Wisata flora selalu mengingatkan saya akan kedamaian, ketentraman, dan kekaguman sekaligus. Begitu pun saat saya menemukan keindahan bunga abadi di Taman Edelweis yang berada di Karangasem Bali.
Dua minggu sebelum berangkat ke Bali dalam rangka menghadiri Ubud Writers & Readers Festival 20024 di minggu terakhir Oktober 2024, saya – seperti biasa – sibuk mengumpulkan beberapa informasi tentang tempat pelesir. Khususnya apa yang ada di kawasan Karangasem. Salah satu area di Bali bagian timur yang sedang bergiat untuk terus mengembangkan banyak destinasi wisata.
Untuk tujuan ini saya tak henti ngoprak-ngaprik media sosial dan tak bosan ngobrol dengan beberapa teman yang tinggal di Bali. Ada beberapa tempat yang saya sebutkan tapi nyatanya mereka malah kurang/tidak tahu. Kondisi yang biasa terjadi. Seringnya “sang penguasa tempat” malah ketinggalan berita dibandingkan dengan para wisatawan yang terus mengikuti informasi di media sosial.
Opsi “call a friend” alias menghubungi seorang teman, sepertinya hanya berlaku untuk mereka yang memang doyan jalan, menyusur banyak tempat tanpa pilah-pilih, hingga akhirnya menemukan tempat yang seru untuk didatangi. Termasuk saat saya mendapatkan referensi Taman Edelweis. Satu tempat di mana bisa menikmati hamparan Edelweis, yang dijuluki sebagai bunga abadi sepanjang masa dan tumbuh subur di dataran tinggi.
Sebelum berangkat ke Bali, saya sudah mengatur tiga hari tambahan untuk berwisata seusai menghadiri Ubud Writers & Readers Festival 2024. Sayang banget kan kalau tidak ngelencer. Apalagi notabene saya sudah setahun lebih tidak mengunjungi Bali.
Saya menghubungi Dwi Widodo, salah seorang teman pejalan, yang pengetahuannya luas banget tentang budaya dan banyak tujuan wisata Pulau Dewata. Khususnya tentang tempat-tempat yang punya ciri khas dan keunikan yang bakal jarang kita temui. Saya pun menyampaikan keinginan untuk khusus melali ke kawasan Karangasem. Dan voila, sederetan itinerary pun langsung masuk ke WA saya berikut dengan rincian keterangan tentang apa yang akan saya temukan nanti.
Selain mampir Desa Kusamba, desa penghasilan garam tradisional yang berada di Klungkung, rute berikutnya adalah Desa Adat Tenganan Pengringsingan, dan Taman Edelweis yang keduanya ada di Karangasem. Di antara jalur ini kami kemudian makan di Blayag Mek Sambru yang ada di Amlapura. Sebuah warung sederhana di emperan ruko lama dan sudah populer di kalangan pecinta sajian tradisional Bali.
Baca Juga : Menyesap Harmoni di Desa Adat Tenganan Pegringsingan Karangasem Bali
Saya langsung semangat. Membuka laptop dan berselancar di dunia maya ke tempat-tempat yang sudah disebutkan di atas. Wooaah seneng banget pastinya. Ketiganya benar-benar masuk dalam kualifikasi saya yang memang sangat menyukai penjelajahan sekaligus menemukan hal-hal baru yang belum pernah saya nikmati bahkan datangi sebelumnya.
Meskipun bukan dalam golongan hidden gems yang sering disematkan publik kepada banyak tempat menarik, ketiganya, menurut saya, punya rangkaian cerita, keunikan, dan keseruannya masing-masing.
