Waktu beranjak ke tengah hari saat kami meninggalkan Pramestha Villa di Lembang (Dago Atas). Melewati pintu ke-2 yang mengarah ke The Ranch, entah mengapa saya tidak merasakan dingin meski hujan mulai menyeruak, mengiringi perjalanan kami. Rintik hujan bahkan semakin deras saat kami mampir di Tahu Tauhid Lembang yang bersengaja kami singgahi karena sudah kangen berat sama tahu susunya.
Belasan menit menunggu rampungnya pesanan gorengan tahu, pisang keju, dan tempe mendoan di tengah rintik hujan, ternyata mampu membangunkan naga kakak beradik di dalam lambung. Apalagi di tengah cuaca yang klop seperti saat itu dan melihat puluhan orang khusuk menikmati sate dengan asap yang sudah mengepul memenuhi lahan parkir. Pengen sih duduk di foodcourt semi outdoor yang ada di depan outlet ini. Apalagi selain gorengan yang kami beli, tersedia berbagai minuman hangat dan berbagai macam kudapan khas Jawa Barat. Tapi mengingat waktu yang sudah mepet untuk check-in di Tama Hotel Boutique Bandung kami memutuskan untuk segera melanjutkan perjalanan.
baca juga : mom’s recipe silky pudding. camilan tepat untuk segala kesempatan
Seperti yang telah kami duga, arus kendaraan dari Lembang menuju Bandung selalu padat di setiap akhir pekan. Jadi saat kami berderet mengantri mulai dari Pasar Lembang hingga memasuki area Setiabudi (Dago atas), godaan untuk mampir di banyak pilihan restopun cukup menggiurkan. Terutama saat melewati Resto Pengkolan yang pernah kami hampiri. Resto makanan khas Sunda dengan pemandangan perbukitan dan sudah terbukti enak.
Tapi entah mengapa saya, the one who will decide, menahan diri untuk tidak berhenti dan sudah membayangkan akan makan steak enak. Gambaran daging iga, tenderloin, sirloin yang lezat sudah melayang-layang di pelupuk mata. Meski sudah menguyah beberapa sajian yang sama di beberapa resto, keunggulan dan kekhasan SUIS BUTCHER STEAK HOUSE (Suis Butcher) begitu ngangenin untuk disinggahi. Apalagi mengingat bahwa sejak pandemi berlangsung, bahkan 1 tahun sebelumnya, kami tak sekalipun memiliki kesempatan untuk bersantap di Suis Butcher.
Parkiran terbatas di halaman depan Suis Butcher sudah penuh dan sesak saat kami sampai. Untungnya pihak Griya Market yang berada beberapa langkah dari resto ini mengijinkan kami untuk memarkir kendaraan di tempat mereka. Kehadiran kami pun disambut oleh rintik hujan yang semakin heboh sehingga kami harus berlari menuju Suis Butcher. Lumayan. Olga tipis-tipis, Jadi tambah-tambah laparnya.
Sesaknya kendaraan di bagian depan resto membuat saya tidak sempat memperhatikan fasad yang ternyata masih tetap bertahan seperti yang dulu. Logo Suis Butcher yang kemerahan tampak begitu gagah didampingi oleh kayu-kayu hitam yang menjadi wajah depan resto. Di terasnya terlihat dapur yang setengah terbuka dan beberapa meja kayu. Masih persis seperti saat terakhir saat kami kesini. Begitupun dengan area dine-in di bagian dalam. Jumlah mejanya saja yang berkurang plus spot khusus untuk kasir yang bagian depannya tertutup tirai plastik mengikuti aturan protokol kesehatan. Yang pasti ruangan makan di dalam ini sudah banyak berkurang kecantikannya. Apa karena tempat ini sudah berusia lebih dari 30 tahun ya? Dulu sekali, seingat saya, setiap meja dilapisi dengan taplak kotak-kotak lalu diberi kaca dan sentuhan dekorasi meja yang imut dan unik. Ciri khas yang menjadi outlook steak house atau resto yang memiliki touch of Netherland.
