Waktu beranjak tengah hari saat kami meninggalkan Patra Bandung Hotel yang berada di seputaran dago bawah. Saya banjir keringat karena beberapa menit sebelum check out, sempat berfoto di area kolam renang yang berada di bagian belakang hotel. Tempat terbuka dengan sinar matahari yang memang lagi heboh-hebohnya. Sementara saya mengenakan baju tenun berbahan tebal. Bela-belain mengenakan outfit paripurna demi hasil foto yang ciamik (baca: demi).
Dengan bercucurannya butir-butir keringat segede pipilan jagung, saya mendadak lapar berat. Sarapan dengan volume full tank pun rasanya sudah hanyut entah kemana. Padahal sepagian tadi, saking enaknya sajian hotel, bobot makan saya gak kira-kira. Nambah berpiring-piring. Hampir segala hidangan dicoba. Dan karena teman makan (baca: suami) juga semangat ngunyahnya, selera rasa saya juga mendadak riang gembira.
“Semua enak seperti biasa,” ujar suami sambil menikmati salad segar sepiring penuh.
Saya sepakat. Tiga kali kami menginap disini, menu breakfast nya selalu lezat dan mengesankan.
Baca juga : Patra Bandung Hotel Mengajak Kami Kembali
Bertamu ke Rumah Makan Alas Daun
Sembari menunggu si bungsu menyelesaikan UTBK di kampus ITB, setelah kembali ke kamar, suami meminta saya untuk mengecek rangkaian informasi tentang Rumah Makan Alas Daun.
“Tempatnya menarik nih. Banyak referensi apik yang diberikan oleh para tamu,” ujar suami sembari mengirimkan foto-foto makanan yang dihidangkan oleh Rumah Makan Alas Daun ke gawai saya. Menghadirkan jargon sensasi makan tanpa piring, saya pun jadi semakin penasaran.
Saya pun lalu membuka aplikasi Google Maps untuk membaca review banyak publik yang pernah dine-in di rumah makan ini. Semua tulisan tampak memuji kelezatan masakannya serta harga yang cukup ramah di kantong. Satu hal yang juga sering disebutkan adalah bagaimana asiknya menikmati makanan ala Sunda dengan menggunakan alas daun pisang. Keunikan yang biasanya bisa dinikmati saat makan bareng ala botram bersama teman atau keluarga sebatalion. Atau setidaknya satu RT atau se-RW.
Wah bakal asik banget ini sih.
Kami pun sepakat untuk langsung menuju rumah makan ini setelah check out di tengah hari nanti.
Dari Patra Hotel menuju Rumah Makan Alas Daun yang berada di Jl. Citarum No. 34 sebenarnya tidaklah jauh. Berada di kawasan elit Gedung Sate, lalu lintas terlihat lumayan padat dan semakin tumplek bleg saat mendekati resto. Sekian banyak mobil dan sepeda motor sudah terparkir, berjejer rapi di hampir setiap sisi jalan.
Hal ini bukan hanya karena banyaknya tamu Rumah Makan Alas Daun, tapi juga karena di lingkungan rumah makan ini ada juga restoran dan toko-toko lain yang juga padat pengunjung. Termasuk pedagang-pedagang emperan atau yang menggunakan gerobak. Bunyi peluit kencang beberapa abang tukang parkir terdengar bersahut-sahutan saking sibuknya. Suasanapun terasa seperti pasar malam yang sedang ramai dikunjungi oleh masyarakat.
Mendadak saya kepengin punya mobil yang bisa dilipat.
Sukses menemukan space untuk menitipkan kendaraan beberapa menit kemudian, saya melihat sebuah banner kain besar yang menampilkan jenis layanan dan menu yang ditawarkan Rumah Makan Alas Daun. Saking besarnya banner ini terlihat dari kejauhan. Materi promosi ini menginformasikan berbagai paket khusus, diskon, potongan harga untuk aneka sajian. Jadi saat kita akan melewati sebuah gerbang kecil menuju bagian dalam rumah makan, kita pun mendadak jadi semangat ingin memesan ini dan itu. Menggoda sekali pokoknya.
