
Saya dan Mega bersepakat menyusur Karangasem di awal 2025. Selain menyusur Candidasa dan sekitarnya, kami memutuskan untuk menyambangi Amed. Di sinilah akhirnya kami menemukan Mejore Hotel sebagai tempat persinggahan sebelum akhirnya kembali ke Denpasar di keesokan harinya. Mejore Hotel Amed, tempat menginap yang damai dan menghadirkan debur ombak yang menenangkan jiwa
Saya dan Mega masih berada di Candidasa, Karangasem, saat hujan deras tampak enggan berhenti. Kami nyaris berlari kencang dari kamar menuju teras depan hotel untuk mengisi perut sepagian itu. Sarapan di tengah hujan yang menderas seolah tak mengizinkan kami untuk berpindah dari Candidasa ke Amed.
Hujan angin. Yup. Sepagian itu hujan angin sudah merambah area tempat kami menginap.
Hempasannya begitu terasa hingga menyentuh banyak meja makan yang berada di dalam restoran Utama Beach Villas, hotel di mana kami menginap selama 3 hari 2 malam. Saya bahkan seolah-olah merasakan bahwa air hujan yang berani menembus Utama Beach Villas Cafe sudah meninggalkan jejak di cangkir kopi yang saya pesan karena saat saya minum kembali sang kopi sudah berubah rasa.
Di suasana dan udara sedemikian rupa, sesungguhnya berat banget mengajak kaki untuk melangkah, meninggalkan sebuah nikmat yang namanya tidur. Tapi kalau kami berdua memaksakan diri untuk mengikuti keinginan ini, takutnya agenda kami seharian itu bubar jalan.
Kami di hari itu berencana mampir ke Virgin Beach yang berada di desa Bugbug dan beberapa tempat nongkrong serta destinasi wisata yang ada di sepanjang jalan menuju Amed. Tapi akhirnya semua buyar karena ternyata hujan menderas, tak mengizinkan kami menikmati keindahan alam selayaknya sebuah acara pelesiran.

Tentang Amed : AMED Salt Centre, Bisnis Petani Garam Berbasis Tradisi di Amed, Karangasem, Bali
Perjalanan dengan Kejutan
Hujan tampak sedikit mereda saat mobil yang dikendarai Mega mulai meninggalkan desa Candidasa. Lalu lintas nyaris sepi mungkin karena hujan yang tak pun benar-benar selesai. Mega memutuskan untuk nyetir perlahan saja agar tidak satu pun petunjuk arah menuju Virgin Beach kami lewatkan.
Ternyata jalur menuju pantai ini cukup tricky. Dari jalan besar (jalan utama), kami harus menyusur jalur dengan titik awal sebuah belokan yang nyempil dan menanjak. Jika tidak ada signboard yang dipasang di belokan itu, mungkin keraguan itu tak akan sirna. Apalagi jalan kecil ini berada di antara ruko-ruko yang saat itu sepertinya sudah lama tidak digunakan.
Hujan ternyata tetap enggan bungkam total saat mobil kami meliuk-liuk mengikuti kontur jalan berbukit yang turun naik. Langit sempat dalam beberapa menit cerah ceria menyambut ketibaan kami di Virgin Beach. Tapi saya tetap bersiap dengan topi lebar dan sling bag tahan air agar instrument photography yang saya bawa tetap aman.
Tapi ternyata langit cerah hanya bersifat sementara. Hanya dalam beberapa menit kami duduk di sebuah resto yang berada persis di pinggir Virgin Beach, angin puyuh mendadak menerjang. Sepiring french fries, fresh juice, dan secangkir kopi, harus segera kami pindahkan agar air tak ganas menghancurkan semuanya.
Kami bahkan terpaksa meringkuk, mundur dari pinggir resto yang setengah terbuka, karena hujan angin semakin menggila diiringi dengan langit yang mendadak pekat. Aliran listrik pun dimatikan demi keamanan. Saya, Mega, dan beberapa turis asal Rusia lainnya, yang berada di resto tersebut, hanya bisa terpaku untuk sementara waktu. Jejeritan kecil serta kerepotan memindahkan barang, meja dan kursi, mengiringi suara ombak yang menghantam keras di beberapa sisi depan resto.