BACA JUGA : TERHANYUT KEINDAHAN PRODUK RUMAH TANGGA DI OPUS ONE CONCEP STORE BANDUNG
Seorang pelayan berseragam dan bermasker sigap mendatangi sesaat setelah kami duduk di dekat kasir. Meja besar dan 2 kursi panjang kayu ini tampak kuat dan cukup lebar untuk menampung kami ber-empat. 2 buah buku menu tebal sudah tersedia di meja. Buku ini ber-cover kulit dengan lembaran-lembaran tentang sejarah Suis Butcher, eksistensinya di dunia hidangan untuk para carnivor dan tentu saja rangkaian menu. Setiap pilihan asupan dilengkapi foto, berikut dengan rincian atau isi dari makanan tersebut. Informatif banget. Setidaknya konsumen jadi tahu ingredients apa saja yang menyertai setiap masakan yang akan dipesan.
Setelah membuka berulangkali setiap lembaran yang ada, akhirnya kami memesan Fried Chicken Sweet & Sour untuk dikeroyok bersama, Rib Barbeque, Chicken Steak, Miso Butter Striploin dan Fried Dori Creamy Mushroom. Sementara untuk minuman kami cukup memesan beragam teh dan secangkir Kopi Pancong khas Suis Butcher. Untuk semua pesanan ini total biaya yang harus kami tanggung adalah IDR 492K yang jika ditambah dengan 10% VAT menjadi IDR 541K.
Fried Dori Creamy Mushroom yang saya pesan menjadi eksplorasi kuliner saya terbaru. Karena tak pernah sebelumnya saya merasakan ikan goreng yang dilengkapi dengan creamy mushroom. Krimnya pas kekentalannya. Ditambahi dengan jamur yang masih segar dan krenyes-krenyes, asupan yang satu ini sungguh jempolan. Dilengkapi dengan mashed potatoes yang gurih dan bikin nagih, lidah benar-benar jadi dimanjakan. Aiihhh. Seandainya lambung saya selebar ember, mungkin langsung akan pesan 2 piring.
Gimana dengan makanan lainnya? Terus terang saya tak sempat mencobanya karena baik suami maupun anak-anak tampak sangat menikmati makanan masing-masing. Jadi gak tega untuk coel sana-sani. Tapi yang pasti, tak ada satupun yang gagal rasa. Semua masih tetap enak dan sangat enak dari terakhir kami nongkrong di Suis Butcher yang berlokasi di dekat Jl. Riau. Bumbunya hadir dengan kekayaan rasa, juicy, lembut dan begitu meresap ke subyek intinya. Untuk urusan yang satu ini, Suis Butcher tetap layak dapat pujian, meskipun kami sudah menabung banyak pengalaman dengan berbagai resto yang berada di lini bisnis yang sama.
Kembali ke buku menu tadi, sembari menunggu pesanan kami datang. Saya membaca dan mencatat beberapa hal yang patut diketahui oleh para tamu.
Dalam sejarahnya, Suis Butcher yang adalah milik dari Joni B.S. Nugroho, pada awalnya berbisnis penjualan daging giling dan mini market di rumahnya yang berada di Jl. Setiabudi No. 174. Tempat itu diberi nama Suis Meat Shop & Delicatessen dengan spesialisasi di has dalam & luar, pentul daging dan daging giling kualitas prima. Tawaran aneka daging yang kemudian jadi favorit warga negara asing.
Sewindu berlalu, Suis mengembangkan bisnisnya menjadi sebuah steak house dengan jenama Suis Terrace: Grill Steak, Soup & Pasta yang menyajikan daging sapi impor. Seiring dengan perkembangan kondisi ekonomi, terutama saat krismon terjadi di 1998, Suis Butcher berubah haluan kebijakan dari daging sapi impor menjadi daging sapi lokal yang berkualitas terbaik. Saat itu pun Suis Butcher mengubah nama menjadi Suis Butcher Steak House hingga saat ini.
Jadi jika dihitung dari first foot step di 30 November 1984 itulah, bisnis kemudian berubah menjadi resto dan berkembang menjadi 3 outlet yang berada di Setiabudi (tempat saya berkunjung), 23 Paskal, dan R.E Martadinata (dekat Jl. Riau). Dihitung dari jumlah tahunnya, ini berarti bahwa Suis Butcher telah mengarungi 37 tahun mengolah hidangan steak dan inovasinya di hadapan publik.