Pemandangan pertama setelah melewati gerbang kecil dengan logo Rumah Makan Alas Daun tadi adalah teras besar dengan area duduk yang luas di kanan dan kiri. Di teras yang berlimpah tempat duduk ini ada berbagai petunjuk bagi pengunjung untuk disiplin menjalankan prokes. Tapi bagi saya, seharusnya, jika ingin benar-benar mentaati protokol kesehatan, pengaturan tempat duduk tidak boleh sepadat itu. Jarak antara meja makan pun tempat duduknya sewajarnya ditata berjauhan agar kontak fisik dapat diminimalisir.
Saat masuk ke ruang tengah, Rumah Makan Alas Daun juga tumplek dengan berbagai lemari pendingin, aneka camilan, standing banner tentang berbagai kuliner khas Jawa Barat, produk craft, kasir serta sentral pelayanan lainnya termasuk toilet.
Setelah ruang tengah inilah, kita akan bertemu dengan teras belakang dimana pusat pelayanan dilakukan. Di tengah area ditaruh berbagai jenis masakan yang membuncah selera. Berderet rapi dalam kotak-kotak aluminum, wadah-wadah gerabah dan piring anyaman rotan. Bahkan ada juga yang tersusun rapi di dalam bambu.
Surga dunia masakan rumahan ala Sunda yang menakjubkan.
Saking banyaknya, terus terang bikin bingung. Saya sempat termangu. Mati gaya dan mendadak otak mampet. Rasanya pengen dipesan semua. Mulai dari lauk pauk yang kaya protein, ikan, daging, olahan telur, sayuran bahkan ada beberapa masakan yang jarang banget bisa ditemukan seperti tutut masak kuah kuning dan masih banyak lagi.
Panjangnya antrian lah yang membuat otak harus berpikir cepat. Alamak.
Minuman juga banyak loh ragamnya. Belum lagi aneka kerupuk serta camilan ringan yang juga membangkitkan rasa.
Dengan sedemikian banyak tawaran sajian, mungkin akan lebih baik jika pengunjung mengamati deretan menu dari belakang terlebih dahulu, tanpa masuk antrian, sehingga barisan konsumen tidak memanjang dan tertahan karena yang bersangkutan galau menentukan asupan yang ingin dinikmati.
Baca juga : Beranjangsana ke Padamu Negeri. Resto Rooftop Estetik di Dago Bandung
Menikmati Berbagai Menu yang Menyelerakan
Tuntas memilih banyak sajian yang tersedia di sederetan buffet yang panjang tadi, saya kemudian mencari tempat duduk sembari menunggu sekian menit agar sajian tersebut dipanaskan atau diolah kembali sesuai keinginan. Sambil menunggu ini, banyak petugas yang menawarkan makanan camilan. Nah naahh godaan lain yang sungguh menggiurkan.
Tak tahan menahan selera, akhirnya saya memesan otak-otak, klepon dan cimol. Duh sungguh sesuatu banget makan siang hari itu.
Deretan pesanan kami sesiangan itu adalah Sambal Halilintar 4.400, Sambal Goreng 4.400, Lalap Mentah 4.400, Kentang Mustofa 13.200, Ikan Asin Kipas 18.700, Sayur Asem 11.000, Ayam Bakar Alas Daun 21.450, Tahu Talaga 14.300, Sate Usus Ayam 13.200, Ayam Santan Goreng 21.450, Kembung Bakar Sambal Matah 38.500, Ice Milo 13.750, Es Kelapa Jeruk 22.000 dan Nasi Liwet 1 porsi yang sangat cukup untuk bertiga 28.050. Semua ini jika ditotal plus 11% Pajak dan 6% Service, menjadi 290.863.
Ini belum termasuk jajanan sampingan yang kami makan sembari menunggu tadi. Untuk rangkaian pesanan ini dibuatkan bon satu persatu dan dibayar terpisah dari semua menu buffet yang telah dipilih sebelumnya.
Jika saya tidak salah hitung sih, ditambah dengan jajanan sampingan, grand total semua asupan sekitar 350.000. Dengan makan bertiga (saya, suami dan si bungsu), seorang berarti dikenakan biaya 117.000. Harga yang masih dibatas kewajaran untuk makan di sebuah rumah makan besar yang sudah punya nama.
