Udara panas luar biasa menerjang wajah dan seluruh tubuh, saat saya melangkah masuk ke dalam mobil. Perut kenyang mengiringi karena kebetulan, di saat yang sama, saya, Yossie dan Yanna baru saja makan heboh di Rumah Makan Pondok Garuda yang berada di tengah kota Banjarbaru. Obrolan kami di dalam mobil pun tersendat-sendat karena rasa kantuk yang mendadak menyerang. Bagai sebuah panggilan alam. Makan, kenyang, ngantuk dan tidur.
Tapi niatan untuk tidur sejenak batal dengan sendirinya saat saya mendengarkan penjelasan Yossie tentang tempat yang sedang kami tuju. Ibu dua orang putri tersebut lancar, lincah dan semangat mengurai rinci tentang Kampung Purun Alam yang berada di Desa Guntung Manggis, Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Sebuah desa/kampung yang sepanjang jalan isinya adalah para produsen, perajin dan UKM yang berkonsentrasi pada kerajinan anyaman purun.
Ocehan Yossie saya dengarkan dengan penuh perhatian meskipun mata mulai mengerjap-ngerjap tak jelas.
Bagi saya, yang juga adalah seorang pejuang produk kreatif, mendengarkan kisah sukses sebuah UKM adalah satu hal yang patut disimak. Ada banyak pelajaran hidup dan geliat usaha yang pantas untuk dilamati, dihormati dan dihargai. Apalagi, lewat uraian Yossie, saya mendapatkan informasi bahwa kerajinan menganyam ini dikuasai oleh semua warga kampung. Sebuah ketrampilan yang mengikat semua ibu-ibu untuk saling bergotong royong dan membantu usaha suami demi mengepulnya asap dapur.
Yossie juga menjelaskan bahwa menganyam sesungguhnya adalah bukti nyata dari filosofi Bauntung. Sebuah filosofi urang Banjar (suku Banjar) yang bermakna bahwa orang Banjar harus memiliki ketrampilan hidup. Sedari kecil mereka diajarkan ketrampilan tertentu agar dapat hidup mandiri, seperti halnya mengayam purun yang diwariskan secara turun temurun.
Sebuah jejak budaya tanpa benda dan kearifan lokal yang terus dilestarikan oleh warga Kampung Purun.
Baca Juga : Bersantap Lahap di Rumah Makan Pondok Garuda Banjarbaru
Saat saya tiba di sebuah rumah lapang dengan ratusan produk anyaman purun dengan jenama Al-Firdaus, Ibu Siti Mariyana, menyambut saya dengan begitu ramahnya. Perempuan sederhana berwajah teduh ini tampak gembira dan mengijinkan saya melamati satu persatu produk anyaman yang ada di sebuah teras khusus di depan rumahnya. Sebagian besar produk anyaman yang disajikan adalah berupa tas dalam berbagai bentuk. Ada juga alas kaki, topi dan dompet-dompet kecil yang sering dijadikan oleh-oleh. Purun yang sudah dianyam sederhana dan memiliki nilai ekonomis yang tinggi.
Yossie tampak memeluk erat Ibu Siti Mariyana dan bertegur sapa akrab dalam bahasa daerah Banjar saat saya bergumul dengan decak kagum tiada henti. Dari bahasa tubuh pun saya bisa menduga bahwa keduanya memiliki hubungan pertemanan yang cukup akrab. Saya pun sesekali turut menimpali. Berbahasa sesantun mungkin terutama saat Yossie menjelaskan maksud kedatangan saya dan bagaimana purun menjadi obyek ketertarikan saya selama berada di Banjarbaru.
Ibu Siti Mariyana kemudian semangat menceritakan bagaimana dia dan banyak ibu-ibu tetangganya berusaha memenuhi berbagai pesanan dari banyak pihak. Jumlahnya pun tak tanggung-tanggung. Ratusan bahkan ribuan. Ada yang digunakan untuk goodie bag meeting, seminar, kenang-kenangan atau buah tangan pernikahan, tas belanja dan masih banyak keperluan lainnya. Ini tentu saja tak bisa dikerjakan sendiri oleh Ibu Siti Mariyana. Dia butuh bala bantuan yang tidak sedikit. Disinilah kehadiran ibu-ibu tetangga itu menjadi sangat berarti.