Sementara untuk mempertahankan eksistensi dan sebagai bentuk kontemplasi dari pengalaman gastronomi, Suis Butcher berkolaborasi dengan 3 chef berpengalaman dan berskala internasional seperti Chef Kenny, Chef Ipin dan Chef Dimas Pepe. Semua juru masak yang sudah tak diragukan lagi profesionalisme nya dan punya komitmen untuk menyertakan selera nusantara menjadi bagian dari pilihan hidangan bagi publik. Sukses, konsisten, bahkan diantaranya ada yang sempat memiliki outlet di Amerika. Kolaborasi skill, knowledge dan experiences yang pastinya mampu mempertahankan eksistensi Suis Butcher hingga puluhan tahun.
baca juga : menjelajah rasa ala brazil di fogo brazillian bbq kelapa gading, jakarta utara
Kedatangan saya dan keluarga kembali mengunjungi Suis Butcher tentunya dengan alasan yang kuat. Kenangan baik, bahkan terbaik akan tempat inilah yang menyebabkan kami menahan lapar sepanjang turun dari Lembang. Demi untuk makan di Suis Butcher. Meskipun karena domisilinya sering terkepung oleh kemacetan, mengunjungi Suis Butcher di Setiabudi otomatis (akan) butuh perjuangan. Seperti misalnya lahan parkir yang terbatas dan yah soal kemacetan itu. Tapi saat kami berada di lingkungan atau sedang/akan melewati Setiabudi atas, Suis Butcher menjadi pilihan teratas untuk wisata kuliner keluarga.
Untuk seorang pejajan, pewisata kuliner, travel and food blogger, plus sedang keranjingan memotret makanan, saya memiliki beberapa kesan tentang Suis Butcher. I have no complaint at all untuk food quality dan kecepatan pelayanannya. Apalagi salah satu diantara pesanan kami masuk dalam prime menu. Satu kasta khusus dari sederetan pilihan sajian yang menyertakan bahan-bahan di kelas teratas. Sesuailah dengan harga yang harus kita bayar.
Tapi ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan agar salah satu resto favorit saya ini semakin bikin betah para pengunjungnya. Beberapa masukan khusus untuk mother outlet yang berlokasi di Setiabudi ini. Pertama adalah struktur bangunan yang mulai menua. Meski masih tegap terlihat dari luar, tapi saya yakin secara fisik tempat ini akan lebih ceria jika diremajakan. Kedua adalah menghadirkan kembali design interior yang wah, sophisticated dan berkelas dengan ambience yang menyesuaikan. Dan ini berkaitan dengan hal pertama. Apalagi mengingat sekarang kan jamannya eksis di media sosial. Karena dengan bantuan gejolak eksis dan narsisme publik, foto-foto cantik Suis Butcher tentunya bisa beredar lebih luas lagi. Ketiga adalah melebarkan lahan parkir. Urusan penting yang menurut saya bersambung ke isu kenyamanan. Keempat adalah toilet yang bersih dan nyaman. Entah untuk hunian pribadi atau bisnis (resto dan kantoran), tampilan toliet menjadi salah satu “wajah” dari tempat itu. Apalagi untuk resto kan? Gak kebayang deh kalau harus buang air di tengah acara makan sementara toiletnya nauzubillah. Selera kita bisa langsung drop itu. Kelima adalah meningkatkan kualitas plating. Bagi mereka yang tidak terlibat dalam dunia food photography, hal ini (mungkin) tidak penting. Tapi buat saya, it means a lot. Terlepas dari faktor rasa, tampilan hidangan yang menarik dan cantik, tentunya akan membangkitkan selera dan melahirkan kekaguman. Thus, it looks more professional though.
Sukses untuk Suis Butcher, semoga 37 tahun terus bertambah dengan puluhan-puluhan tahun kedepannya. Jikapun nanti akan diwariskan, saya berharap agar sang penerus mampu mengajak Suis Butcher menjadi jauh lebih baik lagi. Pun tetap setia dengan bahan baku lokal dengan invovasi olahan yang tak terbantahkan kualitasnya. Mempertahankan hingga 37 tahun aja tuh sudah istimewa bukan?
