Masakan rumahan itu – menurut saya – gak pernah ngebosenin. Selalu pas di lidah untuk diasup di mana pun kita berada. Apalagi jika tempat makannya diatur dengan nuansa pedesaan dan pemandangan luar ruang yang jarang bisa dinikmati. Khususnya saya yang sehari-harinya terkepung oleh udara dan nuansa kawasan industri
Beberapa hari sebelum berangkat ke Yogyakarta di awal Agustus 2024, saya dan si bungsu telah bersepakat akan mencoba rumah makan yang menghidangkan masakan rumahan. Saking banyaknya dan tidak bisa menentukan pilihan yang tepat, akhirnya hal ini saya serahkan kepada Mas Yudi, supir yang menemani kami jalan-jalan selama di Yogyakarta. Setelah menimbang jarak, tempat, dan rute yang akan kami lalui hari itu, pilihan akhirnya jatuh pada Geblek Pari yang berada di Kulon Progro. Lokasi yang, kalau lihat di peta, tidak begitu jauh dari Gamplong Studio Alam. Tempat yang pagi-pagi masuk dalam agenda kunjungan di hari itu.
Tentang Gamplong Studio Alam : Berburu Foto Ciamik di Gamplong Studio Alam Yogyakarta
Halaman parkir yang luas dengan pohon-pohon menjulang di Geblek Pari terlihat masih sepi sesiangan itu. Hanya ada beberapa orang petugas yang tampak sedang membersihkan jip yang terparkir dengan rapi. Terbungkus dengan warna mencolok, jip ini mengingatkan saya akan kegiatan susur banyak tempat sembari merasakan wajah tersapu-sapu angin dan melihat pemandangan alam sekeliling yang dilewati oleh para penumpangnya.
Saya mendadak teringat tawaran Mas Yudi untuk ikut merasakan jeep tours ke Merapi atau di pantai Parangtritis beberapa hari sebelum saya berangkat ke Yogyakarta. Awalnya cukup tergoda. Tapi karena belakangan hari cuaca di sebagian besar kota di Indonesia sedang tidak menentu dan takut masuk angin, akhirnya kegiatan ini tidak saya masukkan di dalam jadwal liburan.
Di depan pintu masuk, seorang petugas menyapa ramah dan mempersilahkan saya masuk. Bagian fasadnya tertata unik. Ada satu sisi yang berhiaskan banyak piring jadoel yang terbuat dari ornamen. Piring-piring itu tersusun rapi mengiringi tulisan Geblek Pari yang berada di tengah-tengah. Spot foto yang asyik dan saya pun tak melewatkan momen untuk berpose di sini.
Melangkah masuk saya melihat area dapur dan pusat pelayanan di sisi kiri, sementara di seberangnya terdapat fasilitas umum lainnya seperti toilet dan lain-lain. Yang maaf, menurut saya, sebaiknya jangan berada di bagian terdepan rumah makan. Akan lebih cantik jika diganti dengan taman, kolam ikan, display kerajnan tangan, atau aneka dekorasi khas Yogyakarta yang apik-apik. Bahkan jika punya dana khusus, spot ini bisa dijadikan outlet mini yang menawarkan oleh-oleh. Baik itu camilan, penganan khas, produk fashion, atau pernak-pernik lucu.
Melewati kasir dan area pelayanan, saya diberikan sebuah kertas menu yang panjang banget. Di situ tertera banyak banget pilihan. Puluhan lah barangkali. Dikasih juga sebuah pensil untuk dibawa.
Menyusur daftar menu dengan tulisan singkat-singkat itu saya jadi ngeh. Di situ tertera sajian tambahan aja. Sementara itu menu utama disediakan secara buffet di satu ruang khusus yang bersebelahan dengan dapur. Ruangan (sangat) sederhana dengan dinding tanpa plester dan beberapa tempat memasak yang masih menggunakan kayu dan tungku. Panci dan wajannya pun besar-besar karena volume memasak yang setara dengan kebutuhan resto.
Pilihannya menunya sih belum banyak karena saat itu karena waktunya makan siangnya masih sekitar satu jam lagi. Tapi untuk saya sih lumayanlah. Sudah tersedia aneka goreng ikan, tahu, tempe, ikan asin, terus ada sayuran berkuah. Lodeh dan semua serba tahu dan tempe sepertinya yang diutamakan ada. Aneka sambal juga siap terhidang. Hampir semua diletakkan di dalam wadah melamin dengan motif zaman dulu yang masih artistik dan elok untuk diperlihatkan dan digunakan.