Saya memperhatikan dengan penuh minat saat dua ibu-ibu tetangga, duduk melantai di teras rumah sembari mengasuh anak dan mengayam. Tangan-tangan mereka tampak luwes bergerak kesana-kemari, membentuk saling silang lembaran purun berwarna natural untuk dijadikan sebuah tas berukuran tinggi dengan cantolan bunga kecil sebagai perekat kedua sisinya.
Mendadak saya paham bahwa teknik yang sama juga bisa diaplikasikan dalam perhiasan kawat. Teknik mengayam yang dikenal sebagai woven. Hanya saja woven dalam perhiasan kawat menghasilkan bentuk akhir yang berbeda.
Baca Juga : Baayun Maulid. Memahami Budaya Banjar di Museum Lambung Mangkurat Banjarbaru
Ibu Siti Mariyana kemudian mengajak saya masuk dan melihat beberapa koleksi barang jadi yang ada di rak-rak rumahnya. Di sini Ibu Siti Mariyana sudah memilah dan memisah-misahkan berbagai jenis dan rupa tas purun sesuai dengan kepemilikannya. Sebagian besar yang saya lihat adalah tas anyaman dengan berlembar-lembar purun yang sudah diwarna. Ada juga yang sudah dimodifikasi dengan sulam pita, macrame, lembaran semi kulit yang biasanya dijadikan border tas atau tali pegangan tas, dan lain-lain.
Sementara di sisi lain, berjejer di lantai, tas anyaman purun Al-Firdaus yang telah dikelompokkan berdasarkan pemesanan. Rapi dengan penataan yang luar biasa.
“Biar ulun (saya) tak bingung dalam menghitung Bu,” begitu jawaban Ibu Siti Mariyana saat saya bertanya tentang ratusan tas anyam yang berjejer manis di lantai. “Yang ini pesanan A, yang sebelah sini pesanan si B, dan yang ini orderan si C. Jadi selalu tahu mana yang kurang. Mana yang harus segera diselesaikan” lanjutnya rinci dengan rasa bangga.
Saya mengangguk takzim. Administrasi sederhana yang memperlihatkan bahwa perajin sekelas merekapun punya sistem bekerja yang layak dapat pujian. Saya pun langsung melengkapi kekaguman ini saat Ibu Siti Mariyana menunjukkan sebuah buku kecil, catatan sederhana dengan tulisan tangan, yang berisikan nama pembuat, jumlah setoran dan tanggal saat si pembuat menyerahkan pesanan yang sudah diamanahkan oleh beliau. Dari buku inilah kemudian Ibu Siti Mariyana tahu berapa besar hak dan pendapatan seorang penganyam untuk apa yang sudah dikerjakannya.
“Untuk mengenali jenis pekerjaannya bagaimana Bu?” pertanyaan menggelitik dari saya ini langsung di jawab lancar.
“Ulun kasih judul aja Bu. Misal, pesanan A, lalu ada keterangan jumlah dan kapan harus selesai.”
Saya tersenyum mahfum. Untuk sebatas ini, mungkin cukup untuk kelompok kerja mereka yang masih tradisional. Sembari sedikit mengintip, saya melihat berlembar-lembar pesanan/pekerjaan yang sudah diterima oleh Al-Firdaus. Saya mendadak berhitung cepat. Untuk pesanan 1.000bh misalnya. Jika dijual seharga Rp10.000,00, maka pendapatan total mereka mencapai Rp10.000.000,00. Dibagi lima orang pengayam, maka setiap dari mereka akan menerima Rp2.000.000,00. Dengan catatan bahwa setiap pekerja menghasilkan 200bh.
Kerja yang sangat lumayan.
“Apa selalu terkejar targetnya Bu?” tanya saya penasaran.
Ibu Siti Mariyana tersenyum. “Sejauh ini bisa Bu. Tiap Acil (Bibi) yang saya ajak (kerja) selalu bisa memenuhi.” Dalam kelanjutan penjelasannya, berita pemesanan ini biasanya dia sampaikan kepada kelompok dulu lalu baru diputuskan berapa orang yang bekerja dan berapa buah yang harus diselesaikan oleh tiap orang. Tentu saja sembari bijak menghitung waktu serta kapabilitas mereka. Penyeimbangan pembagian waktu antara profesi IRT dan penganyam salah satunya.