Duh mencabar keberanian dan kesabaran banget itu. Dada saya malah sempat berdegup kencang saat melihat ombak mulai meninggi dan menyentuh bibir terujung pantai.
Cukup lama peristiwa ini berlangsung. Hingga akhirnya kami memutuskan untuk beranjak dan meneruskan perjalanan di tengah rintik hujan serta menemukan sebuah pohon besar yang tumbang di tengah jalan. Tapi semua segera teratasi berkat kesigapan masyarakat sekitar.
Kami pun lancar melanjutkan perjalanan hingga akhirnya mencapai penginapan yang sudah Mega pesan sebelumnya.
Tragedi kecil pun terjadi di sini.
Kami ternyata terjebak dalam sebuah kekeliruan. Penamaan “villa” yang disebutkan ternyata adalah sebuah kamar dengan “wujud” yang berbeda dari apa (baca: foto) yang diperlihatkan di OTA. Alih-alih mendapatkan satu kamar menghadap laut dengan sebuah kolam renang, kami malah diarahkan ke sebuah kamar di lantai atas sebuah rumah kayu. Tangganya tinggi menukik pulak. Kamarnya mini dengan jendela kaca kecil, kasur yang terbentang di lantai kayu, serta kamar mandi yang ada di lantai bawah.
Waduh!! Saya langsung gentar.
Membayangkan bergidiknya saya saat harus petentengan berhijiab, naik turun tangga di tengah malam saat kebelet pipis. Belum lagi kudu bawa peralatan mandi dengan berkerudung di tengah ramainya tamu villa. Yang membuat saya gentar sesungguhnya adalah tangga yang menukik itu. Trauma pernah jatuh berulangkali dengan HNP yang akhirnya bersarang di tubuh saya, naik turun tangga bagi saya adalah sebuah resiko yang cukup serius.
Fix. Saya dan Mega sepakat untuk membatalkan reservasi atas kamar ini meski harus kehilangan dana yang sudah disetor sebelumnya. Koper-koper kami pun dimasukkan kembali ke mobil. Ya sutralah. Daripada bergerak dengan rasa takut, mending pindah saja.

Berada di jalur pinggir pantai, sepanjang perjalanan tadi, saya sempat melihat beberapa hotel berjejer rapi. Sebagian besar adalah berbagai villa dengan bangunan yang tidak langsung tampak dari pinggir jalan. Tapi ada satu hotel yang mencuri perhatian dan sempat kami lewati. Fasadnya cantik dengan bangunan yang sepertinya terdiri dari 3 lantai. Tidak besar tapi sangat menarik perhatian.
Saya dan Mega pun memutuskan untuk balik arah dan menyusur kembali jalan yang kami lewati tadi dengan menaiki mobil. Meski menurut banyak orang hotel yang kami maksudkan hanyalah walking distance dan hanya bisa dicapai dalam 5 menit saja, keputusan untuk naik mobil adalah keputusan yang tepat.
Yah terkadang kan satu tempat itu dekat bagi seseorang belum tentu dekat bagi orang lain. Letak pun sekarang terkadang ada yang menghitung dalam waktu bukan dalam satuan jarak. Semisal tempat A hanya 5 menit dari tempat B. Padahal informasi tentang waktu itu hanyalah asumsi. Apalagi jika bicara tentang Jakarta yang selalu tak terduga kondisi lalu lintasnya.
Jadi daripada mondar-mandir karena harus memindahkan mobil, kami berdua memutuskan untuk langsung naik mobil saja. Dan beneran saudara-saudara. Ternyata yang mereka bilang “dekat” itu adalah kira-kira 1km. Kebayang dong kalau harus jalan bolak-balik.
Seperti banyak orang bilang “Rezeki tuh tak akan kemana. Jika itu milik kita, maka akan jadi milik kita. Meski saat mendapatkannya kita harus menyusur jalan berliku.” Itu yang saya alami dengan Mejore Hotel Amed.