BTW, saya sering gemes deh ngeliat orang dengan gampangnya mencantumkan julukan hidden gems ke beberapa tempat wisata, khususnya tujuan/tempat kuliner. Lah bagaimana bisa dijuluki hidden gems sementara tempat itu reachable location in public area kemudian sudah dipenuhi wisatawan? Padahal maknanya justru sangat berbeda dari itu. Jadi please lah ya. If you’re easily find a place/some places to visit for, please don’t mention it/them as hidden gems. Dan hal penting lain tentang julukan ini adalah bahwa hidden gems tidak dipublikasikan. Dia ditemukan, dikunjungi, dan izinkan promo mouth to mouth aja yang membesarkannya.
Baiklah. Mari saya lanjutkan cerita ya.
Saya dan Dwi melanjutkan perjalanan menuju Taman Edelweis sesaat setelah merampungkan makan siang yang sangat lezat di Amlapura. Mengikuti kantuk yang mulai terasa, saya terayun-ayun di bangku belakang mobil. Habis makan kenyang terbitlah rasa kantuk yang luar biasa.
Kami melewati jalan dua jalur yang menanjak, berlika-liku, dan cukup membutuhkan kesabaran serta keahlian dalam berkendara. Jalan menuju desa Temukus di mana Taman Edelweis ini memang berada di lereng bukit Gunung Agung, tepatnya di kecamatan Rendang, kabupaten Karangasem.
Sepanjang perjalanan saya melihat serangkaian rumah di pedesaan yang dipenuhi oleh berbagai tanaman. Mulai dari buah, aneka bumbu dapur, dan tentu saja sang bunga abadi, Edelweis. Bahkan beberapa diantaranya masih berupa hutan kecil.
Bentuk rumah-rumahnya juga mengikuti kebiasaan dan adat-istiadat Bali. Tampak fasad, pintu, dan halaman dengan salah satu sudut ruang doa atau tempat sembahyangan. Atap rumah, tiang-tiang kokoh dan beberapa ukiran khas Bali mempercantik beberapa sudut yang terlihat luas dan megah. Beberapa tempat yang kemudian juga dilengkapi oleh Pura milik banjar setempat.
Kabut tampak tebal melingkupi bumi saat mobil kami mencapai Taman Edelweis. Terlihat beberapa mobil sudah terparkir di lahan yang cukup terbatas. Di dekatnya ada beberapa warung makan yang sangat menggoda untuk disambangi. Apalagi dengan cuaca yang dingin menyentuh tubuh. Ngopi makan mie instan kuah atau nge-bakso sepertinya cocok sudah. Aaahh tapi perut kenyang saat makan lontong beserta pernak-perniknya di Amlapura tadi masih berdesak-desakan di lambung.
Saya dan Dwi akhirnya memutuskan untuk menyusur Taman Edelweis terlebih dahulu baru kemudian mengakhiri kunjungan di salah satu warung yang ada. Setidaknya ratusan bahkan ribuan langkah menyusur Taman Edelweis bisa membunuh rasa berdosa karena makan dan makan lagi.
Tentang Wisata Bali : Melali ke Little Talks Ubud Bali
Sebuah area penerimaan tamu menyambut kedatangan kami. Loket pembayaran tiket berupa sebuah rumah kecil yang cukup untuk ditempati hanya oleh satu orang ada di sebuah sudut halaman depan. Setelahnya kita akan bertemu kayu-kayu berbentuk rangka atap rumah yang disusun dan dipasang berjejer. Sementara untuk pijakannya dibuat dari batu koral yang dirangkai dalam semen. Di sekelilingnya tentu saja bertebaran Edelweis, sang bunga abadi. Satu-satunya obyek yang menjadi alasan saya datang ke Desa Temukus ini.
Beberapa langkah kemudian tampak beberapa pondokan yang menghadap ke sebuah lereng bukit. Di salah satu titik halaman depan ini berdiri dua buah rumah pantau/menara yang tinggi menjulang. Ada serangkaian tangga yang bisa membawa kita ke sepasang menara ini tapi melihat kondisi bangunannya yang sudah mulai menua dan jalannya terlihat licin, saya memutuskan untuk tidak melangkah ke sana. Apalagi jalan setapak ke arah menara masih dipenuhi oleh kabut yang cukup tebal.