Saya mengangguk. Koordinasi kecil tapi tetap profesional.
Tapi kedepannya saya berharap ada pendukung administrasi yang lebih akurat, rinci dan kekinian. Sistem komputerisasi data misalnya. Tak masalah jika bukan Ibu Siti Mariyana yang mengerjakan, tapi setidaknya ada seseorang yang bisa membantu meng-arsip-kan apa yang sudah mereka kerjakan. Siapa tahu dengan pengarsipan seperti ini, jenama Al-Firdaus milik Ibu Siti Mariyana bisa menyimpan banyak informasi tentang kegiatan, pergerakan dan pencapaian mereka.
Hal ini tentu saja bermanfaat saat mereka ingin mengajukan proposal atau memberikan laporan pekerjaan kepada berbagai pihak yang telah bersedia menjadi pelindung mereka dalam bentuk CSR (Corporate Social Responsibility). Sejumlah dana yang sudah digelontorkan oleh berbagai BUMN tentunya membutuhkan jejak pelaporan agar apapun yang telah dilakukan oleh Al-Firdaus bisa dipertanggungjawabkan kepada institusi penyokong.
Baca Juga : Terjebak Kekaguman di Outlet Dekranasda Kota Banjarbaru Kalimantan Selatan
Diskusi kami menjadi semakin seru bagi saya saat membicarakan tentang gerak gesit dari purun Al-Firdaus dan peran masyarakat sekitar.
Selain keahlian dasar mengolah purun, sejenis rumput liar yang tumbuh di lahan rawa, para penganyam sempat mendapatkan ilmu tambahan dalam memodifikasi produk akhir. Mereka pada awalnya hanya paham tentang pewarnaan kemudian mendapatkan ilmu tentang sulam pita, macrame dan beberapa variasi menggunakan kain dan bahan semi kulit.
Dari penjelasan Ibu Siti Mariyana, saya mendapatkan ilmu baru tentang pengolahan purun.
Jenis purun yang biasa mereka pakai adalah Purun Tikus atau yang dalam bahasa latinnya adalah Eleocharis Dulcis. Setelah disemai menggunakan pisau pemotong pada saat air rawa surut, berlembar-lembar purun ini dijemur dulu selama tiga hari. Bisa jadi lebih lama jika cuaca dan matahari kurang kondusif atau cenderung pekat. Setelah melewati proses penjemuran, purun ini kemudian ditumbuk hingga pipih. Penumbukan ini biasanya menggunakan kayu Ulin. Jika ingin menggunakan warna asli dan ingin mendapatkan hasil yang sempurna, setelah penumbukan akan dilakukan proses penjemuran kembali.
Tapi jika ingin mengaplikasikan warna, setelah ditumbuk, purun dicelupkan ke dalam air mendidih yang sudah diberi pewarna. Biasanya menggunakan pewarna tekstil. Setelah itu dijemur kembali. Seperti halnya warna natural, jika ingin agar hasil pewarnaannya maksimal, purun yang sudah diwarnai tersebut ditumbuk kembali. Penumbukan setelah pewarnaan ini bisa juga untuk menghasilkan kekuatan dan daya tahan maksimal dari purun itu sendiri. Pewarnaan pun bisa dilakukan berulang jika memang menginginkan warna yang lebih pekat.
Bagi warga Kampung Purun, sumber daya alam yaitu purun itu sendiri, mereka dapatkan secara cuma-cuma. Mereka tinggal menjejak langkah di rawa yang tak jauh dari kediaman mereka, memotong berlembar-lembar lalu membawanya pulang. Jadi saya sangat paham jika mereka menetapkan harga dasar yang cukup ekonomis. Harga untuk setiap produk berkisar antara Rp2,000,00 hingga Rp20.000,00 tergantung ukuran, tingkat kesulitan pengerjaan dan modifikasi yang sudah dilakukan. Tapi untuk sebuah goodie bag natural, harga per tas adalah sekitar Rp10.000,00 hingga Rp15.000,00 per buah.
Sebagai titik awal dari sebuah rantai produksi, keberadaan para penganyam ini tentulah menjadikan mereka sebagai pusat penentu dari harga yang akan sampai di tangan konsumen.