Setelah sempat menyambangi sebuah villa yang persis bersebelahan dengan villa yang kami batalkan tadi dan melihat kamar yang lain, kami ternyata mendapatkan kamar yang sungguh apik di Mejore Hotel Amed dengan harga yang sama. Apalagi setelah melihat langsung kamar yang dimaksud. Harganya sekitar 900-an ribu rupiah/malam sudah termasuk sarapan dan itu adalah kamar dengan tipe tertinggi yang dimiliki oleh Mejore Hotel Amed.
Tanpa berpikir 2 kali, kami pun langsung membayar biaya menginap semalam.
Tentang Bali : Menyesap Harmoni di Desa Pengringsingan, Karangasem, Bali

Tentang Bali : Melali ke Little Talks Ubud Bali
Kamar dengan Debur Ombak yang Menenangkan Jiwa
Seorang petugas menawarkan kami untuk melihat 2 tipe kamar yang sedang kosong saat itu. Pertama adalah tipe deluxe yang ada di bangunan depan seharga Rp450.000,00/malam dan kedua adalah kamar premium dengan ukuran dan harga 2 kali lebih besar dan lebih mahal dari kamar pertama.
Sesungguhnya saya cukup puas dengan kamar deluxe yang ditunjukkan di awal. Kamarnya bersih banget dan ada di lantai 2 yang bisa kami raih dengan menaiki lift kecil. Tapi saya dan Mega memutuskan untuk tetap melihat kamar yang lebih mahal dan katanya kasta tertinggi serta termewah dari semua kamar yang dimiliki oleh Mejore Hotel Amed.
Dan ternyata kami langsung jatuh cinta.
Kamarnya luas banget. Dua kali lebih besar dibandingkan kamar deluxe tadi. Letaknya di lantai 2 bangunan depan yang sepertinya lebih baru dari yang menaungi tipe kamar deluxe. Kamar ini langsung menghadap ke laut dengan pemandangan pantai yang memanjang. Di depannya ada sebuah teras yang sangat luas dan dilengkapi oleh bangku kayu dan meja kayu panjang.
Sisi depannya berdinding kaca dengan pintu yang bisa digeser 2 arah.
Sebuah pemandangan mengesankan langsung menyeruak.
Dengan ukuran yang sangat lega, kamar ini menghadirkan sebuah tempat tidur ukuran king dengan bed-head kayu yang mengesankan. Di atas bed-head ini ada sebuah ukiran kayu yang cantik betul. Sementara di masing-masing sisi tempat tidur tersedia nakas dengan lampu sorot kecil dan colokan listrik. Membantu banget untuk kita yang akan mengisi daya handphone ataupun laptop sembari beristirahat.
Tadi saat masuk, di sisi kanan pintu masuk adalah sebuah lemari kayu yang menyediakan sebuah kulkas kecil di bawahnya. Tersedia juga smart TV yang menghubungkan kita dengan beberapa platform hiburan. Diantaranya adalah Netflix dan Youtube. Hanya sayangnya ukuran TV nya terlalu kecil untuk ruangan ini. Dengan posisi menempel di dinding dan dengan engsel besi yang bisa digerakkan kesana kemari, ternyata cukup sulit bagi saya untuk menikmati setiap gambarnya.
Berseberangan dengan area TV ini, Mejore Hotel Amed menyediakan sebuah sofa besar dengan pinggiran kayu yang bisa difungsikan sebagai tempat tidur tambahan. Di hadapannya ada sebuah meja persegi panjang yang dibuat dengan jenis kayu dan sentuhan plitur yang sama.
Dengan kondisi seperti ini, kamar ini bisa ditempati oleh setidaknya 4 orang seukuran saya. 3 orang bisa tidur di ranjang besar sementara 1 orang lagi bisa selonjoran enak di sofa tadi.
Di belakang ruang tidur ini, terselip satu ruang khusus memanjang. Di sini ada sebuah lemari kayu yang cukup besar dengan beberapa meja permanen yang bisa kita gunakan untuk menaruh koper dan berbagai kotak atau plastik makanan. Di sini juga tersedia berbagai compliment berikut dengan teko penanak air.