Saya melanjutkan pendakian dengan langkah-langkah kecil sembari tak henti memotret dan membuat video di setiap sudut indah yang saya temui. Nafas ngos-ngosan mulai terasa dan saya memutuskan untuk melangkah sesanggup dan sekuatnya saja.
Pohon-pohon tinggi menjulang seakan hadir melindungi hamparan bunga Edelweis yang berada di bawahnya. Setiap jalan setapak terlihat tersusun rapi meskipun tampak mulai berlumut. Jadi jika teman-teman menyusur Taman Edelweis harus berhati-hati dalam setiap langkah. Apalagi jalannya tidak mendatar, berliku, dengan pijakan yang terlihat tidak rata.
Mengikuti irama nafas yang mulai naik turun, saya memutuskan untuk berhenti melangkah.
Sembari duduk di sebuah pondokan dan menebarkan padangan ke segala arah, saya menghabiskan waktu menatap ribuan bunga Edelweis yang masih berusia muda dan belum berbunga. Aahh seandainya tadi bawa termos isi kopi dan beberapa gorengan dari warung depan tadi. Bisalah jadi sambilan dan melamun asyik sembari ngunyah di dalam pondokan ini.
Tadi di dalam perjalanan menuju Taman Edelweis ini dan beberapa hari sebelum berangkat ke Bali, saya sempat mengingat beberapa kesempatan mengobrol dengan seorang teman yang suka mendaki dan berhasil menaklukkan beberapa gunung di nusantara. Dia sering bercerita tentang banyak tanaman cantik yang jarang ditemui oleh publik. Termasuk diantaranya adalah Edelweis.
Dari ceritanya lah saya jadi tahu bahwa dengan kemampuannya yang mampu tumbuh di banyak tempat, termasuk di lahan tandus, dengan bunga yang juga tidak gampang rontok, Edelweis kemudian mendapatkan julukan sebagai bunga abadi. Beberapa pendaki bahkan telah bersepakat bahwa mereka akan membiarkan Edelweis selalu tumbuh dan berkembang di tempatnya serta tidak memetik setangkai pun agar bunga ini tetap lestari di banyak tempat yang mereka lewati.
Tentang Bali : KOOD Kolaborasi Untuk Desa. Swakantin dan Swalayan Vegan Friendly di Sanur Kauh, Denpasar, Bali
Membaca beberapa referensi, Edelweis ini ternyata punya beberapa keunikan selain umurnya yang panjang. Bunga abadi ini mampu tumbuh di tempat yang tandus sekalipun dengan bunga yang tidak gampang rontok. Batang dan tangkai bunga menjadi satu kesatuan dengan kulit yang cenderung kasar dan bercelah. Edelweis juga adalah tumbuhan endemik yang eksis dan berkembang biak di ketinggian 2.000 hingga 3.000 mdpl. Jadi tak heran jika Edelweis hanya bersapa dengan para pendaki atau mereka yang suka dengan lingkungan pegunungan.
Saat berada di dekat banyak Edelweis muda yang masih dalam tahap pertumbuhan, saya serasa terjebak di dalam sebuah lautan karpet warna putih. Warna kedamaian yang sangat teduh di indera penglihatan kita.
Setelah puas menikmati “karpet putih” tersebut, saya akhirnya memutuskan untuk turun saat kabut kembali memenuhi sekeliling tempat saya berdiri. Kabutnya begitu pekat dan tebal hingga saya hanya bisa melihat hanya dalam jarak beberapa meter saja.
Saya memanggil Dwi yang berada lumayan jauh dari saya. Dia masih sibuk memotret dan membuat video untuk akun Youtubenya.
Setelah sempat bercerita panjang kali lebar tentang kondisi Taman Edelweis saat belum lama dibuka dan saat kami berkunjung, kami bersepakat berjalan turun dari bukit kecil ini. Kami menyusur jalur keluar Taman Edelweis, melewati beberapa rumah warga setempat, dan mengakhiri kunjungan di sebuah warung yang berdekatan dengan parkiran tadi.