Saya, Yossie dan Ibu Siti Mariyana kemudian banyak berbincang tentang memoles purun agar bernilai lebih.
Bagi mereka, dengan pemikiran sederhana, mendapatkan ilmu tambahan diluar teknik dasar, adalah satu keberuntungan yang mereka dapatkan dari para pembina. Jadi pada dasarnya, mereka menunggu hingga ide penambahan pengetahuan dan ketrampilan itu datang langsung dari para donatur.
Saya memahami posisi perajin seperti Ibu Siti Mariyana dan teman-temannya. Kita bukan hanya membahas tentang ketrampilan tapi juga waktu yang mereka miliki.
Sepertinya halnya semua ibu-ibu yang ada di Kampung Purun, Ibu Siti Mariyana pun pekerjaan utamanya adalah ibu rumah tangga. Mereka baru bisa menganyam setelah tugas-tugas dasar mereka sebagai ibu rumah tangga selesai dengan baik. Seperti memasak, mencuci dan membersihkan rumah. Bahkan saat saya mau bertandang pun, Yossie menelepon Ibu Siti Mariyana dulu. Menanyakan waktu berkunjung yang tepat agar tidak mengganggu kegiatannya. Hal ini bukan saja membicarakan soal adab, tapi juga kenyamanan bagi kedua belah pihak.
Jadi jika kita, para produsen, menuntut purun Al-Firdaus mengerjakan inovasi yang membutuhkan lebih banyak waktu, konsentrasi dan konsistensi yang lebih tinggi, rasanya akan sulit juga teraplikasikan. Waktu mereka sudah habis untuk membaktikan diri bagi kepentingan keluarga berikut dengan pekerjaan biasa dalam pemenuhan pemesanan berjumlah banyak yang datang terus menerus.
Tapi ketika saya bertanya tentang perkenan mereka untuk mendapatkan ilmu tambahan, Ibu Siti Mariyana mengungkapkan antusiasmenya. Apalagi setelah mendengar uraian bahwa saya pernah mengolah tas purun dan rotan menjadi sesuatu yang memiliki nilai lebih. Saya juga menunjukkan foto bagaimana tas anyaman diberikan sentuhan decoupage sehingga bisa menambah nilai jual.
Binar mata Ibu Siti Mariyana mendadak terlihat jelas. Tampak sekali, antusiasmenya untuk menambah ilmu.
“Boleh Bu. Pian (kamu) mungkin bisa bicara dengan donatur. Bikin pelatihannya,” sahutnya menggebu-gebu.
Saya mengangguk penuh arti sembari melirik Yossie. Kami pun langsung merasakan koneksi untuk mencoba mewujudkan permintaan ini. Ada sebuah pe-er besar yang mudah-mudahan bisa menambah skill ibu-ibu para penganyam purun.
Setelah kunjungan yang penuh makna di Kampung Purun Alam tersebut, saya dan Yossie sempat bersilaturahim dengan salah seorang pejabat PLN (Perusahaan Listrik Negara) yang menjadi salah satu penyandang dana dari keberadaan Al-Firdaus. Kami pun menyampaikan sebuah program kegiatan dalam rangka peningkatkan kualitas pengayam dan menambah ketrampilan mereka dengan inovasi baru. Maksud ini disambut dengan baik. Tentu saja dengan harapan bahwa apa yang sudah disampaikan bisa terwujud lewat sebuah program bersinergi kuat antara PLN Peduli (CSR PLN) dan saya sebagai nara sumber.
Beberapa waktu setelah kunjungan tersebut dan dalam rangka penulisan artikel ini, saya mendadak teringat akan Dekranasda Banjarbaru Creative Hub yang dikelola oleh Dekranasda Kota Banjarbaru. Saya kembali membangkitkan ingatan bahwa pada saat saya bertamu ke tempat ini pada Oktober 2022, saya menemukan beberapa produk tas purun yang sudah “bersolek cantik”.
Bagian dalamnya sudah berfuring (dilapisi kain) sementara bagian luarnya ditambahi rajutan benang (dengan benang rajut) dan ada yang dihiasi dengan macrame. Ada yang berwarna-warni tapi ada juga yang dengan benang putih saja. Dengan kondisi telah dipercantik ini, otomatis nilai jual tas purun ini semakin terangkat. Harga puluhan ribu menjadi pantas untuk ditawarkan di angka ratusan ribu.