Tentang Yogyakarta : Mengukir Kenangan Mengenakan Kebaya di Malioboro Yogyakarta
Usai memotret dan mengamati apa yang saat itu sudah tersedia, saya memutuskan untuk mencoba sayur lodeh dan ikan lele goreng. Sementara si bungsu mengambil ayam goreng dan potongan tempe pedas manis. Kami juga memesan seporsi tempe dan bakwan goreng yang masing-masing isinya tiga. Sementara untuk minuman saya mencoba jeruk peras dingin tanpa gula dan dua gelas es teh tawar. Kemudian ditambah dengan beberapa buah kerupuk. Gak lengkap rasanya makan tanpa kerupuk tuh.
Masakannya lumayan enak meski mulai terasa dingin. Nasinya pun tidak hangat karena mungkin wadahnya sering dibuka tutup, bahkan saat saya buka tidak tertutup rapat. Awalnya mbok-mbok yang di dapur menawarkan untuk menghangatkan kembali apa yang sudah saya ambil. Tapi melihat beliau masih repot dengan beberapa sajian yang sedang diproses, saya jadi segan.
Selesai mengambil nasi dan lauk-pauk di dapur yang sederhana tadi, saya melangkahkan ke area makan yang luas banget. Sebagian besar bahkan mungkin semua rumah tempat bersantap terbuat dari kayu. Begitu pun dengan furniture yang ada di setiap pondokan.
Lahannya sendiri ditebari oleh batu koral dan beberapa jalan setapak. Saya memutuskan untuk melangkah ke pondok yang mendekat ke arah sisi luar. Sudut yang paling istagenik karena pondokan ini diselimuti oleh kayu-kayu yang sudah diproses dengan lantai tegel yang sungguh cantik. Salah satu sisi pondokan juga terhubung dengan pemandangan sawah dan jalanan yang sudah dicor.
Saya kemudian paham dengan konsep yang ditawarkan oleh Geblek Pari. Mungkin bagi beberapa orang, makan dengan suasana seperti ini tuh sudah biasa. Apalagi untuk mereka yang hidup di pinggiran kota wisata seperti Yogyakarta. Tapi untuk saya yang sehari-hari dikepung oleh kawasan industri, bersantap di Geblek Pari melahirkan kenangan tersendiri.
Makanannya sendiri malah menjadi item pendukung. Yang paling utama adalah nuansa yang meliputi. Bersantap sembari memandangi sawah serta pegunungan gak bakalan jadi hiburan saya selama tinggal di Cikarang. Bahkan untuk sekedar merasakan udara dan angin dari tanah lapang yang luas pun gak bisa. Jika pun saya ingin makan di teras, yang ada kepayahan dengan keringat mengucur selama makan.
Dulu sekali sampai jauh sebelum saya ke Geblek Pari, saya punya impian untuk meninggalkan perkotaan saat suami pensiun nanti. Setelah sepertinya suami enggan untuk mengungsi ke Bali seperti harapan saya, tampaknya melipir ke pedesaan di Yogyakarta lebih menyenangkan hatinya. Apalagi pernah di satu waktu, seorang konselor ahli sejarah ngobrol dengan kami di Pontianak, beliau dengan wajah gembira menceritakan tentang rumahnya di Kaliurang yang menyudut di kelilingi oleh banyak sawah. Duh kebayang tenangnya berada di lingkungan seperti itu buat menghabiskan sisa usia.
Jadi apa yang ingin disajikan oleh Geblek Pari sesungguhnya adalah suasana dan nuansanya. Karena kalau saya amati media sosial mereka, yang datang ke sini sebagian besar adalah wisatawan. Mereka tentunya ingin menjelajah Yogyakarta dan sekitarnya dengan lingkungan yang berbeda dengan apa yang mereka dapatkan sehari-hari. Apalagi Geblek Pari juga menyediakan sepeda dan otoped listrik jika para tamu ingin menjelajah sekitar. Lumayan untuk seru-seruan sembari melihat pemandangan luas dan masih asri dan menyatu dengan alam. Karena sejatinya konsep berlibur adalah memanjakan rasa dan mengademkan hati dengan semua yang terhidang secara visual.
Yang punya lahan keren bangyya bisa mengubah suasana pedesaan menjadi tempat makan yang bikin betah.
Alat makan yang jadul seperti piring seng itu beneran membuat suasana jadul makin kental. Berasa di rumah nenek jaman 90-an. Hehe …
Satu tempat yang sarat memori ya Teh Okti. Jadi yang ditawarkan oleh GEBLEK PARI sejatinya adalah suasana, nuansa, dan ingatan yang terukir saat kita berada di sini.
Ambiencenya bikin betah banget ya mbak. Keliatan makanannya juga enak-enak. Aku salut sama mboknya yang responsif banget meskipun lagi keteteran.