Tentang Bali : Menyaksikan Lembah Keindahan di Alas Harum Tegallalang Bali
Kabut tebal kemudian datang kembali saat saya perlahan menyesap secangkir kopi hitam dengan sedikit sentuhan gula merah. Saya dan Dwi melanjutkan obrolan sepanjang perjalanan turun tadi. Selimut dingin mulai berasa merasuk ke dalam badan sembari berbincang banyak hal tentang wisata di Karangasem khususnya tentang Taman Edelweis, bunga abadi yang keberadaan dan pemeliharaannya ditangani oleh masyarakat setempat.
Saat saya berada di sana, tidak banyak pengunjung yang datang. Hanya ada beberapa gerombolan keluarga yang tampak riang melangkah bersama anak-anak kecil. Tapi saya yakin dengan konsistensi merawat lingkungan, menjaga kelayakan dan kegunaan bangunan yang ada, dan ribuan Edelweis yang tumbuh dan yang akan terus bertumbuh, tempat wisata ini akan disukai oleh banyak orang.
Kencangkan sosialisasi tempat lewat media sosial bisa jadi salah satu alat provokasi agar publik lebih mengenal Taman Edelweis. Kesempatan untuk menikmati udara segar dan bunga yang hanya ada di kondisi tertentu, setidaknya menjadi daya jual yang bisa dimanfaatkan oleh Taman Edelweis.
Saya (banyak) berharap agar destinasi wisata alam seperti Taman Edelweis ini akan terus terpelihara dengan baik. Semoga nantinya akan ada CSR dari institusi besar yang peduli akan tempat seperti Taman Edelweis ini. Atau setidaknya ada banyak penggiat kelestarian lingkungan yang turut “mengenalkan” taman ini kepada dunia.
Nampak adanya kabut bikin romantis ya hehe, itu udah sore ya mba?
Keren banget ya bisa sesukses itu membudidayakan edelweiss. Gak harus ke puncak saladah, Suryakencana atau Tegal Alun demi bisa menikmati hamparan edelweiss, ternyata di Rendang kereng Agung juga banyak ya …
Ini juga katanya pertumbuhannya lagi belum banyak Teh Okti. Saya lihat di media sosial mereka, sebelum2nya memang lebih banyak edelweisnya.
Mbak km hebat banget bisa menghadiri acara Unud Writers and Readers Festival 2024. Karpet putih yang indah pasti membuatmu nyaman di sana ya mbak… aku jd tahu ada kecamatan Rendang di Karangasam… kabut yang menyelimuti membuat syahdu suasana, ya mbak.
Kalau ada rezeki ke Bali, Taman Edelweis bisa jadi salah satu destinasi yang layak untuk dikunjungi. Anak-anak juga pasti seneng banget. Bisa lebih mengenal alam, khususnya sang bunga abadi.
Jadi noted nih dari pengalamannya Bu Annie, bahwa kalo lagi meresapi edelweis dan pemandangan sekitar jangan lupa bawa camilan dan air hangat, biar sambil nge-ganyem sambi pula merenungi berapa indahnya ciptaan Allah Swt 🥰
Hahahaha iya Fen. Ternyata banyak pondokan tempat kita istirahat atau menikmati panganan. Asik juga sembari menikmati edelweis dan kabut yang bolak-balik datang. Syahdu suasananya.
Emang mantab dan indah banget mbak, bunga edelweis. Selain emang cantik juga angle fotonya dapet banget.
Masyaallah. Ternyata, ada taman edelweis ya di Bali. Mana macem-macem lagi varietasnya. Bisa jadi obat kangen sama pegunungan karena sekarang jarang banget nemu edelweis
Baru tahu kalau di Karang Asem Bali ada taman edelwais yang masyaallah indah banget… ini apa bunga edelweis tumbuh sepanjang musim? Atau hanya musim tertentu…
Selama ini kalau ke bali ya hanya Denpasar, ubud, Nusa dua….