Wah baru tau nih ttg Suis Butcher
Chicken steaknya terlihat enak Mba :)
Btw setuju banget tuh, akan lebih menarik kalau direnovasi lebih kekinian, biar makin matching dengan makanannya yang enak.
Trus toilet itu penting banget sih, setidaknya bersih, air ada dan ga bau, hehehe
Iya Mbak Rey. Tempatnya sudah butuh banget peremajaan. Selain supaya lebih terlihat fresh juga akan lebih menarik untuk dikunjungi. Rasa memang utama untuk sebuah resto tapi urusan visual juga tetap harus dipikirkan dengan serius.
Baru tau ada Suis Butcher di Lembang
Hihihi emang udah lama banget gak ke Lembang, terakhir cuma lewat waktu ke pesta adiknya Raffi Ahmad
Kayanya harus disempetin agar gak kudet ya? 😀😀😀
Betul Mbak Maria. Yang di Setiabudi ini malah adalah mother outlet nya. Outlet pertama dan sudah berdiri selama 37 tahun.
Pengalaman kuliner cukup mumpuni, walhasil peminat kuliner di Suis Butcher cukup meningkat setiap waktu
Waktu ke BDG thn 2018-an gitu, aku sempat diajakin adek ipar buat kulineran di Suis Butcher.
Saat itu lagi musim lebaran, dan untungnya resto ini buka.
(kalo ga kliru, lokasiya dekat BORMA kan ya?)
Nah, ndilalah kondisi fisikku tuh lagi ga sip, mba.
rasa2 pengin ke belakang melulu.
tapiii, ga tau gimana awalnya, aku kok ga selera ke toiletnya resto steak ini.
Walhasil, aku mampir ke toilet di Apotek K24 atau Kimia Farma (lupaaaa….) yg lokasinya sebelahan ama ni resto :D
Iya. Di dekat sini ada BORMA dan GRIYA. 2 jenama supermarket yang cukup terkenal di Bandung.
Nah itu lah Nur. Urusan tempat buang hajat tuh gak boleh dianggap sepele. Ada kesan khusus untuk hal itu. Jangankan resto, rumah aja terasa loh efeknya. Toilet yang bersih menunjukkan tingkat kebersihan tuan rumah. Jadi memang Suis Butcher Setiabudi ini harus diremajakan bangunannya secara total agar lebih berkualitas lagi.
Saya membaca ini belum sarapan, auto laper dan jadi ingin nyicip steak.
Tahun menyajikan steak tidak mengkhianati lidah ya mba Annie.
Semoga pihak Suis Butcher melakukan evaluasi untuk yg direkomendasikan, agar kenyamanan pelanggan setia semakin baik, pelanggan baru jd pelanggan tetap.
Kalau di keluarga saya, yang dominan carnivor, steak jadi favorit menu. Daging sapi, ayam, bahkan ikan. Yang penting olahannya tasty dan diimbangi dengan bahan lain yang menyehatkan seperti kentang dan salad (aneka sayuran).
Suis Butcher mba? Aku pernah lewat sana gak ya? Asa asa pernah deh, tapi gak sempat mampir.
Wih mantap banget chef-chef yang diajak berkolaborasi, levelnya udah international chef. Pecinta menu-menu western sangat direkomendasikan ya mba. Seperti biasa, foto-foto Mba Annie selalu on point.
Suis Butcher emang enak ya mbak Anie
saat ke bandung , sy juga diajak teman makan disana
aku saat itu pesan MISO BUTTER STRIPLOIN nya
Kalau dulu, saat area Setiabudi belum padat, resto ini gampang banget ditandai saat kita lewat. Tapi sekarang dah padat bangunan di area situ. Resto bercampur dengan hotel, supermarket, bahkan kantor. Yah. Usianya aja sudah mencapai 37tahun.
