

    • Nasi goreng kampungnya jempolan banget Mas Adi. Meski tampilannya sederhana tapi nikmatnya luar biasa.

    • Terimakasih untuk complimentnya Mbak Maria. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.

  1. Aku suka dengan kedai-kedai kopi peranakan seperti Kopi Ameng itu. Aku juga suka nasi goreng mbak, tapi rasanya kalau aku ke situ akan memilih menu lain yang lebih “Sumatera” atau peranakan, seperti mie lendir. Kalau nggak salah, itu kayak mie celornya Sumatera Selatan bukan sih? Nggak nyangka nasi gorengnya segelap itu, kukira lebih cerah karena lebih sedikit kecap.

    Tenang sekali ya menikmati pemukiman warga lokal yang sepi dan resik seperti itu.

    Reply
    • Banyak banget menu yang ditawarkan di kopi Ameng. Tapi pagi itu kok pengen banget menikmati nasi goreng kampung. Meski sajiannya sederhana. Tambahan lauknya cuma telor ceplok. Sederhana dan nikmat luar biasa.

  2. Selalu takjub sama cerita jalan-jalannya mba Annie. Jadi untuk naik perahu itu 20ribu per orang dan kalau keliling naik becak 75ribu per becak ya mba Annie. Aku ngiler banget sama mie lendirnya. Kirain bakal mahal harganya, ternyata 25k. Noted banget siapa tahu suatu hari nanti bisa ke sana

    Reply
  3. Wah pastinya berkesan banget nih mbak, mengunjungi tempat yang eksotis dan bersih lingkungannya bikin kita betah ya. Jadi pengen eksplor Batam juga hihii

    Reply
    • Terkesan banget Mbak. Melihat hidup yang bersahaja seperti di pulau Belakang Padang ini, kita menambah rasa syukur akan apa yang sudah saya nikmati sekarang.

  4. seru ya, di kota kepulauan seperti batam. ada banyak pulau, ada banyak transportasi air. saya yang menyeberang dari balikpapan ke PPU (penajam paser utara) saja merasakan serunya. apalagi kalo seru-seruan di pulau belakang padang ini.

    Reply
    • Kalo soal transportasi air yang paling seru itu di Indonesia timur Mas Ikhwan. Laut dan pantainya jauh lebih bersih dengan pemandangan alam yang tak terperi indahnya.

  5. sederet perjalanan ngikutin suami kerja yang masha allah ya mbak annie. Sya penasaran mie lendirnya. Dan bisa naik perahu buat melihat pemandangan sekitar batam sungguh, ingin mencetak memori bersama keindahan luapan air yang Allah ciptakan. Cuma kok jauh beud

    Reply
  6. Muantabz abis nih review dan ulasan dari Mbak Annie. Lengkap dengan detail info dan foto-foto keren banget. Murmer banget ya 75k bisa puter2 pulau.

    Reply
  7. Saya cari foto hidangan lautnya bu Annie hehehe, kata teman pernah ke Batam hidangan laut Batam nih terbaek lezatnya…jadi kepo pengen icip juga itu mie lendir ..btw nama mie nya unik ya

    Reply
    • Naaahh tadinya pengen nyari seafood, tapi ternyata gak banyak di sini. Yang berlimpah itu di kota Batam atau kota Tanjung Pinang. Saya ada nulis juga tentang ini di kategori review kuliner.

  8. Nasi gorengnya worth it lah dengan harga 20K, toping sederhana mudah-mudahan memberikan kebahagian dan rasa syukur. Memang melihat kehidupan masyarakat pesisir bisa jadi contoh buat kehidupan kita, terutama bagaimana hidup sederhana dan bersahaja.

    Sudah kubaca ulasan kak Annie ini sambil dengerin musik. Tulisannya selalu “jempol”.

    Reply
    • Untuk saya yang hidup di daerah industri, lihat lingkungan bersahaja seperti ini tuh menyenangkan hati banget Mas Wahid. Makanya saya selalu suka keliling daerah-daerah, terutam ke pelosok2 negeri. Merabuk jiwa istilahnya.

  9. Selalu tulisan Mba Annie magnetnya kuat banget, bikin pengen ke sana juga. Saya juga setuju Mba, nasgor kampung yang dimasak oleh mereka yang tinggal jauh dari kota itu beneran beda dan mie lendirnya itu sekilas seperti Mie Aceh ya Mba secara visual, tetap aja bikin penasaran sih Mie Lendir yang terhidang itu ^^

    Reply
    • Kalo kata suami sih konsepnya sama banget. Cuma Mie Aceh tuh lebih berlimpah rempah. Lebih condong seperti masakan India atau Arab gitu. BTW, makasih untuk complimentnya Mbak Cindi. Semoga tulisan2 saya memberikan manfaat bagi semua pembacanya.