Mainlah ke Karangasem Mas. Di kawasan/kabupaten ini banyak banget destinasi wisata yang masih natural dan asri. Lebih bisa menikmati alam sebagaimana adanya.
Ada beberapa yang sudah saya tuliskan Mas. Coba aja browsing dengan key word “Karangasem” nanti akan muncul beberapa.
Buuuu serunya bisa liat edelweis tanpa capek2 mendaki gunung yaa…
Suci blm pernah Nemu eldeweis di gunung huhuu…
Berarti ini lokasinya di dataran tinggi dong ya? Subur Bangeeet itu bunganya semua.
Kabutnya juga syahdu… Suasana yang sangat kusukai kalo main ke gunung/dataran tinggi…
Smoga ada rezeki bisa main ke Bali lagi, aamiin…
Ini juga capek buat saya Ci hahaha. Karena posisinya ada di tebing dan lumayan juga pendakiannya. Tapi semua terbalaskan dengan menyaksikan hamparan edelweis yang luas banget. Plus menikmati kabut yang menyentuh badan. Kalo gak di dataran tinggi, pasti gak bisa merasakannya ya.
Mbak Annie…seingat saya Taman Edelweis ini berada di jalur pendakian Gunung Agung ya.
Suami saya Juli 2024 lalu mendaki Gunung Agung dan menyebutkan jalur pendakian di antaranya bisa melalui jalur ini.
Asli ga bayangin kalau tamannya seindah ini. Kebayang syahdu hamparan edelweis berlatar kabut begitu.
Cantiknyaaaa
Bener banget Mbak Dian, Desa Temukus, di mana Taman Edelweis ini berada, posisi di lereng Gunung Agung. Tamannya pun mendaki lumayan tinggi. Perjuangan banget buat saya yang gak pernah hiking.
Jadi inget semasa muda punya hobi mendaki gunung dan sering lihat edelweis
Tapi ya berlalu begitu saja
Karena zaman itu fotografi gak semudah sekarang
Jadi penasaran dengan edelweis yang ada di Bali ini, karena setau saya hanya tumbuh di ketinggian tertentu.
Entar ah kalo terwujud rencana traveling ke Bali, saya mampir ke sini. Penasaran banget
Taman Edelweis yang saya kunjungi ini memang berada di dataran tinggi Mbak. Tepatnya di lereng gunung Agung. Perlu perjuangan mendaki saat saya menyusur taman yang luas ini. Lumayan ngos-ngosan buat saya yang gak pernah hiking hahahaha.
Ohh gini bentukan bunga edelweis. Jujur aku belum pernah liat langsung bunga ini secara nyata. Karena di Aceh blm ada kayaknya.. Ntah pun bisa tumbuh ntah nggak, walaupun disini juga ada dataran tinggi.
Setuju mba, sekarang ini tempat wisata harus dikenalkan via medsos biar ada peningkatan daya tarik. Pengunjung akan berdatangan karena diawali rasa penasaran tadi. Kan lumayan juga
Cantik banget tempatnya. Jadi pengen ke sini deh ntar kalo liburan ke bali
MashaAllaa~
Untuk melihat Taman Edelweis Karangasem Bali butuh effort luar biasaaa.. hehehe, stamina kudu kuat dan bertemu dengan keindahan si bunga abadi.
Aku jadi inget kisah lama sama someone.
Eaaa.. doi hobi naik gunung dan oleh-olehnya Bunga Edelweis.
Rasanya dulu kok yaa.. romantiiss, gitu yaa..
Effort berjalan mendaki yang luar biasa memang. Lumayan menyusur tebing apalagi buat aku yang gak pernah hiking hahahaha.
Karena diberi julukan bunga abadi lah maka edelweis ini dijadikan wujud pernyataan sayang kita pada seseorang. Jadi gak heran kalau para pendaki tuh sering banget bawa bunga ini saat turun.