Setelah ruangan ini barulah kita bertemu kamar mandi. Bentuknya juga memanjang. Saat pintu dibuka kita akan langsung bertemu wastafel, kemudian di sisi kanannya ada toilet atau jamban, lalu di sudutnya tersedia shower yang cukup fungsional dengan air dingin dan hangat/panas. Antara shower dan jamban ada sebuah dinding yang cukup tinggi. Kehadirannya tentu saja membuat siapa pun yang sedang mandi tidak akan terlihat langsung dari pintu masuk. Air dari siraman shower pun tidak akan membasahi apa yang berada di sekitarnya.
Tidak banyak dekorasi yang dihadirkan di kamar ini. Pewarnaan ruangannya pun tidak mencolok. Tapi justru dengan warna semuda itu ruangan jadi terlihat luas dan lega.
Selain AC/pendingin ruangan yang beroperasi dengan baik, kamar tipe ini juga menyediakan sebuah kipas angin yang dipasang di langit-langit kamar. Cukup solutif jika ingin menikmati udara luar dengan membuka pintu tanpa harus merasakan pengapnya udara di dalam ruangan.

Satu yang saya sukai dari kamar ini adalah terasnya yang lapang itu. Jika tidak hujan angin, saya yakin pemandangan malam dengan taburan bintang-bintang di langit pasti membuat duduk di teras ini begitu menghibur hati. Apalagi jika ditemani oleh seorang sahabat sembari menikmati serangkaian makanan dan minuman hangat lalu ngobrol sepuas-puasnya sembari mendengarkan deburan ombak yang menenangkan jiwa. Awalnya saya dan Mega sempat menghabiskan waktu berlama-lama di teras ini, tapi hujan angin yang tiba-tiba menyerbu membuat kami harus rela melepas masa-masa menikmati malam di teras dengan gegoleran di atas kasur.
Saat kami mulai terlelap, hujan angin terdengar semakin heboh. Hembusannya sempat menghantam-hantam pintu kaca. Kami pun jadi “terpaksa” melahap pop-mie beserta aneka jajanan/camilan yang sempat kami beli di sebuah mini market sebelum menggapai Amed tadi siang. Enggan rasanya di cuaca seperti itu, kami harus melangkah keluar.
Apalagi antara gedung di depan di mana kamar kami berada dan gedung belakang tidak ada bangunan tertutup yang bisa memayungi langkah kami. Saya harus melewati tangga yang meskipun landai tetap cukup butuh kehati-hatian. Dan itu berarti super duper hati-hati untuk saya pribadi.

Sarapan yang Kaya Rasa
Sarapan di sebuah cafe kecil milik Mejore Hotel Amed sistemnya ala carte. Bukanlah buffet seperti yang biasa kita nikmati di hotel-hotel kebanyakan. Pilihannya memang tidak banyak tapi ragamnya sangat menarik. Saya dan Mega memutuskan untuk berhati-hati dan memilih menu yang minim dengan sentuhan wajan penggorengan karena di beberapa pilihan ada asupan non-halalnya.
Setelah berbagai pertimbangan, kami memutuskan untuk memesan sandwiches roti bagelen dengan isian sayur, keju, telur dadar, dan daging sapi panggang. Petugas yang berjaga saat itu berjanji untuk menjamin ke-halal-an sarapan kami. Semoga amanah ini benar-benar dia laksanakan.
Selain sandwiches bagelen, di dalam piring juga disediakan potongan buah (semangka dan nanas). Sedikit tidak match dan senyawa menurut saya sih karena biasanya sandwiches ditemani oleh kentang goreng, potato chips, atau lebih asyik lagi jika bisa berupa mashed potatoes dengan kandungan keju yang berlimpah ruah. Yang terakhir ini kegemaran saya banget.
Bagelennya terpanggang baik hingga saya masih bisa merasakan efek krenyes-krenyes saat digigit. Efek yang sangat menyenangkan rasa dan selera. Semangat makan pun mendadak bangkit apalagi mengingat bahwa sehari sebelumnya saya tidak menikmati makan malam yang sempurna.
Rangkaian jelajah sarapan ini kemudian ditutup dengan segelas besar juice yang segar, sehat, dan mengalir sempurna di tenggorokan.
Ruangan cafe nya sendiri tidak begitu luas. Dine-in areanya cukup terbatas. Hanya ada beberapa meja dan kursi di bagian dalam dan beberapa di teras luar untuk mereka para ahli hisab. Tapi meskipun terbatas, ruangan cafe ini dibuat sangat menarik dengan beberapa ornamen cantik yang disesuaikan dengan fungsi ruangannya.