Sebagian besar menu yang kami pilih rasanya jempolan. Bumbunya meresap dengan baik. Yang sedikit kurang mantab itu adalah kentang mustofa, ikan asin dan keripik jengkol goreng nya yang melempem, sayur asem yang minim isi (kebanyakan kuah), serta kembung yang masih half-done, kurang garing dan cenderung benyek. Sementara yang lainnya sih oke oke aja. Tak terlalu istimewa namun juga tidak under-rated. Semua habis kami santap. Kecuali lalapan yang jumlahnya bejibun sekali.
Sesuai jargon yang digawangi oleh Rumah Makan Alas Daun, saat petugas datang membawa masakan yang kami pesan, dia terlebih dahulu meletakkan daun pisang yang cukup panjang sebagai alas makan. Lauk-lauknya diletakkan di dalam berbagai wadah. Ada yang ditaruh di piring anyaman rotan, miniatur wajan berwarna perak, mangkok plastik dan bakul anyaman bambu untuk nasinya.
Jika memandang dari segi estetika, pencampuran wadah ini minim estetika untuk seorang food photographer seperti saya yang lebih menyukai keseragam wadah atau setidaknya berbagai wadah terbuat dari bahan yang sama. Kecantikan dan keunikan yang berusaha ditampilkan oleh Rumah Makan Alas Daun adalah miniatur wajannya yang berwarna perak itu. Lalu sentuhan daun pisang yang tentunya mengangkat konsep makan rumahan, makan tanpa piring, yang sesungguhnya juga menghemat air untuk bebersih peralatan.
Saya tetiba teringat masa-masa kecil saat salah seorang teman suka mengajak saya main pasar-pasaran dan masak-masakan. Lengkap banget mainan miliknya. Semua dalam bentuk miniatur. Mulai dari kompor, panci, wajan, piring, teko, gelas dan lain-lain. Seringkali dia mengatur kami untuk jadi tamu. Kemudian dia menghidangkan kerupuk-kerupuk kecil atau biskuit jadoel sebagai pelengkap. Yang terakhir ini memang benar-benar bisa kami makan.
Aaahh. Masa kecil yang membahagiakan pastinya.
Pendapat Pribadi untuk Rumah Makan Alas Daun
Saya sempat menilik sekilas official website dari Rumah Makan Alas Daun (www.alasdaun.com). Beberapa informasi yang diuraikan di dalam tautan ini sangat informatif dan menarik. Terutama tentang pemilihan kata “daun” yang menjadi sentra dari ide dan latar belakang mengapa rumah makan ini menggunakan daun sebagai alas makan, daun pisang sebagai logo dan makan tanpa piring.
Pemilik resto mempercayai sebuah ideologi bahwa daun pisang mempunyai hubungan yang akrab dan positif dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Daun pisang selain sering digunakan sebagai alas makanan, juga digunakan sebagai bungkus makanan itu sendiri. Bahkan beberapa masakan yang dibungkus dengan daun pisang dapat menciptakan kelezatan dan kenikmatan.
Daun pisang juga mencerminkan kesederhanaan dan kekuatan keunikan kuliner nusantara.
Saya percaya itu.
Nyatanya memang banyak sekali masakan tradisional disajikan dengan menggunakan daun pisang. Mulai dari jajan pasar sampai berbagai olahan yang kaya bumbu seperti pepes dan sebagainya. Seringkali malah, jika mengundang teman-teman asing untuk ikut mencoba berbagai olahan ini sebagai satu tampilan khusus yang mendorong eksistensi keragaman budaya dan kekayaan kuliner tanah air.
Rumah Makan Alas Daun cukup sukses menggiring semua konsep itu dengan baik. Apalagi saat tetamu berjejer melihat rangkaian buffet yang ditampilkan dengan menggunakan daun pisang sebagai alas. Termasuk diantaranya gerabah yang visualnya cantik long lasting.