Mendadak saya tercenung dan menyadari bahwa sesungguhnya ketrampilan lebih dalam pengolahan produk purun sudah merangsek diantara para perajin craft di Banjarbaru. Kampung Purun Alam sebagai produsen awal bekerjasama dengan kelompok kreatif, hingga lahirlah beragama tas purun yang eksklusif ditampilkan di Mess L, markas dari para craft creators Banjarbaru yang berlindung di bawah binaan Dekranasda Kota Banjarbaru.
Satu rantai kerja yang tentunya akan mengangkat sebuah kearifan lokal Suku Banjar menjadi sebuah budaya yang terus dilestarikan, diabadikan pada sebuah karya kreatif.
Padahal kalau polos itu terlihat hanya layaknya seperti keranjang belanja ke pasar, ya, Bu.
Tapi karena kreatif dan emang harus kreatif, “keranjang” itu bisa dihias dengan rajut, makrame dll sehingga tampak lebih mewah dan bernilai.
Belajar dari para pengrajin, bahwasanya semakin diasah, maka akan semakin kreatif.
Sempet pernah lihat di yutub fashion show yang tasnya adalah anyaman seperti ini.
Masyaallaah semoga semakin besar usahanya, Aamiin
Betul. Purun yang polos memang digunakan sebagai tas belanja sehari-hari. Waktu saya berkelana ke Pasar Terapung Lok Baintan, para pedagang menggunakan tas purun sebagai pengganti kantong plasti. Contoh bagus/baik dalam menjaga alam dan kelestarian lingkungan.
Setuju Ci. Yang namanya ketrampilan harus terus diasah, dipraktekkan, lalu dikembangkan. Tidak boleh stagnan atau berhenti di satu titik tertentu. Karena ketrampilan akan mengikuti kebutuhan jaman. Jadi kitapun harus mau terus menambah ketrampilan dengan ilmu baru dan terbarukan.
Cantik-cantik karya mereka ini, ya mbak Annie. Tapi, memang masih sederhana desainnya ya
Terbayang jika ada bantuan pelatihan tambahan sehingga Ibu Siti Mariyana dan teman-temannya mampu mengerjakan inovasi yang membutuhkan lebih banyak waktu, konsentrasi dan konsistensi yang lebih tinggi, pasti nilai jual tas purun akan lebih tinggi. Tak hanya purun sebagai kearifan lokal suku Banjar bakal terus lestari tapi juga akan meningkatkan ekonomi masyarakat setempat.
Saat saya berdiskusi dengan Ibu Siti Mariyana, semangatnya untuk menambahkan keahlian dan ilmu memang luar biasa. Mereka selalu ingin menjadi lebih baik dan mampu memproduksi produk dengan “wajah” yang jauh lebih cantik dan berkualitas.
Senang dengan semangatnya Ibu Siti Mariyana. Memang dengan kondisi telah dipercantik nilai jual tas purun ini jadi membaik. Saya punya dua tas purun yang masih polosan, belinya memang hanya puluhan ribu. Pengin punya yang cakepen biar bisa dipakai kondangan:)
Tentu kalau lebih ditingkatkan kualitasnya, makin elegan tampilannya, tidak segan pelanggan menghargai lebih pada produknya.
Malam Kak Annie,
Dari sebuah purun (rumput liar) bisa menghasilkan hasil karya tas secantik itu ya. Apalagi sudah di modifikasi menambah cantik lagi koleksi tas khas suku Banjar. Awal aku melihat koleksinya aku berpikir tas purun ini harganya ratusan ribu. Terkesannya mewah. Ternyata harganya sangat terjangkau ya. Bagus tak selalu mahal ya kak
Kalau kita belanja di produsen (tangan pertama) seperti Al-Firdaus ini, kita bisa mendapatkan harga yang super ekonomis banget Mbak. Tapi jika sudah sampai di tangan bag designer, tas purun ini jadi naik kelas. Harganya bisa ratusan ribu hingga jutaan rupiah.