Saya dan Mega memilih tempat duduk yang memungkinkan kami untuk melihat kolam renang yang berada bersebelahan dengan cafe. Kolam renang di tengah bangunan depan dan langsung menghadap area penerimaan tamu, kantor manajemen, dan sebuah ruangan untuk massage.
Saya loh sempat melirik ruangan massage ini saat kami check-in dan Mega menguruskan semua keperluan administrasi. Cukup menarik tawarannya. Asyik juga kan menikmati pijitan di sela kegiatan menjelajah kesana-kemari. Tapi niat itu malah terlupakan karena hujan angin semalaman.

Tentang Bali : Keindahan Bunga Abadi di Taman Edelweis, Karangasem, Bali
Menyusur Fasilitas Hotel
Usai sarapan yang sangat memadatkan lambung, saya dan Mega memutuskan untuk berjalan menyusur fasilitas hotel.
Hotel ini sejatinya sangat menarik jika kita melihat fasad bangunan yang hadir dengan dinding berukir. Di sisi depan tertulis tersedia fasilitas roof top yang bisa digapai dengan menaiki tangga yang terletak berseberangan dengan area penerimaan tamu. Sayangnya kondisi cuaca tak mengizinkan siapa pun untuk naik ke area ini.
Saat melangkah ke arah bangunan belakang, saya menyadari bahwa antara dua bangunan yang disediakan oleh Mejore Hotel Amed tidaklah memiliki akses yang langsung terhubung satu sama lain. Keduanya hadir bagai 2 bangunan terpisah dengan masing-masing 2 lantai. Tapi yang pasti keduanya memiliki sentuhan interior yang mirip. Perbedaan yang mencolok adalah bangunan depan tidak memiliki akses langsung ke pantai. Berbeda halnya dengan bangunan belakang di mana kamar kami berada.
Di bangunan belakang ini Mejore Hotel Amed juga menyediakan kolam renang yang ukurannya lebih panjang dari kolam renang yang ada di depan. Rancang kolam dan suasananya pun dibuat berbeda.
Kolam renang di bangunan belakang ini membangkitkan suasana tepi pantai yang asyik. Ada beberapa bangku panjang untuk bersantai yang dilengkapi dengan tenda-tenda kecil untuk menahan sinar mentari. Sayangnya lagi-lagi karena hujan deras semalaman, bangku-bangku ini basah dan tak memberikan kesempatan kepada kami untuk mencobanya.

Jalan setapak kami lalui untuk menggapai pantai berbatu yang ada di pinggir laut. Satu yang langsung menarik perhatian saya adalah sederetan perahu jukung tinggi besar yang didominasi dengan warna putih. Sebagian diantaranya berukuran grande dan terlihat kuat serta gagah. Perahu-perahu ini terlihat berderet dan terparkir di pinggir pantai dengan sempurna.
Pantainya sendiri berpasir hitam yang area pijaknya dikuasai oleh ribuan bahkan jutaan batu koral. Sejauh mata memandang hanya pasir hitam dan batu koral inilah yang menghiasi indera penglihatan saya. Pemandangan sama yang bisa dengan mudah saya nikmati dari teras depan kamar yang kami tempati.
Di satu titik pantai yang sungguh panjang ini, saya bisa melihat kamar kami. Terlihat betapa gagahnya bangunan tersebut dan betapa menjulangnya posisi si kamar. Aahh sayang banget seharian kemarin hujan ya. Kalau enggak, saya bisa dipastikan menghabiskan sebagian besar waktu dengan duduk-duduk di teras kamar sembari mendengarkan deburan ombak yang menenangkan jiwa.
Sambil memotret di beberapa sudut, saya sempat melamati beberapa villa yang tampak berjejer dengan Mejore Hotel Amed. Tapi bangunannya tidaklah setinggi apa yang dimiliki oleh hotel ini.