Satu hal yang mungkin bisa menjadi masukan bagi Rumah Makan Alas Daun adalah tentang tempatnya sendiri. Dengan fisik bangunan tempo doeloe, banyak dinding dan sisi ruangan yang harus dipoles dan diatata ulang. Kebersihan pun perlu ditingkatkan. Penataan meja, kursi dan semua area kerja juga perlu diperbaharui lagi. Karena kenyamanan bertamu di sebuah rumah makan bukan hanya tentang asupannya saja, tapi juga tampilan visual yang bersih, tertata, menyenangkan dan menyegarkan mata.
Semua sesungguhnya adalah satu paket yang wajib dimiliki oleh setiap siapapun yang serius terlibat dalam bisnis kuliner.
Hakul yakin kombinasi kebaikan, kenyamanan dan kebersihan plus penataan seharusnya berbanding lurus, seiring sejalan. Tentu saja tanpa melupakan kualitas SDM yang bekerja didalamnya dalam memberikan pelayanan terbaik kepada semua tamu tanpa terkecuali.
Eh BTW, selain makanan tradisional seperti di Rumah Makan Alas Daun ini, pasti pada suka deh dengan aneka kudapan atau makanan berat dari negara lain. Seperti makanan Korea misalnya. Teman blogger saya, Shyntako, ada nih mengulas tentang makanan khas Korea yang sering banget muncul di drama atau film Korea. Kudu nih dibaca oleh para drakor mania. Dijamin jadi kepengen dan cus pengen menikmatinya langsung di Korea. Sama seperti saya.
Duh…bikin selera makan jadi bertambah kalau menunya kayak gini mbak. Apalagi ada ikan asin plus sambal, hmm…bikin nambah lagi dan lagi. Area pelayanan masakannya bersih banget, serasa di restoran hotel mbak.
Nasi anget, ikan asin sama sayur asem aja dah nikmat banget ya Mas. Bisa-bisa nambah terus hahahaha
bener banget mbak daun pisang tuh mencerminkan kesederhanaan dan kekuatan keunikan kuliner nusantara. Makanya tidak heran banyak kuliner nusantara yang menggunakan daun pisang sebagai pembungkusnya. Selain itu aroma yang dihasilkan dari daun pisang tuh enak banget.
Setuju banget Mbak Dyah
BDG ga pernah kehabisan cara utk bikin kita menggenduttttss
Makanan enaakkk.
Suhunya jg relatif dingin. So pingin makan mulu jadinyaaa
Btw putra mba Annie jadinya masuk kampus mana?
Hahahaha. Betol bangets. Susah pun buat menolak. Yang pasti pulang traveling, langsung diet hahahaha.
Anakku diterima di BINUS University di fakultas Data Science. Fakultas impian dia sejak SMA.
Wah bungsunya mbak Annie di ITB juga ya. Anakku yang pertama juga di sana. Bolak balik Bandung aku belum pernah mampir ke Restoran ini mbak. Dasar daku juga mager, kalau nginep di hotel Bandung kebanyakan Go food bukan keliling nyari kulineran. Hihi. Kapan2 mampir ke sini ah. Restonya luas dan bagus, sistem prasmanan gini suka kalap kalau makan. Gagal diet deh. Hihi
Godaan Gofood memang menggiurkan. Secara perkembangan kulinernya Bandung tuh top banget. Di satu tempat aja, kita bisa menikmati banyak jenis sajian yang umami.
Kak Annie,
Asli aku ngecesss banget dengan menu di Alas Daun Bandung, masakan Sunda euy enak pisan. Btw penasaran nih sambel halilintar tuh sambel yang nampol ya pedesnya? Tahu Talaga yang seperti apa ya kak?
Saat nanti ke Bandung aku sempatkanlah mampir kesana/ Harganya juga terjangkau. Makanan yang sangat menggugah selera
Yang pasti sambalnya cetar banget Kak Dennise. Saya cuma bisa nyoel sedikit karena gak kuat sama level pedasnya. Tahu Talaga yang berwarna kuning itu Mbak. Lembut banget. Tapi sayangnya nggorengnya kekeringan. Sementara saya lebih suka yang dikukus atau di goreng cepat aja.
Mampir Kak Dennise. Seru banget makan disini. Apalagi kalau rame-rame.