Mengukir kenangan ya Mbak. Apalagi untuk orang-orang yang sangat langka bertemu dengan suasana seperti ini seperti saya.
Kami dulu pernah punya piring seng gitu, tapi lupa di mana ya sekarang. Udah jarang ada ya, jadinya terasa vintage banget kalau pakai piring itu, hahaha.
Btw, asyik banget Mba, kalau kita pas traveling ke tempat yang alami, trus makannya makanan rumahan gitu. Suasananya juga mendukung, berasa liburan ke rumah nenek.
Di beberapa pasar tradisional, saya masih menemukan piring-piring seng ini. Di beberapa outlet khas barang-barang legendaris juga banyak. Mulai dari piring, cangkir, teko, dll. Unik sih untuk dikoleksi atau digunakan untuk makan sehari-hari.
Wah ini mah masakan rumahan banget, seperti yang biasa dimasak oleh saya dan ibu rumah tangga lain. Gak mikirin harus ditata cantik, yang penting lezat ^^
Setuju banget dengan usulan toilet, Mbak. Saya juga pernah makan di area yang berseberangan dengan toilet dan rasanya jadi gak nyaman
Andaipun sulit, bisa dibangun tertutup tanaman jadi kalo gak ngelihat papan petunjuk, gak ada tau bahwa itu toilet dll
Iya Mbak. Serasa makan di rumah aja ya. Menu sejuta umat dan memang disukai oleh banyak orang.
Nah bener kan. Rasanya kurang pas jika tempat buang air diletakkan di depan dalam kondisi terbuka. Meskipun rajin dibersihkan, tetap aja esensinya gak pas. Kurang elok dilihat.
Suasana yang ditawarkan oleh Geblek Pari memang membuat hati auto adem ya, Mbak.
Cocok banget untuk mengisi perut sembari mengenang momen terbaik tentang masakan rumahan. Apalagi kalau istirahat makannya setelah menjelajah sekitarnya dengan jip. Nikmat banget ituh.
Duuhh bener sekali Mbak Salma. Kalo dah di sini rasanya pengen cepet-cepet ikutan pindah ke Yogyakarta.
Lengah sedikit, mbak Annie sudah ada di DIY, tepatnya Geblek Pari ya. Keren banget, nuansanya tradisional dan alam banget.
Nuansanya ndeso ya, tapi biasanya masakan2 desa itu enak-enak. Karena biasanya masih pake bahan-bahan atau rempah (kearifan lokal).
Beberapa kali ke Yogya memang cocok dengan menu masakannya, karena lidah saya jawa.
Nice tulisan, nice plot, nice foto, dan suka apa saja yang ditulis kak Annie, selalu terbawa alunan kata2nya, makasih.
Betul Mas Wahid. Masakan sederhana dan suasana alami, bikin GEBLEK PARI jadi menyenangkan. Betah berlama-lama di sini sembari makan dan melihat pemandangan. Di rumah saya gak ada soalnya Mas hahaha.
Menu-menu rumahan begini makin jadi favorit untuk dikunjungi. Mengingat masakan serupa sudah jarang tersaji di rumah makan kita (eh saya maksudnya haha).
Saya laper baca dan lihat menu di Geblek Pari apalagi dengan view sekitar yang masih adem, ijo begini…wah mantap kali!
Apalagi buat saya yang “banci dapur” Mbak Dian. Yang taunya masak air doang hahahaha. Jadi asupan sederhana pun rasanya istimewa di lidah.
Suasana tempat makannya kayaknya yang lebih dominan ditawarkan ya, atau juga kenangan akan masakan rumahan. Emang cocoknya buat wisatawan yang sehari-hari tinggal di kota besar.
Soal toilet di bagian depan, mungkin untuk memudahkan pengunjung, karena bagi sebagian orang, biasanya kalau dalam perjalanan, begitu berhenti, yang pertama dicari adalah toilet
Bener Mbak Nanik. Kalau ngomongin soal masakan yah biasa aja ya Mbak. Suasananya yang jarang banget bisa orang nikmati. Apalagi saya yang tinggal di kawasan industri dan dikepung oleh banyak bangunan.
Nah sayangnya toiletnya terlalu terbuka untuk dilihat. Seharusnya sih bisa diatur sedemikian rupa sehingga lebih cantik dan estetik. Apalagi kalau kondisinya kurang bersih. Waahh bisa mengganggu banget. Kalau saya yang punya tempat, saya lebih memilih toilet tidak menyatu dengan bangunan utama. Jadi kegiatan buang air tidak mengganggu selera para tamu.
asik banget tempatnya nuansanya nyaman dan asri, masakannya juga terlihat sangat nikmat, makannya pakai piring jadul, lama juga enggak lihat piring seperti itu