Saya itu selalu kagum deh dengan diangkatnya hasil karya suatu daerah baik oleh UKM maupun UMKM karena dengan tangan terampil mereka budaya lokal tetap lestari, semoga pemerintah selalu merangkul UKM maupun UMKM daerah agar wisata kian merebak dan roda perekonomian lancar bergerak.
Harapan banyak orang nih Mbak Emma. UKM naik kelas. Dari pengusaha rumahan, naik menjadi pengusaha yang professional dan disegani oleh banyak pihak.
Purun itu kalau bahasa Jawa artinya mau. Lucu juga pemilihan namanya ya, masih masuk kalau ditranslate jadi bahasa Jawa. Btw Banjarbaru ini di manakah? Aku cari sampe bawah ga ketemu.
Banjarbaru adalah ibu kota dari Provinsi Kalimantan Selatan Mbak Diah.
saya punya nih tas anyaman
Selama ini hanya buat penghias meja karena kalo dipake, tasnya mlenyok
Dari gambar-gambar Mbak Annie saya lihat tas anyamannya dilapisi kain
material yang gak ada di tas saya dan bikin mlenyok ketika dipakai membawa barang
Auto muter otak, gimana caranya melapisi kain dengan skill saya yang “lemah” ini:D
Sama seperti dengan masang furing untuk baju Mbak Maria. Mungkin bisa minta pertolongan penjahit untuk memasangkan kainnya. Harus dengan mesin jahit (mesin) supaya pemasangan kainnya rapi dan tidak gampang meleyot. Kalo dijahit tangan biasanya tidak kuat dan gampang rusak atau lepas.
tas anyam purun ini banyak macam model dan ukuran ya teh, mau beli yang tas belanja atau tas buat hang out semuanya lengkap. semua ini nggak bisa lepas dari peran pengrajin yang selalu berinovasi biar produk tas anyam purun ini bisa terus berkembang dan nggak ketinggalan jaman.
Para penganyam di Kampung Purun Alam ini memang sedang terus berkembang skill dan kualitas produksinya. Semoga nantinya hasil pekerjaan mereka menjadi lebih baik dengan bimbingan para donatur
Cocok nih keranjang purun buat belanja ke mini market yang sekarang sudah tidak menyediakan plastik kresek (di Surabaya), buat belanja ke pasar tradisional juga oke sih.
btw, ada gak ya tas purun untuk laptop buat bapack-bapack? kalau ada, aku mau nitip dong, atau kalau dijual online, aku mau order dong…
oiya, aku baru tahu kalau kerajinan tas purun itu aseli banjar… makasih infonya mbak annie
Kalo untuk tas laptop saya belum pernah lihat Mas. Para penganyam di Kampung Purun Alam ini masih berkutat pada tas-tas wanita dan kebutuhan rumah tangga. Termasuk supply untuk kebutuhan lokal mereka. Tapi bagus juga loh ide Mas Taufiq. Nanti coba saya sampaikan pada Ibu Siti Mariyana.
Hmm … pengrajin tas menggiurkan hati, cakep semua jadi kepingin beli, aku tertarik sama tas sling bad harganya cuma 30-50 ribu murah banget terjangkau namun unik digunakan
Lumayan laris sling-bag itu infonya. Cakep banget tuh buat kado ya Mbak.
Cantik sekali tas-tas bikinan UKM Banjar ini..
Ternyata purun kalau dikelola dengan penelitian yang baik, bisa dimodifikasi cantik dan meningkatkan daya jual.
Kalau bahannya purun begini, lebih awet ya, kak Annie?
Yang pasti proses persiapan purunnya sebelum dianyam sudah oke banget Len. Tiga kali ditumbuk agar mendapatkan kekuatan yang maksimal. Saya punya tas purun yang sudah berusia lima tahun. Alhamdulillah masih kuat banget. Sering dibawa saat belanja sayur ke pasar.
Kalau tubruk warna ternyata makin keren ya tasnya.
Apalagi ini dibuat dengan sangat apik oleh para ibu-ibu setempat.
Semoga kedepannya banyak kreativitas dari menganyam misalnya tas ransel, Sling bag, dll biar makin kekinian
Yup bener banget Fen. Kombinasi warna itu tuh keren banget menurut saya. Saling silang dan dikerjakan dengan rapi.