Dilihat dari umur, restonya terbilang legendaris, apalagi yang datang memang karena kesan rasa dari menu yang mereka punya itu kuat. Tapi dari situ pula masukan berasal, karena terkait usia berarti mesti ada pembaharuan mengikuti tren terkini, seperti fasilitas yang jadi utama, dan desain interior untuk keperluan foto.
Nah bener Rien. Rasa memang masih terjaga. Tapi jangan lupa juga untuk mengikuti arus perkembangan selera dan kebutuhan publik. Kalau enggak, kita bakal tergerus oleh arus dan waktu.
Ngeliat postingan ini aq jd mupeng, kelihatan enak2 ya makanan nya. Tampilan makanan nya lumayan sih buat aq, tapi perlu pembaruan sedikit deh , biar kesannya gak terlalu monoton. Tempat boleh legendaris sih. Rasa jg perlu d jaga tapi tampilan makanan dan konsep ruangan nya harus mengikuti perkembangan zaman menurut aq.
Setuju banget Mbak Kesih. Untuk itu saya tuliskan usulan tentang peremajaan tempat agar lebih cantik untuk dilihat dan difoto. Apalagi sekarang kan orang-orang mencari tempat nongkrong yang gak cuma enak di makanan tapi juga istagenic untuk dihadirkan di media sosial
Kelihatannya enak banget itu steaknya. Jadi kangen makan steak ih..Udah lama banget sejak pandemi, gak keluar makan steak. Sekalinya sempat keluar rumah, malah lupa mampir makan steak. Sejarah resto dicantumkan pada buku menu gitu menarik ya, tamu jadi gak sekadar lihat dan pesan menu. Tapi juga bisa lebih dekat dengan resto itu sendiri.
Kalau untuk soal rasa Suis Butcher yang di Setiabudi ini memang jempolan. Sudah melegenda selama 37 tahun tentunya ada catatan baik tersendiri. Kapan main ke Bandung mampirlah kesini Mbak Andy
Aku tu suka kagum berat sama yang bisa foto foto makanan dengan taste yang bisa menggugah selera gini
aku kok kalo motret makanan jadinya kalo deket malah jijay ya bentuknya hahahaha
btw ini fotonya pas ada tamu gitu yuk? Gapapa ya?
Hahahaha kok jijay sih. Teknik dan skill motretnya aja kali yang perlu ditingkatkan. Tapi memang food photography ada seninya sendiri. Harus belajar khusus termasuk pengetahuan soal editing. Sebisa mungkin kita bisa melahirkan pure photo resolution yang gak usah dipoles terlalu banyak.
Setiap di restoran yang ingin aku liput dan potret, aku selalu minta agar semua makanan dihidangkan bersamaan. Pilih tempat duduk yang cukup cahaya nya. Cukup ya dan tidak berlebihan. Nah sambil menunggu makanan datang, biasanya aku beberes meja. Bikin skenario pengaturan pemotretannya. Alhamdulilah setelah beberapa kali, anakku Fiona, sudah bisa mengambil alih fungsi ini. Jadi emaknya tinggal evaluasi dan jepret.
saya sering lewat tempat ini, tapi sayang belum pernah mampir. nexttime lewat sana bakalan nyicipin steaknya. terima kasih infonya, mbak
Mampir Mbak Uwien. Di R.E Martadinata (dekat Riau) juga ada. Itu lebih di tengah kota menurutku.
wih sudah 37 tahun dan masih tetap bertahan, pastinya karena mutu dan rasa yang tetap terjaga.
Sepakat, semoga kalau pengelolanya menurun ke generasi kedua dan seterusnya, citarasanya tetap terjaga.
Buku menunya unik ya, dilengkapi sejarah dan informasi komplit menu yang disediakan. Jadi nggak perlu nanya-nanya lagi, dengan membacanya sudah tahu gimana awal mula resto berdiri.
Menunya juga menarik, apalagi ke sana pas suasana hujan. Bikin nafsu makan membesar
Betul Mbak. Legendaris banget. Aku sudah belasan kali mungkin kemari. Sejak masih bujangan dan punya kesempatan main ke Bandung. Soal rasa memang jempolan mereka ini. Sudah populer bahkan sebelum banyak resto-resto steak kekinian hadir di Bandung.