Tak lama 2 orang perempuan asal Belanda tampak mendatangi saya. Seperti biasa, mereka meminta bantuan memotret. Tentu saja saya layani dengan sepenuh hati. Saya pun meminta mereka melakukan hal yang sama. Kegiatan saling membantu yang kemudian ditutup dengan percakapan akrab tentang pengalaman pertama mereka mengunjungi Bali. Plus beberapa referensi tempat yang bisa mereka sambangi saat berada di Karangasem.
Namun percakapan kami terpaksa berakhir karena hujan lagi-lagi tak rela jika saya berada di luar ruang berlama-lama.
Saya dan Mega pun melangkah tergesa, balik ke kamar mengumpulkan semua bawaan, dan langsung melanjutkan perjalanan untuk kembali ke Denpasar.


Tentang Bali : Singgah ke Rumah Momo, Book Cafe Estetik di Renon, Denpasar, Bali






Rezeki memang penuh dengan kejutan seru. Setelah menempuh perjalanan yang lumayan menantang, hujan serta angin. Ikut bersyukur saat memasuki area Mejore Hotel Amed yang sangat cakep dari fasad bangunan hingga kamarnya.
Yups desain kamarnya menarik sekali, apalagi pemandangannya laut beuh sungguh nikmat bertubi-tubi hadir. Ditangan yang tepat menu sarapan tampak menggugah selera banget sihhhh. Ini beneran pengalaman nginap berkesan dan makasih sudah diajakin merasakan detail kamar hotel, beneran kayak lagi jalan-jalan di sana langsung.
Jika semesta mengizinkan pengen banget kembali ke Amed dengan cuaca cerah dan langit yang membiru. Satu kondisi yang membuat potret di kawasan pesisir ini jadi lebih cantik, estetik, dan eye-catchy. Sekalian aku pengen mampir ke ladang pembuatan garam tradisional, yang lahannya tak jauh dari Mejore Hotel.
Hemm… Ternyata di Bali pun masih ada sekelas penginapan yang diiklankan di ota tapi tidak sesuai dengan kenyataannya.
Sebenarnya mereka menggali kuburan sendiri ya … Seperti pengalaman ibu ini, kitajadi tahu da waspada sama penginapan mereka punya itu. Jangan sampai ketipu dan uang masuk hangus
Hooh ya. Aku kira mah namanya Bali sudah pasti untuk penginapan, meski tak selalu mewah tapi pasti akan selalu dibuat senyaman mungkin.
Tapi, semuanya terbayar dengan dapat kamar yang menenangkan dengan debur ombak dan kolam renangnya ya, Kak.
Rejeki emang nggak kemana. Hehehe
Mbak Annie dan Mbak Mega masih baik nih, nama penginapan pertama yang di booking tidak diberikan clue-nya apalagi complain di sosmed. Bisa viral tuh mereka. Sebenarnya bukan buat menjatuhkan bisnis orang, tapi biar calon pemesan bisa lebih aware kalau mau reservasi. Minimal sudah tulis rating jujur di OTA-nya kan mbak?
Beruntung malah dapat hotel yang lebih baik, fasilitasnya oke semua.
Nggak banyak reviewer yang begini ya, Mbak. Banyaknya yang membagikan dengan dalih review jujur. Hehehe
Sing penting dapat yang menyenangkan pada akhirnya ya, Mbak An.
Betul banget. Gak terbayangkan kagetnya saat diantar ke kamar yang tidak sesuai visualnya dari materi promo yang mereka hadirkan. Berasa banget sudah “terjebak”. Saya dan Mega pun tak berminat juga beradu pendapat. Kebetulan kami juga dalam kondisi lelah setelah perjalanan jauh kan? Jadi yah anggap aja sebuah pelajaran bagi kami berdua.
Alhamdulillah tergantikan oleh MEJORE.
Ya Ampun Mbak Annie, pikiran aku juga sama kaya dirimu lho kalau hotel di Candidasa itu menghadap laut. Apa mungkin ga semuanya kali ya? btw selama d Bali udah ngicipin Mujaer Nyet Nyet belum mbak?
Wah baru denger jenis masakan ini Mbak. Next trip ke Candidasa kudu dicari sepertinya. Thanks buat rekomendasinya ya.
Asyik banget ya tinggal di hotel yang suara latarnya ombak. Pasti vibenya enggak tergantikan, deh. Jadi mupeng.