Dari benda sederhana ditangan ahli bisa berubah jadi mahakarya cantik bernilai tinggi ya Mba ^^ Beneran cantik-cantik, kreatifitas memang mahal. Jadi pengen punya juga tas purun ini..
Saya mendadak merasa kagum bahwa semua wanita suku Banjar menguasai skill menganyam itu, tradisi yang benar-benar dijaga seutuhnya. Tulisan ini bikin belajar juga bahwa sebuah skill memang harus ditekuni, diasah bahkan dijaga sekaligus iri juga bisa berkunjung ke Kampung Purun..
Filosofi Bauntung yang dilestarikan secara turun temurun ini memang patut dicontoh yang Mbak. Sejak kecil Suku Banjar sudah mewariskan ketrampilan yang membuat anak keturunan mereka memiliki kemampuan agar mampu bertahan hidup. Mencari nafkah dengan kerajinan tangan yang cantik dan bermanfaat.
Dulu, waktu di Banjarmasin, purun adalah tas keluar kebanggaanku. Suka tak bawa jalan pas ikutan wisata keliling sungai. Habis baca tentang Kampung Purun Alam, auto seneng lihat olahan purun sekarang sudah sebagus ini. Modifikasi tas purun dengan macrame dan sulaman benang wolnya cakep banget. Jadi naik kelas banget olahan purun ini.
Iya Mbak. Dari Kampung Purun Alam kemudian diolah kembali oleh UKM kreatif yang menghadirkan purun menjadi produk kerajinan yang berkelas. Dan ini difasilitasi dengan baik oleh Dekranasda Kota Banjarbaru. Seneng banget liatnya menjadi sesuatu yang bernilai seperti sekarang ini.
Bagus sekali…. Saya dulu punya tas seperti ini, dari Lombok. Lama sekali bisa dipakainya, dan tentu saja bangga dong karena tak ada yang punya. Waktu itu pengen saya tambahin decoupage, agar bisa tampil beda.
Memang sih ya, kita beri sentuhan kecil bisa jadi manambah value dan pembeli.
Purun memang awet Mbak Susi. Saya juga punya yang sudah berusia lima tahunan. Purunnya malah tambah cantik dipandang mata. Ornamen pada materi craft dasar memang bisa menaikkan value. Apalagi jika sentuhannya up-to-date, cantik dan dikerjakan dengan rapi
Gila amat sih, PURUN ini sangat estetik banget, gak kalah kerennya dengan produk2 luar negeri. Produk lokal dalam negeri emang keren2 kok, mantap dan saya salut dengan pengrajinnya di kota Banjar tersebut. Semoga produk2 UMKM terus jaya dan bersinar.
Aamiin YRA. Semoga ketrampilan yang sudah diwariskan turun-temurun ini terus lestari sepanjang masa.
Takjub banget dengan filosofi suku Banjar yang bermakna bahwa orang Banjar harus memiliki ketrampilan hidup. Bayangkan kalau semua warga negara Indonesia berpikir seperti itu. Sedari kecil diajarkan ketrampilan tertentu agar dapat hidup mandiri, seperti halnya menganyam yang diwariskan secara turun temurun. Pasti negara kita tak banyak pengangguran ya… Paling tidak memiliki skill untuk bisa bertahan hidup untuk memenuhi kebutuhan sendiri
Setuju banget Teh Okti. Ketrampilan adalah bekal kita yang sesungguhnya ya. Supaya kita juga jadi manfaat baik untuk diri sendiri maupun orang lain.
Selama membaca artikel, penasaran, kayak apa sih tanaman purun tersebut. Ternyata terjawab di akhir artikel, sejenis rumput liar yang tumbuh di rawa.
Sumber bahan baku purun melimpah jadi tak khawatir akan stok bahan baku. Sepertinya perlu penghalusan soal disain dan pilihan warna. Kombinasi dengan material lain juga perlu konsultasi dengan desainer nih. Saya pribadi melihatnya ada yg kurang nyambung…
Siapa tahu nilai produk bisa meningkat karena desainnya lebih kekinian…
Kalau yang di Desa Purun ini memang rata-rata masih original dengan design yang belum tersentuh modernitas. Yang sudah dipoles dengan baik ada di Banjarbaru Creative Hub milik Dekranasda Kota Banjarbaru. Foto-fotonya saya sertakan pada tulisan ini.