Gede ya restonya. Memang aroma daun itu menambah sensasi tersendiri apa lagi kalau makanannya anget
auto ngeces deh saya …..hehehe
kangen ketemuan dengan komunitas dan “ngaliwet” atau makan-makan seperti di RM alas daun
tentunya menunya sangat sederhana, cuma nasi timbel, ikan asin, sambal dan garam
oiya tempe tahu gak pernah ketinggalan
tapi suasananya itu yang bikin menu sederhana jadi mewah :D
Iya Mbak. Paling asik memang ngaliwet rame-rame ya. Biar menunya sederhana, terasa asik aja rebutan lauk. Hanya dengan tahu, ikan asin sama sayur asem aja dah asik banget ya Mbak.
Semua sajiannya sajian sangat menggoda. Saya teringat masa kecil kalau makan tanpa piring ini. Ya meski makna nasi cuma ditaburi garam, bukan dengan lauk pauk beraneka pilihan begini.
Sampai sekarang makan tanpa piring masih kami lakukan. Apalagi kalau pas mendaki, atau pas di kampung sini kalau sedang ke kebun dan sawah
Nah naaahh bener tuh Teh Okti. Makan dengan menu sederhana di gubuk pinggir sawah atau kebun musti asik banget itu. Kapan ah ketemuan Teh Okti dan ngaliwet seperti ini.
Nama rumah makannya unik ya kak. Rumah makan alas daun. Namanya jadi mmbuat kesan adem, tradisional dan lezat tentunya. Makanan ala-ala pedesaan. Apalagi kalo makan pake alas daun pisang yang udah dilayukan. Nasi kita jadi makin wangi dan makin selera makan dehh
Filosofi orang dulu terhadap makanan itu begini yaa, teh..
Bukan hanya datang, makan, lalu udahan.
Tapi ada hal yang lebih yang bisa kita lakukan ketika makan bersama apalagi menggunakan alas daun.
Puas banget makan makanan sunda di Alas Daun Bandung. Tapi kalau gasalah, mustopa bukannya memang rada-rada melempem akibat kena bumbunya, gitu kak Annie?
Yang pasti makan beralaskan daun pisang hemat tenaga dan liquid cuci piring Len. Ringkes tinggal buang hahahaha. Tapi memang sensasi ngaliwet, makan diatas daun pisang, apalagi terus rame-rame tuh asik banget.
Gak juga Len. Karena selama aku makan mustofa, garingnya kentang masih terasa banget. Mbak di rumah juga suka bikin.. Dan beli dengan UKM Kabupaten Bekasi yang produksi mustofa juga kentangnya garing banget.
saya suka hampir semua makanan/kue yang dibungkus daun pisang, Mba. Entahlah, kalo dibungkus pake daun pisang tuh wanginya bikin ngiler dan rasanya pun jadi nikmat
Setuju banget Mbak Ira. Saya pun begitu. Bahkan sebagian besar jajan pasar di jaman saya masih kecil juga dibungkus pakai daun. Wangi dan menyelerakan
Mendadak jadi lapar kalau mencium aroma nasi dibungkus daun..
Mmhh.. beda banget cita rasanya..
Bener banget. Jajan pasar dibungkus daun juga lebih menyelerakan ya
Harga makanannya nggak terlalu mahal ya, murah lho menurut ukuran kantong saya. Tapi karena tergoda memesan banyak jenisnya, plus jajan camilan juga, jadi banyak juga bayarnya ya mbak.
Saya kalau ke situ kayaknya juga bakal kalap deh pesan banyak jenis lauknya.
Penasaran sama menu yang ada di dalam buluh bambu itu, apakah mulai dari masaknya atau hanya penyajiannya saja.
Ya ampun ngiler bener…
Aku pernah makan di sini, Mbak Annie, di ALas Daun..tahun 2018. Ibu Mertua (alm) yang Madiun asli suka makanan pedes yang nampol dan lalapan kayak gini, jadi seneng banget diajak ke sini. Suka sama konsepnya, dan beneran bisa bingung pilihnya saking ngelihat aja dah enak semua. Termasuk standar juga harganya karena pilihan bisa sesuai selera.