  10. Lihat mie lendir jadi teringat lomie yang konon dari Medan

    rupanya mie nyemek versi sumatera seperti ini ya?

    Bedanya di rempah, ada yang penuh rempah seperti di atas, atau light saja seperti lomie

    itu pun hasil jajan di Bandung, hehehe yang pastinya beda dengan versi asli

    Reply
    • Nah keliatannya begitu Mbak. Konsepnya sama cuma visualnya aja beda dikit. Di Aceh malah yang seperti Mie Lendir ini tampak dicampur banyak rempah-rempah. Yang suka dengan rasa yang kuat pasti suka. Apalagi terus ditambah dengan aneka sambal dan lauk pauk lainnya. Beeehh suami saya doyan bener itu hahahaha.

  11. Asyik banget petualangannya ke Belakang Padang ini mbak. Ternyata banyak tempat di Batam yang mesti di eksplorasi ya. Teman-teman saya kalau pas tugas ke Batam, malah lalu pilih nyeberang ke Singapura buat jalan-jalannya.

    Duh baca ini aku jadi pengen makan mie lendir mbak. Pertama dulu ke Tanjung Pinang mencicipi mie ini.

    Reply
    • Memang asyiknya nyebrang ke Singapore Mbak Nani. Naik boat itu kalo gak salah sekarang 750K PP. Saya sendiri belom nyoba karena pas terakhir ke sini, passport saya lagi ada di tangan travel umrah. Semoga di kunjungan berikut bisa berlayar ke Singapore.

      Di Tanjung Pinang memang banyak banget pilihan masakan khas kepulauan Riau. Di kota Batam juga begitu. Seandainya perut karet keknya saya bisa kekenyangan makan-makan di Batam.

  12. Nasi goreng kampung nya menggoda nih..
    Kalo menurut daku, ke mana pun perginya maka pesanlah makanan itu nasi goreng, karena di sini ini punya ciri khas yang berbeda di berbagai tempat..

    Reply
    • Nasi goreng rasanya gak pernah gagal ya Fen hahahaha. Saya juga kalau berada di kedai makanan yang bikin bingung milih karena tak yakin dengan kualitasnya, biasanya akhirnya memilih nasgor buat asupan. Dikasih telur dadar atau ceplok aja dah enak.

  13. Saya mengira pulau yang dituju adalah pulau tak berpenghuni ternyata ada rumah penduduk di sana ya. Btw ngakak di bagian pas Mbak bilang “mendadak merasa jadi pengungsi yang sedang dikirim oleh pihak tertentu untuk mencapai pulau yang dapat menampung” , hehe. Saking semuanya pada diem ya, gak saling ngobrol.

    Oh ya ku jadi penasaran dengan nasi goreng kampungnya karena mbak bilang enak banget even dari tampilannya sederhana. Mie lendirnya menggoda juga nih.

    Reply
    • Hahahahaha memang serasa pengungsi atau orang buangan yang mau dikirim kemana gitu hahahaha. Karena selain perahunya tertutup terpal, di dalam juga orang-orang pada hening, tanpa bicara. Lucu banget dah.

  14. Duh, ngeliat mie aceh dari cafe ameng bikin ngiler. Padahal kami kemarin 3 tahun tinggal di pekanbaru belum sempat berkunjung ke batam. Padahal baca artikel ini, sepertinya seru banget ya mbak

    Reply
    • Visualnya memang mirip Mie Aceh Mbak. Tapi kalau yang saya foto ini adalah Mie Lendir khas Kepulauan Riau. Kalau Mie Aceh campuran rempah-rempahnya jauh lebih banyak dan biasanya dihidangkan dengan lauk yang lain. Jadi gak cuma telur saja.

  15. Nama makanannya aga serem ya.. mie lendir.
    HIhihi.. tapi begitu dateng, kok aku jadi terpesona juga tuh.. Kayanya beneran se-enak ituuu.. karena penggambaran kak Annie melalui diksi, sangat menarik sekali.
    Have a good time di Belakang Padang Batam, kak Annie.

    Karena nilai geografiku jelek, daritadi yang aku pikirin adalah… Ternyata, Batam itu masuk Kepulauan Riau yaa..
    Huhuhu~ poor me.

    Reply
    • Sama iiihhhh. Aku juga sempat protes kok dinamakan Mie Lendir. kata “lendir” nya itu loh hahahaha. Tapi mungkin maksud lendir di sini adalah kental kali ya.

      Hahahahaha, Dan ibukota Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) itu adalah Tanjung Pinang. Sementara orang2 berpikir, ibukotanya adalah Kota Batam. Masih banyak yang salah soal ini loh. Banyak yang masih tanya2 ke saya juga hahahaha. Jadi jangan khawatir merasa sendiri Len.

Leave a Comment