Alhamdulillah Bu Annie dan bestie-nya bisa cepat berubah tempat penginapan. Kebayang buat daku yang kerap pagi2 sebelum subuh bakalan berkutat sama toilet, terus kudu keluar kamar terus ke bawah haddehh.
Pengalaman Bu Annie, jadi pembelajaran dan masukan buat pembaca blog termasuk daku, biar saat memilih penginapan harus teliti banget dan siapยฒ sedia cari alternatif kalo ada yang gak beres di opsi pertama
Apalagi buat saya yang kudu super hati-hati naik turun tangga karena faktor kondisi tubuh. Jangan sampe tak nyaman bahkan celaka karena kondisi tempat yang tidak menyenangkan. Lebih baik bayar lebih mahal tapi aman ketimbang murah tapi tak nyaman.
Beruntungnya saya dan Mega bisa mendapatkan tempat yang jauh lebih baik di lingkungan yang sama. Lucky us!!
Wah sempat kena prank sebuah ‘villa’ yang di OTA foto-fotonya oke tapi wujudnya enggak banget, jauh dari ekspektasi. Untungnya dapat ganti Mejore Hotel Amed yang asyik ini ya Mba Annie
Iya Mbak Dian. Dari pengalaman ini saya berhati-hati dengan membaca dan mengartikan review yang dihadirkan. Saya terkadang sampai mengecek nama orang yang menulis review tersebut. Terkadang itu akun fake juga. Yang diatur sedemikian rupa hanya demi tujuan promosi.
Beda banget dengan ulasan/review yang benar-benar lahir dari pengalaman pribadi.
Hotelnya deket pantai, bisa sambil menghirup udara dan deburan ombak pantai, jadi lebih damai hati ya kak. Suasana hotelnya juga bikin nyaman, betah pasti stay disitu.
Yup. Bikin betah luar biasa.
Alhamdulillah nggak jadi naik turun tangga menukik untuk pergi ke kamar mandi. Walau harus kehilangan uang karena membatalkan reservasi di penginapan yang sudah di pesan, tapi “tergantikan” dengan menginap di Mejore ya mbak. Mepet pantai pula.
Iya lho, 30 menit di Jakarta dengan 30 menit di Malang tuh jarak yang ditempuh bisa beda jauh banget
Bener Mbak Nanik. Kekecewaan dibalas dengan kegembiraan luar biasa. Beruntung bisa menemukan MEJORE dengan kamar persis depan pantai yang sangat menyenangkan. Berharga banget waktu-waktu yang dihabiskan di teras depan kamar itu.
hotel dipinggir pantai tuh impian banget
dengan semua fasilitas yang ditulis Mbak Annie di atas, rasanya jadi plus, plus, plus karena ada debur ombak dan keharuman aroma laut
walau pastinya panas pisan untuk saya ya? Kayanya saya bakal cuma keluar di sore atau malam hari :D
Betul sekali Mbak Maria. Saya dan Mega beruntung bisa mendapatkan kamar yang berhadapan langsung dengan laut. Teras kamarnya juga luas dan nyaman untuk duduk sembari ngobrol dan menghabiskan waktu dengan kegiatan berkualitas. Sayang banget cuma sehari. Saya berharap bisa lebih lama di MEJORE.
A strong clue to return pastinya.
Sambil membayangkan apa yang ka Annie tuliskaan.. Rasanya, aku bisa ikutan mencium wangi pantaiii.. mashaAllaa~
Ternyata, kegagalan itu gak selamanya buruk yaa, ka..
Karena gagal dengan penginapan sebelumnya, malah bertemu dengan penginapan cantik menghadap laut dan ada banyak fasiitas memanjakan lainnya di Mejore Hotel Amed.
Tapi memang kadang rancu di Bali tuh…
Ngomongnya villa, tapi yang disewain kamar juga.. meski dengan luasan yang bisa dibilang mirip apartemen, bahkan ada kolam dalam kamar.