Dulu saya punya tas purun yang selempang, tapi sekarang nyarinya susah. Ternyata di Banjar rumah produksi awal beragam tas purun.
Semoga ke depannya buibu yang menganyam purun kreativitasnya semakin meningkat, sehingga pendapatannya ikutan naik, secara kalau tas purun sudah mendapat sentuhan akhir dengan pernik-pernik tambahan harganya sangat lumayan. Kreativitas memang mahal.
Betul. Kreasi kedepannya harus lebih sophisticated agar bisa meraih pasar yang lebih luas. Untuk saat ini, tas-tas purun yang original dan terdapat di desa Purun ini, dipersolek menjadi tas-tas yang cantik dan bisa kita lihat di Banjarbaru Creative Hub yang dikoordinasikan oleh Dekranasda Kota Banjarbaru.
Pernah punya tas belanja dari purun. Awet juga kualitasnya. Sekarang modelnya beragam ya, Mbak. Gak hanya untuk tas belanja. Semakin kreatif pengrajinnya. Kalau yang polos-polos gitu, biasanya sama mamah saya suka dibikin decoupage.
masyaa Allah aku seneng banget kalau dengar cerita atau baca kisah inspiratif tentang bisnis seperti ini. rasanya takjub kalau sebuah bisnis bisa memiliki banyak pelanggan seperti ini. tentu diawali dengan hal yang tidak mudah dan penuh perjuangan
Bagus-bagus banget tas hondmade karya masyarakat Banjar ya, Mba Annie. Bikin tas begini butuh keuletan, ketekunana dan harus telaten. Suka banget saya sama tas homemade ini, apalagi yang dikasih corak dan berwarna pink, ungu gitu tampak elegan aja dipakainya. Mudah-mudahan UMKM lokal begini bisa bersaing dengan produk luar yang udah branded. Padahal dari segi kualitas produk kita juga nggak kalah bagus kualitasnya.
saya punya nih tas anyaman seperti ini,
lupa dapat dari mana, kalo gak salah sih karena ikut lomba LTKR
sayangnya tas ini gak bisa mendapat beban berat. Jadi ngeburayot gitu dan gak cantik lagi
Mungkin harus diberi dalaman yang kuat agar beban tas disangga kain tsb
Iya Mbak. Yang model sederhana itu memang hanya untuk yang simpel dan tidak berat. Yang lebih bagus kualitasnya itu yang sudah diolah oleh perajin berikutnya. Mereka memberikan sentuhan yang lebih sophisticated untuk tas purun dan ditawarkan lewat Creative Hub Kota Banjarbaru yang dikelola oleh Dekranasda Kota Banjarbaru.
Gak disangka tas yang cantik-cantik ini terbuat dari purun (rumput liar). Warna-warnanya sangat menarik, apalagi kalau warna2 terang gitu ya.
Untuk belanja di pasar atau supermarket cocok banget dan mendukung go green yang sedang digalakkan akhir2 ini. Bisa turut serta menyelamatkan bumi.
Setuju Mbak Enny. Kantong2 belanja yang terbuat dari purun turut mensukseskan program sustainability dan go green. Semoga ini bisa menjaga kelestarian lingkungan juga.
Sepanjang pengalamanku yang juga kerja mengolah sesuatu dengan tangan, pekerjaan yang butuh nilai seni tinggi-selain juga ketekunan dan ketelatenan-seperti menganyam ini, agak susah cari karyawan yang bertahan lama. Jadi, kalau ada pekerja yang cocok, bagus hasil kerja sesuai keinginan, telaten, sabar, seperti nemu harta karun. Setidaknya lebih percaya diri menerima order, karena bisa mengejar target.
Sukses terus untuk semua UMKM.
Betul sekali Mbak Lasmi. Pekerjaan kerajinan tangan memang butuh konsistensi dan keahlian tertentu. Ini yang bisa membawa suatu produk memiliki nilai tertentu. Terutama pada produk yang butuh ketelatenan dan waktu pembuatan yang cukup lama. Dan untuk mendapatkan perajin seperti ini butuh waktu. Tapi saya yakin dengan kebiasaan masyarakat Banjar yang wajib memiliki keahlian sebagai modal seumur hidup, Kampung Purun akan terus lestari dan diwariskan kepada generasi berikutnya.