Lucky us!! Meski sempat kecewa dan akhirnya harus menyusur tanpa reservasi di awal, kami menemukan MEJORE sebagai pengganti yang mengobati hati. Kamar yang kami pilih pun nyaman banget. Bisa menikmati debur ombak bersama sahabat tuh rasanya perfect betul. That’s all we need though.
liat kolam renangnya jadi pengen renang dan ngademin diri, tiba-tiba ingat udah lama enggak renang. Btw kamarnya enak banget ini desainnya simpel dan calming bikin rileks
Posisinya juga sangat strategis. Beneran persis di pinggir pantai. Saya dan Mega bisa nongkrong di teras sembari ngobrol dan menikmati debur air laut yang menyamankan hati. Sesuailah dengan harga yang ditetapkan. Value dan convenient berpadu sempurna.
Waduh untuuung memutuskan pindah hotel, An! Kebayang kalau memaksakan diri di hotel yang sungguh tidak compatible toilet beda lantai, dengan visual view yang sungguh enggak banget!
Terus ditambah hujan angin menderas tak henti hentinya… tsk!
Kadang yaaa kita emang ga boleh banget percaya begitu saja sama review google atau viral. Makanan yang paling sering kena prank sih ..
Pengalaman baru baru ini, kami mengejar sebuah tempat makan viral – disajikan di tampah dengan lauk beraneka ragam yang tampilannya cantik plus aneka sambal.
Pas ke sana taunya… hanya sebuah pondok di depan rumah .. yup! definitely hanya sebuah lincakan bambu non permanen dilapisi sebuah tikar yang bentuknya seadanya dan sebuah wastafel (untung ada!) alakadarnya,
Makanan disajikan beneran di atas tampah , nasi di bakul ditumplek gitu aja di hadapan kami (tidak seperti yang dibayangkan yaaa tampahnya) dengan lauk ikan asin beberapa biji, lalap timun dan sambal. Ayam habis, tempe tahu sisa 3 -4 iris sedang, padahal kami datang 8 orang! Akhirnya pemilik rumah mengijinkan si mbak mengambil telor untuk didadar wkwkwkwkkk….
Dengan halus aku menolak makan beralasan mendadak sakit gigi dan hanya mengambil sebotol air mineral hahahaha padahal perut keroncongan! Aku mengambil sepotong tempe coel coel biar ngga kelaparan banget…
Aiiihh serem amat. Duh kalau aku ketemu tempat yang sama gitu, pasti keputusanku sama. Mending gak makan daripada maksain diri. Jika pun bisa, paling lebih milih minum kopi atau teh aja. Gak bisa akutu orang menghidangkan asal aja tanpa pertimbangan kepatutan dan kebersihan. Tapi semogalah gak terjadi padaku.
Ada harga ada barang ya Mbak?
kalo saya mungkin langsung pilih yang Rp 450.000/malam
tapi trus nyesel pingin pindah ke kamar Mbak Annie
hehehe ……emang, walau cuma tidur semalam, penting banget tidur di tempat yang nyaman
agar esoknya gak bad mood seharian :D :D
Wah, emang risiko banget tuh tangga curam. Aku kalau memungkinkan, udah booking, masih telepon ke hotel, kalau bisa minta kamar di bawah. Sebagai penyandang OA, challenging kalau naik-turun tangga. Alhamdulillah, dapet ganti kamar luas ya Mbak. Paling suka tuh, soalnya shalatnya nyaman. Sayang hujan ya, explorenya maximal di tengah keterbatasan.
Soal makanan halal juga challenging di Bali. Ada cerita temenku penelitian di sebuah desa. Sama ibu RT disajikan ayam goreng, katanya, tadi sembelihnya udah pakai “bismillah” kok Bu…Padahal yg menyembelih Hindu… :D
Iya Mbak. Sayangnya waktu kita booking, foto kamar dengan kenyataannya berbeda. Saya juga sensitif dengan tangga Mbak. Bukan trauma tapi lebih menghindari karena punya saraf kejepit yang wajib dihindari kumatnya. Karena kalau sampai jatuh, amit2, saya tuh bisa gak bergerak berhari-hari.
Kuliner Bali memang jadi tantangan buat kita-kita yang ingin menyusur pulau ini sampai ke sudut-sudut terjauh. Kalau di dalam kota atau kawasan besar seperti Denpasar, Seminyak, Kuta, Ubud, dll pembatasan halal dan non-halal tuh jelas banget.